Madaniyah
{يَاأَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ
مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ
مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ
الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ
عَلَيْكُمْ رَقِيبًا (1)}
.
"Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Rabbmu yang telah
menciptakan kamu dari diri yang satu, dan dari padanya Allah
menciptakan istrinya; dan dari pada keduanya Allah
mem-perkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan
bertakwalah kepada Allah yang dengan
(mempergunakan) Nama-Nya kamu saling
meminta satu sama lain, dan
(peliharalah) hubungan silaturahim.
Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasimu."
(An-Nisa`: 1).
#
{1} افتتحَ تعالى هذه السورةَ
بالأمر بتقواه والحثِّ على عبادتِهِ والأمرِ بصلةِ الأرحام
والحثِّ على ذلك، وبيَّن السبب الداعيَ الموجبَ لكلٍّ من
ذلك، وأن الموجب لتقواه: لأنه ربُّكم
{الذي خلقكم} ورزقكم وربَّاكم
بنعمِهِ العظيمة التي من جملتها خَلْقُكم
{من نفس واحدة} وجعل
{منها زوجها} ليناسِبَها فيسكنَ
إليها وتتمَّ بذلك النعمة ويحصل به السرور؛ وكذلك من الموجب
الداعي لتقواه تساؤلُكم به وتعظيمكم، حتى إنكم إذا أردتم قضاء
حاجاتكم ومآربكم؛ توسَّلتم بها بالسؤال
[باللهِ]،
فيقول من يريد ذلك لغيره:
أسألك بالله أن تفعل الأمر الفلاني؛ لعلمه بما قام في قلبه من
تعظيم الله الداعي أن لا يردَّ من سأله بالله؛ فكما عظَّمتموه
بذلك؛ فلتعظِّموه بعبادتِهِ وتقواه. وكذلك الإخبار بأنه
رقيبٌ؛ أي: مطَّلع على العباد في حال
حركاتهم وسكونهم وسرِّهم وعلنهم وجميع الأحوال مراقباً لهم فيها،
مما يوجب مراقبتَهُ وشدةَ الحياء منه بلزوم تقواه؛ وفي الإخبار
بأنه خلقهم من نفس واحدة، وأنه بثَّهم في أقطار الأرض مع رجوعهم
إلى أصل واحدٍ ليعطِّفَ بعضَهم على بعض، ويرقِّقَ بعضَهم على
بعض. وقرن الأمر بتقواه بالأمر ببرِّ الأرحام والنهي عن قطيعتها
ليؤكد هذا الحق، وأنه كما يلزم القيام بحق الله كذلك يجب القيام
بحقوق الخلق، خصوصاً الأقربين منهم، بل القيام بحقوقهم هو من
حقِّ الله الذي أمر الله به. وتأمل كيف افتتح هذه السورةَ بالأمر
بالتقوى، وصلة الأرحام، والأزواج عموماً، ثم بعد ذلك فصَّل هذه
الأمور أتمَّ تفصيل من أول السورة إلى آخرها؛ فكأنها مبنيَّةٌ
على هذه الأمور المذكورة، مفصِّلةٌ لما أُجْمِلَ منها، موضِّحةٌ
لما أُبْهِمَ. وفي قوله:
{وخلق منها زوجها}: تنبيه على
مراعاة حقِّ الأزواج والزوجات والقيام به؛ لكون الزوجات مخلوقاتٍ
من الأزواج؛ فبينهم وبينهنَّ أقربُ نسب وأشدُّ اتصال وأوثق
علاقة.
(1) Allah سبحانه وتعالى memulai surat
ini dengan perintah untuk ber-takwa kepadaNya dan anjuran untuk
beribadah kepadaNya, perintah untuk menyambung silaturahim dan
anjuran untuk hal itu. Allah juga menjelaskan tentang
sebab-sebab yang mendorong harusnya melakukan setiap dari hal
tersebut, dan bahwa hal yang mengharuskan untuk bertakwa
kepadaNya adalah karena Allah itu Rabb kalian, ﴾ ٱلَّذِي
خَلَقَكُم
﴿ "yang telah menciptakan kalian," memberi rizki kepada
kalian, memelihara kalian dengan nikmat-nikmatNya yang besar,
dan di antaranya adalah penciptaan diri kalian itu, ﴾
مِّن نَّفۡسٖ وَٰحِدَةٖ
﴿ "dari diri yang satu," dan menjadikan ﴾
مِنۡهَا زَوۡجَهَا
﴿ "dari padanya istrinya," agar sesuai dengannya, lalu ia
merasa tenang kepadanya, dan dengan hal itu lengkaplah nikmat
dan terwujudlah kebaha-giaan. Demikian juga, di antara
pendorong yang mengharuskan dan menuntut untuk bertakwa
kepadaNya adalah (bahwa) kalian saling
meminta dengan (menyebut) NamaNya dan
pengagungan kalian atasNya, hingga bila kalian ingin
mendapatkan hajat dan kebutuhan kalian, maka kalian
bertawassul dengannya, di mana Anda meminta dengan "demi
Allah." Karena itu, barangsiapa yang menghendaki hal itu
kepada orang lain, ia berkata, "Saya memo-hon kepadamu dengan
Nama Allah untuk melakukan pekerjaan..."; karena dia
mengetahui apa yang ada dalam hatinya berupa peng-agungan
kepada Allah, yang mendorong agar orang yang diminta-nya
dengan "Nama Allah" itu tidak menolak. Maka sebagaimana kalian
mengagungkanNya dengan hal itu, agungkanlah juga Allah dengan
beribadah dan bertakwa kepadaNya. Demikian juga kabar bahwa
Allah Maha Mengawasi, artinya, Allah melihat hamba-hambaNya
pada saat mereka diam maupun bergerak, yang dirahasiakan
maupun yang ditampakkan, dan Allah mengawasi seluruh kondisi
mereka, yang mengharuskan adanya rasa pengawasan Allah dan
malu yang mendalam terha-dapNya dengan cara konsisten dalam
takwa kepadaNya, dan pada pemberitaan bahwa Allah menciptakan
mereka dari diri yang satu dan bahwa Allah mengembang biakkan
mereka di seluruh bagian bumi, padahal mereka berasal dari
jiwa yang satu, adalah agar se-bagian mereka mengasihi
sebagian yang lain dan sebagian mereka berlaku lemah lembut
kepada sebagian lainnya. Allah menyandingkan antara takwa
kepadaNya dengan perintah untuk berbuat baik kepada keluarga
dan melarang dari memutuskan hubungan silaturahim agar
menegaskan akan kebe-naran hal tersebut, dan bahwa sebagaimana
wajibnya menunaikan hak-hak Allah, maka wajib pula untuk
menegakkan hak-hak makh-lukNya, khususnya yang termasuk
kerabat keluarga di antara mereka, bahkan menunaikan hak-hak
mereka adalah di antara hak-hak Allah yang telah diperintahkan
olehNya. Perhatikanlah bagaimana Allah memulai surat ini
dengan perintah secara umum untuk bertakwa, menyambung
silaturahim, dan interaksi antara suami dan istri, kemudian
setelah itu Allah merinci perkara-perkara tersebut dengan
perincian yang sempurna dari awal surat hingga akhirnya, di
mana seolah-olah penjelasan surat ini didasari oleh
perkara-perkara tersebut, merinci hal-hal yang disebut yaitu
secara umum darinya dan menjelaskan hal-hal yang samar. Dalam
Firman Allah, ﴾
وَخَلَقَ مِنۡهَا زَوۡجَهَا ﴿ "Dan dari padanya Allah menciptakan
istrinya," terdapat sebuah peringatan untuk senantiasa menjaga
(memperhatikan) hak-hak para suami dan
para istri dan pemenuhannya, karena para istri itu tercipta dari
para suami, se-hingga antara para suami dan para istri terdapat
hubungan nasab yang paling dekat, hubungan yang paling kuat, dan
ikatan yang paling kokoh.
Dan Firman Allah سبحانه وتعالى,
{وَآتُوا الْيَتَامَى أَمْوَالَهُمْ وَلَا تَتَبَدَّلُوا
الْخَبِيثَ بِالطَّيِّبِ وَلَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَهُمْ إِلَى
أَمْوَالِكُمْ إِنَّهُ كَانَ حُوبًا كَبِيرًا
(2)}
.
"Dan berikanlah kepada anak-anak yatim
(yang sudah baligh) harta mereka, jangan
kamu menukar yang baik dengan yang buruk dan jangan kamu makan
harta mereka bersama hartamu. Sesungguhnya tindakan-tindakan
(menukar dan memakan) itu, adalah dosa
yang besar."
(An-Nisa`: 2).
#
{2} هذا أول ما أوصى به من حقوق
الخلق في هذه السورة، وهم اليتامى الذين فقدوا آباءهم الكافلين
لهم، وهم صغارٌ ضعافٌ، لا يقومون بمصالحهم، فأمر الرءوف الرحيم
عباده أن يحسِنوا إليهم، وأن لا يَقْرَبوا أموالهم إلا بالتي هي
أحسن، وأن يؤتوهم أموالهم ـ إذا بلغوا ورَشَدوا ـ كاملةً موفرةً،
وأن لا يتبدلوا الخبيث الذي هو أكلُ مال اليتيم بغير حقٍّ
{بالطيب} وهو الحلال الذي ما فيه
حرجٌ ولا تَبِعة
{ولا تأكلوا أموالهم إلى أموالكم}؛ أي: مع أموالكم، ففيه تنبيهٌ لقبح
أكل مالِهم بهذه الحالة، التي هي قد استغنى بها الإنسان بما جعل
الله له من الرزق في ماله؛ فمَنْ تجرَّأ على هذه الحالة؛ فقد أتى
{حوباً كبيراً}؛
أي:
إثماً عظيماً ووزراً جسيماً. ومن استبدال الخبيث بالطيِّب أن
يأخذ الوليُّ من مال اليتيم النفيسِ ويجعلَ بدلَه من ماله
الخسيسَ. وفيه الولايةُ على اليتيم؛ لأنَّ من لازم إيتاء اليتيم
ماله ثبوتَ ولاية المؤتي على ماله. وفيه الأمرُ بإصلاح مال
اليتيم؛ لأنَّ تمام إيتائِهِ مالَه حفظُه والقيامُ به بما يصلحه
ويُنَمِّيه وعدم تعريضه للمخاوف والأخطار.
(2) Ini merupakan wasiat pertama dari
hak-hak makhluk dalam surat ini, mereka itu adalah anak-anak
yatim yang telah ditinggal mati oleh ayah yang menafkahi mereka,
sedang mereka masih kecil dan lemah, mereka tidak mampu memenuhi
kemasla-hatan mereka sendiri. Karena itu Allah Yang Maha
Penyayang lagi Maha Pengasih memerintahkan hamba-hambaNya agar
berbuat baik kepada mereka dan agar tidak mendekati harta-harta
mereka kecuali dengan cara yang baik. Dan agar memberikan kepada
me-reka harta-harta mereka –apabila mereka telah baligh dan
dewasa– secara sempurna dan penuh, dan agar tidak menukar dengan
yang buruk, di mana itu termasuk memakan harta anak yatim tanpa
hak, ﴾ بِٱلطَّيِّبِۖ
﴿ "yang baik," yaitu, yang halal yang tidak ada dosa padanya
dan tidak pula tanggung jawab. ﴾
وَلَا تَأۡكُلُوٓاْ أَمۡوَٰلَهُمۡ إِلَىٰٓ أَمۡوَٰلِكُمۡۚ
﴿ "Dan jangan kamu makan harta mereka ber-sama hartamu,"
maksudnya, bersama harta kalian. Di sini terdapat suatu
peringatan akan buruknya memakan harta mereka dengan cara
seperti itu, yang kemungkinan seseorang mampu untuk tidak
melakukannya, (dan cukup) dengan apa
yang telah Allah rizkikan untuknya dari hartanya sendiri. Maka
barangsiapa yang berani melakukan hal itu, sesungguhnya ia
telah melakukan, ﴾
حُوبٗا كَبِيرٗا ﴿ "dosa yang besar," yaitu, dosa dan kesalahan
yang besar. Dan termasuk menukar yang buruk dengan yang baik,
ada-lah, seorang wali mengambil harta anak yatim yang berharga
dan menukarnya dengan hartanya yang paling jelek. Ayat ini juga
menunjukkan adanya perwalian terhadap seorang yatim, karena di
antara wajibnya memberikan harta anak yatim, adalah ketetapan
perwalian orang yang mengelola hartanya. Demikian juga ayat ini
menunjukkan perintah untuk meng-urus harta anak yatim secara
baik, karena kesempurnaan pembe-rian hartanya kepadanya adalah
penjagaan dan pemenuhannya dengan cara yang baik untuknya,
mengembangkannya, serta tidak menempatkannya pada hal-hal yang
dikhawatirkan dan berbahaya.
{وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى
فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى
وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا
فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى
أَلَّا تَعُولُوا (3) وَآتُوا
النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً فَإِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ
شَيْءٍ مِنْهُ نَفْسًا فَكُلُوهُ هَنِيئًا مَرِيئًا
(4)}
.
"Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terha-dap
(hak-hak) perempuan yatim
(bilamana kamu mengawininya), maka
kawinilah wanita-wanita
(lain) yang kamu
senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak
akan dapat berlaku adil, maka
(kawinilah) seorang saja, atau
budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih
dekat kepada tidak berbuat aniaya. Berikanlah maskawin
(mahar) kepada wanita
(yang kamu nikahi) sebagai pemberian
dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada
kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka
makanlah
(ambillah) pemberian itu
(sebagai makanan) yang sedap lagi baik
akibatnya."
(An-Nisa`: 3-4).
#
{3} أي: وإن خفتم ألا تعدلوا في
يتامى النساء [اللاتي] تحت حُجوركم
وولايتكم، وخفتم أن لا تقوموا بحقِّهن لعدم محبتكم إياهنَّ،
فاعدلوا إلى غيرهنَّ وانكحوا
{ما طاب لكم من النساء}؛
أي:
ما وقع عليهن اختياركم من ذوات الدين والمال والجمال والحَسَب
والنَّسَب وغير ذلك من الصفات الداعية لنكاحهنَّ؛ فاختاروا على
نظركم، ومن أحسن ما يُختار من ذلك صفة الدين؛ كما قال النبي -
صلى الله عليه وسلم -:
«تُنْكَحُ المرأةُ لأربع: لمالِها ولِجمالِها ولحسبِها
ولدينِها؛ فاظفرْ بذاتِ الدينِ تَرِبَتْ يمينُك». وفي هذه الآية أنه ينبغي للإنسان أن يختار قبل النكاح، بل قد
أباح له الشارعُ النظرَ إلى مَنْ يريد تزوجها؛ ليكون على بصيرة
من أمره. ثم ذكر العدد الذي أباحه من النساء،
فقال:
{مثنى وثلاث ورباع}،
أي:
من أحب أن يأخذ ثنتين؛ فليفعل، أو ثلاثاً؛ فليفعل، أو أربعاً؛
فليفعل، ولا يزيد عليها؛ لأن الآية سيقت لبيان الامتنان؛ فلا
يجوز الزيادة على غير ما سمى الله تعالى إجماعاً، وذلك لأن الرجل
قد لا تندفع شهوتُه بالواحدة، فأبيح له واحدة بعد واحدة، حتى
تبلغ أربعاً؛ لأن في الأربع غُنيةً لكل أحد إلا ما ندر، ومع هذا؛
فإنما يباح له ذلك إذا أمن على نفسه الجَوْر والظلم ووثق بالقيام
بحقوقهن؛ فإن خاف شيئاً من هذا؛ فليقتصر على واحدة أو على ملك
يمينه؛ فإنه لا يجب عليه القَسْم في ملك اليمين،
{ذلك}؛
أي:
الاقتصار على واحدة أو ما ملكتِ اليمينُ
{أدنى ألاَّ تعولوا}؛
أي:
تظلموا، وفي هذا أنَّ تعرَّضَ العبد للأمر الذي يُخافُ منه
الجورُ والظلم وعدم القيام بالواجب ولو كان مباحاً؛ أنه لا ينبغي
له أن يتعرَّضَ له، بل يلزم السعةُ والعافيةُ؛ فإنَّ العافية خير
ما أعطي العبد.
(3) Maksudnya, apabila kalian takut
tidak berlaku adil terhadap wanita-wanita yatim yang ada di
dalam pengasuhan dan perwalian kalian, dan kalian takut tidak
mampu menunaikan hak-hak mereka yang disebabkan kalian tidak
mencintai mereka, maka carilah wanita-wanita selain mereka, lalu
nikahilah, ﴾ مَا طَابَ لَكُم مِّنَ ٱلنِّسَآءِ
﴿ "wanita-wanita (lain) yang kamu
senangi," maksudnya, wanita-wanita yang kalian pilih yang
memiliki agama, harta, kecantikan, dan keturunan yang baik dan
lain sebagainya di antara sifat-sifat yang mendorong untuk
menikahi mereka. Pilihlah mereka menurut pendapat kalian, dan
sebaik-baik sifat yang menjadi patokan dalam memilih adalah
agama, sebagaimana Nabi ﷺ bersabda,
تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ لِأَرْبَعٍ:
لِمَالِهَا، وَلِجَمَالِهَا، وَلِحَسَبِهَا، وَلِدِيْنِهَا،
فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّيْنِ تَرِبَتْ يَمِيْنُكَ. "Wanita
dinikahi karena empat hal; karena hartanya, kecantikannya,
keturunannya, dan agamanya, dan pilihlah yang memiliki agama,
niscaya beruntunglah kamu."[1] Ayat
ini menunjukkan bahwa seyogyanya seseorang itu me-milih wanita
sebelum menikahinya, bahkan syariat telah membo-lehkan baginya
untuk memandang wanita yang hendak dinikahi-nya itu agar ia
benar-benar mengetahui segala hal secara pasti tentang wanita
tersebut. Kemudian Allah menyebutkan jumlah wanita yang boleh
dinikahinya seraya berfirman, ﴾
مَثۡنَىٰ وَثُلَٰثَ وَرُبَٰعَۖ
﴿ "dua, tiga atau empat," maksudnya, barangsiapa yang hendak
menikahi dua wanita, maka boleh ia lakukan, atau tiga, maka
boleh ia lakukan, atau empat, maka boleh ia lakukan; dan
tidaklah boleh baginya melebihi dari jumlah tersebut, karena
ayat ini disebutkan dalam rangka menje-laskan jumlah yang
paling banyak (yang dibolehkan), maka
tidaklah boleh melebihi apa yang telah Allah sebutkan
berdasarkan ijma'. Yang demikian itu karena seorang laki-laki
terkadang tidak mampu menahan syahwatnya hanya dengan seorang
istri, karena itu dibolehkan baginya seorang istri lagi
setelah seorang istri
(per-tama) hingga mencapai empat orang
istri. Karena dengan jumlah empat wanita itu telah mencukupi
bagi kaum laki-laki kecuali bagi segelintir laki-laki.
Walaupun demikian, hal tersebut dibolehkan baginya apabila ia
merasa mampu untuk tidak berlaku zhalim dan aniaya dan yakin
dapat memenuhi hak-hak mereka semua, namun apabila ia takut
dari hal-hal tersebut, maka sebaiknya ia mencukupi hanya
dengan seorang istri saja atau dengan hanya budak wanita-nya,
karena ia tidak wajib untuk membagi malam bagi budak wanitanya
tersebut. ﴾
ذَٰلِكَ
﴿ "Yang demikian itu," yaitu, mencukupkan hanya dengan
seorang istri atau dengan budak wanita, ﴾
أَدۡنَىٰٓ أَلَّا تَعُولُواْ ﴿ "adalah lebih dekat kepada tidak
berbuat aniaya," yaitu, berbuat zhalim. Ini menunjukkan bahwa
seorang hamba yang menghadap-kan dirinya kepada suatu perkara
yang ditakuti bahwa ia akan melakukan kezhaliman, aniaya, dan
tidak menunaikan kewajiban, walaupun perkara itu adalah suatu
yang mubah, maka seyogyanya ia tidak melakukan hal itu. Akan
tetapi ia harus konsisten terhadap hal yang baik dan selamat,
karena sesungguhnya sebaik-baik per-kara yang diberikan kepada
seorang hamba itu adalah selamat.
#
{4} ولما كان كثير من الناس يظلمون
النساء ويهضمونهنَّ حقوقَهنَّ، خصوصاً الصداق الذي يكون شيئاً
كثيراً ودفعةً واحدةً يشقُّ دفعُه للزوجةِ؛ أمرهم وحثَّهم على
إيتاء النساء {صَدُقاتهنَّ}،
أي:
مهورهنَّ {نِحْلَةً}؛
أي:
عن طيب نفس وحال طمأنينة؛ فلا تمطلوهنَّ أو تبخسوا منه شيئاً؛
وفيه أن المهر يُدْفَع إلى المرأة إذا كانت مكلفةً، وأنها تملكه
بالعقد؛ لأنه أضافه إليها، والإضافة تقتضي التمليك؛
{فإن طبن لكم عن شيء منه}؛
أي:
من الصداق {نفساً}؛ بأن سَمَحْنَ
لكم عن رضا واختيار بإسقاط شيء منه أو تأخيره أو المعاوضة عنه؛
{فكلوه هنيئاً مريئاً}؛
أي:
لا حرج عليكم في ذلك ولا تَبِعَة. وفيه دليل على أن للمرأة
التصرف في مالها ولو بالتبرع إذا كانت رشيدةً؛ فإن لم تكن كذلك؛
فليس لعطيَّتِها حكم، وأنه ليس لوليها من الصداق شيء غير ما طابت
به. وفي قوله:
{فانكحوا ما طاب لكم من النساء}:
دليلٌ على أن نكاح الخبيثة غير مأمور به، بل منهيٌّ عنه كالمشركة
وكالفاجرة؛ كما قال تعالى:
{ولا تنكحوا المشركات حتى يؤمنَّ}، وقال:
{الزانية لا ينكحها إلا زانٍ أو مشركٌ}.
(4) Dan karena banyak orang-orang
(laki-laki) menzhalimi para wanita dan
menindas hak-hak mereka, khususnya mahar yang berjumlah banyak
yang diberikan dalam satu pemberian saja hingga memberatkan
suami untuk menyerahkannya kepada istri, maka Allah
memerintahkan dan menganjurkan kepada para suami untuk
memberikan kepada istri-istri, ﴾ صَدُقَٰتِهِنَّ
﴿ "maskawin kepada wanita
(yang kamu nikahi)," yaitu,
mahar-mahar mereka, ﴾
نِحۡلَةٗۚ
﴿ "se-bagai pemberian dengan penuh kerelaan," maksudnya, dari
kelapangan dada dan ketenangan jiwa. Janganlah kalian
menzhalimi mereka dan berlaku curang sedikit pun pada mahar
tersebut. Ayat ini menunjukkan bahwa mahar itu diberikan
kepada istri apabila ia telah menjadi wanita yang mukallaf dan
bahwa mahar tersebut telah menjadi hak miliknya dengan adanya
akad nikah, karena suami telah memberikannya kepada istrinya,
dan pemberian itu menunjukkan kepemilikan. ﴾
فَإِن طِبۡنَ لَكُمۡ عَن شَيۡءٖ مِّنۡهُ
﴿ "Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari
maskawin itu," yaitu, dari mahar tersebut, ﴾
نَفۡسٗا
﴿ "dengan senang hati," maksudnya dengan membiarkan untuk
kalian atas dasar kerelaan dan pilihan sendiri untuk
menggugurkan sedikit darinya atau menunda membayar atau
menggantinya, ﴾
فَكُلُوهُ هَنِيٓـٔٗا مَّرِيٓـٔٗا
﴿ "maka makanlah (ambillah) pemberian
itu (sebagai makanan) yang sedap lagi
baik akibatnya." Artinya tidak ada dosa atas kalian dalam hal
itu dan tidak pula tanggung jawab. Ayat ini adalah dalil yang
menunjukkan bahwa seorang istri boleh membelanjakan hartanya
sendiri hingga untuk sumbangan sekalipun, apabila ia telah
dewasa. Namun bila ia belum dewasa, maka pemberiannya itu
tidaklah memiliki hukum apa-apa, dan wali wanita tersebut juga
tidak memiliki hak apa-apa dari mahar tersebut kecuali apa
yang diberikan secara sukarela oleh wanita tersebut. Dan ayat,
﴾
فَٱنكِحُواْ مَا طَابَ لَكُم مِّنَ ٱلنِّسَآءِ
﴿ "Maka kawinilah wanita-wanita
(lain) yang kamu senangi" adalah dalil
yang menunjukkan bahwa menikahi wanita-wanita yang buruk,
tidaklah dianjurkan bahkan dilarang, seperti wanita musyrik,
atau wanita pezina; sebagaimana Firman Allah تعالى, ﴾
وَلَا تَنكِحُواْ ٱلۡمُشۡرِكَٰتِ حَتَّىٰ يُؤۡمِنَّۚ
﴿ "Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum
mereka beriman."
(Al-Baqarah: 221). Dan FirmanNya, ﴾
وَٱلزَّانِيَةُ لَا يَنكِحُهَآ إِلَّا زَانٍ أَوۡ مُشۡرِكٞۚ ﴿
"Dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh
laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik."
(An-Nur: 3).
Dan Firman Allah سبحانه وتعالى,
{وَلَا تُؤْتُوا السُّفَهَاءَ أَمْوَالَكُمُ الَّتِي جَعَلَ
اللَّهُ لَكُمْ قِيَامًا وَارْزُقُوهُمْ فِيهَا وَاكْسُوهُمْ
وَقُولُوا لَهُمْ قَوْلًا مَعْرُوفًا
(5)}
.
"Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum
sempurna akalnya, harta
(mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang
dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. Berilah mereka belanja
dan pakaian
(dari hasil harta itu) dan
ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik."
(An-Nisa`: 5).
#
{5} السفهاء: جمع سفيه،
وهو من لا يحسن التصرف في المال:
إما لعدم عقله كالمجنون والمعتوه ونحوهما، وإما لعدم رشده؛
كالصغير وغير الرشيد، فنهى الله الأولياء أن يؤتوا هؤلاء
أموالَهم خشيةَ إفسادها وإتلافها؛ لأنَّ الله جعل الأموال قياماً
لعباده في مصالح دينهم ودنياهم، وهؤلاء لا يُحْسِنُون القيام
عليها وحفظَها، فأمر الله الولي أن لا يؤتيهم إياها، بل يرزقهم
منها ويكسوهم ويبذل منها ما يتعلَّق بضروراتهم وحاجاتهم
الدينيَّة والدنيويَّة، وأن يقولوا لهم قولاً معروفاً؛ بأن
يعدوهم إذا طلبوها أنهم سيدفعونها لهم بعد رُشْدِهم ونحوِ ذلك،
ويلطفوا لهم في الأقوال جبراً لخواطرهم. وفي إضافته تعالى
الأموال إلى الأولياء إشارة إلى أنه يجب عليهم أن يعملوا في
أموال السفهاء ما يفعلونه في أموالهم من الحفظ والتصرف وعدم
التعريض للأخطار. وفي الآية دليل على أن نفقة المجنون والصغير
والسفيه في مالهم إذا كان لهم مال،
لقوله:
{وارزقوهم فيها واكسوهم}. وفيه
دليلٌ على أنَّ قول الوليِّ مقبول فيما يدعيه من النفقة الممكنة
والكسوة؛ لأن الله جعله مؤتَمَناً على مالهم، فلزم قبول قول
الأمين.
(5) السُّفَهَاءُ adalah kata jamak dari
سَفِيْهٌ
(orang yang tidak sem-purna akalnya)
yang artinya adalah orang yang tidak becus dalam membelanjakan
hartanya; baik karena tidak ada akalnya seperti orang gila atau
idiot atau semacamnya, atau karena belum sempurna akalnya
seperti anak kecil dan orang yang belum dewasa. Allah melarang
para wali untuk menyerahkan kepada mereka harta-harta mereka
karena takut disia-siakan dan dihabiskan. Karena Allah
menjadikan harta itu untuk memenuhi kebutuhan hamba-hamba-Nya
dalam kemaslahatan agama maupun dunia mereka. Dan mereka itu
tidaklah pandai dalam mengurus
(dan membelanjakan) harta tersebut dan
memeliharanya, oleh karena itu Allah meme-rintahkan kepada
wali
(nya) agar tidak menyerahkan harta
mereka kepada mereka. Akan tetapi ia harus menafkahi mereka dari
harta itu, memberikan pakaian dengannya, serta membelanjakan
harta itu kepada hal-hal yang berkaitan dengan
kebutuhan-kebutuhan mereka, dunia maupun akhirat mereka, dan
agar para wali berkata kepada mereka dengan perkataan yang baik,
yaitu, dengan berjanji kepada mereka apabila mereka meminta
harta mereka itu bahwa para wali itu akan memberikannya setelah
mereka dewasa nanti, atau semacamnya. Dan agar berlaku lemah
lembut dalam berbicara kepada mereka sebagai suatu keharusan
untuk menghibur perasaan hati mereka. Allah menyandarkan
(permasalahan) harta
(orang yang belum sempurna akalnya)
kepada para wali itu berindikasi bahwa mereka wajib
memperlakukan harta orang yang bodoh tersebut sebagai-mana
mereka melakukannya pada harta mereka sendiri berupa penjagaan,
pembelanjaan, dan tidak menghadapkannya kepada hal-hal yang
memusnahkannya. Ayat ini menunjukkan bahwa memberikan nafkah
kepada orang gila, anak kecil, dan idiot itu adalah dari harta
mereka sendiri, bila mereka memiliki harta, sebagaimana Firman
Allah سبحانه وتعالى,﴾ وَٱرۡزُقُوهُمۡ فِيهَا وَٱكۡسُوهُمۡ ﴿
"Berilah mereka belanja dan pakaian
(dari hasil harta itu)." Ayat ini juga
menunjukkan bahwa pernyataan wali dapat diterima tentang apa
yang ia nyatakan mengenai nafkah yang me-mungkinkan atau
pakaian, karena Allah telah menjadikan mereka sebagai
orang-orang yang dapat dipercaya atas harta anak yatim itu, oleh
karena itu pernyataan orang-orang yang terpercaya harus
diterima.
{وَابْتَلُوا الْيَتَامَى حَتَّى إِذَا بَلَغُوا النِّكَاحَ
فَإِنْ آنَسْتُمْ مِنْهُمْ رُشْدًا فَادْفَعُوا إِلَيْهِمْ
أَمْوَالَهُمْ وَلَا تَأْكُلُوهَا إِسْرَافًا وَبِدَارًا أَنْ
يَكْبَرُوا وَمَنْ كَانَ غَنِيًّا فَلْيَسْتَعْفِفْ وَمَنْ
كَانَ فَقِيرًا فَلْيَأْكُلْ بِالْمَعْرُوفِ فَإِذَا
دَفَعْتُمْ إِلَيْهِمْ أَمْوَالَهُمْ فَأَشْهِدُوا عَلَيْهِمْ
وَكَفَى بِاللَّهِ حَسِيبًا
(6)}
.
"Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin.
Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas
(pandai memelihara harta), maka
serahkanlah kepada mereka harta-hartanya. Dan janganlah kamu
makan harta anak yatim lebih dari batas kepatutan dan
(janganlah kamu) tergesa-gesa
(membelanjakannya) sebelum mereka
dewasa. Barangsiapa
(di antara pemelihara itu) mampu, maka
hendaklah ia menahan diri
(dari memakan harta anak yatim itu) dan
barangsiapa yang miskin, maka bolehlah ia makan harta itu
menurut yang patut. Kemudian apabila kamu menyerahkan harta
kepada mereka, maka hendaklah kamu adakan saksi-saksi
(tentang penyerahan itu) bagi mereka.
Dan cukuplah Allah sebagai Pengawas
(atas persaksian itu)."
(An-Nisa`: 6).
#
{6} الابتلاء هو: الاختبار
والامتحان، وذلك بأن يُدْفَعَ لليتيم المقارب للرشد الممكن رشده
شيء من ماله، ويتصرف فيه التصرف اللائق بحاله، فيتبين بذلك رشده
من سفهه؛ فإن استمر غير محسن للتصرف؛ لم يدفع إليه ماله، بل هو
باق على سفهه، ولو بلغ عمراً كثيراً؛ فإن تبيَّن رشدُه وصلاحُه
في ماله وبلغ النكاح؛
{فادفعوا إليهم أموالهم} كاملة
موفرة،
{ولا تأكلوها إسرافاً}؛
أي:
مجاوزة للحدِّ الحلال الذي أباحه الله لكم من أموالكم إلى الحرام
الذي حرمه الله عليكم من أموالهم؛
{وبِداراً أن يكبروا}،
أي:
ولا تأكلوها في حال صغرهم التي لا يمكنهم فيها أخذها منكم، ولا
منعكم من أكلها تبادرون بذلك أن يكبروا فيأخذوها منكم ويمنعوكم
منها، وهذا من الأمور الواقعة من كثير من الأولياء الذين ليس
عندهم خوف من الله ولا رحمة ومحبة للمولَّى عليهم، يرون هذه
الحالَ حالَ فرصةٍ، فيغتنمونها ويتعجلون ما حرم الله عليهم، فنهى
الله تعالى عن هذه الحالة بخصوصها.
(6) اَلْإِبْتِلَاءُ
(ujian) adalah cobaan dan latihan. Yang
demikian itu adalah dengan menyerahkan sesuatu dari hartanya
kepada anak yatim yang telah mendekati kedewasaan, lalu ia
membelanjakan uang itu untuk kebutuhannya dengan sepatutnya
menurut kondi-sinya saat itu, hingga jelaslah saat itu antara
kedewasaannya atau-pun ketidakmampuannya membelanjakan menurut
yang sepatut-nya. Bila ia masih belum mampu dalam membelanjakan
harta, maka hartanya tidak diberikan kepadanya, dan ia masih
dinyatakan tetap dalam kondisi tidak mampu membelanjakan
hartanya dengan baik, walaupun ia telah mencapai umur yang cukup
dewasa. Apabila telah terbukti kedewasaan dan kemampuannya dalam
membelan-jakan harta dengan sepatutnya serta telah mencapai
cukup usia untuk menikah, ﴾ فَٱدۡفَعُوٓاْ إِلَيۡهِمۡ
أَمۡوَٰلَهُمۡۖ
﴿ "maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya," secara
sempurna dan seluruhnya. ﴾
وَلَا تَأۡكُلُوهَآ إِسۡرَافٗا
﴿ "Dan janganlah kamu makan harta anak yatim lebih dari batas
kepatutan," yakni, melampaui batas yang halal yang dibolehkan
oleh Allah untuk kalian dari harta mereka, kepada yang haram
yang telah diharamkan oleh Allah atas kalian dari harta
mereka. ﴾
وَبِدَارًا أَن يَكۡبَرُواْۚ ﴿ "Dan
(janganlah kamu) tergesa-gesa
(membelanja-kannya) sebelum mereka
dewasa," maksudnya, janganlah kalian makan harta mereka saat
mereka masih kecil, di mana mereka saat itu belum mampu
mengambilnya dari kalian dan mereka juga tidak mampu melarang
kalian memakannya, secara tergesa-gesa sebelum mereka menjadi
dewasa, di mana mereka mengambil harta mereka dari kalian dan
melarang kalian dari memakannya. Yang seperti ini adalah perkara
nyata yang terjadi pada seba-gian besar para wali yang tidak
memiliki rasa takut kepada Allah dan tidak memiliki rasa kasih
sayang terhadap orang-orang yang ia lindungi tersebut. Para wali
itu melihat bahwa hal tersebut adalah suatu kesempatan bagi
mereka hingga mereka memanfaatkannya sebaik mungkin, dan dengan
tergesa-gesa mereka mengambil apa yang diharamkan oleh Allah
atas mereka. Itulah sebabnya Allah سبحانه وتعالى melarang dari
perbuatan seperti itu secara khusus.
{لِلرِّجَالِ نَصِيبٌ مِمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ
وَالْأَقْرَبُونَ وَلِلنِّسَاءِ نَصِيبٌ مِمَّا تَرَكَ
الْوَالِدَانِ وَالْأَقْرَبُونَ مِمَّا قَلَّ مِنْهُ أَوْ
كَثُرَ نَصِيبًا مَفْرُوضًا
(7)}
.
"Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan
ibu-bapak dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian
(pula) dari harta peninggalan ibu-bapak
dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang
telah ditetapkan."
(An-Nisa`: 7).
#
{7} كان العرب في الجاهلية من
جبريَّتِهم وقسوتهم لا يورِّثون الضعفاء كالنساء والصبيان،
ويجعلون الميراث للرجال الأقوياء؛ لأنهم بزعمهم أهل الحرب
والقتال والنهب والسلب، فأراد الرب الرحيم الحكيم أن يشرع لعباده
شرعاً يستوي فيه رجالهم ونساؤهم وأقوياؤهم وضعفاؤهم، وقدم بين
يدي ذلك أمراً مجملاً لتتوطَّن على ذلك النفوس فيأتي التفصيل بعد
الإجمال قد تشوقت له النفوس وزالت الوحشة التي منشؤها العادات
القبيحة، فقال:
{للرجال نصيب}؛
أي:
قسط وحصة، {مما ترك}؛
أي:
خلَّفَ، {الوالدان}؛
أي:
الأب والأم، {والأقربون}؛ عموماً
بعد خصوص،
{وللنساء نصيب مما ترك الوالدان والأقربون}، فكأنه قيلَ: هل ذلك النصيب راجعٌ إلى
العُرف والعادة وأن يرضخوا لهم ما يشاؤون أو شيئاً
مقدَّراً؟ فقال تعالى:
{نصيباً مفروضاً}؛
أي:
قد قدَّره العليم الحكيم. وسيأتي إن شاء الله تقدير ذلك.
وأيضاً؛ فهنا توهُّم آخر: لعل أحداً
يتوهَّم أن النساء والولدان ليس لهم نصيب إلا من المال
الكثير، فأزال ذلك بقوله:
{مما قلَّ منه أو كَثُر}؛ فتبارك
الله أحسن الحاكمين.
(7) Dahulu orang-orang Arab pada zaman
jahiliyah disebab-kan karena kesewenang-wenangan dan kekejaman
mereka, mereka tidak mewariskan harta mereka kepada orang-orang
yang lemah, dari kaum wanita dan anak-anak, namun mereka
menetapkan warisan hanya untuk kaum laki-laki yang kuat. Hal
tersebut me-nurut mereka adalah karena laki-laki yang kuat itu
adalah pelaku peperangan, pembunuhan, perampasan, dan
pengambilan. Maka Allah, Rabb Yang Maha Penyayang lagi
Mahabijaksana berkehen-dak membuat suatu syariat di mana dalam
syariat itu kaum laki-laki maupun kaum wanitanya adalah sama dan
kaum yang lemah sama dengan kaum yang kuat. Dan Allah memulai
dengan pen-dahuluan dalam masalah itu secara global, agar
jiwa-jiwa manusia mampu menerimanya kemudian akhirnya
perinciannya hadir setelah disebutkan secara global, yang telah
dirindukan kedatangan-nya oleh jiwa-jiwa tersebut, hingga
lenyaplah kondisi yang liar ter-sebut, yang bersumber dari adat
istiadat yang buruk. Lalu Allah berfirman, ﴾ لِّلرِّجَالِ
نَصِيبٞ
﴿ "Bagi laki-laki ada hak bagian," yaitu, kadar dan jumlah,
﴾
مِّمَّا تَرَكَ
﴿ "dari harta peninggalan," yaitu, apa yang ditinggalkan,
﴾
ٱلۡوَٰلِدَانِ
﴿ "kedua orangtua," yaitu, ibu dan ayah, ﴾
وَٱلۡأَقۡرَبُونَ
﴿ "dan kerabatnya," ini adalah bentuk redaksi penyebutan umum
setelah khusus. ﴾
وَلِلنِّسَآءِ نَصِيبٞ مِّمَّا تَرَكَ ٱلۡوَٰلِدَانِ
وَٱلۡأَقۡرَبُونَ
﴿ "Dan bagi wanita ada hak bagian
(pula) dari harta peninggalan
ibu-bapak dan kerabatnya." Seolah-olah dikatakan, apakah hal
tersebut menurut adat istiadat, dan mereka tunduk pada apa
yang mereka kehendaki ataukah itu adalah per-kara yang telah
ditentukan? Lalu Allah سبحانه وتعالى berfirman, ﴾
نَصِيبٗا مَّفۡرُوضٗا
﴿ "Menurut bagian yang telah ditetapkan," yaitu, yang telah
ditentukan oleh Yang Maha Me-ngetahui lagi Mahabijaksana.
Ketentuan-ketentuan tersebut akan hadir insya Allah. Dan dalam
hal ini ada dugaan yang lain, yaitu, bahwa ke-mungkinan saja
ada seseorang yang mengira bahwa wanita dan anak-anak tidak
memiliki bagian kecuali bila harta yang ditinggal-kan itu
berjumlah besar. Maka Allah menghapus dugaan tersebut dengan
FirmanNya, ﴾
مِمَّا قَلَّ مِنۡهُ أَوۡ كَثُرَۚ ﴿ "baik sedikit atau banyak."
Maka Mahaluhur Allah, Dia-lah sebaik-baik Pembuat ketentuan.
{وَإِذَا حَضَرَ الْقِسْمَةَ أُولُو الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى
وَالْمَسَاكِينُ فَارْزُقُوهُمْ مِنْهُ وَقُولُوا لَهُمْ
قَوْلًا مَعْرُوفًا (8)}
.
"Dan apabila sewaktu pembagian itu hadir kerabat, anak yatim,
dan orang miskin, maka berilah mereka dari harta itu
(se-kedarnya) dan ucapkanlah kepada
mereka perkataan yang baik."
(An-Nisa`: 8).
#
{8} وهذا من أحكام الله الحسنة
الجليلة الجابرة للقلوب، فقال:
{وإذا حضر القسمة}؛
أي:
قسمة المواريث،
{أولو القربى}؛
أي:
الأقارب غير الوارثين بقرينة قوله:
{القسمة}؛ لأن الوارثين من المقسوم
عليهم، {واليتامى والمساكين}؛
أي:
المستحقون من الفقراء؛
{فارزقوهم منه}؛
أي:
أعطوهم ما تيسَّر من هذا المال الذي جاءكم بغير كدٍّ ولا تعب ولا
عَناءٍ ولا نَصَبٍ؛ فإنَّ نفوسَهم متشوفةٌ إليه وقلوبَهم
متطلعةٌ؛ فاجبُروا خواطرهم بما لا يضركم وهو نافعهم. ويؤخذ من
المعنى أنَّ كل مَنْ له تطلُّع وتشوُّف إلى ما حضر بين يدي
الإنسان ينبغي له أن يعطِيَهُ منه ما تيسَّر؛ كما كان النبي -
صلى الله عليه وسلم - يقول:
«إذا جاء أحدكم خادمه بطعامه؛ فليُجْلِسْه معه؛ فإن لم
يُجْلِسْه معه؛ فليناوله لقمة أو لقمتين»
، أو كما قال. وكان الصحابة رضي الله عنهم إذا بدأت باكورة
أشجارهم؛ أتوا بها رسول الله - صلى الله عليه وسلم -، فَبَرَّكَ
عليها، ونظر إلى أصغر وليد عنده، فأعطاه ذلك؛ علماً منه بشدة
تشوفه لذلك، وهذا كله مع إمكان الإعطاء؛ فإن لم يمكن ذلك لكونه
حقَّ سفهاء أو ثَمَّ أهمُّ من ذلك؛ فليقولوا لهم
{قولاً معروفاً}؛ يردُّونهم ردًّا
جميلا بقول حسن غير فاحش ولا قبيح.
(8) Ini adalah di antara
ketentuan-ketentuan Allah yang baik lagi luhur dan menghibur
hati, di mana Dia berfirman,﴾ وَإِذَا حَضَرَ ٱلۡقِسۡمَةَ
﴿ "Dan apabila sewaktu pembagian itu hadir," yaitu, pembagian
harta warisan ﴾
أُوْلُواْ ٱلۡقُرۡبَىٰ
﴿ "kerabat," yaitu, sanak famili yang tidak termasuk ahli
waris, dengan landasan Firman Allah, ﴾
ٱلۡقِسۡمَةَ
﴿ "se-waktu pembagian"; karena para ahli waris adalah
orang-orang yang mendapat bagian, ﴾
وَٱلۡيَتَٰمَىٰ وَٱلۡمَسَٰكِينُ
﴿ "anak yatim dan orang miskin," yaitu, orang-orang yang
berhak (menerima sedekah) dari
orang-orang fakir, ﴾
فَٱرۡزُقُوهُم مِّنۡهُ
﴿ "maka berilah mereka dari harta itu
(sekedar-nya)," maksudnya, berikanlah
mereka ala kadarnya dari harta ter-sebut yang kalian dapatkan
tanpa usaha, tanpa lelah, tanpa susah, dan tanpa perjuangan,
karena sesungguhnya jiwa mereka menatap kepadanya dan hati
mereka memandangnya. Karena itu, hiburlah hati mereka dengan
sesuatu yang tidak memudharatkan kalian dan bermanfaat bagi
mereka. Dengan demikian dapat diambil suatu hal dari makna
tersebut, bahwa setiap orang yang memandang dan menyaksikan
apa yang ada di tangan manusia, seyogyanya diberi-kan
kepadanya sekedarnya dari hal tersebut, sebagaimana Nabi ﷺ
bersabda, إِذَا جَاءَ أَحَدَكُمْ خَادِمُهُ بِطَعَامِهِ،
فَلْيُجْلِسْهُ مَعَهُ، فَإِنْ لَمْ يُجْلِسْهُ فَلْيُنَاوِلْهُ
لُقْمَةً أَوْ لُقْمَتَيْنِ. "Apabila datang kepada salah
seorang di antara kalian pembantu-nya membawa makanannya, maka
persilahkanlah ia turut duduk bersa-manya, namun bila ia tidak
mempersilahkannya ikut duduk bersamanya, maka berikanlah
kepadanya satu atau dua suap,"[2] atau
seperti yang beliau ﷺ sabdakan. "Dan dahulu para sahabat رضي
الله عنهم apabila telah tampak pohon mereka mulai berbuah,
mereka menghadirkannya kepada Rasulullah ﷺ lalu beliau
mendoakan agar mendapat berkah lalu beliau melihat kepada
anak-anak yang paling kecil di hadapannya dan memberikan buah
tersebut kepada-nya."[3],
[4] Hal itu karena beliau sangat
mengetahui kalau anak kecil itu sangat menginginkan buah
tersebut. Kondisi ini adalah bila keada-annya memungkinkan
untuk diberikan, namun bila hal tersebut tidak mungkin
diberikan, karena merupakan hak dari orang-orang yang tidak
mampu membelanjakan hartanya dengan baik atau suatu hal yang
lebih penting dari itu, maka harus dikatakan kepada mereka
﴾
قَوۡلٗا مَّعۡرُوفٗا ﴿ "perkataan yang baik," menolak mereka
dengan penolakan yang baik, perkataan yang lembut tanpa kata
yang keji dan kotor.
{وَلْيَخْشَ الَّذِينَ لَوْ تَرَكُوا مِنْ خَلْفِهِمْ
ذُرِّيَّةً ضِعَافًا خَافُوا عَلَيْهِمْ فَلْيَتَّقُوا اللَّهَ
وَلْيَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا
(9) إِنَّ الَّذِينَ يَأْكُلُونَ
أَمْوَالَ الْيَتَامَى ظُلْمًا إِنَّمَا يَأْكُلُونَ فِي
بُطُونِهِمْ نَارًا وَسَيَصْلَوْنَ سَعِيرًا
(10)}
.
"Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang sean-dainya
meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang
mereka khawatir terhadap
(kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu
hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka
mengucapkan perkataan yang benar. Sesungguhnya orang-orang yang
memakan harta anak yatim secara zhalim, sebenarnya mereka itu
menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api
yang menyala-nyala
(neraka)."
(An-Nisa`: 9-10).
#
{9} قيل: إن هذا خطاب لمن يحضُرُ
من حَضَرَهُ الموت، وأجنف في وصيته أن يأمره بالعدل في وصيته
والمساواة فيها؛ بدليل قوله:
{وليقولوا قولاً سديداً}؛
أي:
سداداً موافقاً للقسط والمعروف، وأنهم يأمرون من يريد الوصية على
أولاده بما يحبُّون معاملةَ أولادهم بعدهم.
وقيل:
إن المراد بذلك أولياء السفهاء من المجانين والصغار والضعاف أن
يعاملوهم في مصالحهم الدينية والدنيوية بما يحبون أن يعامل به
مَنْ بعدهم مِنْ ذُرِّيَّتهم الضعاف؛
{فليتقوا الله}: في ولايتهم
لغيرهم؛ أي: يعاملونهم بما فيه تقوى
الله من عدم إهانتهم والقيام عليهم وإلزامهم لتقوى الله.
(9) Sebuah pendapat berkata, dialog ini
ditujukan kepada orang yang menjenguk seseorang yang sedang
sekarat dan ia ber-laku berat sebelah dalam wasiatnya agar orang
yang menjenguk itu memerintahkan kepadanya untuk adil dalam
wasiatnya ter-sebut dan berlaku sama rata. Dengan dalil Firman
Allah سبحانه وتعالى, ﴾ وَلۡيَقُولُواْ قَوۡلٗا سَدِيدًا
﴿ "Dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar,"
yaitu, yang lurus dan sesuai dengan keadilan dan kebaikan, dan
bahwasanya mereka memerintahkan orang yang hendak memberi-kan
wasiat terhadap anak-anaknya dengan perkara seperti yang
mereka sukai dalam bermuamalah terhadap anak-anak mereka
setelah kematian mereka sendiri. Pendapat lain berkata, yang
dimaksudkan dalam ayat itu adalah para wali orang-orang yang
tidak mampu membelanjakan harta dengan baik dari orang gila,
anak kecil, dan orang-orang lemah; agar para wali itu
bermuamalah terhadap mereka dalam hal-hal yang bermanfaat bagi
mereka, baik agama maupun dunia mereka sebagaimana mereka
menginginkan mereka bermuamalah terhadap orang-orang yang
lemah yang datang setelah mereka dari keturunan mereka.
﴾
فَلۡيَتَّقُواْ ٱللَّهَ ﴿ "Oleh sebab itu hendaklah mereka
bertakwa kepada Allah," dalam status mereka sebagai wali bagi
orang lain, artinya yang memperlakukan mereka dalam suasana
takwa kepada Allah tanpa menghina mereka, mengurus mereka dengan
baik, dan mengharuskan mereka agar bertakwa kepada Allah.
#
{10} ولما أمرهم بذلك زجرهم عن أكل
أموال اليتامى وتوعَّد على ذلك أشد العذاب،
فقال:
{إنَّ الذين يأكلون أموال اليتامى ظلماً}؛ أي: بغير حق، وهذا القيد يخرُجُ به
ما تقدَّم من جواز الأكل للفقير بالمعروف، ومن جواز خلط طعامهم
بطعام اليتامى؛ فمن أكلها ظُلماً؛ فإنما
{يأكلون في بطونهم ناراً}؛
أي:
فإن الذي أكلوه نار تتأجَّج في أجوافهم، وهم الذين أدخلوه في
بطونهم، {وسيصلون سعيراً}؛
أي:
ناراً محرقة متوقدة. وهذا أعظم وعيد ورد في الذنوب يدل على شناعة
أكل أموال اليتامى وقُبحها وأنها موجبة لدخول النار، فدلَّ ذلك
أنها من أكبر الكبائر، نسأل الله العافية.
(10) Dan ketika Allah memerintahkan para
wali kepada hal tersebut, Allah mengingatkan mereka agar tidak
memakan harta anak yatim, dan mengancam orang yang memakannya
dengan se-keras-keras siksaan, seraya berfirman, ﴾ إِنَّ
ٱلَّذِينَ يَأۡكُلُونَ أَمۡوَٰلَ ٱلۡيَتَٰمَىٰ ظُلۡمًا
﴿ "Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim
secara zhalim" maksudnya, tanpa hak. Ketentuan ini
(yaitu memakan harta anak yatim dengan zhalim), tidak termasuk di dalamnya apa yang telah lewat sebelumnya,
yaitu bolehnya seorang yang fakir untuk memakannya secara
ma'ruf, dan bolehnya makanan pribadinya bercampur dengan
makanan anak yatim. Barangsiapa yang me-makannya dengan
zhalim, sesungguhnya ﴾
يَأۡكُلُونَ فِي بُطُونِهِمۡ نَارٗاۖ
﴿ "mereka itu menelan api sepenuh perutnya," yaitu
sesungguhnya apa yang mereka makan itu adalah api yang
menyala-nyala dalam perut mereka, dan mereka sendirilah yang
memasukkan api itu dalam perut-perut mereka. ﴾
وَسَيَصۡلَوۡنَ سَعِيرٗا ﴿ "Dan mereka akan masuk ke dalam api
yang menyala-nyala
(neraka)," yaitu, api
yang membakar dan menyala-nyala. Ini merupakan ancaman yang
paling besar yang ditetapkan terhadap suatu dosa, yang
menunjukkan akan keji dan jeleknya memakan harta anak yatim dan
bahwa perbuatan itu mengakibat-kan pelakunya masuk ke dalam api
neraka. Dan itu menunjukkan bahwa perbuatan tersebut termasuk
dalam dosa-dosa yang besar. Kita memohon keselamatan kepada
Allah.
{يُوصِيكُمُ اللَّهُ فِي أَوْلَادِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ
حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ فَإِنْ كُنَّ نِسَاءً فَوْقَ
اثْنَتَيْنِ فَلَهُنَّ ثُلُثَا مَا تَرَكَ وَإِنْ كَانَتْ
وَاحِدَةً فَلَهَا النِّصْفُ وَلِأَبَوَيْهِ لِكُلِّ وَاحِدٍ
مِنْهُمَا السُّدُسُ مِمَّا تَرَكَ إِنْ كَانَ لَهُ وَلَدٌ
فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ وَلَدٌ وَوَرِثَهُ أَبَوَاهُ
فَلِأُمِّهِ الثُّلُثُ فَإِنْ كَانَ لَهُ إِخْوَةٌ فَلِأُمِّهِ
السُّدُسُ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِي بِهَا أَوْ دَيْنٍ
آبَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ لَا تَدْرُونَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ
لَكُمْ نَفْعًا فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ
عَلِيمًا حَكِيمًا (11) وَلَكُمْ
نِصْفُ مَا تَرَكَ أَزْوَاجُكُمْ إِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُنَّ
وَلَدٌ فَإِنْ كَانَ لَهُنَّ وَلَدٌ فَلَكُمُ الرُّبُعُ مِمَّا
تَرَكْنَ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِينَ بِهَا أَوْ دَيْنٍ
وَلَهُنَّ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْتُمْ إِنْ لَمْ يَكُنْ
لَكُمْ وَلَدٌ فَإِنْ كَانَ لَكُمْ وَلَدٌ فَلَهُنَّ الثُّمُنُ
مِمَّا تَرَكْتُمْ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ تُوصُونَ بِهَا أَوْ
دَيْنٍ وَإِنْ كَانَ رَجُلٌ يُورَثُ كَلَالَةً أَوِ امْرَأَةٌ
وَلَهُ أَخٌ أَوْ أُخْتٌ فَلِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا
السُّدُسُ فَإِنْ كَانُوا أَكْثَرَ مِنْ ذَلِكَ فَهُمْ
شُرَكَاءُ فِي الثُّلُثِ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصَى بِهَا
أَوْ دَيْنٍ غَيْرَ مُضَارٍّ وَصِيَّةً مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ
عَلِيمٌ حَلِيمٌ (12)}
.
"Allah mensyariatkan bagimu tentang
(pembagian pusaka untuk)
anak-anakmu.
Yaitu: Bagian seorang anak
lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan; dan jika
anak itu se-muanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka
dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan
itu seorang saja, maka ia memperoleh separuh harta. Dan untuk
dua orang ibu-bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta
yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika
orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh
ibu-bapaknya
(saja), maka ibunya
mendapat sepertiga; jika yang me-ninggal itu mempunyai beberapa
saudara, maka ibunya mendapat seperenam.
(Pembagian-pembagian tersebut di atas)
sesudah di-penuhi wasiat yang ia buat atau
(dan) sesudah dibayar hutangnya.
(Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu,
kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat
(banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah
ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi
Mahabijaksana. Dan bagimu
(suami-suami) seperdua dari harta yang
ditinggalkan oleh istri-istrimu, jika mereka tidak mempunyai
anak. Jika istri-istrimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat
seperempat dari harta yang diting-galkannya sesudah dipenuhi
wasiat yang mereka buat atau
(dan) sesudah dibayar hutangnya. Para
istri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu
tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para istri
memperoleh seper-delapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah
dipenuhi wasiat yang kamu buat atau
(dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu.
Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak
meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempu-nyai
seorang saudara laki-laki
(seibu saja) atau seorang saudara
perempuan
(seibu saja), maka bagi
masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta.
Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka
mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi
wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan
tidak memberi mudharat
(kepada ahli waris).
(Allah menetapkan yang demikian itu sebagai)
syariat yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui
lagi
Maha Penyantun."
(An-Nisa`: 11-12). Ayat-ayat ini dan ayat pada akhir surat ini adalah ayat-ayat
tentang warisan yang mengandung penjelasannya, ditambah hadits
Abdullah bin Abbas رضي الله عنهما yang termaktub dalam Shahih
al-Bukhari, أَلْحِقُوا الْفَرَائِضَ بِأَهْلِهَا، فَمَا بَقِيَ
فَهُوَ لِأَوْلَى رَجُلٍ ذَكَرٍ. "Serahkan warisan yang telah
ditetapkan itu kepada orangnya yang berhak, dan bila tersisa,
maka untuk para kerabat laki-laki."[5]
Semua dalil di atas mengandung sebagian besar hukum-hukum
warisan, bahkan seluruhnya sebagaimana yang akan Anda lihat
nantinya, kecuali warisan untuk nenek,
(ibunya ibu atau ibu-nya bapak), karena
tidak tersebutkan dalam dalil-dalil di atas. Akan tetapi
terdapat riwayat shahih dalam as-Sunan[6]
dari al-Mughirah bin Syu'bah dan Muhammad bin Maslamah
bahwasanya Nabi ﷺ memberikan kepada nenek seperenam ditambah
dengan adanya ijma' para ulama atas hal tersebut.
#
{11} فقوله تعالى:
{يوصيكم الله في أولادكم}؛
أي:
أولادكم يا معشر الوالدين عندكم ودائع قد وصاكم الله عليهم
لتقوموا بمصالحهم الدينيَّة والدنيويَّة، فتعلِّمونهم
وتؤدِّبونهم وتكفُّونهم عن المفاسد وتأمرونَهم بطاعة الله
وملازمة التقوى على الدوام؛
كما قال تعالى:
{يا أيُّها الذين آمنوا قوا أنفسكم وأهليكم ناراً وَقودها
الناس والحجارةُ}؛ فالأولاد عند والِديهم موصىً بهم؛ فإمَّا أن يقوموا بتلك
الوصية؛ فلهم جزيل الثواب، وإمَّا أن يضيِّعوها؛ فيستحقوا بذلك
الوعيد والعقاب. وهذا مما يدلُّ على أن الله تعالى أرحم بعباده
من الوالِدينِ، حيث أوصى الوالِدينِ مع كمال شفقتهم عليهم. ثم
ذكر كيفية إرثهم، فقال:
{للذكر مثل حظ الأنثيين}؛
أي:
الأولاد للصلب والأولاد للابن، للذكر مثل حظِّ الأنثيين إن لم
يكن معهم صاحبُ فرض، أو ما أبقت الفروض يقتسمونه كذلك، وقد أجمع
العلماء على ذلك، وأنه مع وجود أولاد الصلب؛ فالميراث لهم، وليس
لأولاد الابن شيء؛ حيث كان أولاد الصلب ذكوراً وإناثاً. هذا مع
اجتماع الذكور والإناث. وهنا حالتان:
انفراد الذكور. وسيأتي حكمها، وانفراد الإناث.
وقد ذكره بقوله:
{فإن كنَّ نساءً فوق اثنتين}؛
أي:
بنات صلب أو بنات ابن ثلاثاً فأكثر؛
{فلهن ثلثا ما ترك وإن كانت واحدة}؛ أي: بنتاً أو بنت ابن؛
{فلها النصف}. وهذا إجماع.
بقي أن يُقال:
من أين يُستفاد أنَّ للابنتين الثِّنْتَيْنِ الثلثين بعد الإجماع
على ذلك؟ فالجواب: أنه يستفاد من قوله:
{إن كانت واحدةً فلها النصف}؛
فمفهوم ذلك أنه إن زادت على الواحدة؛ انتقل الفرض عن النصف، ولا
ثَمَّ بعده إلا الثلثان. وأيضاً؛ فقوله:
{للذكر مثل حظ الأنثيين}: إذا
خلَّفَ ابناً وبنتاً؛ فإن الابن له الثلثان، وقد أخبر الله أنه
مثل حظ الأنثيين، فدلَّ ذلك على أن للبنتين الثلثين. وأيضاً؛ فإن
البنت إذا أخذت الثلث مع أخيها وهو أزيد ضرراً عليها من أختها،
فأخْذُها له مع أختها من باب أولى وأحرى. وأيضاً؛
فإن قوله تعالى في الأختين:
{فإن كانتا اثنتينِ فلهما الثلثانِ مما ترك}: نصٌّ في الأختين الثنتين؛ فإذا كان الأختان الثنتان مع بعدهما
يأخذان الثلثين؛ فالابنتان مع قربهما من باب أولى وأحرى. وقد
أعطى النبيُّ - صلى الله عليه وسلم - ابنتي سعد الثلثين؛ كما في
«الصحيح».
بقي أن يُقال:
فما الفائدة في قوله:
{فوق اثنتين}؟
قيل:
الفائدة في ذلك والله أعلم: أنه لِيُعْلَمَ أن الفرض الذي هو
الثلثان لا يزيد بزيادتهن على الثنتين، بل من الثنتين فصاعداً.
ودلت الآية الكريمة أنه إذا وُجِدَ بنتُ صلبٍ واحدة وبنتُ ابن أو
بناتُ ابن؛ فإن لبنت الصلب النصف، ويبقى من الثلثين اللذين
فرضهما الله للبنات أو بنات الابن السدس، فيعطى بنت الابن أو
بنات الابن، ولهذا يسمى هذا السدس تكملةَ الثلثين. ومثل ذلك بنت
الابن مع بنات الابن اللاتي أَنْزَلُ منها.
وتدلُّ الآية أنه متى استغرقَ البناتُ أو بناتُ الابن
الثلثين:
أنه يسقُطُ من دونهنَّ من بنات الابن؛ لأن الله لم يفرض لهن إلا
الثلثين، وقد تم؛ فلو لم يسقطن؛ لزم من ذلك أن يفرضَ لهنَّ أزيدُ
من الثلثين، وهو خلاف النص. وكل هذه الأحكام مجمع عليها بين
العلماء، ولله الحمد. ودل قوله:
{مما ترك}: أن الوارثين يرثون كل
ما خلف الميت من عقار وأثاث وذهب وفضة وغير ذلك، حتى الدية التي
لم تجب إلا بعد موته، وحتى الديون التي في الذمة. ثم ذكر ميراث
الأبوين، فقال:
{ولأبويه}؛
أي:
أبوه وأمه،
{لكل واحد منهما السدس مما ترك إن كان له ولد}؛ أي: ولد صلب أو ولد ابن ذكراً كان أو
أنثى واحداً أو متعدداً: فأما الأم؛ فلا تزيد على السدس مع أحد
من الأولاد، وأما الأب؛ فمع الذكور منهم لا يستحق أزيد من السدس؛
فإن كان الولد أنثى أو إناثاً، ولم يبق بعد الفرض شيء؛ كأبوين
وابنتين؛ لم يبق له تعصيب، وإن بقي بعد فرض البنت أو البنات شيء؛
أخذ الأب السدس فرضاً والباقي تعصيباً؛ لأننا ألحقنا الفروض
بأهلها؛ فما بقي؛ فلأولى رجل ذكر، وهو أولى من الأخ والعم
وغيرهما.
{فإن لم يكن له ولدٌ وورثه أبواه فلأمه الثلث}؛ أي: والباقي للأب؛ لأنه أضاف المال
إلى الأب والأم إضافة واحدة، ثم قدر نصيب الأم، فدل ذلك على أن
الباقي للأب، وعُلم من ذلك أن الأب مع عدم الأولاد لا فرضَ له،
بل يرث تعصيباً المالَ كلَّه، أو ما أبقت الفروض. لكن لو وُجِدَ
مع الأبوين أحدُ الزوجين ـ ويعبَّر عنهما بالعمريَّتين ـ؛ فإن
الزوج أو الزوجة يأخذ فرضه، ثم تأخذ الأم ثلث الباقي والأب
الباقي، وقد دل على ذلك قوله:
{وورثه أبواه فلأمه الثلث}؛
أي:
ثلث ما ورثه الأبوان،
وهو في هاتين الصورتين:
إما سدس في زوج وأم وأب، وإما ربع في زوجة وأم وأب،
فلم تدل الآية على إرث الأم ثلث المال كاملاً مع عدم الأولاد
حتى يقالَ:
إنَّ هاتين الصورتين قد اسْتُثنِيتا من هذا. ويوضح ذلك أن الذي
يأخذه الزوج أو الزوجة بمنزلة ما يأخذه الغرماء، فيكون من رأس
المال، والباقي بين الأبوين. ولأنَّا لو أعطينا الأم ثلث المال؛
لزم زيادتها على الأب في مسألة الزوج أو أخذ الأب في مسألة
الزوجة زيادة عنها نصف السدس، وهذا لا نظير له؛ فإن المعهود
مساواتها للأب أو أخذه ضعف ما تأخذه الأم.
{فإن كان له إخوة فلأمه السدس}:
أشقاء أو لأب أو لأم ذكوراً كانوا أو إناثاً وارثين أو محجوبين
بالأب أو الجد. لكن قد يُقال: ليس ظاهر
قوله: {فإن كان له إخوة}: شاملاً
لغير الوارثين، بدليل عدم تناولها للمحجوب بالنصف؛ فعلى هذا لا
يحجبها عن الثلث من الإخوة إلا الإخوة الوارثون. ويؤيده أن
الحكمة في حجبهم لها عن الثلث لأجل أن يتوفَّر لهم شيء من المال،
وهو معدوم. والله أعلم. ولكن بشرط كونهم اثنين فأكثر. ويشكل على
ذلك إتيان لفظ الإخوة بلفظ الجمع. وأجيب عن ذلك بأن المقصود مجرد
التعدد لا الجمع، ويصدق ذلك باثنين، وقد يطلق الجمع ويراد به
الاثنان؛
كما في قوله تعالى عن داود وسليمان:
{وكُنَّا لِحُكْمِهم شاهدين}.
وقال في الإخوة للأم:
{وإن كان رجل يورَث كَلالةً أو امرأةٌ وله أخ أو أختٌ فلكل
واحد منهما السدس فإن كانوا أكثر من ذلك فهم شركاء في
الثلث}: فأطلق لفظ الجمع، والمراد به اثنان فأكثر بالإجماع. فعلى هذا؛
لو خلَّف أمًّا وأباً وإخوةً؛ كان للأم السدس والباقي للأب،
فحجبوها عن الثلث مع حجب الأب إياهم؛ إلا على الاحتمال الآخر؛
فإن للأم الثلث والباقي للأب.
ثم قال تعالى:
{من بعد وصية يوصى بها أو دين}؛ أي: هذه الفروض والأنصباء والمواريث،
إنما ترد وتستحق بعد نزع الديون التي على الميت لله أو للآدميين،
وبعد الوصايا التي قد أوصى الميت بها بعد موته؛ فالباقي عن ذلك
هو التركة الذي يستحقه الورثة. وقدم الوصية مع أنها مؤخرة عن
الدين للاهتمام بشأنها لكون إخراجها شاقًّا على الورثة، وإلاَّ؛
فالديون مقدَّمة عليها، وتكون من رأس المال، وأما الوصية؛ فإنها
تصح من الثلث فأقل للأجنبي الذي هو غير وارث، وأما غير ذلك؛ فلا
ينفذ إلا بإجازة الورثة. قال تعالى:
{آباؤكم وأبناؤكم لا تدرون أيهم أقرب لكم نفعاً}؛ فلو رُدَّ تقدير الإرث إلى عقولكم واختياركم؛ لحصل من الضرر
ما الله به عليم؛ لِنَقْصِ العقولِ وعدم معرفتها بما هو اللائق
الأحسن في كل زمان ومكان، فلا يدرون أي الأولاد أو الوالدين أنفع
لهم وأقرب لحصول مقاصدهم الدينية والدنيوية.
{فريضة من الله إنَّ الله كان عليماً حكيماً}؛ أي: فرضها الله الذي قد أحاط بكل شيء
علماً وأحكم ما شرعه وقدَّر ما قدَّره على أحسن تقدير، لا تستطيع
العقول أن تقترح مثل أحكامه الصالحة الموافقة لكل زمان ومكان
وحال.
(11) Firman Allah سبحانه وتعالى, ﴾
يُوصِيكُمُ ٱللَّهُ فِيٓ أَوۡلَٰدِكُمۡۖ
﴿ "Allah mensya-riatkan bagimu tentang
(pembagian pusaka untuk) anak-anakmu."
Mak-sudnya, anak-anak kalian wahai para kedua orang tua, di
mana mereka itu adalah amanah bagi kalian dan sesungguhnya
Allah telah mewasiatkan mereka kepada kalian agar kalian
mengurus kemaslahatan mereka, baik agama maupun dunia mereka,
maka kalian harus mengajar mereka, mendidik mereka, dan
menghalangi mereka dari kerusakan, memerintahkan mereka untuk
taat kepada Allah dan konsisten dalam ketakwaan secara terus
menerus, seba-gaimana Allah berfirman, ﴾
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ قُوٓاْ أَنفُسَكُمۡ
وَأَهۡلِيكُمۡ نَارٗا وَقُودُهَا ٱلنَّاسُ وَٱلۡحِجَارَةُ
﴿ "Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan
keluarga-mu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia
dan batu."
(At-Tahrim: 6). Sebenarnya anak-anak telah diwasiatkan kepada orang tua
mereka, bila para orang tua menunaikan wasiat tersebut, maka
mereka mendapat balasan yang berlimpah, dan bila mereka
mela-laikannya, maka mereka berhak menerima ancaman dan
siksaan. Ini di antara yang menunjukkan bahwa Allah سبحانه
وتعالى adalah lebih Pe-nyayang terhadap hamba-hambaNya
daripada kedua orang tua, di mana Allah telah mewasiatkan
kepada kedua orang tua padahal mereka telah memiliki kasih
sayang yang begitu besar terhadap anak-anak mereka. Kemudian
Allah menyebutkan tentang tata cara pewarisan mereka. Allah
berfirman, ﴾
لِلذَّكَرِ مِثۡلُ حَظِّ ٱلۡأُنثَيَيۡنِۚ
﴿ "Bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang
anak perempuan," yaitu, anak-anak atau anak dari anak
laki-laki (cucu), bagian seorang anak
lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan bila tidak
ada seorang ahli waris yang memiliki hak tertentu, demikian
juga apa yang tersisa dari pembagian hak-hak tertentu. Para
ulama telah berijma' atas hal tersebut. Dan bahwasanya dengan
adanya anak-anak, maka harta warisan adalah milik mereka dan
tidak ada bagian sama sekali bagi anak-anak dari anak
laki-laki (cucu), di mana anak-anak
tersebut adalah laki-laki dan perempuan. Ini dengan bersatunya
laki-laki dan perempuan. Dalam hal ini ada dua kondisi; hanya
laki-laki saja, dan akan datang ketentuannya dan hanya
perempuan saja. Allah telah me-nyebutkan hal itu dalam
FirmanNya, ﴾
فَإِن كُنَّ نِسَآءٗ فَوۡقَ ٱثۡنَتَيۡنِ
﴿ "Dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua,"
yaitu, anak perempuan atau anak perempuan dari anak laki-laki
(cucu perempuan) tiga orang atau
lebih, ﴾
فَلَهُنَّ ثُلُثَا مَا تَرَكَۖ وَإِن كَانَتۡ وَٰحِدَةٗ
﴿ "maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan.
Jika anak perempuan itu seorang saja," yaitu, seorang anak
perempuan atau anak perempuan dari anak laki-laki,
(cucu perempuan), ﴾
فَلَهَا ٱلنِّصۡفُۚ
﴿ "maka ia memperoleh separuh harta," ini merupakan ijma'.
Penting ditanyakan, dari mana diambil dasar hukum bagi dua
orang anak perempuan mendapatkan duapertiga setelah adanya
ijma' akan hal tersebut? Maka jawabannya adalah; bahwasanya
itu diambil dari Firman Allah, ﴾
وَإِن كَانَتۡ وَٰحِدَةٗ فَلَهَا ٱلنِّصۡفُۚ
﴿ "Jika anak pe-rempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh
separuh harta." Itu artinya, jika lebih dari satu maka hak
tertentu itu beralih dari setengah dan urutan persentase
setelah (setengah) tersebut adalah dua
pertiga. Demikian juga Firman Allah, ﴾
لِلذَّكَرِ مِثۡلُ حَظِّ ٱلۡأُنثَيَيۡنِۚ
﴿ "Bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang
anak perempuan," apabila seseorang meninggalkan seorang anak
laki-laki dan seorang anak perempuan, maka anak laki-laki itu
mendapatkan dua pertiga. Dan Allah سبحانه وتعالى telah
mengabarkan bahwa bagian anak laki-laki itu seperti bagian dua
anak perempuan, dengan demikian itu menunjukkan bahwa dua anak
perempuan mendapatkan dua pertiga. Begitu juga seorang anak
perempuan apabila mendapatkan bagian sepertiga bersama saudara
laki-lakinya padahal ia lebih besar kemudharat-annya daripada
saudara lainnya yang perempuan, maka bagian sepertiga itu
bersama saudara lain yang perempuan adalah lebih utama dan
lebih patut. Demikian juga Firman Allah تعالى tentang dua
saudara perempuan, ﴾
فَإِن كَانَتَا ٱثۡنَتَيۡنِ فَلَهُمَا ٱلثُّلُثَانِ مِمَّا تَرَكَۚ
﴿ "Tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi
keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang
meninggal."
(An-Nisa`: 176). Itu adalah sebuah nash yang jelas tentang dua saudara
perem-puan. Maka apabila dua orang saudara perempuan itu
dengan jauhnya jarak mereka mendapatkan dua pertiga, maka dua
anak perempuan dengan dekatnya jarak adalah lebih utama dan
lebih patut. Nabi ﷺ telah memberikan kedua orang anak
perempuan Sa'd dua pertiga, sebagaimana yang termaktub dalam
kitab ash-Shahih[7]. Lalu apa faidah
dari Firman Allah, ﴾
فَوۡقَ ٱثۡنَتَيۡنِ
﴿ "Lebih dari dua?" Faidah Firman Allah itu -dan hanya Allah
yang lebih Me-ngetahuinya- adalah agar diketahui bahwa hak
tertentu yaitu dua pertiga tersebut tidaklah bertambah dengan
bertambahnya jumlah mereka lebih dari dua orang, akan tetapi
jumlah tersebut untuk dua orang atau lebih. Ayat ini
menunjukkan bahwa apabila didapatkan seorang anak perempuan
dan satu atau beberapa anak perempuan dari anak laki-laki
(cucu), maka anak perempuan itu
mendapatkan setengah dan tersisa dari dua pertiga yang telah
ditetapkan oleh Allah bagi anak-anak perempuan atau anak-anak
perempuan dari anak laki-laki
(cucu) seperenam, lalu diberikanlah
bagian itu kepada seorang anak atau beberapa anak perempuan
dari anak laki-laki (cucu). Oleh
karena itu bagian seperenam tersebut dinamakan pe-lengkap bagi
dua pertiga. Kondisi seperti itu terjadi juga bagi anak
perempuan dari anak laki-laki
(cucu) bersama anak-anak perem-puan
dari anak laki-laki
(anaknya cucu) yang lebih bawah
darinya. Ayat ini juga menunjukkan bahwa ketika anak-anak
perem-puan itu atau anak-anak perempuan dari anak laki-laki
itu telah mengambil seluruh bagian dua pertiga itu, maka
hilanglah bagian selain mereka
(di bawah mereka) dari anak-anak
perempuan dari anak laki-laki, karena Allah سبحانه وتعالى
tidak menetapkan bagian mereka kecuali dua pertiga saja dan
bagian itu telah habis mereka ambil. Sekiranya mereka tidak
gugur haknya, niscaya hal itu mengakibat-kan ditetapkannya
bagi mereka lebih banyak lagi dari dua pertiga, dan hal itu
bertentangan dengan nash yang ada. Ketentuan hukum-hukum
tersebut telah disepakati oleh para ulama, dan segala pujian
hanya bagi Allah. Firman Allah, ﴾
مِمَّا تَرَكَ
﴿ "Dari harta yang ditinggalkan" menun-jukkan bahwa seluruh
ahli waris mewarisi apa yang ditinggalkan oleh seorang yang
meninggal, berupa rumah, perabot, emas, perak, ataupun
lainnya, hingga diyat (denda) yang
belum terlaksana kecuali setelah ia meninggal, juga
hutang-hutang yang dipikulnya. Kemudian Allah menyebutkan
warisan kedua orang tua, dalam FirmanNya, ﴾
وَلِأَبَوَيۡهِ
﴿ "Dan untuk dua orang ibu-bapak," yaitu ayah orang yang
meninggal atau ibunya, ﴾
لِكُلِّ وَٰحِدٖ مِّنۡهُمَا ٱلسُّدُسُ مِمَّا تَرَكَ إِن كَانَ
لَهُۥ وَلَدٞۚ
﴿ "bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang
ditinggal-kan, jika yang meninggal itu mempunyai anak," yaitu,
anak-anak si mayit atau cucu-cucunya dari anak laki-lakinya,
yang laki-laki maupun perempuan, seorang ataupun banyak.
Adapun ibu, ia mendapat tidak lebih dari seperenam bersama
dengan adanya salah seorang dari anak-anak si mayit, sedang
ayah, dengan adanya be-berapa anak laki-laki tidak berhak
mendapat lebih dari seperenam. Apabila anak tersebut seorang
perempuan atau beberapa perem-puan dan tidak ada lagi warisan
yang tersisa setelah pembagian hak-hak yang tertentu, seperti
kedua orang tua dan dua orang anak perempuan, maka mereka
tidak mempunyai bagiannya lagi dari 'Ashabah
(sisa pembagian), dan apabila masih
tersisa setelah pem-bagian hak seorang anak perempuan atau
beberapa anak perem-puan, maka ayah mendapatkan seperenam
karena hak tertentu dan sisa pembagian karena 'Ashabah. Hal
itu karena kita telah membe-rikan hak-hak tertentu kepada
pemiliknya, dan apa yang tersisa darinya maka yang lebih
berhak adalah yang laki-laki, dan ayah lebih berhak lebih
dahulu daripada saudara si mayit, pamannya, atau yang lainnya.
﴾
فَإِن لَّمۡ يَكُن لَّهُۥ وَلَدٞ وَوَرِثَهُۥٓ أَبَوَاهُ
فَلِأُمِّهِ ٱلثُّلُثُۚ
﴿ "Jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia
diwarisi oleh ibu-bapaknya (saja),
maka ibunya mendapat sepertiga." Maksudnya, yang tersisa
adalah ayah; karena Allah menyandarkan harta kepada ayah,
sedang ibu hanya dengan satu kali sandaran saja. Kemudian
Allah menentukan hak bagian ibu. Itu menunjukkan bahwa sisanya
adalah hak ayah. Dengan demikian diketahui bahwa ayah dalam
kondisi tidak adanya anak-anak dari si mayit tidak memiliki
hak tertentu, akan tetapi ia me-warisi dengan cara 'Ashabah
seluruh harta atau apa-apa yang tersisa dari pembagian hak-hak
yang tertentu. Akan tetapi apabila didapatkan bersama kedua
orang tua salah seorang dari suami atau istrinya dari si mayit
-yang diistilah-kan dengan sebutan Umariyatain- maka suami
atau istri mengambil haknya yang tertentu, kemudian ibu
mengambil sepertiga dari sisa pembagian itu dan ayah mendapat
sisanya. Ini berlandaskan Firman Allah, ﴾
وَوَرِثَهُۥٓ أَبَوَاهُ فَلِأُمِّهِ ٱلثُّلُثُۚ
﴿ "Dan ia diwarisi oleh ibu bapaknya
(saja), maka ibunya mendapat
sepertiga," yaitu, sepertiga dari apa yang akan diwarisi oleh
kedua orang tua tersebut.
Dan itu terwujud dalam kedua kondisi berikut:
Seperenam pada kondisi
(yang men-jadi ahli waris adalah)
suami, ayah dan ibu atau seperempat pada kondisi
(yang mewarisi adalah) istri, ayah dan
ibu. Ayat itu tidak menunjukkan bahwa ibu mewarisi sepertiga
dari harta secara penuh dengan tidak adanya anak-anak si
mayit, hingga dikatakan, sesungguhnya kedua kondisi itu telah
dikecuali-kan dari hal tersebut. Dan penjelasan dari hal itu
adalah bahwa apa yang diambil oleh suami atau istri seperti
apa yang diambil oleh orang-orang yang memiliki hutang atas si
mayit, yaitu diambil dari jumlah harta si mayit secara
keseluruhan, dan sisa dari itu adalah hak kedua orang tua. Dan
didasari pula oleh karena bila kita memberikan ke-pada ibu
sepertiga harta warisan, pastilah bagian ibu lebih banyak dari
ayah pada kondisi adanya suami, atau ayah akan mengambil pada
kondisi adanya istri lebih banyak dari ibu setengah dari
se-perenam. Ini tidak ada kesamaannya, dan yang seharusnya
adalah persamaannya dengan ayah atau ayah mengambil dua kali
lipat dari apa yang diambil oleh ibu. ﴾
فَإِن كَانَ لَهُۥٓ إِخۡوَةٞ فَلِأُمِّهِ ٱلسُّدُسُۚ
﴿ "Jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka
ibunya mendapat seperenam," baik saudara kandung atau seayah
atau seibu, laki-laki maupun perempuan, yang mendapat warisan
atau terhalang mendapat warisan dengan adanya ayah atau kakek.
Akan tetapi mungkin akan dikatakan oleh sebagian orang, bahwa
Firman Allah, ﴾
فَإِن كَانَ لَهُۥٓ إِخۡوَةٞ
﴿ "Jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara" tidak
secara zahir men-cakup orang-orang yang tidak mendapat
warisan, dengan dalil bahwa dalam ayat itu tidak terkandung
orang yang terhalang oleh orang yang berhak mendapat setengah.
Dengan demikian saudara tidaklah terhalang dari sepertiga
kecuali saudara yang mendapat warisan saja. Ini didukung oleh
kenyataan bahwa hikmah terha-langnya mereka dari sepertiga
adalah agar saudara yang mewarisi itu mendapatkan sejumlah
harta yang cukup dan hal itu tidak ada. Wallahu a'lam, akan
tetapi dengan syarat jumlah mereka dua atau lebih. Hal itu
menjadi lebih rumit, karena lafazh "saudara" dalam ayat
tersebut dengan lafazh jamak. Itu dapat dijawab dengan
ke-nyataan bahwa maksud dari lafazh itu adalah hanya untuk
menun-jukkan jumlah bukan jamak, dan hal ini ditegaskan dengan
lafazh "dua," dan terkadang lafazh jamak itu dimaksudkan dan
diartikan dengan dua, sebagaimana dalam Firman Allah سبحانه
وتعالى tentang Dawud dan Sulaiman عليهما السلام, ﴾
وَكُنَّا لِحُكۡمِهِمۡ شَٰهِدِينَ 78
﴿ "Dan Kami menyaksikan keputusan yang diberikan oleh mereka
itu."
(Al-Anbiya`: 78). Dan Allah berfirman tentang saudara seibu,﴾
وَإِن كَانَ رَجُلٞ يُورَثُ كَلَٰلَةً أَوِ ٱمۡرَأَةٞ وَلَهُۥٓ
أَخٌ أَوۡ أُخۡتٞ فَلِكُلِّ وَٰحِدٖ مِّنۡهُمَا ٱلسُّدُسُۚ فَإِن
كَانُوٓاْ أَكۡثَرَ مِن ذَٰلِكَ فَهُمۡ شُرَكَآءُ فِي ٱلثُّلُثِۚ
﴿ "Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang
tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi
mempunyai se-orang saudara laki-laki
(seibu saja) atau seorang saudara
perempuan (seibu saja), maka
masing-masing dari kedua jenis saudara itu mendapatkan
seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih
dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu."
Allah menggunakan lafazh jamak, dan yang dimaksudkan adalah
dua atau lebih menu-rut ijma'. Dengan dasar ini, maka apabila
seorang mayit meninggalkan ibu, ayah dan beberapa saudara,
maka hak ibu adalah seperenam, dan sisanya adalah hak ayah.
Beberapa saudara itu menghalangi ibu mendapatkan sepertiga dan
ayah menghalangi mereka men-dapat bagian, kecuali dengan
adanya kemungkinan lain, yaitu hak ibu adalah sepertiga dan
sisanya adalah hak ayah.[8] Kemudian
Allah سبحانه وتعالى berfirman, ﴾
مِنۢ بَعۡدِ وَصِيَّةٖ يُوصَىٰ بِهَآ أَوۡ دَيۡنٍ
﴿ "Se-sudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah
dibayar hutang-nya," maksudnya, hak-hak tertentu tersebut,
bagian-bagiannya dan warisan-warisan itu sesungguhnya dapat
berlaku dan terjadi setelah dipotong oleh hutang yang
ditanggung oleh mayit; hak milik Allah atau milik manusia
lain. Dan juga setelah pelaksanaan wasiat yang telah
diwasiatkan oleh mayit setelah meninggalnya. Sisa dari itu
semualah yang menjadi harta peninggalan yang berhak diwarisi
oleh para ahli waris. Dan wasiat didahulukan dalam ayat ini
padahal pelaksana-annya diakhirkan setelah hutang agar
diperhatikan dengan baik, karena merealisasikan wasiat itu
sangatlah berat bagi para ahli waris, dan bila tidak demikian,
maka hutang-hutang adalah dida-hulukan dari wasiat, dan
diambil dari harta yang ada. Sedangkan wasiat adalah sah
dengan hanya sepertiga saja atau kurang dari itu, bagi orang
di luar keluarga yang tidak menjadi ahli waris. Selain dari
itu tidak boleh dilaksanakan kecuali dengan izin dari para
ahli waris. Allah سبحانه وتعالى berfirman, ﴾
ءَابَآؤُكُمۡ وَأَبۡنَآؤُكُمۡ لَا تَدۡرُونَ أَيُّهُمۡ أَقۡرَبُ
لَكُمۡ نَفۡعٗاۚ
﴿ "(Tentang) orang tuamu dan
anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang
lebih dekat (banyak) manfaatnya
bagimu." Sekiranya ketentuan pembagian warisan itu
dikembalikan kepada akal pikiran dan pilihan kalian, niscaya
akan terjadi kemu-dharatan di mana hanya Allah saja yang
mengetahuinya, karena tidak sempurnanya akal pikiran dan tidak
adanya pengetahuan-nya tentang hal-hal yang patut dan baik
dalam segala waktu dan tempat. Mereka tidak mengetahui anak
yang mana atau orang tua yang mana yang lebih berguna bagi
mereka dan lebih dekat kepada tercapainya tujuan-tujuan
mereka, baik agama maupun dunia. ﴾
فَرِيضَةٗ مِّنَ ٱللَّهِۗ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمٗا ﴿
"Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui lagi Mahabijaksana." Maksud-nya, telah ditentukan
oleh Allah yang meliputi segala sesuatu de-ngan ilmuNya, dan
berlaku bijaksana dalam segala syariatNya, dan menentukan apa
yang telah ditetapkanNya dengan sebaik-baik ketentuan. Akal
manusia tidaklah mampu untuk menghadirkan seperti hukum-hukumNya
yang baik dan sesuai bagi setiap zaman dan tempat, serta
kondisi.
#
{12} ثم قال تعالى:
{ولكم} أيها الأزواج
{نصف ما ترك أزواجكم إن لم يكن لهن ولد فإن كان لهن ولد فلكم
الربع مما تركن من بعد وصية يوصين بها أو دين ولهن الربع مما
تركتم إن لم يكن لكم ولد، فإن كان لكم ولد فلهن الثمن مما
تركتم من بعد وصية توصون بها أو دين}، ويدخل في مسمى الولد المشروط وجوده أو عدمه ولد الصلب، أو ولد
الابن، الذكر والأنثى، الواحد، والمتعدد الذي من الزوج أو من
غيره، ويخرج عنه ولد البنات إجماعاً.
ثم قال تعالى:
{وإن كان رجل يورث كلالة أو امرأة وله أخ أو أخت}؛ أي: من أم؛ كما هي في بعض القراءات،
وأجمع العلماء على أن المراد بالإخوة هنا الإخوة للأم؛ فإذا كان
يورث كلالة؛ أي: ليس للميت والد ولا
ولد؛ أي: لا أب ولا جد ولا ابن ولا ابن
ابن ولا بنت ولا بنت ابن وإن نزلوا، وهذه هي الكلالة كما فسرها
بذلك أبو بكر الصديق رضي الله عنه، وقد حصل على ذلك الاتفاق ولله
الحمد، {فلكل واحد منهما}؛ أي؛ من
الأخ والأخت
{السدس، فإن كانوا أكثر من ذلك}؛ أي: من واحد؛
{فهم شركاء في الثلث}؛
أي:
لا يزيدون على الثلث ولو زادوا عن اثنين.
ودل قوله:
{فهم شركاء في الثلث}: أن ذكرهم
وأنثاهم سواء؛ لأن لفظ الشريك يقتضي التسوية. ودل لفظ
{الكلالة} على أن الفروع وإن
نزلوا، والأصول الذكور وإن علوا، يسقطون أولاد الأم؛ لأن الله لم
يورثهم إلا في الكلالة؛ فلو لم يكن يورث كلالة؛ لم يرثوا منه
شيئاً اتفاقاً. ودل قوله:
{فهم شركاء في الثلث}: أن الإخوة
الأشقاء يسقطون في المسألة المسماة بالحمارية،
وهي زوج وأم وإخوة لأم وإخوة أشقاء:
للزوج النصف، وللأم السدس، وللإخوة للأم الثلث، ويسقط الأشقاء
لأن الله أضاف الثلث للإخوة من الأم؛ فلو شاركهم الأشقاء؛ لكان
جمعاً لما فرق الله حكمه. وأيضاً؛ فإن الإخوة للأم أصحاب فروض
والأشقاء عصبات، وقد قال النبي - صلى الله عليه وسلم -:
«ألحقوا الفرائض بأهلها؛ فما بقي؛ فلأولى رجل ذكر». وأهل الفروض هم الذين قدر الله أنصباءهم؛ ففي هذه المسألة لا
يبقى بعدهم شيء، فيسقط الأشقاء، وهذا هو الصواب في ذلك. وأما
ميراث الإخوة والأخوات الأشقاء أو لأب؛
فمذكور في قوله:
{يستفتونك قل الله يفتيكم في الكلالة ... }
الآية؛ فالأخت الواحدة شقيقة أو لأب لها النصف، والثنتان لهما
الثلثان، والشقيقة الواحدة مع الأخت للأب أو الأخوات تأخذ النصف
والباقي من الثلثين للأخت أو أخوات الأب وهوالسدس تكملة الثلثين،
وإذا استغرقت الشقيقات الثلثين؛ تسقط الأخوات للأب؛ كما تقدم في
البنات وبنات الابن، وإن كان الإخوة رجالاً ونساء؛ فللذكر مثل حظ
الأنثيين. فإن قيل: فهل يستفاد حكم
ميراث القاتل والرقيق والمخالف في الدين والمُبَعَّضُ والخنثى
والجد مع الإخوة لغير أُمٍّ والعَوْل والردِّ وذوي الأرحام وبقية
العَصَبة والأخوات لغير أم مع البنات أو بنات الابن من القرآن أم
لا؟ قيل: نعم فيه تنبيهات وإشارات دقيقة
يَعْسُرُ فهمُها على غير المتأمل تدلُّ على جميع المذكورات: فأما
القاتل والمخالف في الدين؛ فيُعْرَفُ أنهما غير وارثين من بيان
الحكمة الإلهية في توزيع المال على الورثة بحسَبِ قربهم ونفعهم
الديني والدنيوي،
وقد أشار تعالى إلى هذه الحكمة بقوله:
{لا تدرونَ أيُّهم أقربُ لكم نفعاً}، وقد عُلِمَ أن القاتلَ قد سعى لموروثه بأعظم الضَّرر، فلا
ينتهضُ ما فيه من موجب الإرث أن يقاوم ضرر القتل الذي هو ضد
النفع الذي رُتِّبَ عليه الإرثُ،
فُعِلمَ من ذلك أن القتل أكبر مانع يمنع الميراث ويقطع الرحم
الذي قال الله فيه:
{وأولو الأرحام بعضُهم أولى ببعضٍ في كتاب الله}،
مع أنه قد استقرَّتِ القاعدة الشرعية:
أن من استعجل شيئاً قبل أوانه؛ عوقب بحرمانه. وبهذا ونحوه
يُعْرَفُ أن المخالف لدين الموروث لا إرثَ له، وذلك أنه قد تعارض
الموجبُ الذي هو اتصال النسب الموجب للإرث والمانعُ الذي هو
المخالفة في الدين الموجبةُ للمباينة من كلِّ وجه، فقوي المانع،
ومنع موجِبَ الإرث الذي هو النسب، فلم يعمل الموجِبُ لقيام
المانع. يوضِّحُ ذلك أن الله تعالى قد جعل حقوق المسلمين أولى من
حقوق الأقارب الكفار الدنيوية؛ فإذا مات المسلم؛ انتقلَ مالُهُ
إلى من هو أولى وأحق به،
فيكون قوله تعالى:
{وأولو الأرحام بعضُهم أولى ببعض في كتاب الله}: إذا اتَّفقت أديانُهم، وأما مع تبايُنِهِم؛ فالأخوَّةُ
الدينيةُ مقدَّمة على الأخوَّة النسبيَّة المجرَّدة. قال ابن
القيم في «جلاء الأفهام»: «وتأمَّل هذا
المعنى في آية المواريث وتعليقه سبحانه التوارثَ فيها بلفظِ
الزوجة دون المرأةِ؛ كما في قوله تعالى:
{وَلكم نصفُ ما تَرَكَ أزواجكم}:
إيذانٌ بأن هذا التوارثَ إنَّما وقع بالزوجيةِ المقتضيةِ للتشاكل
والتناسب، والمؤمِنُ والكافر لا تشاكلَ بينهما ولا تناسبَ، فلا
يقع بينهما التوارثُ، وأسرار مفردات القرآن ومركباته فوق عقول
العالمين». انتهى. وأما الرقيق؛
فإنه لا يَرِثُ ولا يورث:
أما كونه لا يورث؛ فواضحٌ؛ لأنه ليس له مال يورث عنه، بل كل ما
معه فهو لسيده. وأما كونه لا يرث؛ فلأنه لا يملك؛ فإنه لو ملك
لكان لسيده، وهو أجنبيٌّ من الميت،
فيكون مثل قوله تعالى:
{للذكر مثل حظ الأنثيين}
{ولكم نصف ما ترك أزواجكم}
{فلكل واحد منهما السدس} ....
ونحوها لمن يتأتَّى منه التملُّك، وأما الرقيق؛ فلا يتأتَّى منه
ذلك، فعُلِمَ أنه لا ميراث له. وأما من بعضُهُ حرٌّ وبعضُهُ
رقيقٌ؛ فإنَّه تتبعَّض أحكامُه؛ فما فيه من الحرية يستحقُّ بها
ما رتبه الله في المواريث؛ لكون ما فيه من الحرية قابلاً
للتملُّك وما فيه من الرقِّ؛ فليس بقابل لذلك؛ فإذاً يكون
المبَعَّض يرث ويورِّث ويحجب بقدر ما فيه من الحرية، وإذا كان
العبد يكون محموداً ومذموماً مثاباً ومعاقباً بقدر ما فيه من
موجبات ذلك؛ فهذا كذلك. وأمَّا الخنثى؛ فلا يخلو إما أن يكون
واضحاً ذكوريَّته أو أنوثيَّته أو مشكلاً؛ فإن كان واضحاً؛
فالأمر فيه واضحٌ:
إن كان ذكراً؛ فله حكم الذكور، ويشمله النص الوارد فيهم، وإن
كانت أنثى؛ فلها حكم الإناث، ويشملها النص الوارد فيهن. وإن كان
مشكلاً؛ فإن كان الذكر والأنثى لا يختلف إرثهما ـ كالإخوة للأم
ـ؛ فالأمر فيه واضح، وإن كان يختلف إرثه بتقدير ذكوريَّته
وبتقدير أنوثيَّته، ولم يبق لنا طريق إلى العلم بذلك؛ لم نعطه
أكثر التقديرين لاحتمال ظلم من معه من الورثة، ولم نعطه الأقل
لاحتمال ظلمنا له، فوجب التوسُّط بين الأمرين وسلوك أعدل
الطريقين، قال تعالى:
{اعْدِلوا هو أقربُ للتقوى}؛ فليس
لنا طريق إلى العدل في مثل هذا أكثر من هذا الطريق المذكور، ولا
يكلفُ الله نفساً إلا وسعها؛ فاتقوا الله ما استطعتم. وأما ميراث
الجد مع الإخوة الأشقاء أو لأب، وهل يرثون معه أم لا؟ فقد دلَّ
كتاب الله على قول أبي بكر الصديق رضي الله عنه ، وأن الجد يحجب
الإخوة أشقاء أو لأب أو لأم كما يحجبهم الأبُ، وبيان ذلك أن الجد
أبٌ في غير موضع من القرآن؛
كقوله تعالى:
{إذ حَضَرَ يعقوبَ الموتُ إذ قال لبنيه ما تعبدون من بعدي
قالوا نعبد إلهك وإله آبائك إبراهيم وإسماعيل وإسحق ...
}
الآية، وقال يوسف عليه السلام:
{واتبعتُ ملة آبائي إبراهيم وإسحق ويعقوب}، فسمى الله الجدَّ وجدَّ الأب أباً، فدل ذلك على أن الجد
بمنزلة الأب، يرث ما يرثه الأب، ويحجب من يحجبه، وإذا كان
العلماء قد أجمعوا على أن الجدَّ حكمُهُ حكم الأب عند عدمه في
ميراثه مع الأولاد وغيرهم من بين الإخوة والأعمام وبنيهم وسائر
أحكام المواريث؛ فينبغي أيضاً أن يكون حكمُهُ حكمَهُ في حجب
الإخوة لغير أم، وإذا كان ابن الأب بمنزلة ابن الصلب؛ فلم لا
يكون الجد بمنزلة الأب؟ وإذا كان جد الأب مع ابن الأخ قد اتفق
العلماء على أنه يحجبه؛ فلم لا يحجب جد الميت أخاه؟ فليس مع من
يورِّث الإخوة مع الجدِّ نصٌّ ولا إشارة ولا تنبيه ولا قياس
صحيح. وأمَّا مسائل العَوْل؛ فإنه يُستفاد حكمها من القرآن، وذلك
أن الله تعالى قد فرض وقدر لأهل المواريث أنصباء،
وهم بين حالتين:
إما أن يحجب بعضهم بعضاً، أو لا؛ فإن حجب بعضهم بعضاً؛ فالمحجوب
ساقط لا يزاحم ولا يستحق شيئاً، وإن لم يحجب بعضهم بعضاً؛
فلا يخلو:
إما أن لا تستغرق الفروض التركة، أو تستغرقها من غير زيادة ولا
نقص، أو تزيد الفروض على التركة؛ ففي الحالتين الأوليين كلٌّ
يأخذ فرضَه كاملاً، وفي الحالة الأخيرة، وهي ما إذا زادت الفروض
على التركة؛ فلا يخلو من حالين: إما أن
ننقص بعض الورثة عن فرضه الذي فرضه الله له ونكمل للباقين منهم
فروضهم، وهذا ترجيحٌ بغير مرجح، وليس نقصان أحدهم بأولى من
الآخر، فتعينت الحال الثانية، وهو أننا نعطي كل واحد منهم نصيبه
بقدر الإمكان، ونحاصص بينهم؛ كديون الغرماء الزائدة على مال
الغريم، ولا طريق موصل إلى ذلك إلا بالعول، فعلم من هذا أن العول
في الفرائض قد بينه الله في كتابه. وبعكس هذه الطريقة بعينها
يُعْلَمُ الردُّ؛ فإن أهل الفروض إذا لم تستغرق فروضُهم التركة،
وبقي شيءٌ ليس له مستحقٌّ من عاصبٍ قريب ولا بعيد؛ فإن ردَّه على
أحدهم ترجيح بغير مرجِّح،
وإعطاءه غيرهم ممن ليس بقريب للميت جَنَفٌ وميل ومعارضة
لقوله:
{وأولو الأرحام بعضهم أولى ببعض في كتاب الله}، فتعيَّن أن يُرَدَّ على أهل الفروض بقدر فروضهم، ولما كان
الزوجان ليسا من القرابة؛ لم يستحق الزيادة على فرضهم المقدَّر
[عند القائلين بعدم الرد عليهم، وأما على القول الصحيح أن حكم
الزوجين حكم باقي الورثة في الرد؛ فالدليل المذكور شامل للجميع
كما شملهم دليل العول]. وبهذا يُعْلَمُ أيضاً ميراث ذوي الأرحام؛ فإنَّ الميت إذا لم
يخلِّف صاحب فرض ولا عاصباً، وبقي الأمر دائراً بين كون ماله
يكون لبيت المال لمنافع الأجانب وبين كون ماله يرجع إلى أقربائه
المُدْلين بالورثة المجمع عليهم؛ تعين الثاني،
ويدل على ذلك قوله تعالى:
{وأولو الأرحام بعضُهم أولى ببعضٍ في كتاب الله}، فصرفه لغيرهم تركٌ لمن هو أولى من غيره، فتعيَّن توريثُ ذوي
الأرحام، وإذا تعيَّن توريثُهم؛ فقد علم أنه ليس لهم نصيب مقدر
بأعيانهم في كتاب الله، وأن بينهم وبين الميت وسائط صاروا بسببها
من الأقارب، فينزَّلُون منزلة من أدْلَوا به من تلك الوسائط.
والله أعلم. وأمّا ميراث بقية العَصَبَة؛ كالبنوة والأخوة وبنيهم
والأعمام وبنيهم ... إلخ؛ فإن النبي - صلى الله عليه وسلم -
قال:
«ألحقوا الفرائض بأهلها، فما بقي؛ فلأولى رجل ذكر»
، وقال تعالى:
{ولكلٍّ جعلنا موالي مما ترك الوالدان والأقربون}؛ فإذا ألحقنا الفروض بأهلها ولم يبق شيءٌ؛ لم يستحق العاصب
شيئاً، وإن بقي شيءٌ؛ أخذه أولي العَصَبة بحسب جهاتهم
ودرجاتهم؛ فإنَّ جهات العصوبة خَمْسٌ:
البنوة، ثمَّ الأبوة، ثمَّ الأخوة وبنوهم، ثمَّ العمومة وبنوهم،
ثمَّ الولاء، ويقدم منهم الأقرب جهة؛ فإن كانوا في جهة واحدة؛
فالأقرب منزلة؛ فإن كانوا بمنزلة واحدة؛ فالأقوى، وهو الشقيق؛
فإن تساووا من كل وجه؛ اشتركوا؛ والله أعلم. وأمَّا كون الأخوات
لغير أم مع البنات أو بنات الابن عصبات يأخذن ما فضل عن
فروضهنَّ؛ فلأنه ليس في القرآن ما يدل على أن الأخوات يَسْقُطْن
بالبنات؛ فإذا كان الأمر كذلك، وبقي شيء بعد أخذ البنات فرضهنَّ؛
فإنه يُعطى للأخوات ولا يُعْدَلُ عنهنَّ إلى عَصَبَةٍ أبعد منهن
كابن الأخ والعم ومن هو أبعد منهم. والله أعلم.
(12) Kemudian Allah سبحانه وتعالى
berfirman, ﴾ وَلَكُمۡ
﴿ "dan bagimu" wahai para suami, ﴾
نِصۡفُ مَا تَرَكَ أَزۡوَٰجُكُمۡ إِن لَّمۡ يَكُن لَّهُنَّ وَلَدٞۚ
فَإِن كَانَ لَهُنَّ وَلَدٞ فَلَكُمُ ٱلرُّبُعُ مِمَّا تَرَكۡنَۚ
مِنۢ بَعۡدِ وَصِيَّةٖ يُوصِينَ بِهَآ أَوۡ دَيۡنٖۚ وَلَهُنَّ
ٱلرُّبُعُ مِمَّا تَرَكۡتُمۡ إِن لَّمۡ يَكُن لَّكُمۡ وَلَدٞۚ
فَإِن كَانَ لَكُمۡ وَلَدٞ فَلَهُنَّ ٱلثُّمُنُ مِمَّا تَرَكۡتُمۚ
مِّنۢ بَعۡدِ وَصِيَّةٖ تُوصُونَ بِهَآ أَوۡ دَيۡنٖۗ
﴿ "seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh istri-istrimu,
jika mereka tidak mempunyai anak. Jika istri-istrimu itu
mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang
ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau
(dan) sesudah dibayar hutangnya.
(Sebaliknya) para istri memperoleh
seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak
mempunyai anak. Jika kamu mempu-nyai anak, maka para istri
memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan
sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau
(dan) sesudah dibayar
hutang-hutangmu." Termasuk dalam konteks anak yang
di-syaratkan adanya atau tidak adanya adalah anak mayit atau
anak dari anak laki-laki mayit (cucu),
laki-laki maupun perempuan, satu maupun banyak, yang ada dari
suami maupun dari selainnya. Dan tidak termasuk dalam hal ini
anak dari anak perempuan mayit menurut ijma' ulama. Kemudian
Allah سبحانه وتعالى berfirman, ﴾
وَإِن كَانَ رَجُلٞ يُورَثُ كَلَٰلَةً أَوِ ٱمۡرَأَةٞ وَلَهُۥٓ
أَخٌ أَوۡ أُخۡتٞ
﴿ "Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang
tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi
mempunyai seorang saudara laki-laki
(seibu saja) atau seorang saudara
perempuan (seibu saja)," maksudnya,
dari satu ibu, sebagaimana dalam seba-gian qira'at. Para ulama
telah bersepakat bahwa maksud dari sau-dara Di sini adalah
saudara seibu. Apabila seorang mayit dalam kondisi kalalah,
artinya, tidak meninggalkan anak dan tidak pula ayah,
maksudnya, tidak ayah, tidak kakek, tidak anak laki-laki,
tidak cucu laki-laki dari anak laki-laki, tidak pula anak
perempuan, tidak pula cucu perempuan dari anak laki-laki dan
seterusnya ke bawah. Inilah maksud kalalah sebagaimana yang
ditafsirkan oleh Abu Bakar ash-Shiddiq رضي الله عنه, dan para
ulama telah sepakat atas hal tersebut dan segala puji hanya
milik Allah. ﴾
فَلِكُلِّ وَٰحِدٖ مِّنۡهُمَا
﴿ "Maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu,"
yaitu, dari saudara laki-laki atau saudara perempuan,﴾
ٱلسُّدُسُۚ فَإِن كَانُوٓاْ أَكۡثَرَ مِن ذَٰلِكَ
﴿ "seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu
lebih dari itu" yaitu lebih dari satu orang, ﴾
فَهُمۡ شُرَكَآءُ فِي ٱلثُّلُثِۚ
﴿ "maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu." Maksudnya
mereka mendapatkan tidak lebih dari sepertiga walaupun mereka
lebih dari dua orang. Dan Firman Allah, ﴾
فَهُمۡ شُرَكَآءُ فِي ٱلثُّلُثِۚ
﴿ "Maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu,"
menunjukkan bahwa, laki-laki
(di antara) mereka sama dengan
perempuan (di antara) mereka, karena
lafazh bersekutu itu menunjukkan persamaan. Lafazh, ﴾
كَلَٰلَةً
﴿ "Kalalah" menunjukkan bahwa cabang
(keturunan) dan seterusnya ke bawah,
dan (keluarga) pokok, yang laki-laki
dan seterusnya ke atas meng-halangi anak-anak ibu, karena
Allah tidaklah menjadikan mereka ahli waris kecuali dalam
kondisi kalalah, dan bila mereka tidak me-warisi secara
kalalah, maka mereka tidaklah mendapatkan warisan sama sekali
menurut kesepakatan ulama. Firman Allah, ﴾
فَهُمۡ شُرَكَآءُ فِي ٱلثُّلُثِۚ
﴿ "Maka mereka bersekutu da-lam yang sepertiga itu"
menunjukkan bahwa saudara kandung laki-laki akan terhalang
dalam kondisi yang bernama al-Hamariyah, yaitu suami, ibu,
saudara seibu dan saudara sekandung; suami mendapatkan
setengah, ibu seperenam, saudara seibu sepertiga; maka saudara
sekandung gugur, karena Allah سبحانه وتعالى telah
menyan-darkan bagian sepertiga kepada saudara seibu. Sekiranya
saudara sekandung bersekutu dengan mereka, niscaya itu
merupakan penyatuan yang telah dipisahkan ketentuannya oleh
Allah. Dan juga karena sesungguhnya saudara seibu adalah di
antara pemilik hak-hak yang ditentukan sedang saudara
sekandung adalah Asha-bah
(pemilik sisa warisan), dan
sesungguhnya Nabi ﷺ bersabda, أَلْحِقُوا الْفَرَائِضَ
بِأَهْلِهَا، فَمَا بَقِيَ فَهُوَ لِأَوْلَى رَجُلٍ ذَكَرٍ.
"Serahkan hak-hak warisan yang ditentukan kepada orang yang
berhak, dan yang tersisa adalah milik kerabat laki-laki yang
paling dekat."[9] Pemilik hak-hak yang
tertentu adalah mereka yang telah Allah tetapkan bagian-bagian
mereka, dalam kondisi seperti ini tidak ada yang tersisa
setelah mereka hingga saudara kandung gugur, dan inilah yang
benar dalam hal ini. Adapun warisan untuk saudara laki-laki
dan saudara perem-puan kandung atau seayah adalah tersebutkan
dalam FirmanNya, ﴾
يَسۡتَفۡتُونَكَ قُلِ ٱللَّهُ يُفۡتِيكُمۡ فِي ٱلۡكَلَٰلَةِۚ . . .
.
﴿ "Mereka meminta fatwa kepadamu
(tentang kalalah). Katakanlah, 'Allah
memberi fatwa kepadamu tentang kalalah...'."
(An-Nisa`: 176). Seorang saudara kandung perempuan atau seayah berhak
mendapat setengah, dan dua orang berhak mendapat dua pertiga.
Seorang saudara perempuan kandung bersama seorang saudara
perempuan seayah atau lebih, mereka berhak mendapat setengah
dan sisa dari dua pertiga adalah hak seorang saudara perempuan
seayah atau lebih, bagian itu adalah seperenam yang
menyempur-nakan (sisa dari) dua
pertiga, apabila beberapa saudara perempuan sekandung
menyempurnakan bagian dua pertiga, maka saudara perempuan
seayah menjadi gugur, sebagaimana yang telah berlalu pada anak
perempuan dan cucu perempuan dari anak laki-laki, dan apabila
saudara itu laki-laki dan perempuan, maka ketentuannya adalah
bagian laki-laki seperti bagian dua orang perempuan. Bila
dikatakan; apakah landasan hukum warisan seorang pembunuh,
budak, lain agama, setengah budak, banci, kakek ber-sama
saudara-saudara selain seibu, al-'Aul, ar-Rad, sanak famili,
'Ashabah yang tersisa, saudara-saudara perempuan selain seibu
bersama beberapa anak perempuan atau cucu-cucu perempuan dari
anak laki-laki diambil dari al-Qur`an atau tidak? Menurut suatu pendapat:
Ya, di dalamnya terdapat peringatan-peringatan dan
indikasi-indikasi yang terperinci yang sangat sulit dipahami
oleh orang yang tidak merenung tentangnya yang menunjukkan
tentang segala yang disebutkan di atas. Tentang seorang
pembunuh atau yang berlainan agama, diketahui
(secara umum) bahwa mereka tidak
termasuk ahli waris, hal itu dari penjelasan hikmah Allah
dalam pembagian harta wa-risan terhadap para ahli waris
menurut kedekatan mereka, manfaat mereka secara agama maupun
dunia. Allah سبحانه وتعالى telah mengisyaratkan akan hikmah
tersebut dengan FirmanNya, ﴾
لَا تَدۡرُونَ أَيُّهُمۡ أَقۡرَبُ لَكُمۡ نَفۡعٗاۚ
﴿ "Kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih
dekat (banyak) manfaatnya bagimu." Dan
telah diketahui bahwa pelaku pembunuh-an telah berusaha
menjerumuskan orang yang akan diwarisinya kepada kemudharatan
yang paling besar. Apa yang menjadi dasar hak warisan itu
tidaklah dapat dikuatkan untuk menolak bahaya-nya pembunuhan
yang merupakan kebalikan dari manfaat yang merupakan akibat
dari warisan itu. Maka dari hal itu dapat di-ketahui bahwa
pembunuhan itu adalah penghalang terbesar yang menghalangi
dari mendapatkan warisan dan memotong tali sila-turahim di
mana Allah berfirman tentangnya, ﴾
وَأُوْلُواْ ٱلۡأَرۡحَامِ بَعۡضُهُمۡ أَوۡلَىٰ بِبَعۡضٖ فِي
كِتَٰبِ ٱللَّهِۚ
﴿ "Orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu
sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya
(daripada yang bukan kerabat) di dalam
Kitab Allah."
(Al-Anfal: 75). Padahal telah ada kaidah syariat yang telah baku yang
ber-bunyi; bahwa barangsiapa yang tergesa-gesa terhadap
sesuatu se-belum waktunya, maka ia dihukum dengan tidak
mendapatkannya. Karena itulah dan karena yang semacamnya dapat
diketahui bahwa orang yang berlainan agama dengan orang yang
akan diwarisi maka dia tidak mendapat warisan. Yang demikian
itu dikarenakan ia telah bertentangan dengan perkara yang
harus ada yaitu bersambungnya garis keturunan yang
mengharuskannya memperoleh warisan, dan penghalang yang berupa
pertentangan pada agama yang mengakibatkan pemisahan yang
jelas dari segala sisi. Penghalang yang begitu besar telah
menghalangi perkara yang mengharuskannya memperoleh warisan
yaitu keturunan. Maka perkara yang mengakibatkan warisan itu
tidaklah dapat diberlaku-kan karena adanya penghalang tadi.
Hal itu dapat dijelaskan, bahwa Allah سبحانه وتعالى telah
membuat hak-hak kaum Muslimin lebih utama daripada hak-hak
kekerabatan yang kafir di dunia, maka apabila seorang Muslim
meninggal, niscaya hartanya akan berpindah kepada seseorang
yang lebih utama dan lebih berhak, sehingga Firman Allah
سبحانه وتعالى menjadi, ﴾
وَأُوْلُواْ ٱلۡأَرۡحَامِ بَعۡضُهُمۡ أَوۡلَىٰ بِبَعۡضٖ فِي
كِتَٰبِ ٱللَّهِۚ
﴿ "Orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu
sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya
(daripada yang bukan kerabat) di dalam
kitab Allah."
(Al-Anfal: 75), apabila agama mereka sama. Adapun bila saling berbeda maka
persaudaraan seagama adalah didahulu-kan daripada persaudaraan
sedarah semata. Ibnu al-Qayyim berkata dalam Jala`
al-Afham[10], "Renungkanlah makna ini
dalam ayat warisan ini di mana Allah mengikat hubung-an waris
mewarisi ini dengan lafazh "istri" dan bukan perempuan
sebagaimana dalam FirmanNya, ﴾
وَلَكُمۡ نِصۡفُ مَا تَرَكَ أَزۡوَٰجُكُمۡ
﴿ "dan bagimu (suami-suami) seperdua
dari harta yang ditinggalkan oleh istri-istrimu," sebuah
indikasi bahwa waris mewarisi ini sesungguhnya terlaksana
dengan perkawinan yang mengharuskan adanya saling berbaur dan
saling berhubungan nasab, sedang seorang Mukmin dan seorang
kafir tidak ada persaudaraan (iman) di
antara kedua-nya dan tidak pula saling bernasab, maka tidak
ada saling mewa-risi di antara keduanya, dan rahasia kata-kata
al-Qur`an dan tata kalimatnya jauh melampaui akal seluruh
alam." Mengenai budak, ia tidak mewarisi dan tidak pula
diwarisi, bahwa ia tidak diwarisi, itu sudah sangat jelas,
karena ia tidak mempunyai harta yang dapat diwarisi, bahkan
apa yang ada ber-samanya itu adalah milik tuannya. Sedangkan
mengenai ia tidak mewarisi, karena ia tidak memiliki dan bila
saja ia memiliki, maka semuanya milik tuannya, maka dia adalah
seorang yang ajnabi
(bukan mahram) bagi mayit, maka ia
seperti Firman Allah, ﴾
لِلذَّكَرِ مِثۡلُ حَظِّ ٱلۡأُنثَيَيۡنِۚ
﴿ "Bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang
anak perempuan" dan, ﴾
وَلَكُمۡ نِصۡفُ مَا تَرَكَ أَزۡوَٰجُكُمۡ
﴿ "dan bagimu (suami-suami) seperdua
dari harta yang ditinggalkan oleh istri-istrimu" dan, ﴾
فَلِكُلِّ وَٰحِدٖ مِّنۡهُمَا ٱلسُّدُسُۚ
﴿ "maka bagi masing-masing dari kedua jenis sau-dara itu
seperenam harta" ... dan semacamnya, terhadap orang-orang yang
berpeluang memiliki. Sedangkan budak tidak berpeluang untuk
itu, karena itu jelaslah bahwa ia tidak mendapatkan warisan.
Mengenai seseorang yang setengah merdeka dan setengah budak,
ia memiliki hukum yang terbagi-bagi. Adapun yang pada dirinya
ada kebebasan, maka dengan hal itu ia berhak mendapat-kan apa
yang telah Allah tetapkan dalam warisan, karena ada
kemerdekaan pada dirinya yang berpeluang untuk memiliki. Dan
apa yang ada padanya dari perbudakan, maka ia tidak berpeluang
untuk itu. Oleh karena itu seseorang yang setengah budak dan
setengah merdeka, mereka mewarisi, diwarisi, dan menghalangi
lainnya sesuai dengan kadar kemerdekaan yang ada padanya, dan
apabila seorang hamba dapat terpuji dan tercela, diberi pahala
dan dihukum menurut apa yang ada padanya dari hal-hal yang
mengakibatkan perkara tersebut, maka ini pun demikian adanya.
Tentang orang banci, tidak terlepas kondisinya itu dari tiga
kemungkinan, yaitu, sangat nyata kelelakiannya, atau
kewanitaan-nya, atau tidak jelas yang dominan. Apabila nyata,
perkaranya adalah sudah jelas; apabila jantan, maka ia
termasuk dalam hukum laki-laki, dan akan tercakup dalam
nash-nash yang menerangkan tentang mereka, namun apabila
perempuan, maka baginya hukum pihak perempuan dan terkait
dengan nash-nash yang menerang-kan tentang mereka. Apabila dia
Musykil
(tidak ada yang dominan antara kedua jenis kelamin), tetapi antara pihak laki-laki dan pe-rempuan tidak berbeda
warisannya -seperti saudara seibu-, maka perkaranya juga
jelas. Adapun apabila warisannya berbeda dengan kadar
kelaki-lakiannya dan kadar keperempuan-annya, sedangkan kita
belum punya cara untuk mengetahui hal itu, maka kita tidak
memberikan kepadanya kadar yang paling terbesar dari keduanya,
karena adanya kemungkinan berbuat zhalim terhadap ahli waris
lain, dan juga kita tidak memberikannya kadar terkecil karena
takut menzhalimi dirinya, sehingga wajib ditegakkan
pertengahan antara kedua perkara itu dan menempuh salah satu
di antara dua jalan yang paling adil, Allah سبحانه وتعالى
berfirman, ﴾
ٱعۡدِلُواْ هُوَ أَقۡرَبُ لِلتَّقۡوَىٰۖ
﴿ "Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada
takwa."
(Al-Ma`idah: 8). Maka kita tidak memiliki jalan kepada keadilan dalam
masa-lah seperti ini yang lebih baik dari jalan tersebut, dan
Allah tidak membebankan kepada suatu jiwa kecuali yang mampu
diemban-nya, maka bertakwalah kepada Allah sesuai dengan
kemampuan kalian. Adapun warisan kakek bersama saudara
laki-laki sekan-dung atau seayah, apakah kakek ikut menjadi
ahli waris bersama mereka ataukah tidak? Sesungguhnya
kitabullah telah menunjuk-kan pada apa yang dikatakan oleh Abu
Bakar ash-Shiddiq رضي الله عنه,[11]
bahwasanya kakek menghalangi
(bagian harta warisan) saudara
laki-laki sekandung atau seayah atau seibu sebagaimana ayah
menghalangi mereka, dan penjelasan akan hal itu adalah bahwa
kakek itu merupakan ayah seperti disebutkan dalam beberapa
tempat dalam al-Qur`an, seperti Firman Allah سبحانه وتعالى,
﴾
إِذۡ حَضَرَ يَعۡقُوبَ ٱلۡمَوۡتُ إِذۡ قَالَ لِبَنِيهِ مَا
تَعۡبُدُونَ مِنۢ بَعۡدِيۖ قَالُواْ نَعۡبُدُ إِلَٰهَكَ وَإِلَٰهَ
ءَابَآئِكَ إِبۡرَٰهِـۧمَ وَإِسۡمَٰعِيلَ وَإِسۡحَٰقَ
﴿ "Ketika Ya'qub kedatangan
(tanda-tanda) maut, ketika ia berkata
kepada anak-anaknya, 'Apa yang kamu sembah sepeninggalku?'
Mereka menjawab, 'Kami akan menyembah Rabbmu dan Rabb nenek
moyangmu, Ibrahim, Isma'il, dan Ishaq'."
(Al-Baqarah: 133). Dan Yusuf عليه السلام berkata, ﴾
وَٱتَّبَعۡتُ مِلَّةَ ءَابَآءِيٓ إِبۡرَٰهِيمَ وَإِسۡحَٰقَ
وَيَعۡقُوبَۚ
﴿ "Dan aku mengikuti agama bapak-bapakku yaitu Ibrahim, Ishaq
dan Ya'qub." (Yusuf: 38). Allah telah
menamakan kakek dan kakeknya ayah dengan ayah, hal itu
menunjukkan bahwa kakek adalah dalam posisi ayah, ia mewarisi
apa yang diwarisi oleh ayah dan menghalangi orang yang
dihalangi oleh ayah. Dan apabila para ulama telah bersepakat
bahwa hukum kakek adalah hukum ayah ketika ayah tidak ada
dalam harta peninggalan bersama anak-anaknya dan selain mereka
dari beberapa saudara, paman-paman dan anak-anak laki-laki
mereka serta seluruh hukum-hukum warisan, maka seyogyanya
hukum kakek juga adalah hu-kum ayah dalam menghalangi
saudara-saudara selain seibu. Dan apabila anaknya ayah adalah
sederajat dengan anaknya yang kandung, maka kenapa kakek tidak
sederajat dengan posisi ayah? Dan apabila kakeknya ayah dengan
anak laki-lakinya saudara laki-laki telah disepakati oleh para
ulama bahwa ia menghalanginya, lalu kenapa kakeknya mayit
tidak menghalangi saudara si mayit? Dan orang-orang yang
berpendapat bahwa saudara mendapatkan harta waris bersama
kakek tidak memiliki nash, tidak juga isyarat, ataupun
indikasi, apalagi qiyas yang shahih. Adapun masalah al-'Aul,
hukumnya diambil dari al-Qur`an, yang demikian itu adalah
bahwa Allah سبحانه وتعالى telah mewajibkan dan menentukan
bagian-bagian bagi seluruh ahli waris, dan mereka itu terbagi
dalam dua kondisi; kondisi sebagian mereka menghalangi
sebagian yang lain atau tidak, apabila sebagian mereka
mengha-langi sebagian lain, maka orang yang terhalang itu
gugur, tidak ikut menunggu bagian dan tidak berhak atas apa
pun, namun bila sebagian mereka tidak menghalangi sebagian
yang lain,
maka kondisi ini dalam beberapa bentuk; pertama:
Hak-hak tertentu itu tidak menghabiskan seluruh harta
warisan, kedua: Menghabiskan-nya
dengan tanpa ada kekurangan dan kelebihan,
ketiga:
Hak-hak tertentu itu melebihi harta warisan. Maka pada kondisi
yang pertama dan kedua, setiap ahli waris mendapatkan hak
bagiannya secara sempurna, namun pada bentuk yang ketiga yaitu
apabila hak-hak tertentu itu melebihi harta warisan, maka hal
ini tidak lepas dari dua kondisi; pertama, mengurangi hak
sebagian ahli waris dari hak-hak mereka yang telah ditentukan
oleh Allah bagi mereka dan menyempurnakan hak bagi sebagian
yang lain, hal ini adalah sebuah tindakan keber-pihakan yang
tidak ada dalil yang menguatkannya, dan bukanlah kekurangan
salah seorang ahli waris dari hak-haknya adalah lebih baik
dari sebagian lainnya, karena itu wajiblah tertuju kepada
kondisi yang kedua, yaitu bahwa kita memberikan setiap ahli
waris dari mereka menurut keadaan yang memungkinkan dan kita
bagi-bagikan harta tersebut kepada seluruh ahli waris, seperti
hutang bagi pemilik-pemiliknya yang melebihi dari harta orang
yang berhutang, dan tidak ada jalan lain untuk mencapai kepada
hal itu kecuali dengan cara al-'Aul, dengan demikian
diketahuilah bahwa al'Aul[12] dalam
ilmu Fara'idh telah dijelaskan oleh Allah سبحانه وتعالى dalam
kitabNya. Dan dengan kebalikan dari cara di atas, maka
diketahui cara ar-Radd[13],
sesungguhnya pemilik-pemilik hak-hak tertentu itu apa-bila
tidak menghabiskan seluruh harta warisan menurut bagian-bagian
masing-masing, lalu tersisa dari harta warisan itu beberapa
harta yang tidak ada pemiliknya berupa 'Ashabah yang dekat
mau-pun yang jauh, dan mengembalikan harta sisa itu kepada
salah seorang ahli waris saja adalah suatu tindakan
keberpihakan yang tidak memiliki dalil, dan sebagaimana
memberikan sisa harta itu kepada seseorang yang bukan sanak
famili adalah suatu tindakan kesewenang-wenangan,
keberpihakan, dan bertentangan dengan Firman Allah, ﴾
وَأُوْلُواْ ٱلۡأَرۡحَامِ بَعۡضُهُمۡ أَوۡلَىٰ بِبَعۡضٖ فِي
كِتَٰبِ ٱللَّهِۚ
﴿ "Orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu
sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya
(daripada yang bukan kerabat) di dalam
Kitab Allah."
(Al-Anfal: 75), maka pastilah sisa harta itu harus dikembalikan lagi kepada
ahli-ahli waris menurut hak-hak tertentu mereka, dan karena
suami atau istri adalah bukan dari sanak famili, maka mereka
tidak berhak atas tambahan dari sisa harta itu menurut hak
tertentu mereka,
(menurut kelompok yang berpendapat bahwa tidak ada ar-Radd
bagi mereka berdua), adapun menurut pendapat yang shahih bahwa hukum suami dan
istri adalah sama dengan hukum ahli waris yang lain dalam
perkara ar-Radd, maka dalil yang disebutkan tadi mencakup
seluruh ahli waris sebagaimana dalil al'Aul menca-kup mereka
semua.[14] Dengan hal ini dapat
diketahui juga bagian dari Dzawu al-Arham
(setiap kerabat mayit yang tidak mendapatkan hak tertentu
ataupun Ashabah), yaitu bila seorang mayit tidak meninggalkan ahli waris yang
memiliki hak tertentu dan tidak juga Ashabah, dan perkara
hartanya berputar antara ditujukan kepada Baitul Mal untuk
manfaat orang lain atau ditujukan kepada sanak familinya yang
telah disepakati yang lebih condong mendapat harta tersebut,
maka yang terakhir ini adalah yang wajib dan hal tersebut
dapat dimengerti dari Firman Allah سبحانه وتعالى, ﴾
وَأُوْلُواْ ٱلۡأَرۡحَامِ بَعۡضُهُمۡ أَوۡلَىٰ بِبَعۡضٖ فِي
كِتَٰبِ ٱللَّهِۚ
﴿ "Orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu
sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya
(daripada yang bukan kerabat) di dalam
Kitab Allah."
(Al-Anfal: 75). Memberikan harta tersebut kepada selain mereka adalah
sebuah tindakan meninggalkan orang-orang yang lebih berhak
dari selainnya, maka dari itu telah jelas wajibnya harta
warisan tersebut diberikan untuk Dzawu al-Arham, lalu apabila
telah pasti pewarisan mereka, padahal telah diketahui bahwa
mereka tidak memiliki bagian tertentu dalam Kitabullah, dan
bahwa antara me-reka dengan mayit ada penghubung hingga
menjadikan mereka termasuk dalam sanak familinya, maka mereka
itu diposisikan seperti orang-orang yang menjadi penghubung
antara mereka dengan mayit. Wallahu a'lam. Adapun warisan bagi
sisa Ashabah yang tersisa seperti anak, saudara dan anak-anak
mereka, paman-paman dan anak-anak mereka... dst, sesungguhnya
Nabi ﷺ telah bersabda, أَلْحِقُوا الْفَرَائِضَ بِأَهْلِهَا،
فَمَا بَقِيَ فَهُوَ لِأَوْلَى رَجُلٍ ذَكَرٍ. "Serahkan hak-hak
tertentu itu kepada pemiliknya, dan apa yang tersisa maka
milik kerabat laki-laki."[15] Dan
Allah سبحانه وتعالى berfirman, ﴾
وَلِكُلّٖ جَعَلۡنَا مَوَٰلِيَ مِمَّا تَرَكَ ٱلۡوَٰلِدَانِ
وَٱلۡأَقۡرَبُونَۚ ﴿ "Bagi tiap-tiap harta peninggalan dari harta
yang ditinggalkan ibu bapak dan karib kerabat, Kami jadikan
pewaris-pewarisnya."
(An-Nisa`: 33).
Bila kita telah menyerahkan hak-hak tertentu itu kepada
pemilik-pemiliknya dan tidak terdapat sisa sedikit pun, maka
ahli Ashabah tidak berhak atas sesuatu pun, namun bila terdapat
sisa, maka menjadi hak Ashabah menurut posisi dan derajat
mereka, karena sesungguhnya posisi Ashabah itu ada lima; anak
kemudian ayah lalu saudara dan anak-anak mereka, kemudian paman
dan anak-anak mereka, lalu perwalian. Dan yang didahulukan
adalah yang paling terdekat posisinya, dan bila mereka pada satu
posisi, maka yang paling dekat derajatnya, dan apabila mereka
dalam satu derajat, maka yang paling kuat yaitu sekandung, dan
apabila mereka sama dari setiap hal, maka mereka bersekutu
padanya. Wallahu a'lam. Sedangkan kondisi beberapa saudara
perempuan selain seibu bersama anak-anak perempuan atau beberapa
cucu perempuan dari anak laki-laki termasuk dalam Ashabah, di
mana saudara-sau-dara perempuan selain seibu tersebut berhak
atas apa yang lebih dari hak-hak tertentu mereka, karena tidak
ada satu pun dalil dalam al-Qur`an yang menunjukkan bahwa
saudara perempuan itu gugur karena adanya anak perempuan, namun
bila perkaranya memang demikian, lalu harta warisan setelah
anak-anak perem-puan itu mendapatkan hak tertentu mereka tersisa
sedikit, maka sisa tersebut diberikan kepada saudara-saudara
perempuan dan tidak berpindah dari mereka kepada Ashabah yang
lebih jauh dari mereka seperti anak laki-laki dari saudara
laki-laki atau paman dan orang-orang yang lebih jauh lagi dari
mereka. Wallahu a'lam.
{تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ
يُدْخِلْهُ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ
خَالِدِينَ فِيهَا وَذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ
(13) وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ
وَرَسُولَهُ وَيَتَعَدَّ حُدُودَهُ يُدْخِلْهُ نَارًا خَالِدًا
فِيهَا وَلَهُ عَذَابٌ مُهِينٌ
(14)}
.
"
(Hukum-hukum tersebut) itu adalah
ketentuan-ketentuan dari Allah. Barangsiapa taat kepada Allah
dan RasulNya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam surga yang
mengalir di bawah-nya sungai-sungai, sedang mereka kekal di
dalamnya; dan itulah kemenangan yang besar. Dan barangsiapa yang
mendurhakai Allah dan RasulNya dan melanggar
ketentuan-ketentuanNya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api
neraka sedang ia kekal di da-lamnya; dan baginya siksa yang
menghinakan."
(An-Nisa`: 13-14).
#
{13} أي: تلك التفاصيل التي ذكرها
في المواريث حدود الله التي يجب الوقوف معها، وعدم مجاوزتها ولا
القصور عنها، وفي ذلك دليل على أن الوصية للوارث منسوخة بتقديره
تعالى أنصباء الوارثين. ثم قوله تعالى:
{تلك حدود الله فلا تعتدوها}؛
فالوصية للوارث بزيادة على حقه يدخل في هذا التعدي مع قوله - صلى
الله عليه وسلم -: «لا وصيةَ لوارث». ثم
ذكر طاعة الله ورسوله ومعصيتهما عموماً؛ ليدخل في العموم لزوم
حدوده في الفرائض أو ترك ذلك، فقال:
{ومن يطع الله ورسوله}: بامتثال
أمرهما الذي أعظمه طاعتهما في التوحيد ثم الأوامر على اختلاف
درجاتها، واجتناب نهيهما الذي أعظمه الشرك بالله ثم المعاصي على
اختلاف طبقاتها.
{يُدْخِلْهُ جناتٍ تجري من تحتها الأنهار خالدين فيها}: فمن أدَّى الأوامر واجتنب النواهي؛ فلا بد له من دخول الجنة
والنجاة من النار.
{وذلك الفوز العظيم}: الذي حصل به
النجاة من سخطه وعذابه والفوز بثوابه ورضوانه بالنعيم المقيم
الذي لا يصفه الواصفون.
(13) Perincian tersebut yang disebutkan
dalam masalah warisan merupakan hukum-hukum Allah yang harus
dilaksanakan dan tidak boleh ditinggalkan atau dilalaikan, hal
ini adalah dalil bahwa wasiat untuk ahli waris telah dimansukh
dengan penentuan dari Allah تعالى tentang bagian-bagian tertentu
mereka, kemudian Firman Allah سبحانه وتعالى, ﴾ تِلۡكَ حُدُودُ
ٱللَّهِۚ
﴿ "(Hukum-hukum tersebut) itu adalah
ketentuan-ketentuan dari Allah," maka wasiat untuk ahli waris
de-ngan melebihi dari haknya telah termasuk sebagai suatu
tindakan melampaui batas terhadap sabda beliau ﷺ; لَا
وَصِيَّةَ لِوَارِثٍ. "Tidak ada wasiat untuk ahli waris."[16]
Kemudian Allah menyebutkan tentang ketaatan kepadaNya dan
kepada RasulNya serta bermaksiat kepada keduanya secara umum,
agar termasuk dalam perkara umum itu pelaksanaan akan
hukum-hukum tersebut dalam perkara warisan atau meninggalkan
hal tersebut, Allah berfirman, ﴾
وَمَن يُطِعِ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥ
﴿ "Barangsiapa taat kepada Allah dan RasulNya" dengan
menunaikan perintah keduanya yang mana ketaatan terbesar
kepada keduanya adalah dalam per-kara tauhid, kemudian
perintah-perintah mereka berdua dengan perbedaan
tingkatan-tingkatannya, dan meninggalkan larangan keduanya
yang mana kemaksiatan terbesar kepada keduanya ada-lah
kesyirikan kepada Allah kemudian kemaksiatan-kemaksiatan dalam
segala perbedaan tingkatannya, ﴾
يُدۡخِلۡهُ جَنَّٰتٖ تَجۡرِي مِن تَحۡتِهَا ٱلۡأَنۡهَٰرُ
خَٰلِدِينَ فِيهَاۚ
﴿ "niscaya Allah memasukkannya ke dalam surga yang mengalir
di bawahnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya."
Barangsiapa yang menunaikan segala perintah dan meninggalkan
segala larangan, maka pastilah ia masuk dalam surga dan
selamat dari neraka, ﴾
وَذَٰلِكَ ٱلۡفَوۡزُ ٱلۡعَظِيمُ ﴿ "dan itulah kemenangan yang
besar" dengan memperoleh keselamatan dari murka Allah dan
siksaanNya serta kemenangan dengan pahalaNya dan keridhaanNya
dengan kenikmatan abadi yang tidak dapat diungkapkan oleh lisan
manusia.
#
{14}
{ومن يعص الله ورسوله ... } إلخ،
ويدخل في اسم المعصية الكفر فما دونه من المعاصي؛ فلا يكون فيها
شبهة للخوارج القائلين بكفر أهل المعاصي؛ فإنَّ الله تعالى رتَّب
دخول الجنة على طاعته وطاعة رسوله، ورتب دخول النار على معصيته
ومعصية رسوله؛ فمن أطاعه طاعة تامة؛ دخل الجنة بلا عذاب، ومن عصى
الله ورسوله معصية تامة يدخل فيها الشرك فما دونه؛ دخل النار
وخُلِّد فيها، ومن اجتمع فيه معصية وطاعة؛ كان فيه من موجب
الثواب والعقاب بحسب ما فيه من الطاعة والمعصية. وقد دلت النصوص
المتواترة على أن الموحِّدين الذين معهم طاعةُ التوحيد غيرُ
مخلَّدين في النار؛ فما معهم من التوحيد مانع لهم من الخلود
فيها.
(14) ﴾ وَمَن يَعۡصِ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥ
﴿ "Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan RasulNya ... dst)
dan termasuk dalam kategori maksiat adalah kekufuran dan
kemaksiatan lain yang lebih ringan darinya, sehingga tidak ada
suatu syubhat pun dalam ayat itu bagi Khawarij yang berpendapat
bahwa pelaku-pelaku maksiat adalah kafir, karena Allah سبحانه
وتعالى telah menyiapkan surga bagi orang yang taat kepa-daNya
dan kepada RasulNya, dan menyiapkan neraka bagi yang durhaka
kepadaNya dan kepada RasulNya, maka barangsiapa yang menaati
Allah dengan ketaatan yang sempurna, ia akan masuk surga tanpa
siksaan, dan barangsiapa yang durhaka kepada Allah dengan
kedurhakaan yang sempurna dan termasuk dalam hal itu adalah
kesyirikan ataupun selainnya, ia akan masuk neraka dan ia kekal
di dalamnya, sedangkan barangsiapa yang bercampur pada-nya
kemaksiatan dan ketaatan, maka ia memiliki penyebab pahala dan
siksaan menurut apa yang ada padanya dari ketaatan dan
kemaksiatan tersebut. Dan sesungguhnya telah banyak nash-nash
mutawatir yang menunjukkan bahwa
(ahli maksiat dari kalangan) orang-orang
yang bertauhid yang melakukan ketaatan tauhid tidaklah kekal
dalam neraka, dan siapa pun yang memiliki ketauhidan, maka ia
menjadi penghalang baginya dari kekekalan dalam neraka.
{وَاللَّاتِي يَأْتِينَ الْفَاحِشَةَ مِنْ نِسَائِكُمْ
فَاسْتَشْهِدُوا عَلَيْهِنَّ أَرْبَعَةً مِنْكُمْ فَإِنْ
شَهِدُوا فَأَمْسِكُوهُنَّ فِي الْبُيُوتِ حَتَّى
يَتَوَفَّاهُنَّ الْمَوْتُ أَوْ يَجْعَلَ اللَّهُ لَهُنَّ
سَبِيلًا (15) وَاللَّذَانِ
يَأْتِيَانِهَا مِنْكُمْ فَآذُوهُمَا فَإِنْ تَابَا
وَأَصْلَحَا فَأَعْرِضُوا عَنْهُمَا إِنَّ اللَّهَ كَانَ
تَوَّابًا رَحِيمًا (16)}
.
"Dan
(terhadap) para wanita yang
mengerjakan perbuatan keji, hendaklah ada empat orang saksi di
antara kamu
(yang me-nyaksikannya).
Kemudian apabila mereka telah memberi persak-sian, maka
kurunglah mereka
(wanita-wanita itu) dalam rumah sampai
mereka menemui ajalnya, atau sampai Allah memberi jalan lain
kepadanya. Dan terhadap dua orang yang melakukan perbuatan keji
di antara kamu, maka berilah hukuman kepada keduanya, kemudian
jika keduanya bertaubat dan memperbaiki diri, maka biarkanlah
mereka. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha
Penyayang."
(An-Nisa`: 15-16).
#
{15} أي: النساء
{اللاتي يأتين الفاحشة}؛
أي:
الزنا، فوصفها بالفاحشة لشناعتها وقبحها.
{فاستشهدوا عليهن أربعة منكم}؛ أي: من رجالكم المؤمنين العدول.
{فإن شهدوا فأمسكوهنَّ في البيوت}؛ أي: احبسوهن عن الخروج الموجب
للريبة، وأيضاً؛ فإن الحبس من جملة العقوبات.
{حتَّى يتوفاهنَّ الموت}؛
أي:
هذا منتهى الحبس.
{أو يجعلَ الله لهن سبيلاً}؛
أي:
طريقاً غير الحبس في البيوت. فهذه الآية ليست منسوخة؛ فإنَّما هي
مُغَيَّاة إلى ذلك الوقت، فكان الأمر في أول الإسلام كذلك، حتى
جعل الله لهن سبيلاً، وهو رجم المحصن وجلد غير المحصن.
(15) Maksudnya adalah para wanita, ﴾
وَٱلَّٰتِي يَأۡتِينَ ٱلۡفَٰحِشَةَ
﴿ "yang mengerjakan perbuatan keji," yaitu zina, dan
menyebutnya se-bagai suatu yang keji akibat dari keberadaannya
yang menjijikkan dan keburukannya, ﴾
فَٱسۡتَشۡهِدُواْ عَلَيۡهِنَّ أَرۡبَعَةٗ مِّنكُمۡۖ
﴿ "maka hendaklah ada empat orang saksi di antara kamu
(yang menyaksikannya)," yaitu dari
kaum laki-laki kalian yang beriman dan adil, ﴾
فَإِن شَهِدُواْ فَأَمۡسِكُوهُنَّ فِي ٱلۡبُيُوتِ
﴿ "kemudian apabila mereka telah memberi persaksian, maka
kurunglah mereka
(wanita-wanita itu) dalam rumah,"
yaitu tahanlah mereka agar tidak keluar yang menyebabkan
keraguan, dan juga bahwa penahanan itu termasuk di antara
hukuman untuk mereka, ﴾
حَتَّىٰ يَتَوَفَّىٰهُنَّ ٱلۡمَوۡتُ
﴿ "sampai mereka menemui ajalnya" maksudnya, hal itu adalah
akhir dari penahanan tersebut, ﴾
أَوۡ يَجۡعَلَ ٱللَّهُ لَهُنَّ سَبِيلٗا ﴿ "atau sampai Allah
memberi jalan lain kepadanya," yaitu cara lain menghu-kum mereka
selain penahanan dalam rumah. Ayat ini tidaklah dimansukh, namun
sesungguhnya ayat itu terpulang kepada masa saat itu, di mana
pada masa awal-awal Islam, perkara hukuman itu adalah seperti
dalam ayat tersebut hingga Allah memberi jalan lain bagi mereka,
yaitu hukum rajam bagi yang telah berkeluarga dan cambuk bagi
yang belum menikah.
#
{16}
{و} كذلك
{اللذان يأتيانها}؛
أي:
الفاحشة {منكم}: من الرجال
والنساء. {فآذوهما}: بالقول
والتوبيخ والتعيير والضرب الرادع عن هذه الفاحشة. فعلى هذا يكون
الرجال إذا فعلوا الفاحشة يؤذَوْن والنساء يُحْبَسْن ويؤذين؛
فالحبس غايته للموت ، والأذية نهايتها إلى التوبة والإصلاح.
ولهذا قال:
{فإن تابا}؛
أي:
رجعا عن الذنب الذي فعلاه وندما عليه وعزما أن لا يعودا،
{وأصلحا}: العمل الدالَّ على صدق
التوبة. {فأعرضوا عنهما}؛
أي:
عن أذاهما.
{إن الله كان تواباً رحيماً}؛
أي:
كثير التوبة على المذنبين الخطائين، عظيم الرحمة والإحسان الذي
من إحسانه، وفَّقهم للتوبة، وقبلها منهم، وسامحهم عن ما صدر
منهم. ويؤخذ من هاتين الآيتين أن بَيِّنة الزنا
[لابُدَّ] أن تكون أربعة رجال مؤمنين،
ومن باب أولى وأحرى اشتراط عدالتهم؛ لأن الله تعالى شدَّد في أمر
هذه الفاحشة ستراً لعباده، حتى إنه لا يقبل فيها النساء منفردات
ولا مع الرجل ولا مع دون أربعة،
ولا بد من التصريح بالشهادة كما دلت على ذلك الأحاديث الصحيحة
وتومئ إليه هذه الآية:
لِمَا قال:
{فاستشهدوا عليهن أربعة منكم}؛ لم
يكتف بذلك، حتى قال:
{فإن شهدوا}؛
أي:
لا بدَّ من شهادة صريحة عن أمر يشاهد عِياناً من غير تعريض ولا
كناية. ويؤخذ منهما أن الأذَّية بالقول والفعل والحبس قد شرعه
الله تعزيراً لجنس المعصية التي يحصل به الزجر.
(16) ﴾ و ó
﴿ "Dan" demikian juga, ﴾ ا ل ّ َ ذ َ ا ن
ِ يَأۡتِيَٰنِهَا
﴿ "terhadap dua orang yang melakukan perbuatan keji" yaitu
zina, ﴾
مِنكُمۡ
﴿ "di antara kalian" dari kaum laki-laki maupun wanita,
﴾
فَـَٔاذُوهُمَاۖ
﴿ "maka berilah hukuman kepada keduanya" dengan perkataan,
ejekan, penghinaan, dan pemukulan yang mendidik untuk menjauhi
kekejian tersebut, dengan dasar ini, maka laki-laki yang
melakukan kekejian tersebut dihukum
(dengan hal-hal tersebut di atas)
sedangkan wanita di-tahan dan dihukum, dan penahanan itu
ujungnya adalah kematian sedangkan hukuman ujungnya adalah
taubat dan memperbaiki diri, karena itulah Allah berfirman,
﴾
فَإِن تَابَا
﴿ "Kemudian jika kedua-nya bertaubat" yaitu kembali dari dosa
yang telah mereka lakukan dan mereka menyesali perbuatan itu
lalu mereka bertekad untuk tidak mengulanginya kembali,
﴾
وَأَصۡلَحَا
﴿ "dan memperbaiki" perbuatan yang menunjukkan akan kebenaran
taubat mereka, ﴾
فَأَعۡرِضُواْ عَنۡهُمَآۗ
﴿ "maka biarkanlah mereka" yaitu dari menghukum
mereka.﴾
إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ تَوَّابٗا رَّحِيمًا
﴿ "Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha
Penyayang" yaitu banyak sekali menerima taubat yang dilakukan
orang-orang yang berdosa dan bersalah, sangat besar kasih
sayang dan perbuatan baikNya, di mana di antara perbuatan
baikNya itu adalah menganugerahkan kepada mereka untuk
bertaubat, lalu Allah menerima taubat mereka dan memaafkan apa
yang telah mereka lakukan. Faidah yang dapat diambil dari
kedua ayat tersebut adalah bahwa saksi perzinaan itu harus
terdiri dari empat orang laki-laki Mukmin, dan yang lebih
utama dan lebih patut adalah mensyarat-kan pada mereka adanya
sifat adil, karena Allah سبحانه وتعالى telah mengetat-kan
perkara kekejian ini demi menutup aib hamba-hambaNya, sehingga
Allah tidak akan menerima dalam perkara itu saksi dari empat
wanita saja, tidak pula bersama seorang laki-laki, dan tidak
juga kurang dari empat orang. Dan dalam bersaksi harus jelas
dan terang-terangan sebagaimana yang ditunjukkan oleh
hadits-hadits yang shahih dan diisyaratkan juga oleh ayat ini
ketika Allah ber-firman, ﴾
فَٱسۡتَشۡهِدُواْ عَلَيۡهِنَّ أَرۡبَعَةٗ مِّنكُمۡۖ
﴿ "Hendaklah ada empat orang saksi di antara kamu
(yang menyaksikannya)" dan tidaklah
Allah mencukup-kan hanya sampai di situ hingga berfirman,
﴾
فَإِن شَهِدُواْ ﴿ "Kemudian apabila mereka telah memberi
persaksian" yaitu harus ada kesaksian yang pasti tentang suatu
perkara yang disaksikannya dengan mata kepala tanpa ada
kesamaran dan ketidakjelasan. Dan dapat diambil dari kedua ayat
itu juga bahwa hukuman dengan perkataan dan perbuatan serta
penahanan telah disyariat-kan oleh Allah sebagai suatu hukuman
bagi suatu bentuk kemak-siatan yang mengandung pelajaran
padanya.
{إِنَّمَا التَّوْبَةُ عَلَى اللَّهِ لِلَّذِينَ يَعْمَلُونَ
السُّوءَ بِجَهَالَةٍ ثُمَّ يَتُوبُونَ مِنْ قَرِيبٍ
فَأُولَئِكَ يَتُوبُ اللَّهُ عَلَيْهِمْ وَكَانَ اللَّهُ
عَلِيمًا حَكِيمًا (17) وَلَيْسَتِ
التَّوْبَةُ لِلَّذِينَ يَعْمَلُونَ السَّيِّئَاتِ حَتَّى
إِذَا حَضَرَ أَحَدَهُمُ الْمَوْتُ قَالَ إِنِّي تُبْتُ الْآنَ
وَلَا الَّذِينَ يَمُوتُونَ وَهُمْ كُفَّارٌ أُولَئِكَ
أَعْتَدْنَا لَهُمْ عَذَابًا أَلِيمًا
(18)}
.
"Sesungguhnya taubat di sisi Allah hanyalah taubat bagi
orang-orang yang mengerjakan kejahatan lantaran kejahilan, yang
kemudian mereka bertaubat dengan segera, maka mereka itulah yang
diterima Allah taubatnya; dan Allah Maha Mengetahui lagi
Mahabijaksana. Dan tidaklah taubat itu diterima Allah dari
orang-orang yang mengerjakan kejahatan
(yang) hingga apabila datang ajal kepada
seseorang di antara mereka,
(barulah) ia
me-ngatakan, 'Sesungguhnya saya bertaubat sekarang.' Dan tidak
(pula diterima taubat) orang-orang yang
mati sedang mereka di dalam kekafiran. Bagi orang-orang itu
telah Kami sediakan siksa yang pedih."
(An-Nisa`: 17-18).
#
{17 ـ 18} توبة الله على عباده
نوعان: توفيقٌ منه للتوبة، وقبول لها بعد وجودها من العبد. فأخبر
هنا أن التوبة المستحقَّة على الله حقًّا أَحقَّه على نفسه كرماً
منه وجوداً لمن عمل السوء؛ أي: المعاصي
{بجهالة}؛
أي:
جهالة منه لعاقبتها وإيجابها لسخط الله وعقابه، وجهل منه لنظر
الله ومراقبته له، وجهل منه بما تؤول إليه من نقص الإيمان أو
إعدامه؛ فكل عاصٍ لله فهو جاهل بهذا الاعتبار وإن كان عالماً
بالتحريم، بل العلم بالتحريم شرطٌ لكونها معصيةً معاقَب عليها.
{ثم يتوبون من قريبٍ}: يُحتمل أن
يكونَ المعنى: ثمَّ يتوبون قبل معاينة الموت؛ فإن الله يقبل توبة
العبد إذا تاب قبل معاينة الموت والعذاب قطعاً، وأما بعد حضور
الموت؛ فلا يُقْبَلُ من العاصين توبةٌ ولا من الكفار رجوعٌ؛
كما قال تعالى عن فرعون:
{فلمَّا أدركَه الغرقُ قال آمنتُ أنه لا إله إلا الذي آمنت به
بنو إسرائيل وأنا من المسلمين ... }
الآية، وقال تعالى:
{فلما رأوا بأسنا قالوا آمنّا بالله وحده وكفرنا بما كنّا به
مشركين. فلم يكن ينفعُهم إيمانُهم لمَّا رأوا بأسنا سنةَ الله
التي قد خلتْ في عبادِهِ}، وقال هنا:
{وليست التوبة للذين يعملون السيئات}؛ أي: المعاصي فيما دون الكفر.
{حتى إذا حضر أحدهم الموت قال إني تبت الآن ولا الذين يموتون
وهم كفار فأولئك أعتدنا لهم عذاباً أليماً}، وذلك أن التوبة في هذه الحال توبةُ اضطرارٍ لا تنفع صاحِبَها،
إنما تنفع توبةُ الاختيار.
ويُحتمل أن يكون معنى قوله:
{من قريبٍ}؛
أي:
قريب من فعلهم للذنب الموجب للتوبة،
فيكون المعنى:
أنَّ مَن بادر إلى الإقلاع من حين صدور الذنب وأناب إلى الله
وندم عليه؛ فإنَّ الله يتوبُ عليه؛ بخلاف من استمرَّ على ذنبه
وأصرَّ على عيوبه حتى صارت فيه صفات راسخة؛ فإنه يَعْسُرُ عليه
إيجاد التوبة التامة، والغالب أنه لا يوفَّق للتوبة ولا ييسَّر
لأسبابها؛ كالذي يعمل السوء على علم قائم ويقين متهاون بنظر الله
إليه؛ فإنه يسدُّ على نفسه باب الرحمة. نعم؛ قد يوفِّق اللهُ
عبده المصرَّ على الذنوب عن عمد ويقينٍ للتوبة النافعة التي يمحو
بها ما سَلَفَ من سيئاته وما تقدَّم من جناياتِهِ، ولكنَّ الرحمة
والتوفيق للأول أقرب،
ولهذا ختم الآية الأولى بقوله:
{وكان الله عليماً حكيماً}؛ فمن
علمِهِ أنه يعلم صادقَ التوبة وكاذبَها، فيجازي كلاًّ منهما بحسب
ما استحقَّ بحكمتِهِ، ومن حكمته أن يوفِّق من اقتضت حكمتُهُ
ورحمتُهُ توفيقَه للتوبة، ويخذلَ من اقتضت حكمتُهُ وعدلُهُ عدم
توفيقه. والله أعلم.
(17) Taubat dari Allah terhadap
hamba-hambaNya ada dua macam; pertama, taufik dariNya untuk
melakukan taubat itu sendiri, dan kedua, penerimaanNya akan
taubat tersebut setelah dilakukan oleh sang hamba. Di sini,
Allah mengabarkan bahwa taubat yang hanya berhak dialamatkan
kepada Allah adalah haq yang hanya Allah peruntukkan bagi
DiriNya, sebagai kebaikan dan anugerah dariNya bagi orang yang
melakukan perbuatan dosa, yaitu kemaksiatan ﴾ بِجَهَٰلَةٖ
﴿ "lantaran kejahilan" yaitu kebodohan darinya akan akibat
perbuatan itu dan konsekuensi kemurkaan dan siksaan Allah
terhadapnya, kebodohannya akan pengawasan dan pengamatan Allah
terhadap dirinya, kebodohannya akan hasil dari perbuatannya
itu berupa berkurangnya atau hilangnya iman darinya, maka
setiap pelaku kemaksiatan terhadap Allah adalah jahil dengan
kondisi seperti itu walaupun ia mengetahui akan keharamannya,
bahkan mengetahui keharaman sesuatu adalah syarat suatu
kemaksiatan yang mendapat hukuman karenanya, ﴾
ثُمَّ يَتُوبُونَ مِن قَرِيبٖ
﴿ "yang kemudian mereka bertaubat dengan segera" kemungkinan
maknanya adalah; kemudian mereka bertaubat sebelum menyaksikan
kematian, karena Allah menerima taubat seorang hamba apabila
ia bertaubat sebelum ada kepastian bahwa ia akan mati dan
sebelum ada siksaan secara pasti, sedangkan se-telah hadirnya
kematian, maka tidaklah akan diterima dari pelaku kemaksiatan
suatu taubat pun dan tidak akan diterima pula ke-imanan dari
orang kafir, sebagaimana Allah سبحانه وتعالى berfirman tentang
Fir'aun, ﴾
حَتَّىٰٓ إِذَآ أَدۡرَكَهُ ٱلۡغَرَقُ قَالَ ءَامَنتُ أَنَّهُۥ
لَآ إِلَٰهَ إِلَّا ٱلَّذِيٓ ءَامَنَتۡ بِهِۦ بَنُوٓاْ
إِسۡرَٰٓءِيلَ وَأَنَا۠ مِنَ ٱلۡمُسۡلِمِينَ 90
﴿ "Hingga bila Fir'aun itu telah hampir tenggelam, berkatalah
dia, 'Saya percaya bahwa tidak ada tuhan melainkan Rabb yang
dipercayai oleh Bani Israil, dan saya termasuk orang-orang
yang berserah diri (ke-pada Allah)'."
(Yunus: 90). Dan Allah تعالى berfirman
﴾
فَلَمَّا رَأَوۡاْ بَأۡسَنَا قَالُوٓاْ ءَامَنَّا بِٱللَّهِ
وَحۡدَهُۥ وَكَفَرۡنَا بِمَا كُنَّا بِهِۦ مُشۡرِكِينَ 84 فَلَمۡ
يَكُ يَنفَعُهُمۡ إِيمَٰنُهُمۡ لَمَّا رَأَوۡاْ بَأۡسَنَاۖ سُنَّتَ
ٱللَّهِ ٱلَّتِي قَدۡ خَلَتۡ فِي عِبَادِهِۦۖ
﴿ "Maka tatkala mereka melihat azab Kami, mereka berkata,
'Kami ber-iman hanya kepada Allah saja, dan kami kafir kepada
sembahan-sembahan yang telah kami persekutukan dengan Allah.'
Maka iman mereka tiada berguna bagi mereka tatkala mereka
telah melihat siksa Kami. Itulah sun-nah Allah yang telah
berlaku terhadap hamba-hambaNya."
(Al-Mu`min: 84-85). Dan Allah berfirman di sini, ﴾
وَلَيۡسَتِ ٱلتَّوۡبَةُ لِلَّذِينَ يَعۡمَلُونَ ٱلسَّيِّـَٔاتِ
﴿ "Dan tidaklah taubat itu diterima Allah dari orang-orang
yang menger-jakan kejahatan," yaitu kemaksiatan-kemaksiatan
selain kekufuran, ﴾
حَتَّىٰٓ إِذَا حَضَرَ أَحَدَهُمُ ٱلۡمَوۡتُ قَالَ إِنِّي تُبۡتُ
ٱلۡـَٰٔنَ وَلَا ٱلَّذِينَ يَمُوتُونَ وَهُمۡ كُفَّارٌۚ
أُوْلَٰٓئِكَ أَعۡتَدۡنَا لَهُمۡ عَذَابًا أَلِيمٗا
﴿ "hingga apabila datang ajal kepada seseorang di antara
mereka, (barulah) ia mengatakan,
'Sesungguhnya saya bertaubat sekarang.' Dan tidak
(pula diterima taubat) orang-orang
yang mati sedang mereka di dalam kekafiran. Bagi orang-orang
itu telah Kami sediakan siksa yang pedih," yang demikian itu
karena taubat dalam kondisi seperti itu adalah taubat yang
terpaksa yang tidak berguna bagi pelakunya, padahal
sesungguhnya yang bermanfaat itu hanyalah taubat pilihan atau
kesadaran. Dan kemungkinan[17] juga
makna FirmanNya, ﴾
مِن قَرِيبٖ
﴿ "Dengan segera" yaitu segera setelah perbuatan dosa
tersebut yang meng-haruskan adanya taubat, maka maknanya
adalah, bahwa barang-siapa yang bersegera dalam menarik diri
sejak timbulnya dosa dan berserah diri kepada Allah serta
menyesali perbuatan itu, maka sesungguhnya Allah akan
mengampuni dosanya, berbeda halnya dengan orang yang terus
menerus dengan dosanya dan berkelan-jutan dalam aib-aibnya itu
hingga menjadi sebuah sifat yang me-nempel pada dirinya, maka
sesungguhnya akan sulit baginya untuk bertaubat secara total,
bahkan biasanya ia tidak mendapatkan taufik taubat dan tidak
dimudahkan kepada sebab-sebabnya, seperti seseorang yang
melakukan perbuatan dosa atas dasar ilmu yang jelas dan
keyakinan yang dibarengi dengan sikap meremehkan pengawasan
Allah terhadapnya, maka sesungguhnya ia telah me-nutup pintu
rahmat bagi dirinya sendiri. Memang benar, bahwa Allah
terkadang memberikan taufik kepada hambaNya yang selalu
melakukan dosa dan maksiat dengan kesengajaan dan keyakinan
menuju taubat yang berguna di mana Allah akan menghapus dengan
taubat itu apa-apa yang telah lalu berupa dosa-dosa dan
kejahatan-kejahatannya, akan tetapi rahmat dan taufik itu
lebih dekat kepada orang yang pertama, oleh karena itulah
Allah menutup ayat pertama tersebut dengan FirmanNya, ﴾
وَكَانَ ٱللَّهُ عَلِيمًا حَكِيمٗا ﴿ "Dan Allah Maha Mengetahui
lagi Mahabijaksana" dan di antara ilmu Allah adalah bahwa Dia
mengetahui orang yang benar dalam bertaubat dan orang yang
berdusta, dan akan membalas setiap dari kedua orang tersebut
sesuai dengan hak keduanya menurut hikmahNya, dan di antara
hikmahNya adalah Allah akan memberikan taufik kepada orang yang
hikmah dan rahmatNya menghendaki orang tersebut kepada taubat,
dan Allah akan menghinakan orang yang hikmah dan keadilanNya
meng-hendaki tidak memberi taufik kepadanya, Wallahu a'lam.
{يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ
تَرِثُوا النِّسَاءَ كَرْهًا وَلَا تَعْضُلُوهُنَّ
لِتَذْهَبُوا بِبَعْضِ مَا آتَيْتُمُوهُنَّ إِلَّا أَنْ
يَأْتِينَ بِفَاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ وَعَاشِرُوهُنَّ
بِالْمَعْرُوفِ فَإِنْ كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَى أَنْ
تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللَّهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا
(19) وَإِنْ أَرَدْتُمُ اسْتِبْدَالَ
زَوْجٍ مَكَانَ زَوْجٍ وَآتَيْتُمْ إِحْدَاهُنَّ قِنْطَارًا
فَلَا تَأْخُذُوا مِنْهُ شَيْئًا أَتَأْخُذُونَهُ بُهْتَانًا
وَإِثْمًا مُبِينًا (20) وَكَيْفَ
تَأْخُذُونَهُ وَقَدْ أَفْضَى بَعْضُكُمْ إِلَى بَعْضٍ
وَأَخَذْنَ مِنْكُمْ مِيثَاقًا غَلِيظًا
(21)}
.
"Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mem-pusakai
wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyu-sahkan mereka
karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah
kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan
perbuatan keji yang nyata. Dan bergaullah dengan mereka secara
patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka,
(maka bersabarlah), karena mungkin kamu
tidak menyukai se-suatu, padahal Allah menjadikan padanya
kebaikan yang banyak. Dan jika kamu ingin mengganti istrimu
dengan istri yang lain, se-dang kamu telah memberikan kepada
seseorang di antara mereka harta yang banyak, maka janganlah
kamu mengambil kembali dari padanya barang sedikit pun. Apakah
kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta
dan dengan
(menang-gung) dosa yang
nyata? Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal
sebagian kamu telah bergaul
(bercampur) dengan yang lain sebagai
suami-istri? Dan mereka
(istri-istrimu) telah mengambil dari
kamu perjanjian yang kuat."
(An-Nisa`: 19-21).
#
{19} كانوا في الجاهلية إذا مات
أحدهم عن زوجته؛ رأى قريبُهُ كأخيه وابن عمه ونحوهما ـ أنه أحقُّ
بزوجته من كل أحدٍ، وحماها عن غيره، أحبت أو كرهت؛ فإن أحبَّها؛
تزوجها على صداق يحبُّه دونها، وإن لم يرضها؛ عَضَلَها فلا
يزوِّجها إلاَّ مَن يختاره هو، وربما امتنع من تزويجها حتى تبذل
له شيئاً من ميراث قريبه أو من صداقها. وكان الرجل أيضاً يعضُلُ
زوجته التي يكون يكرهُها ليذهبَ ببعض ما آتاها.
فنهى الله المؤمنين عن جميع هذه الأحوال إلا حالتين:
إذا رضيت واختارت نكاح قريب زوجها الأول كما هو مفهومُ قولِهِ:
{كَرْهاً}. وإذا أتَيْنَ بفاحشة
مبيِّنةٍ كالزنا والكلام الفاحش وأذيتها لزوجها؛ فإنه في هذه
الحال يجوز له أن يعضُلَها عقوبةً لها على فعلها، لتفتدي منه إذا
كان عضلاً بالعدل. ثم قال:
{وعاشروهنَّ بالمعروف}: وهذا يشمل
المعاشرةَ القوليَّة والفعليَّة، فعلى الزوج أن يعاشر زوجته
بالمعروف من الصحبة الجميلة وكفِّ الأذى وبذل الإحسان وحسن
المعاملة، ويدخل في ذلك النفقة والكسوة ونحوهما، فيجب على الزوج
لزوجته المعروف من مثلِهِ لمثلها في ذلك الزمان والمكان، وهذا
يتفاوت بتفاوت الأحوال.
{فإن كرهتموهنَّ فعسى أن تكرهوا شيئاً ويجعلَ الله فيه خيراً
كثيراً}؛ أي: ينبغي لكم أيها الأزواج أن
تُمْسِكوا زوجاتِكم مع الكراهة لهنَّ؛
فإنَّ في ذلك خيراً كثيراً:
من ذلك امتثالُ أمر الله وقَبولُ وصيَّته التي فيها سعادة الدنيا
والآخرة. ومنها: أن إجباره نفسه مع عدم
محبَّته لها فيه مجاهدةُ النفس والتخلُّق بالأخلاق الجميلة،
وربما أن الكراهة تزول وتخلُفُها المحبةُ كما هو الواقع في ذلك،
وربما رُزِقَ منها ولداً صالحاً، نفع والديه في الدنيا والآخرة.
(19) Pada zaman jahiliyah, bila salah
seorang di antara mereka meninggal dunia dengan meninggalkan
seorang istri, nis-caya karib-kerabatnya seperti saudara
laki-lakinya, anak laki-laki pamannya atau semisalnya memandang
bahwa dialah yang paling berhak atas diri istri mayit tersebut
dari siapa pun, dan melindu-nginya dari selain dirinya, baik ia
suka maupun tidak, dan bila ia menyukai istri mayit tersebut,
maka akan dinikahinya dengan mahar yang dikehendakinya tanpa
persetujuan wanita tersebut, namun bila ia tidak menyukainya, ia
akan menjauhinya dan tidak akan ia kawinkan kecuali dengan
seseorang yang menjadi pilihan-nya sendiri, atau bahkan ia tidak
akan mengawinkannya hingga ia diberi oleh wanita itu beberapa
harta dari warisan karibnya yang meninggal tadi atau dari
maharnya, dan seorang laki-laki juga akan menjauhi istrinya yang
ia benci agar ia dapat pergi dengan sebagian harta yang telah ia
berikan kepada istrinya tersebut. Allah سبحانه وتعالى kemudian
melarang kaum Muslimin dari melakukan hal-hal seperti itu
kecuali dalam dua kondisi; apabila ia rela dan memilih untuk
menikah dengan kerabat suaminya yang pertama sebagaimana
pemahaman terbalik,
(Mafhum Mukhalafah) dari Fir-manNya, ﴾
كَرۡهٗاۖ
﴿ "Dengan jalan paksa." Dan bila mereka melakukan kekejian
yang nyata seperti perzinaan, perkataan yang keji dan
perlakuan buruk terhadap suaminya, maka dalam kondisi seperti
ini boleh baginya menyusahkan wanita tersebut sebagai suatu
hukuman baginya karena perbuatannya tersebut, dan agar ia
me-nebus kesalahan dirinya, tetapi dengan syarat tindakan
menyusah-kan istri tersebut dilakukan secara adil. Kemudian
Allah berfirman, ﴾
وَعَاشِرُوهُنَّ بِٱلۡمَعۡرُوفِۚ
﴿ "Dan bergaullah dengan mereka secara patut," hal ini
mencakup pergaulan dengan perkataan maupun perbuatan, karena
itu suami wajib menggauli istrinya dengan baik, berupa
hubungan yang baik, mencegah ada-nya gangguan, memberikan
kebaikan, dan ramah dalam bermua-malah, dan termasuk dalam hal
itu juga adalah memberi nafkah serta pakaian dan semacamnya.
Suami wajib memberikan kebu-tuhan istri sesuai standar
(istri semisalnya) yang disesuaikan
dengan kemampuan suami pada masa dan tempat tersebut, dan hal
ini tentunya akan berbeda sesuai dengan perbedaan kondisinya.
﴾
فَإِن كَرِهۡتُمُوهُنَّ فَعَسَىٰٓ أَن تَكۡرَهُواْ شَيۡـٔٗا
وَيَجۡعَلَ ٱللَّهُ فِيهِ خَيۡرٗا كَثِيرٗا ﴿ "Kemudian bila kamu
tidak menyukai mereka,
(maka bersabarlah), karena mungkin kamu
tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya
kebaikan yang banyak," maksudnya, seyogyanya bagi kalian wahai
para suami untuk tetap bersama istri-istri kalian walaupun
kalian membenci mereka, karena dalam hal tersebut tersimpan
kebaikan yang banyak, dan di antara kebaikan itu adalah
pelaksanaan perintah Allah dan menerima wasiatNya, di mana dalam
hal itu menjadi penyebab kebahagiaan dunia dan akhirat. Di
samping itu pemaksaan dirinya untuk bertahan padahal ia
membencinya adalah sebuah perjuangan melawan hawa nafsu dan
menghiasi diri dengan akhlak yang luhur, dan mungkin saja
kebencian itu akan lenyap dan akan diganti dengan kecintaan
sebagaimana yang nyata terjadi, dan mungkin juga darinya ia akan
diberikan rizki yaitu anak yang shalih yang berguna bagi kedua
orang tuanya di dunia dan akhirat.
#
{20} وهذا كله مع الإمكان في
الإمساك وعدم المحذور، فإنْ كان لا بدَّ من الفراق وليس للإمساك
محلٌّ؛ فليس الإمساك بلازم، بل متى
{أردتم استبدال زوج مكان زوج}؛ أي: تطليق زوجة وتزوُّج أخرى؛
أي:
فلا جُناح عليكم في ذلك ولا حرج، ولكن إذا
{آتيتم إحداهن}؛
أي:
المفارِقة أو التي تزوجها
{قنطاراً}؛
أي:
مالاً كثيراً.
{فلا تأخذوا منه شيئاً}، بل
وفِّروه لهن ولا تَمْطُلوا بهنَّ. وفي هذه الآية دلالة على عدم
تحريم كثرة المهر، مع أن الأفضل واللائق الاقتداء بالنبي - صلى
الله عليه وسلم - في تخفيف المهر، ووجه الدلالة أنَّ الله أخبر
عن أمر يقعُ منهم ولم ينكِرْه عليهم، فدل على عدم تحريمه. لكن قد
ينهى عن كثرة الصداق إذا تضمن مفسدة دينية وعدم مصلحةٍ
تقاوم. ثم قال:
{أتأخذونه بهتاناً وإثماً مبيناً}؛
فإنَّ هذا لا يحلُّ، ولو تحيَّلتم عليه بأنواع الحيل؛ فإن إثمه
واضح.
(20) Ini semua dengan kondisi yang
memungkinkan bagi-nya untuk tetap bersama dan tidak adanya
perkara yang diharam-kan, namun bila harus berpisah dan tidak
mungkin untuk bersama lagi, maka tidaklah wajib untuk bertahan
bersama, akan tetapi ketika ﴾ أَرَدتُّمُ ٱسۡتِبۡدَالَ زَوۡجٖ
مَّكَانَ زَوۡجٖ
﴿ "kamu ingin mengganti istrimu dengan istri yang lain,"
yaitu mentalak seorang istri dan menikahi wanita yang lain,
artinya tidak ada dosa bagi kalian dalam hal ter-sebut dan
tidak ada salahnya, akan tetapi bila ﴾
وَءَاتَيۡتُمۡ إِحۡدَىٰهُنَّ
﴿ "telah memberikan kepada seseorang di antara mereka," yaitu
yang kalian talak atau yang kalian nikahi, ﴾
قِنطَارٗا
﴿ "harta yang banyak," yaitu harta yang banyak, ﴾
فَلَا تَأۡخُذُواْ مِنۡهُ شَيۡـًٔاۚ
﴿ "maka janganlah kamu mengambil kembali dari padanya barang
sedikit pun," akan tetapi kalian harus membiarkan itu semua
untuknya dan janganlah kalian mengung-kit-ungkitnya. Ayat ini
menunjukkan bahwa tidaklah haram memberikan mahar yang besar,
walaupun sesungguhnya lebih baik dan lebih utama adalah
mencontoh Nabi ﷺ dalam meringankan mahar. Dan hal itu dapat
dipahami dari ayat ini bahwa Allah mengabarkan tentang suatu
perkara yang terjadi pada mereka namun tidak mengingkari
mereka akan hal tersebut, dengan demikian hal itu menunjukkan
bahwa perkara tersebut tidaklah haram hukumnya. Akan tetapi
mahar yang besar dapat saja dilarang apabila mengandung
kemudharatan dalam agama dan tidak ada maslahat yang sepadan,
kemudian Allah berfirman, ﴾
أَتَأۡخُذُونَهُۥ بُهۡتَٰنٗا وَإِثۡمٗا مُّبِينٗا ﴿ "Apakah kamu
akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan
dengan
(menanggung) dosa yang nyata?"
Karena sesung-guhnya hal tersebut tidaklah halal, walaupun
kalian melakukan tipu daya dengan berbagai trik; sesungguhnya
dosanya telah jelas.
#
{21} وقد بيَّن تعالى حكمة ذلك
بقوله:
{وكيف تأخذونه وقد أفضى بعضكم إلى بعض وأخذن منكم ميثاقاً
غليظاً}، وبيان ذلك أن الزوجة قبل عقد النكاح محرمةٌ على الزوج، ولم
ترضَ بحلِّها له إلا بذلك المهر الذي يدفعُهُ لها؛ فإذا دخل بها
وأفضى إليها وباشرها المباشرة التي كانت حراماً قبل ذلك والتي لم
ترض ببذلها إلاَّ بذلك العوض؛ فإنَّه قد استوفى المعوَّض، فثبت
عليه العِوَض؛ فكيف يَسْتَوفي المعوَّض ثم بعد ذلك يرجع على
العوض؟ هذا من أعظم الظلم والجور، وكذلك أخذ الله على الأزواج
ميثاقاً غليظاً بالعقد والقيام بحقوقها.
ثم قال تعالى:
(21) Sesungguhnya Allah سبحانه وتعالى
telah menjelaskan hikmah akan hal tersebut dengan FirmanNya,﴾
وَكَيۡفَ تَأۡخُذُونَهُۥ وَقَدۡ أَفۡضَىٰ بَعۡضُكُمۡ إِلَىٰ بَعۡضٖ
وَأَخَذۡنَ مِنكُم مِّيثَٰقًا غَلِيظٗا ﴿ "Bagaimana kamu akan
mengambilnya kem-bali, padahal sebagian kamu telah bergaul
(bercampur) dengan yang lain sebagai
suami-istri. Dan mereka
(istri-istrimu) telah mengambil dari
kamu perjanjian yang kuat." Penjelasannya adalah bahwa istri
sebelum akad nikah adalah haram bagi suami, dan tidaklah ia
merelakan dirinya agar halal baginya kecuali dengan mahar
tersebut yang telah diberikan suami kepadanya, dan bila ia telah
bercampur dengannya, menggaulinya dan menyentuhnya dengan
sentuhan yang awalnya adalah haram sebelum itu dan tidaklah ia
mau menyerahkannya kecuali dengan kompensasi, sesungguhnya ia
telah merenggut hal yang harus diberi kompensasi, maka wajiblah
atasnya memberikan kompensasi tersebut, lalu bagaimana mungkin
ia mengambil hal yang harus diberikan kompensasi kemudian
setelah itu ia mau menarik kembali kompensasi itu darinya?
Inilah kezhaliman dan kesewenang-wenangan yang paling besar,
Allah juga telah mengambil perjanjian yang kuat dari para suami
dengan adanya akad dan
(perintah untuk) memenuhi hak-hak
istrinya, kemudian Allah سبحانه وتعالى berfirman,
{وَلَا تَنْكِحُوا مَا نَكَحَ آبَاؤُكُمْ مِنَ النِّسَاءِ
إِلَّا مَا قَدْ سَلَفَ إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَمَقْتًا
وَسَاءَ سَبِيلًا (22)}
.
"Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini
oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau.
Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah dan
se-buruk-buruk jalan
(yang ditempuh)."
(An-Nisa`: 22).
#
{22} أي: لا تتزوَّجوا من النساء
ما تزوَّجهنَّ آباؤكم؛ أي: الأب وإن
علا. {إنه كان فاحشة}؛
أي:
أمراً قبيحاً يفحُشُ ويعظُمُ قبحُهُ.
{ومَقْتاً}: من الله لكم، ومن
الخلق، بل يَمْقُتُ بسبب ذلك الابن أباه والأب ابنه مع الأمر
ببرِّه. {وساء سبيلاً}؛
أي:
بئس الطريق طريقاً لمن سلكه؛ لأنَّ هذا من عوائد الجاهلية التي
جاء الإسلام بالتنزُّه عنها والبراءة منها.
(22) Maksudnya, janganlah kalian
menikahi wanita-wanita yang telah dinikahi oleh bapak-bapak
kalian, artinya ayah dan se-terusnya ke atas, ﴾ إِنَّهُۥ كَانَ
فَٰحِشَةٗ
﴿ "sesungguhnya perbuatan itu amat keji" yaitu perkara yang
buruk, di mana hal itu adalah keji dan keburukannya pun sangat
besar, ﴾
وَمَقۡتٗا
﴿ "dan dibenci" oleh Allah dan makhluk, bahkan karena hal itu
seorang anak akan membenci ayahnya, dan seorang bapak akan
membenci anaknya padahal ada perintah untuk berbakti
kepadanya, ﴾
وَسَآءَ سَبِيلًا ﴿ "dan seburuk-buruk jalan
(yang ditempuh)" yaitu jalan terjelek
bagi orang yang menempuh jalan tersebut, karena hal tersebut di
antara kebiasaan-kebiasaan jahiliyah di mana Islam datang untuk
membersihkannya dan melepaskan diri darinya.
{حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ
وَأَخَوَاتُكُمْ وَعَمَّاتُكُمْ وَخَالَاتُكُمْ وَبَنَاتُ
الْأَخِ وَبَنَاتُ الْأُخْتِ وَأُمَّهَاتُكُمُ اللَّاتِي
أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ مِنَ الرَّضَاعَةِ
وَأُمَّهَاتُ نِسَائِكُمْ وَرَبَائِبُكُمُ اللَّاتِي فِي
حُجُورِكُمْ مِنْ نِسَائِكُمُ اللَّاتِي دَخَلْتُمْ بِهِنَّ
فَإِنْ لَمْ تَكُونُوا دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَلَا جُنَاحَ
عَلَيْكُمْ وَحَلَائِلُ أَبْنَائِكُمُ الَّذِينَ مِنْ
أَصْلَابِكُمْ وَأَنْ تَجْمَعُوا بَيْنَ الْأُخْتَيْنِ إِلَّا
مَا قَدْ سَلَفَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ غَفُورًا رَحِيمًا
(23) وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ
النِّسَاءِ إِلَّا مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ كِتَابَ اللَّهِ
عَلَيْكُمْ وَأُحِلَّ لَكُمْ مَا وَرَاءَ ذَلِكُمْ أَنْ
تَبْتَغُوا بِأَمْوَالِكُمْ مُحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ
فَمَا اسْتَمْتَعْتُمْ بِهِ مِنْهُنَّ فَآتُوهُنَّ
أُجُورَهُنَّ فَرِيضَةً وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا
تَرَاضَيْتُمْ بِهِ مِنْ بَعْدِ الْفَرِيضَةِ إِنَّ اللَّهَ
كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا (24)}
.
"Diharamkan atas kamu
(mengawini) ibu-ibumu, anak-anakmu yang
perempuan, saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara
bapakmu yang perempuan, saudara-saudara ibumu yang perempuan,
anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki,
anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan,
ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan,
ibu-ibu istrimu
(mertua), anak-anak
istrimu yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu
campuri; tetapi jika kamu belum bercampur dengan istrimu itu
(dan sudah kamu ceraikan), maka tidak
berdosa kamu menga-wininya;
(dan diharamkan bagimu) istri-istri anak
kandungmu
(menantu), dan menghimpunkan
(dalam perkawinan) dua perem-puan yang
bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lam-pau;
sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."
(An-Nisa`: 23-24). "Dan
(diharamkan juga kamu mengawini) wanita
yang ber-suami, kecuali budak-budak yang kamu miliki
(Allah telah mene-tapkan hukum itu)
sebagai ketetapanNya atas kamu. Dan diha-lalkan bagi kamu selain
yang demikian
(yaitu) mencari
istri-istri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina.
Maka istri-istri yang telah kamu nikmati
(campuri) di antara mereka, berikan-lah
kepada mereka maharnya
(dengan sempurna), sebagai suatu
kewajiban; dan tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang
kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana."
(An-Nisa`: 24).
#
{23} فأما المحرمات في النسب؛
فهنَّ السبعُ اللاتي ذكرهنَّ الله:
الأمُّ: يدخل فيها كلُّ من لها عليك ولادةٌ وإن بَعُدَتْ. ويدخل
في البنت كلُّ من لك عليها ولادة. والأخوات الشقيقات أو لأبٍ أو
لأمٍ. والعمة: كلُّ أختٍ لأبيك أو
لجدِّك وإن علا. والخالة: كلُّ أخت
لأمِّك أو جدَّتك وإن علت وارثة أم لا. وبناتُ الأخ وبناتُ
الأخت؛ أي: وإن نزلت. فهولاء هنَّ
المحرَّمات من النسب بإجماع العلماء؛ كما هو نصُّ الآية الكريمة،
وما عداهنَّ؛ فيدخُلُ في قولِهِ:
{وأحِلَّ لكم ما وراء ذلكم}، وذلك
كبنت العمَّة والعمِّ وبنت الخال والخالة. وأما المحرَّمات
بالرَّضاع؛ فقد ذكر الله منهنَّ الأمَّ والأخت، وفي ذلك تحريم
الأم، مع أنَّ اللبن ليس لها، إنَّما هو لصاحب اللبن، دلَّ
بتنبيهه على أن صاحب اللبن يكون أباً للمرتضع؛ فإذا ثبتت الأبوة
والأمومة؛ ثبت ما هو فرعٌ عنهما؛ كأخوتهما وأصولهما وفروعهما ،
وقال النبي - صلى الله عليه وسلم -:
«يحرُمُ من الرَّضاع ما يحرُمُ من النسب»
، فينتشر التحريم من جهة المرضعة ومَن له اللبن كما ينتشر في
الأقارب وفي الطفل المرتضع إلى ذريَّته فقط، لكن بشرط أن يكون
الرضاعُ خمسَ رَضَعات في الحولين؛ كما بيَّنت السنة. وأما
المحرمات بالصهر؛ فهنَّ أربع: حلائل
الآباء وإن علوا، وحلائل الأبناء وإن نزلوا وارثين أو محجوبين،
وأمهات الزوجة وإن علون؛ فهؤلاء الثلاث يَحْرُمْنَ بمجرَّد
العقد، والرابعة الربيبة، وهي بنت زوجته وإن نزلت؛ فهذه لا
تحرُمُ حتى يدخلَ بزوجتِهِ؛
كما قال هنا:
{وربائبُكُمُ اللاَّتي في حجورِكُم من نسائِكُمُ اللاتي دخلتم
بهن ... }
الآية. وقد قال الجمهور: إن قوله:
{اللاتي في حجوركم}: قيدٌ خَرَجَ
بمخرَج الغالب لا مفهوم له؛ فإن الربيبة تحرُمُ ولو لم تكن في
حجره، ولكن للتقييد بذلك فائدتان:
إحداهما: [فيه] التنبيه على الحكمة في
تحريم الربيبة، وأنها كانت بمنزلة البنت؛ فمن المستقبح
إباحتها. والثانية: فيه دلالة على جواز
الخَلْوة بالربيبة، وأنها بمنزلة من هي في حجره من بناته ونحوهن.
والله أعلم. وأمّا المحرمات بالجمع؛ فقد ذكر الله الجمع بين
الأختين وحرَّمه، وحرَّم النبي - صلى الله عليه وسلم - الجمع بين
المرأة وعمتها أو خالتها ؛ فكل امرأتين بينهما رحمٌ محرَّم، لو
قُدِّرَ إحداهُما ذكراً والأخرى أنثى حَرُمَتْ عليه؛ فإنه يحرُمُ
الجمع بينهما، وذلك لما في ذلك من أسباب التقاطع بين الأرحام.
(23) Ayat-ayat yang mulia ini mengandung
penjelasan tentang wanita-wanita yang diharamkan karena
pertalian darah, dan wanita-wanita yang diharamkan karena
persusuan dan wanita-wanita yang diharamkan karena perkawinan
dan wanita-wanita yang diharamkan karena penyatuan dan juga
wanita-wanita yang dihalalkan. Adapun wanita-wanita yang
diharamkan karena pertalian darah, mereka ada tujuh kelompok
sebagaimana yang disebutkan oleh Allah,
yaitu:
Ibu, dan termasuk dalam makna ibu adalah setiap orang yang
menjadi sebab kelahiran dirimu walaupun jauh. Kemudian anak
perempuan, dan termasuk dalam makna anak perempuan adalah setiap
orang yang engkau menjadi penyebab kelahirannya. Saudara
perempuan kandung atau seayah atau seibu. Saudara perempuan ayah
yaitu seluruh saudara perempuan ayah Anda atau kakek Anda dan
seterusnya ke atas. Saudara perempuan ibu, yaitu setiap saudara
perempuan ibu Anda atau nenek Anda dan seterusnya ke atas yang
menjadi ahli waris ataupun tidak. Keponakan perempuan dari
saudara laki-laki dan keponakan perempuan dari saudara perempuan
dan seterusnya ke bawah. Mereka semua itu adalah wanita-wanita
yang diharamkan karena pertalian darah menurut ijma' para ulama,
sebagaimana juga nash ayat yang mulia di atas, sedangkan selain
dari mereka, maka ter-masuk dalam Firman Allah, ﴾ وَأُحِلَّ
لَكُم مَّا وَرَآءَ ذَٰلِكُمۡ
﴿ "Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian" yang
demikian itu seperti anak perem-puan bibi atau paman dari ayah
atau anak perempuan bibi atau paman dari ibu. Adapun
wanita-wanita yang diharamkan karena persusuan, maka
sesungguhnya Allah سبحانه وتعالى telah menyebutkan pada ayat
di atas yaitu di antara mereka adalah ibu dan saudara
perempuan, hal itu adalah sebuah dalil tentang haramnya
menikahi ibu, padahal hak air susunya bukanlah miliknya,
sesungguhnya air susu itu adalah hak yang memiliki susu,
indikasi ayat tersebut menunjukkan bahwa pemilik dari air susu
itu adalah ayah bagi anak susuan tersebut, lalu bila telah
terbukti dalam hal tersebut penamaan ayah dan ibu, maka harus
terbukti pula hal-hal yang menjadi cabang dari kedua label
tersebut, seperti saudara-saudara perempuan keduanya, kakek
nenek keduanya, dan keturunan keduanya, dan Nabi ﷺ telah
bersabda, يَحْرُمُ مِنَ الرَّضَاعِ مَا يَحْرُمُ مِنَ
النَّسَبِ. "Diharamkan dari persusuan apa yang diharamkan dari
keturunan."[18] Dengan demikian
tersebarlah pengharaman itu dari pihak ibu yang menyusui dan
pemilik air susu tersebut, sebagaimana juga tersebar pada
sanak famili pada anak tersebut hingga kepada anak
keturunannya saja, akan tetapi dengan syarat persusuan
tersebut adalah sebanyak lima kali susuan dalam usia dua
tahun, sebagai-mana yang telah dijelaskan oleh sunnah."[19]
Adapun wanita-wanita yang diharamkan karena pernikahan adalah
empat kelompok, yaitu istri-istri bapak dan seterusnya ke
atas, istri-istri anak dan seterusnya ke bawah, baik yang
menjadi ahli waris maupun yang terhalang, ibu dari istri dan
seterusnya ke atas, dan mereka yang disebut tadi adalah
diharamkan dengan sempurnanya akad nikah, sedangkan yang
keempat adalah anak perempuan tiri, yaitu anak perempuan
istrinya dan seterusnya ke bawah, kelompok yang satu ini
tidaklah haram kecuali bila suami telah menggauli istrinya,
sebagaimana Allah berfirman dalam ayat ini, ﴾
وَرَبَٰٓئِبُكُمُ ٱلَّٰتِي فِي حُجُورِكُم مِّن نِّسَآئِكُمُ
ٱلَّٰتِي دَخَلۡتُم بِهِنَّ
﴿ "Anak-anak istrimu yang dalam pemeliharaanmu dari istri
yang telah kamu campuri" dan jumhur ulama juga telah berkata,
"Sesungguhnya Firman Allah, ﴾
ٱلَّٰتِي فِي حُجُورِكُم ﴿ "Yang dalam pemeliharaanmu" sebuah
pengikatan yang keluar dari perkara yang sering terjadi hingga
tidak memiliki arti dan makna, karena sesungguhnya anak
perempuan tiri itu tetap haram
(dinikahi) walaupun tidak berada dalam
pemeliharaan. Namun ikatan tersebut memiliki dua faidah;
pertama, menyimpan sebuah indikasi tentang hikmah dari
pengharaman anak perem-puan tiri dan bahwa ia adalah dalam
posisi anak kandung, maka sangatlah jelek menjadikannya halal
untuk dinikahi, kedua; ikatan itu menyimpan sebuah isyarat
tentang bolehnya berkhalwat dengan anak perempuan tiri, karena
ia adalah dalam posisi orang-orang yang ada dalam
pemeliharaannya seperti anak-anak perempuan-nya sendiri dan
semisalnya, Wallahu a'lam. Sedangkan wanita-wanita yang
diharamkan karena peng-himpunan, maka Allah telah menyebutkan
tentang penyatuan dua saudara perempuan kemudian Allah
mengharamkannya, dan Nabi ﷺ juga telah mengharamkan penyatuan
antara seorang perempuan dengan ammah
(bibi dari pihak ayah atau khalah (bibi dari pihak ibu)[20], maka setiap dua perempuan yang
disatukan yang memiliki ikatan pertalian darah adalah
diharamkan, seandainya diumpama-kan salah seorangnya adalah
laki-laki dan lainnya adalah perem- puan, maka yang perempuan
haram bagi yang laki-laki, karena itu diharamkan menyatukan
antara keduanya, yang demikian itu karena akan menjadi salah
satu sebab di antara sebab-sebab putus-nya tali kekeluargaan.
#
{24} ومن المحرَّمات في النكاح
{المحصناتُ من النساء}؛
أي:
ذوات الأزواج؛ فإنَّه يَحْرُمُ نكاحهنَّ ما دمنَ في ذمة الزوج
حتى تَطْلُقَ وتنقضيَ عِدَّتُها؛
{إلا ما ملكت أيمانكُم}؛
أي:
بالسبي؛ فإذا سُبِيَتِ الكافرةُ ذات الزوج؛ حلَّت للمسلمين بعد
أن تُسْتَبْرأ، وأما إذا بيعت الأمة المزوَّجةَ أو وُهِبَتْ؛
فإنَّه لا ينفسخُ نكاحُها؛ لأنَّ المالك الثاني نزل منزلة الأول،
ولقصة بَريرة حين خيَّرها النبيُّ - صلى الله عليه وسلم -.
وقوله:
{كتاب الله عليكم}؛
أي:
الزموه واهتدوا به؛ فإن فيه الشفاء والنور، وفيه تفصيل الحلال من
الحرام. ودخل في قوله:
{وأحِلَّ لكم ما وراء ذلكم}: كلُّ
ما لم يُذْكَرْ في هذه الآية؛ فإنه حلال طيب؛ فالحرام محصورٌ،
والحلال ليس له حدٌّ ولا حصرٌ؛ لطفاً من الله ورحمة وتيسيراً
للعباد. وقوله:
{أن تبتغوا بأموالكم}؛
أي:
تطلُبوا مَن وَقَعَ عليه نظرُكُم واختيارُكُم من اللاتي أباحهنَّ
الله لكم حالة كونكم
{محصنينَ}؛
أي:
مستعفين عن الزنا ومعفين نساءكم.
{غير مسافحين}: والسفحُ سفحُ الماء
في الحلال والحرام؛ فإنَّ الفاعل لذلك لا يحصن زوجته؛ لكونه وضع
شهوته في الحرام، فتضعف داعيته للحلال، فلا يبقى محصناً لزوجته.
وفيها دلالة على أنه لا يزوَّج غيرُ العفيف؛
لقوله تعالى:
{الزاني لا ينكح إلا زانيةً أو مشركةً والزانيةُ لا ينكِحُها
إلا زانٍ أو مشركٌ}. {فما استمتعتم به منهن}؛
أي:
من تزوَّجْتُموها.
{فآتوهنَّ أجورهنَّ}؛
أي:
الأجور في مقابلة الاستمتاع، ولهذا إذا دخل الزوج بزوجته؛ تقرَّر
عليه صداقها {فريضةً}؛
أي:
إتيانكم إياهنَّ أجورهنَّ فرضٌ فرضه الله عليكم، ليس بمنزلة
التبرُّع الذي إن شاء أمضاه وإن شاء ردَّه،
أو معنى قوله:
{فريضةً}؛
أي:
مقدَّرة، قد قدَّرتموها، فوجبت عليكم؛ فلا تنقصوا منها شيئاً.
{ولا جُناح عليكم فيما تراضيتم به من بعد الفريضة}؛ أي: بزيادةٍ من الزوج أو إسقاطٍ من
الزوجة عن رضا وطيب نفس. هذا قولُ كثيرٍ من المفسِّرين.
وقال كثيرٌ منهم:
إنها نزلت في متعة النساء التي كانت حلالاً في أول الإسلام، ثم
حرَّمها النبي - صلى الله عليه وسلم -، وأنه يؤمر بتوقيتها
وأجرها، ثم إذا انقضى الأمد الذي بينهما، فتراضيا بعد الفريضة؛
فلا حرج عليهما. والله أعلم.
{إنَّ الله كان عليماً حكيماً}؛ أي: كامل العلم واسعه، كامل الحكمة؛
فمن علمه وحكمته شرع لكم هذه الشرائع، وحدَّ لكم هذه الحدود
الفاصلة بين الحلال والحرام.
ثم قال تعالى:
(24) Dan di antara wanita-wanita yang
diharamkan dinikahi adalah, ﴾ وَٱلۡمُحۡصَنَٰتُ مِنَ ٱلنِّسَآءِ
﴿ "dan
(diharamkan juga kamu mengawini)
wanita yang bersuami" yaitu wanita-wanita yang telah memiliki
suami, sesungguhnya diharamkan untuk menikahi mereka selama
masih dalam pengayoman suami mereka hingga mereka diceraikan
dan selesai masa iddahnya, ﴾
إِلَّا مَا مَلَكَتۡ أَيۡمَٰنُكُمۡۖ
﴿ "kecuali budak-budak yang kamu miliki" yaitu
(yang didapatkan) dari bagian tawanan
pe-rang, artinya bila seorang perempuan kafir yang bersuami
tertawan, maka halal bagi kaum Muslimin setelah perempuan itu
dinyatakan terlepas dari kehamilan, adapun bila seorang budak
perempuan yang telah menikah dijual atau dihibahkan, maka
status pernikah-annya tidaklah batal, karena pemilik yang
kedua
(yang membeli-nya atau menerimanya)
berposisi seperti posisi pemilik pertama
(yaitu hanya pemilik). Ini berdasarkan
kisah budak perempuan Barirah ketika Nabi ﷺ memberikannya
pilihan[21]. FirmanNya, ﴾
كِتَٰبَ ٱللَّهِ عَلَيۡكُمۡۚ
﴿ "(Allah telah menetapkan hukum itu)
sebagai ketetapanNya atas kamu" yaitu, konsistenlah padanya
dan tetapilah ia sebagai petunjuk, karena hal itu mengandung
penyem-buhan dan cahaya, dan juga mengandung penjelasan secara
rinci antara yang halal dan yang haram. Dan termasuk dalam
FirmanNya, ﴾
وَأُحِلَّ لَكُم مَّا وَرَآءَ ذَٰلِكُمۡ
﴿ "Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian," setiap
perempuan yang tidak disebutkan dalam ayat tersebut adalah
halal lagi baik, jadi yang haram itu terbatas, sedangkan yang
halal tidaklah memiliki batas, sebagai sebuah kasih sayang
dari Allah dan rahmat serta ke-mudahan bagi hamba. Firmannya,
﴾
أَن تَبۡتَغُواْ بِأَمۡوَٰلِكُم
﴿ "(Yaitu) mencari istri-istri dengan
hartamu" yaitu kalian memilih perempuan yang menjadi pilihan
dan kesukaan kalian dari perempuan-perempuan yang telah
dihalalkan oleh Allah bagi kalian ketika kalian dalam keadaan
﴾
مُّحۡصِنِينَ
﴿ "ingin mengawini mereka" yakni menjaga diri dari perzinaan
dan menjaga diri istri-istri kalian, ﴾
غَيۡرَ مُسَٰفِحِينَۚ
﴿ "bukan untuk berzina" as-Safhu adalah menumpahkan air
sperma pada yang halal maupun yang haram, sesungguhnya pelaku
hal tersebut (perzinaan) tidaklah
dikatakan menjaga istrinya, karena ia telah melampiaskan
syahwatnya pada yang haram, hingga lemahlah hasratnya kepada
yang halal, akhirnya tidaklah ia mampu menjaga dirinya untuk
istrinya. Di dalam ayat ini juga terdapat isyarat yang
menunjukkan bahwa orang yang tidak menjaga dirinya janganlah
dinikahi, atas dasar Firman Allah سبحانه وتعالى, ﴾
ٱلزَّانِي لَا يَنكِحُ إِلَّا زَانِيَةً أَوۡ مُشۡرِكَةٗ
وَٱلزَّانِيَةُ لَا يَنكِحُهَآ إِلَّا زَانٍ أَوۡ مُشۡرِكٞۚ
﴿ "Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan
yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang
ber-zina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina
atau laki-laki musyrik."
(An-Nur: 3).
﴾
فَمَا ٱسۡتَمۡتَعۡتُم بِهِۦ مِنۡهُنَّ
﴿ "Maka istri-istri yang telah kamu nikmati
(cam-puri) di antara mereka" yaitu
perempuan-perempuan yang telah kalian nikahi, ﴾
فَـَٔاتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ
﴿ "berikanlah kepada mereka maharnya,
(dengan sempurna)" yaitu imbalan
sebagai suatu timbal-balik
(boleh-nya) menikmati, oleh karena itu
apabila seorang suami telah men-campuri istrinya, maka
wajiblah atasnya memberikan mahar ke-padanya, ﴾
فَرِيضَةٗۚ
﴿ "sebagai suatu kewajiban," maksudnya pemberian mahar yang
dilakukan oleh kalian kepada mereka adalah sebuah kewajiban
yang telah diwajibkan oleh Allah atas kalian, dan bukan bentuk
penghibahan di mana bila mau ia membayarkannya dan bila
menghendaki ia menahannya, atau arti dari Firman Allah سبحانه
وتعالى, ﴾
فَرِيضَةٗۚ
﴿ "Sebagai suatu kewajiban," yaitu yang telah ditentukan, di
mana kalian telah menentukannya, maka wajiblah atas kalian
(untuk membayarnya) dan janganlah
kalian kurangi darinya sedikit pun. ﴾
وَلَا جُنَاحَ عَلَيۡكُمۡ فِيمَا تَرَٰضَيۡتُم بِهِۦ مِنۢ بَعۡدِ
ٱلۡفَرِيضَةِۚ
﴿ "Dan tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu
telah saling merelakannya," yaitu dengan tambahan oleh pihak
suami atau pengguguran dari pihak istri atas dasar keridhaan
dan kerelaan jiwa, inilah pendapat dari sebagian besar para
ulama ahli tafsir. Dan sebagian besar dari me-reka berkata
bahwa sesungguhnya ayat ini turun untuk menerang-kan tentang
Nikah Mut'ah terhadap perempuan di mana pada awal-awal Islam
hukumnya adalah halal, kemudian Nabi ﷺ mengharam-kannya, bahwa
beliau ﷺ memerintahkan agar menentukan waktu dan maharnya,
kemudian bila telah berlalu masa yang ada di antara keduanya
dan mereka berdua saling ridha setelah menentukan mahar
tersebut, maka itu tidaklah haram bagi mereka berdua, Wallahu
a'lam. ﴾
إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمٗا ﴿ "Sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui lagi Mahabijaksana" yaitu ilmu yang sempurna dan luas
serta hikmah yang sempurna, dan di antara ilmu dan hikmahNya
adalah Allah mensyariatkan bagi kalian syariat-syariat ini, dan
menentukan hukum-hukum yang menjelaskan secara terperinci antara
halal dan haram, kemudian Allah سبحانه وتعالى berfirman,
{وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ مِنْكُمْ طَوْلًا أَنْ يَنْكِحَ
الْمُحْصَنَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ فَمِنْ مَا مَلَكَتْ
أَيْمَانُكُمْ مِنْ فَتَيَاتِكُمُ الْمُؤْمِنَاتِ وَاللَّهُ
أَعْلَمُ بِإِيمَانِكُمْ بَعْضُكُمْ مِنْ بَعْضٍ
فَانْكِحُوهُنَّ بِإِذْنِ أَهْلِهِنَّ وَآتُوهُنَّ
أُجُورَهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ مُحْصَنَاتٍ غَيْرَ مُسَافِحَاتٍ
وَلَا مُتَّخِذَاتِ أَخْدَانٍ فَإِذَا أُحْصِنَّ فَإِنْ
أَتَيْنَ بِفَاحِشَةٍ فَعَلَيْهِنَّ نِصْفُ مَا عَلَى
الْمُحْصَنَاتِ مِنَ الْعَذَابِ ذَلِكَ لِمَنْ خَشِيَ
الْعَنَتَ مِنْكُمْ وَأَنْ تَصْبِرُوا خَيْرٌ لَكُمْ وَاللَّهُ
غَفُورٌ رَحِيمٌ (25)}
.
"Dan barangsiapa di antara kamu
(orang merdeka) yang tidak cukup
perbelanjaannya untuk mengawini wanita merdeka lagi beriman, ia
boleh mengawini wanita yang beriman, dari budak-budak yang kamu
miliki. Allah mengetahui keimananmu; sebagian kamu adalah dari
sebagian yang lain, karena itu kawini-lah mereka dengan seizin
tuan mereka, dan berilah maskawin mereka menurut yang patut,
sedang mereka pun wanita-wanita yang memelihara diri, bukan
pezina dan bukan
(pula) wanita yang
mengambil laki-laki lain sebagai piaraannya; dan apabila mereka
telah menjaga diri dengan kawin, kemudian mereka melakukan
perbuatan yang keji
(zina), maka mereka
mendapatkan separuh hukuman dari hukuman wanita-wanita merdeka
yang bersuami.
(Kebolehan mengawini budak) itu, adalah
bagi orang-orang yang takut kepada kesulitan menjaga diri
(dari perbuatan zina) di antara kamu,
dan kesabaran itu lebih baik bagimu. Dan Allah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang."
(An-Nisa`: 25).
#
{25} أي: ومن لم يستطع الطَّول ـ
الذي هو المهر ـ لنكاح المحصنات؛ أي:
الحرائر المؤمنات، وخاف على نفسه العنت؛
أي:
الزنا والمشقة الكثيرة؛ فيجوز له نكاح الإماء المملوكات
المؤمنات، وهذا بحسب ما يظهر، وإلاَّ؛ فالله أعلم بالمؤمن الصادق
من غيره؛ فأمور الدنيا مبنيَّة على ظواهر الأمور، وأحكام الآخرة
مبنيَّة على ما في البواطن.
{فانكِحوهنَّ}؛
أي:
المملوكات {بإذن أهلهنَّ}؛
أي:
سيِّدهن واحداً أو متعدداً.
{وآتوهنَّ أجورهنَّ بالمعروف}؛ أي: ولو كنَّ إماءً؛ فإنه كما يجب
المهر للحرة؛ فكذلك يجب للأمة، ولكن لا يجوز نكاح الإماء إلاَّ
إذا كنَّ {محصنات}؛
أي:
عفيفات عن الزنا،
{غير مسافِحاتٍ}؛
أي:
زانيات علانية،
{ولا متَّخذاتِ أخدانٍ}؛
أي:
أخلاء في السرِّ.
فالحاصل أنه لا يجوز للحرِّ المسلم نكاح أمةٍ إلاَّ بأربعة
شروط ذكرها الله:
الإيمان بهنّ، والعفة ظاهراً وباطناً، وعدم استطاعة طَوْل الحرة،
وخوف العنت؛ فإذا تمت هذه الشروط؛ جاز له نكاحهنَّ، ومع هذا؛
فالصبر عن نكاحهنَّ أفضلُ؛ لما فيه من تعريض الأولاد للرقِّ،
ولما فيه من الدناءة والعيب، وهذا إذا أمكن الصبر؛ فإن لم يمكن
الصبر عن الحرام إلاَّ بنكاحهنَّ؛ وجب ذلك،
ولهذا قال:
{وأن تصبروا خير لكم والله غفور رحيم}. وقوله:
{فإذا أحْصِنَّ}؛
أي:
تزوَّجن أو أسلمن؛ أي: الإماء. فعليهن
نصف ما على المحصنات؛ أي: الحرائر
{من العذاب}. وذلك الذي يمكن
تنصيفُهُ وهو الجلد، فيكون عليهن خمسون جلدةً، وأما الرجم؛ فليس
على الإماء رجمٌ؛ لأنه لا يتنصَّف؛
فعلى القول الأول:
إذا لم يتزوَّجن؛ فليس عليهن حدٌّ، إنما عليهن تعزيرٌ يردعهنَّ
عن فعل الفاحشة. وعلى القول الثاني: إن
الإماء غير المسلمات إذا فعلن فاحشةً أيضاً عزِّرْن.
وختم هذه الآية بهذين الاسمين الكريمين:
الغفور، والرحيم؛ لكون هذه الأحكام رحمة بالعباد وكرماً وإحساناً
إليهم، فلم يضيِّق عليهم، بل وسَّع غاية السعة. ولعل في ذكر
المغفرة بعد ذكر الحدِّ إشارة إلى أن الحدود كفاراتٌ يغفرُ الله
بها ذنوبَ عباده كما وردَ بذلك الحديث. وحُكم العبد الذَّكر في
الحد المذكور حُكم الأمة لعدم الفارق بينهما.
(25) Yaitu barangsiapa yang tidak mampu
memberikan belanja -maksudnya adalah mahar- untuk menikahi
wanita-wanita merdeka, artinya wanita-wanita Mukminat yang
merdeka, dan ia khawatir dirinya terjerumus ke dalam kebinasaan
yaitu perbuatan zina dan kesulitan yang banyak, maka boleh
baginya menikahi budak wanita yang beriman, hal ini menurut apa
yang nampak secara lahiriyah, dan bila tidak demikian, maka
Allah adalah lebih mengetahui tentang seorang Mukmin yang benar
dari selainnya, karena perkara-perkara dunia dibangun atas dasar
apa yang nam-pak, sedangkan perkara-perkara akhirat dibangun
atas dasar apa yang ada dalam batin, ﴾ فَٱنكِحُوهُنَّ
﴿ "karena itu kawinilah mereka" yaitu budak-budak wanita yang
beriman, ﴾
بِإِذۡنِ أَهۡلِهِنَّ
﴿ "dengan seizin tuan mereka" yaitu tuan mereka, baik satu
orang atau lebih, ﴾
وَءَاتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ بِٱلۡمَعۡرُوفِۚ
﴿ "dan berilah maskawin mereka menurut yang patut" maksudnya,
walaupun mereka itu adalah budak-budak wanita, sebagaimana
mahar itu wajib bagi wanita merdeka, demikian pula mahar wajib
bagi wanita budak, akan tetapi tidak dibolehkan menikahi budak
wanita kecuali bila mereka, ﴾
مُحۡصَنَٰتٍ
﴿ "memelihara diri" yaitu men-jaga diri mereka dari perbuatan
zina, ﴾
غَيۡرَ مُسَٰفِحَٰتٖ
﴿ "bukan pezina" yaitu pelacur secara terang-terangan,
﴾
وَلَا مُتَّخِذَٰتِ أَخۡدَانٖۚ
﴿ "dan bukan (pula) wanita yang
mengambil laki-laki lain sebagai piaraannya," yaitu kekasih
rahasia. Pada intinya, seorang Muslim yang merdeka tidak boleh
me-nikahi seorang budak wanita kecuali dengan empat syarat
yang telah disebutkan oleh Allah سبحانه وتعالى yaitu:
Keimanan mereka, pemeliha-raan diri, baik secara lahir maupun
batin, ketidakmampuan dalam memberikan mahar kepada wanita
merdeka dan khawatir akan perzinaan. Bila syarat-syarat
tersebut terpenuhi, maka boleh bagi-nya menikahi budak wanita,
walaupun demikian kesabaran untuk tidak menikahi mereka adalah
lebih utama, karena pernikahan itu akan menjatuhkan
anak-anaknya ke dalam perbudakan, sebagai-mana juga pernikahan
itu mengandung kehinaan dan aib. Akan tetapi yang demikian itu
bila ia mampu bersabar, namun bila ia tidak mampu bersabar
dari hal yang haram kecuali harus menikahi budak wanita, maka
harus ia lakukan, karena itulah Allah berfir-man, ﴾
وَأَن تَصۡبِرُواْ خَيۡرٞ لَّكُمۡۗ وَٱللَّهُ غَفُورٞ رَّحِيمٞ
﴿ "Dan kesabaran itu lebih baik bagimu. Dan Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang." Dan FirmanNya, ﴾
فَإِذَآ أُحۡصِنَّ
﴿ "Dan apabila mereka telah menjaga diri dengan kawin,"
maksudnya, apabila para budak wanita itu telah menikah atau
masuk Islam, maka mereka mendapatkan setengah dari apa yang
ditanggung oleh wanita-wanita merdeka yang telah bersuami,
﴾
مِنَ ٱلۡعَذَابِۚ ﴿ "dari hukuman." Yang demikian itu adalah
perkara yang mungkin dibagi dua yaitu cambuk, karena itu
hu-kuman mereka adalah lima puluh kali cambukan, sedangkan hukum
rajam tidak berlaku untuk budak wanita, karena rajam tidak dapat
dibagi dua, maka atas dasar pandangan pertama; apabila mereka
belum menikah, maka tidak ada had atas mereka, hanya saja
me-reka harus diberikan hukuman yang membuat mereka jera agar
tidak kembali pada perbuatan keji tersebut, sedangkan atas dasar
pandangan kedua; sesungguhnya budak wanita selain Muslimah
apabila melakukan perbuatan keji harus diberikan hukuman juga.
Ayat ini ditutup dengan dua Nama Allah yang mulia yaitu Yang
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang, hal itu karena
ke-tetapan-ketetapan tersebut di atas merupakan rahmat bagi
seluruh manusia, sebuah karunia, dan kebaikan untuk mereka,
karena Allah tidak akan mempersulit mereka, akan tetapi Allah
memberikan kelapangan kepada mereka dengan seluas-luasnya. Dan
kemung-kinan dalam penyebutan ampunan setelah penyebutan had
meru-pakan suatu indikasi bahwa had-had tersebut merupakan
penggu-gur dosa, di mana Allah akan mengampuni dosa-dosa
hamba-hambaNya dengan had-had tersebut sebagaimana yang
dijelaskan dalam hadits tentang hal tersebut.
[22]
Dan hukum seorang budak laki-laki dalam perkara had ter-sebut
adalah sama seperti hukum budak wanita, karena tidak ada
perbedaan antara kedua jenis tersebut.
{يُرِيدُ اللَّهُ لِيُبَيِّنَ لَكُمْ وَيَهْدِيَكُمْ سُنَنَ
الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ وَيَتُوبَ عَلَيْكُمْ وَاللَّهُ
عَلِيمٌ حَكِيمٌ (26) وَاللَّهُ
يُرِيدُ أَنْ يَتُوبَ عَلَيْكُمْ وَيُرِيدُ الَّذِينَ
يَتَّبِعُونَ الشَّهَوَاتِ أَنْ تَمِيلُوا مَيْلًا عَظِيمًا
(27) يُرِيدُ اللَّهُ أَنْ يُخَفِّفَ
عَنْكُمْ وَخُلِقَ الْإِنْسَانُ ضَعِيفًا
(28)}
.
"Allah hendak menerangkan
(hukum syariatNya) kepadamu, dan
menunjukimu kepada jalan-jalan orang yang sebelum kamu
(para nabi dan shalihin) dan
(hendak) menerima taubatmu. Dan Allah
Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana. Dan Allah hendak menerima
taubatmu, sedang orang-orang yang mengikuti hawa nafsunya
bermaksud supaya kamu berpaling sejauh-jauhnya. Allah hendak
memberikan keringanan kepadamu, dan manusia dijadikan bersifat
lemah."
(An-Nisa`: 26-28).
#
{26} يخبر تعالى بمنَّته العظيمة
ومنحته الجسيمة وحسن تربيته لعباده المؤمنين وسهولة دينه،
فقال:
{يريد الله لِيبيِّنَ لكم}؛
أي:
جميع ما تحتاجون إلى بيانه من الحق والباطل والحلال والحرام.
{ويهدِيَكم سنن الذين من قبلكم}؛ أي: الذين أنعم الله عليهم من
النبيِّين وأتباعهم في سِيَرِهم الحميدة وأفعالهم السديدة
وشمائلهم الكاملة وتوفيقهم التام؛ فلذلك نفَّذ ما أراده، ووضَّح
لكم، وبيَّن بياناً كما بين لمن قبلكم، وهداكم هدايةً عظيمة في
العلم والعمل.
{ويتوبَ عليكم}؛
أي:
يلطف [بكم] في أحوالكم وما شَرَعَه لكم،
حتى تتمكَّنوا من الوقوف على ما حدَّه الله والاكتفاء بما
أحلَّه، فتقلَّ ذنوبُكم بسبب ما يسَّر الله عليكم؛ فهذا من توبته
على عباده، ومن توبته عليهم أنهم إذا أذنبوا فتح لهم أبواب
الرحمة، وأوزع قلوبَهم الإنابة إليه والتذلُّل بين يديه، ثم يتوب
عليهم بقبول ما وفَّقهم له؛ فله الحمد والشكر على ذلك.
وقوله:
{والله عليم حكيم}؛
أي:
[كامل العلم]، كامل الحكمة؛ فمن علمه أن
عَلَّمكم ما لم تكونوا تعلمون، ومنها هذه الأشياء والحدود. ومن
حكمته أنه يتوبُ على من اقتضت حكمته ورحمته التوبة عليه، ويخذلُ
من اقتضت حكمته وعدلُه أن لا يصلُحَ للتوبة.
(26) Allah سبحانه وتعالى mengabarkan
tentang karuniaNya yang besar, pemberianNya yang agung,
pemeliharaanNya yang terbaik terha-dap kaum Mukminin dan
kemudahan agamaNya seraya berfirman, ﴾ يُرِيدُ ٱللَّهُ
لِيُبَيِّنَ لَكُمۡ
﴿ "Allah hendak menerangkan
(hukum syariatNya) ke-padamu" yaitu
seluruh perkara yang kalian butuhkan penjelasan-nya berupa
kebenaran dan kebatilan, halal dan haram, ﴾
وَيَهۡدِيَكُمۡ سُنَنَ ٱلَّذِينَ مِن قَبۡلِكُمۡ
﴿ "dan menunjukimu kepada jalan-jalan orang yang sebelum kamu
(para nabi dan shalihin)," maksudnya
adalah orang-orang yang telah diberi kenikmatan oleh Allah,
yaitu para Nabi, beserta para pengikut mereka dalam sejarah
hidup mereka yang terpuji, perbuatan-perbuatan mereka yang
lurus, akhlak-akhlak mereka yang sempurna, dan taufik mereka
yang menyeluruh, karena itulah Allah merealisasikan apa yang
dikehendakiNya lalu menjelaskannya kepada kalian dan
menerangkan dengan sejelas-jelasnya sebagaimana Allah telah
menjelaskannya kepada orang-orang sebelum kalian, kemudian
Allah memberi hidayah kepada kalian dengan hidayah yang agung
dalam ilmu dan perbuatan. ﴾
وَيَتُوبَ عَلَيۡكُمۡۗ
﴿ "Dan (hendak) menerima taubatmu"
yaitu berlaku lemah lembut
(terhadap kalian)[23] pada keadaan kalian dan perkara
yang disyariatkanNya bagi kalian, hingga kalian mampu
melak-sanakan apa yang telah Allah tetapkan dan merasa cukup
dengan apa yang telah Allah halalkan, hingga dosa-dosa kalian
menjadi sedikit karena apa yang telah Allah mudahkan atas
kalian, inilah di antara penerimaan taubat oleh Allah atas
hamba-hambaNya. Dan juga di antara penerimaan taubat Allah
atas mereka adalah bahwa bila mereka berbuat dosa, niscaya
Allah akan membuka pintu-pintu rahmat bagi mereka, dan
menurunkan kepada jiwa-jiwa mereka akan penyerahan diri dan
sikap merendahkan diri di hadapanNya, kemudian Allah
mengampuni mereka dengan menerima perkara yang Dia bimbing
kepadanya, karena itu hanya bagiNya segala puji dan syukur
atas semua itu. Dan FirmanNya, ﴾
وَٱللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٞ ﴿ "Dan Allah Maha Mengetahui lagi
Mahabijaksana" yaitu ilmu yang sempurna, kebijaksanaan yang
sempurna, dan di antara ilmuNya adalah Allah mengajarkan kepada
kalian apa yang tidak kalian ketahui, di antaranya adalah
hal-hal yang seperti tersebut di atas dan juga had-had. Dan di
antara hikmahNya adalah bahwa Allah mengampuni orang yang hikmah
dan rahmatNya mene-tapkan adanya ampunan baginya, dan
menghinakan orang yang hikmah dan keadilanNya menetapkan bahwa
ia tidak pantas me-nerima ampunan.
#
{27} وقوله:
{والله يريدُ أن يتوبَ عليكم}؛ أي: توبةً تلمُّ شَعَثَكُم وتجمع
متفرِّقكم وتقرِّب بعيدكم.
{ويريد الذين يتَّبِعون الشهواتِ}؛ أي: يميلون معها حيث مالت،
ويقدِّمونها على ما فيه رضا محبوبهم ويعبُدون أهواءَهم من أصناف
الكَفَرَةِ والعاصينَ المقدِّمين لأهوائهم على طاعة ربهم؛ فهؤلاء
يريدون
{أن تميلوا ميلاً عظيماً}؛
أي:
أن تنحرِفوا عن الصراط المستقيم إلى صراط المغضوب عليهم
والضالين، يريدون أن يصرفوكم عن طاعة الرحمن إلى طاعة الشيطان،
وعن التزام حدود مَن السعادةُ كلُّها في امتثال أوامره إلى مَن
الشقاوة كلُّها في اتباعه؛ فإذا عرفتم أنَّ الله تعالى يأمرُكم
بما فيه صلاحُكم وفلاحُكم وسعادتكم، وأنَّ هؤلاء المتبعين
شهواتهم يأمرونكم بما فيه غايةُ الخَسَارِ والشقاء؛ فاختاروا
لأنفسكم أَوْلَى الداعيين وتخيَّروا أحسن الطريقتين.
(27) Dan FirmanNya, ﴾ وَٱللَّهُ يُرِيدُ
أَن يَتُوبَ عَلَيۡكُمۡ
﴿ "Dan Allah hen-dak menerima taubatmu," yaitu ampunan yang
menghimpun keter-cerai-beraian kalian, menyatukan perbedaan
kalian, dan mendekat-kan yang jauh dari kalian, ﴾
وَيُرِيدُ ٱلَّذِينَ يَتَّبِعُونَ ٱلشَّهَوَٰتِ
﴿ "sedang orang-orang yang mengikuti hawa nafsunya" yaitu
mereka condong bersama nafsunya ke manapun ia condong, dan
mereka mendahulukan nafsunya di atas perkara yang mengandung
keridhaan Allah, serta menyembah hawa nafsu mereka. Mereka
adalah orang-orang kafir dan orang-orang ahli maksiat dari
berbagai macam jenisnya yang mementingkan hawa nafsu mereka
saja daripada ketaatan kepada Rabb mereka, mereka itu
menghendaki ﴾
أَن تَمِيلُواْ مَيۡلًا عَظِيمٗا ﴿ "supaya kamu berpaling
sejauh-jauhnya
(dari kebenaran)," yaitu
agar kalian menyimpang dari jalan yang lurus kepada jalan
orang-orang yang dimurkai dan orang-orang yang tersesat, mereka
menghendaki agar kalian menyimpang dari ketaatan kepada Allah
menuju ketaatan kepada setan, dan dari hukum-hukum Dzat yang
seluruh kebaha-giaan itu berada pada pelaksanaan perintah dan
laranganNya menuju kepada setan yang seluruh kesengsaraan berada
ketika mengikutinya. Apabila kalian telah mengetahui bahwa Allah
سبحانه وتعالى memerintah-kan kalian kepada perkara yang terdapat
padanya kemaslahatan, keberhasilan, dan kebahagiaan buat kalian,
dan bahwasanya orang-orang yang mengikuti hawa nafsu mereka
memerintahkan kalian kepada perkara yang terdapat padanya
kerugian dan kesengsa-raan, maka pilihlah yang paling utama
untuk diri kalian di antara dua pendorong tersebut dan carilah
yang terbaik dari dua jalan tersebut.
#
{28}
{يريدُ الله أن يخفِّفَ عنكم}؛ أي: بسهولة ما أمركم به وما نهاكم
عنه، ثم مع حصول المشقة في بعض الشرائع أباح لكم ما تقتضيه
حاجتكم كالميتة والدم ونحوهما للمضطر وكتزوج الأمة للحر بتلك
الشروط السابقة وذلك لرحمته التامة وإحسانه الشامل وعلمه وحكمته
بضعف الإنسان من جميع الوجوه، ضعف البنية وضعف الإرادة وضعف
العزيمة وضعف الإيمان وضعف الصبر فناسب ذلك أن يخفف الله عنه ما
يضعف عنه، وما لا يطيقه إيمانه وصبره وقوته.
(28) ﴾ يُرِيدُ ٱللَّهُ أَن يُخَفِّفَ
عَنكُمۡۚ ﴿ "Allah hendak memberikan keringanan kepadamu" yaitu
dengan mudahnya perkara yang Allah perintah-kan kalian kepadanya
dan perkara yang kalian dilarang darinya, kemudian bersamaan
dengan adanya kesulitan pada beberapa syariat, Allah membolehkan
juga bagi kalian apa yang sangat dibutuhkan oleh keterdesakan
kebutuhan kalian, seperti bangkai, darah, dan semacamnya bagi
orang yang terpaksa, atau seperti menikahi budak wanita bagi
seorang laki-laki merdeka dengan syarat-syarat yang telah
disebutkan terdahulu, semua itu karena rahmat Allah yang
sempurna, kebaikanNya yang menyeluruh dan ilmu serta hikmahNya
akan kelemahan manusia dari berbagai segi, lemah dari segi
postur tubuhnya, lemah dalam kehendak, lemah dalam bertekad,
lemah dalam keimanan, lemah dalam kesabaran, lalu untuk
menyesuaikan hal itu, Allah meringankan apa yang mereka lemah
padanya, dan apa yang tidak bisa dilakukan oleh keimanan,
kesabaran, dan kekuatannya.
{يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ
بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ
تَرَاضٍ مِنْكُمْ وَلَا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ إِنَّ اللَّهَ
كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا (29) وَمَنْ
يَفْعَلْ ذَلِكَ عُدْوَانًا وَظُلْمًا فَسَوْفَ نُصْلِيهِ
نَارًا وَكَانَ ذَلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرًا
(30)}
.
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan
harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan
perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu.
Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah Maha
Penyayang kepadamu. Dan barangsiapa berbuat demikian dengan
melanggar hak dan aniaya, maka Kami kelak akan mema-sukkannya ke
dalam neraka. Yang demikian itu adalah mudah bagi Allah."
(An-Nisa`: 29-30).
#
{29} ينهى تعالى عباده المؤمنين أن
يأكلوا أموالهم بينهم بالباطل، وهذا يشمل أكلَها بالغصوب
والسرقات وأخذَها بالقمار والمكاسب الرديئة، بل لعله يدخل في ذلك
أكل مال نفسِك على وجه البطر والإسراف؛ لأن هذا من الباطل، وليس
من الحق. ثم إنه لما حرَّم أكلها بالباطل؛ أباح لهم أكلها
بالتجارات والمكاسب الخالية من الموانع المشتملة على الشروط من
التراضي وغيره.
{ولا تقتلوا أنفسكم}؛
أي:
لا يقتل بعضكم بعضاً، ولا يقتل الإنسان نفسه، ويدخل في ذلك
الإلقاء بالنفس إلى التهلكة وفعل الأخطار المفضية إلى التلف
والهلاك
{إنَّ الله كان بكم رحيماً}: ومن
رحمته أن صان نفوسَكم وأموالكم ونهاكم عن إضاعتها وإتلافها
ورتَّب على ذلك ما رتَّبه من الحدود. وتأمل هذا الإيجاز والجمع
في قوله {لا تأكلوا أموالكم}
{ولا تقتلوا أنفسكم}؛
كيف شمل أموال غيرك ومال نفسك وقتل نفسك وقتل غيرك بعبارة أخصر
من قوله:
لا يأكل بعضكم مال بعض ولا يقتل بعضكم بعضاً؛ مع قصور هذه
العبارة على مال الغير ونفس الغير، مع أن إضافة الأموال والأنفس
إلى عموم المؤمنين فيه دلالة على أنَّ المؤمنين في توادِّهم
وتراحمهم وتعاطفهم ومصالحهم كالجسد الواحد؛ حيث كان الإيمان
يجمعهم على مصالحهم الدينية والدنيوية. ولما نهى عن أكل الأموال
بالباطل التي فيها غاية الضرر عليهم، على الآكل ومن أخذ ماله؛
أباح لهم ما فيه مصلحتهم من أنواع المكاسب والتجارات وأنواع
الحرف والإجارات، فقال:
{إلا أن تكون تجارةً عن تراضٍ منكم}؛ أي: فإنها مباحة لكم. وشَرَطَ
التراضي مع كونها تجارةً لدلالة أنه يشترط أن يكون العقد غير عقد
رباً، لأنَّ الربا ليس من التجارة، بل مخالفٌ لمقصودها، وأنه لا
بدَّ أن يرضى كلٌّ من المتعاقدين ويأتي به اختياراً، ومن تمام
الرِّضا أن يكون المعقودُ عليه معلوماً؛ لأنه إذا لم يكن كذلك؛
لا يتصوَّرُ الرِّضا، مقدوراً على تسليمه؛ لأنَّ غير المقدور
عليه شبيهٌ ببيع القمار؛ فبيع الغرر بجميع أنواعه خالٍ من
الرِّضا فلا ينفذ عقده. وفيها أنه تنعقد العقودُ بما دلَّ عليها
من قول أو فعل؛ لأن الله شرط الرِّضا، فبأيِّ طريق حصل الرِّضا؛
انعقد به العقد. ثم ختم الآية بقوله:
{إن الله كان بكم رحيماً}: ومن
رحمتِهِ أن عصم دماءكم وأموالَكم، وصانَها، ونهاكُم عن
انتهاكِها.
(29) Allah سبحانه وتعالى melarang para
hambaNya yang beriman dari memakan harta di antara mereka dengan
cara yang batil, hal ini mencakup memakan harta dengan cara
pemaksaan, pencurian, mengambil harta dengan cara perjudian dan
pencaharian yang hina, bahkan bisa jadi termasuk juga dalam hal
ini adalah memakan harta sendiri dengan sombong dan
berlebih-lebihan, karena hal tersebut adalah termasuk kebatilan
dan bukan dari kebenaran. Kemudian setelah Allah mengharamkan
memakan harta dengan cara yang batil, Allah membolehkan bagi
mereka memakan harta dengan cara perniagaan dan pencaharian yang
tidak terdapat padanya penghalang-penghalang dan yang mengandung
syarat-syarat seperti saling ridha dan sebagainya. ﴾ وَلَا
تَقۡتُلُوٓاْ أَنفُسَكُمۡۚ
﴿ "Dan janganlah kamu membunuh dirimu," mak-sudnya, janganlah
sebagian kalian membunuh sebagian yang lain, dan janganlah
seseorang membunuh dirinya, dan termasuk dalam hal itu adalah
menjerumuskan diri ke dalam kehancuran dan melakukan
perbuatan-perbuatan berbahaya yang mengakibatkan kematian dan
kebinasaan, ﴾
إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ بِكُمۡ رَحِيمٗا
﴿ "Sesungguhnya Allah Maha Penyayang kepadamu," dan di antara
rahmatNya adalah di mana Allah memelihara diri, dan harta
kalian, serta melarang kalian dari menyia-nyiakan dan
membinasakannya, dan Allah menjadi-kan adanya hukuman atas hal
tersebut berupa had-had. Perhatikanlah suatu ringkasan dan
penyatuan dalam Firman Allah, ﴾
لَا تَأۡكُلُوٓاْ أَمۡوَٰلَكُم
﴿ "Janganlah kamu saling memakan harta sesa-mamu," dan
﴾
وَلَا تَقۡتُلُوٓاْ أَنفُسَكُمۡۚ
﴿ "dan janganlah kamu membunuh dirimu" bagaimana FirmanNya
itu mencakup harta-harta selain dirimu, harta dirimu sendiri,
membunuh dirimu dan membunuh selain dirimu dengan ungkapan
yang begitu pendek daripada perkataan, "Janganlah sebagian
kalian memakan harta sebagian lain dan janganlah sebagian
kalian membunuh sebagian yang lain," dengan tidak mencakupnya
ungkapan tersebut akan harta orang lain dan membunuh orang
lain, padahal menggabungkan kata harta dan jiwa kepada seluruh
kaum Mukminin merupakan dalil bahwa kaum Mukminin dalam kasih
sayang mereka, mencintai dan me-ngasihi di antara mereka dan
maslahat-maslahat mereka adalah seperti satu tubuh, di mana
keimanan itulah yang menyatukan mereka pada maslahat-maslahat
mereka, dunia maupun akhirat. Dan tatkala Allah melarang
mereka dari memakan harta dengan cara yang batil yaitu suatu
cara yang mengandung mara bahaya atas diri mereka, terhadap
orang yang memakannya dan orang yang mengambil hartanya, lalu
Allah membolehkan bagi mereka perkara yang mengandung
kemaslahatan untuk mereka berupa beberapa bentuk mata
pencaharian dan perniagaan, serta beberapa bentuk profesi dan
persewaan dengan berfirman, ﴾
إِلَّآ أَن تَكُونَ تِجَٰرَةً عَن تَرَاضٖ مِّنكُمۡۚ
﴿ "Kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka
sama-suka di antara kamu" yaitu bahwasanya hal ter-sebut
adalah boleh bagi kalian. Dan Allah mensyaratkan adanya
keridhaan dari kedua pihak padahal perkara itu adalah sebuah
perniagaan, hal itu menjadi suatu indikasi bahwasanya akad
per-niagaan itu disyaratkan bukan dari akad riba, karena riba
bukan-lah dari perniagaan, bahkan riba itu adalah perkara yang
berten-tangan dengan maksud dari perniagaan. Di dalam
perniagaan harus ada keridhaan dari kedua belah pihak dan
masing-masing pihak melaksanakannya dengan penuh kesadaran dan
pilihannya, dan merupakan kesempurnaan dari saling merelakan
adalah agar apa yang menjadi akad atasnya itu adalah suatu
barang yang diketahui, karena bila tidak diketahui, maka
tidaklah akan ada yang namanya suka sama suka, dan agar barang
tersebut mampu diserahkan, karena barang yang tidak mampu
diserahkan adalah sejenis dengan tindakan perniagaan
perjudian. Dari perniagaan gharar
(yang memiliki unsur penipuan) dengan
segala bentuknya yang tidak mengandung saling suka sama suka,
maka akadnya tidaklah sah. Ayat ini menunjukkan juga bahwa
akad itu akan ter-laksana (sah) dengan
hal apa pun yang menunjukkan kepadanya berupa perkataan maupun
perbuatan, karena Allah telah mensya-ratkan suka sama suka
padanya, maka dengan jalan apa pun ter-capainya suka sama suka
niscaya tercapai pula akadnya dengan hal tersebut. Kemudian
Allah menutup ayat ini dengan FirmanNya,﴾
إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ بِكُمۡ رَحِيمٗا ﴿ "Sesungguhnya Allah Maha
Penyayang kepadamu" dan di antara bentuk rahmatNya adalah Allah
melindungi darah dan harta-harta kalian, memeliharanya, dan
melarang kalian dari me-numpahkannya.
#
{30} ثم قال:
{ومَن يفعل ذلك}؛
أي:
أكل الأموال بالباطل وقتل النفوس.
{عدواناً وظلماً}؛
أي:
لا جهلاً ونسياناً
{فسوف نصليه ناراً}؛
أي:
عظيمة كما يفيده التنكير.
{وكان ذلك على الله يسيراً}.
(30) Kemudian Allah berfirman, ﴾ وَمَن
يَفۡعَلۡ ذَٰلِكَ
﴿ "Dan ba-rangsiapa berbuat demikian" yaitu memakan harta
dengan cara yang batil dan membunuh jiwa, ﴾
عُدۡوَٰنٗا وَظُلۡمٗا
﴿ "dengan melanggar hak dan aniaya" yaitu bukan karena tidak
tahu dan lupa, ﴾
فَسَوۡفَ نُصۡلِيهِ نَارٗاۚ
﴿ "maka Kami kelak akan memasukkannya ke dalam neraka"; yaitu
yang dahsyat, sebagaimana yang ditunjukkan oleh kata yang tak
ter-batas, ﴾
وَكَانَ ذَٰلِكَ عَلَى ٱللَّهِ يَسِيرًا ﴿ "yang demikian itu
adalah mudah bagi Allah."
{إِنْ تَجْتَنِبُوا كَبَائِرَ مَا تُنْهَوْنَ عَنْهُ
نُكَفِّرْ عَنْكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ وَنُدْخِلْكُمْ مُدْخَلًا
كَرِيمًا (31)}
.
"Jika kamu menjauhi dosa-dosa besar di antara dosa-dosa yang
dilarang kamu mengerjakannya, niscaya Kami hapus
kesa-lahan-kesalahanmu
(dosa-dosamu yang kecil) dan Kami
masukkan kamu ke tempat yang mulia
(surga)."
(An-Nisa`: 31).
#
{31} وهذا من فضل الله وإحسانه على
عباده المؤمنين، وَعَدَهم أنهم إذا اجتنبوا كبائر المنهيَّات؛
غفر لهم جميع الذنوب والسيئات، وأدخلهم مُدخلاً كريماً كثير
الخير، وهو الجنة، المشتملة على ما لا عينٌ رأت ولا أذنٌ سمعت
ولا خطر على قلب بشر. ويدخُلُ في اجتناب الكبائِر فعلُ الفرائض
التي يكون تاركُها مرتكباً كبيرةً؛ كالصَّلوات الخمس والجمعة
ورمضانَ؛ كما قال النبي - صلى الله عليه وسلم -:
«الصلوات الخمس، والجمعة إلى الجمعة، ورمضان إلى رمضان؛
مكفراتٌ لما بينهن، ما اجتُنِبَتِ الكبائر». وأحسنُ ما حُدَّتْ به الكبائر: أنَّ
الكبيرةَ ما فيه حدٌّ في الدُّنيا أو وعيدٌ في الآخرة أو نفيُ
إيمان أو ترتيبُ لعنةٍ أو غضبٍ عليه.
(31) Ini merupakan karunia Allah dan
kebaikanNya kepada hamba-hambaNya yang beriman, Allah
menjanjikan kepada mereka bahwa bila mereka meninggalkan
dosa-dosa besar, niscaya Allah akan mengampuni seluruh dosa-dosa
dan kesalahan-kesalahan mereka, dan memasukkan mereka kepada
suatu tempat yang mulia lagi banyak kenikmatannya, yaitu surga
yang meliputi hal-hal yang tidak pernah dilihat oleh mata, tidak
pernah didengar oleh telinga, dan tidak pernah terlintas sama
sekali di benak manusia. Dan termasuk dalam perkara meninggalkan
dosa-dosa besar adalah menunaikan kewajiban-kewajiban, di mana
orang yang me-ninggalkannya berarti telah melakukan dosa besar,
seperti shalat lima waktu, shalat Jum'at, dan puasa Ramadhan,
sebagaimana Nabi ﷺ bersabda, اَلصَّلَوَاتُ الْخَمْسُ
وَالْجُمْعَةُ إِلَى الْجُمْعَةِ وَرَمَضَانُ إِلَى رَمَضَانَ
مُكَفِّرَاتٌ لِمَا بَيْنَهُنَّ مَا اجْتُنِبَتِ الْكَبَائِرُ.
"Shalat lima waktu, Jum'at menuju Jum'at berikutnya, dan puasa
Ramadhan menuju Ramadhan berikutnya, adalah menggugurkan dosa
yang terjadi di antaranya selama dosa-dosa besar
ditinggalkan."
[24] Dan definisi bagi
dosa-dosa besar yang paling baik adalah perkara yang
mengakibatkan adanya had di dunia atau adanya ancaman di akhirat
atau peniadaan iman atau adanya kata laknat atau kemurkaan
atasnya.
{وَلَا تَتَمَنَّوْا مَا فَضَّلَ اللَّهُ بِهِ بَعْضَكُمْ
عَلَى بَعْضٍ لِلرِّجَالِ نَصِيبٌ مِمَّا اكْتَسَبُوا
وَلِلنِّسَاءِ نَصِيبٌ مِمَّا اكْتَسَبْنَ وَاسْأَلُوا اللَّهَ
مِنْ فَضْلِهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمًا
(32)}
.
"Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikarunia-kan
Allah kepada sebagian kamu lebih banyak dari sebagian yang lain.
(Karena) bagi orang laki-laki ada bagian
dari apa yang me-reka usahakan, dan bagi para wanita
(pun) ada bagian dari apa yang mereka
usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karuniaNya.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu."
(An-Nisa`: 32).
#
{32} ينهى تعالى المؤمنين عن أن
يتمنَّى بعضُهم ما فضَّل الله به غيره من الأمور الممكنة وغير
الممكنة؛ فلا تتمنَّى النساءُ خصائص الرجال التي بها فضَّلهم على
النساء، ولا صاحب الفقر والنقص حالة الغنيِّ والكامل تمنياً
مجرداً؛ لأنَّ هذا هو الحسد بعينه؛ تمني نعمة الله على غيرك أن
تكونَ لك ويُسْلَبَ إياها، ولأنه يقتضي السَّخَطَ على قدر الله،
والإخلاد إلى الكسل، والأماني الباطلة التي لا يقترن بها عمل ولا
كسب، وإنما المحمود أمران: أن يسعى
العبدُ على حسب قدرته بما ينفعه من مصالحه الدينيَّة
والدنيويَّة، ويسألَ الله تعالى من فضلِهِ؛ فلا يتَّكل على نفسه
ولا على غير ربِّه، ولهذا قال تعالى:
{للرجال نصيبٌ مما اكتسبوا}؛
أي:
من أعمالهم المنتجة للمطلوب.
{وللنساء نصيبٌ مما اكتسبنَ}؛ فكل
منهم لا يناله غير ما كسبه وتعب فيه.
{واسألوا الله من فضله}؛
أي:
من جميع مصالحكم في الدين والدنيا؛ فهذا كمال العبد وعنوانُ
سعادته، لا من يترك العمل أو يتَّكِلُ على نفسه غير مفتقرٍ
لربِّه أو يجمع بين الأمرين؛ فإنَّ هذا مخذولٌ خاسرٌ.
وقوله:
{إنَّ الله كان بكل شيءٍ عليماً}:
فيعطي من يعلمُهُ أهلاً لذلك، ويمنعُ من يعلَمُهُ غير مستحقٍّ.
(32) Allah سبحانه وتعالى melarang kaum
Mukminin mengharapkan apa yang telah Allah karuniakan kepada
sebagian yang lain berupa hal-hal yang mungkin dan hal-hal yang
tidak mungkin, maka wanita tidak boleh berangan-angan
mendapatkan kelebihan-kele-bihan laki-laki di mana dengannya
Allah memuliakan mereka atas wanita, demikian juga orang yang
miskin dan papa tidak boleh berangan-angan menjadi kaya dan
berpunya dengan sebatas angan-angan belaka, karena sesungguhnya
itulah yang disebut hasad, yaitu berharap agar nikmat Allah atas
orang lain tersebut menjadi miliknya dan nikmat itu dihilangkan
dari orang tersebut, dan ka-rena tindakan itu menimbulkan rasa
benci kepada ketentuan Allah, dan menjerumuskan kepada kemalasan
yang berkepanjangan, dan angan-angan kosong yang tidak dibarengi
dengan kerja dan usaha.
Sesungguhnya hal yang terpuji adalah dua perkara:
Seorang hamba berusaha menurut kemampuannya dengan hal yang
ber-guna baginya dalam mewujudkan kemaslahatannya, dunia mau-pun
akhirat, lalu ia memohon kepada Allah سبحانه وتعالى untuk
memberikan karuniaNya atasnya dan tidak bersandar hanya pada
dirinya se-mata dan tidak juga pada selain Tuhannya, oleh karena
itu Allah سبحانه وتعالى berfirman, ﴾ لِّلرِّجَالِ نَصِيبٞ
مِّمَّا ٱكۡتَسَبُواْۖ
﴿ "Bagi orang laki-laki ada bagian dari apa yang mereka
usahakan" yaitu dari perbuatan-perbuatan me-reka yang
mewujudkan apa yang dikehendaki, ﴾
وَلِلنِّسَآءِ نَصِيبٞ مِّمَّا ٱكۡتَسَبۡنَۚ
﴿ "dan bagi para wanita (pun) ada
bagian dari apa yang mereka usahakan." Setiap dari mereka
tidak akan memperoleh selain dari apa yang telah ia usahakan
dan lelah karenanya. ﴾
وَسۡـَٔلُواْ ٱللَّهَ مِن فَضۡلِهِۦٓۚ
﴿ "Dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karuniaNya" yaitu
dari seluruh kemaslahatan kalian dalam agama maupun dunia
kalian, kondisi seperti ini merupakan kesempurnaan seorang
hamba dan tanda bagi kebahagiaannya, bukan orang yang
meninggalkan kerja atau bersandar pada dirinya semata dan
tidak membutuhkan Rabbnya atau menyatukan dua perkara
tersebut, maka orang yang seperti ini akan terhina dan merugi,
dan FirmanNya, ﴾
إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ بِكُلِّ شَيۡءٍ عَلِيمٗا ﴿ "Sesungguhnya
Allah Maha Mengetahui segala sesuatu," mak-sudnya Allah akan
memberikan kepada orang yang Dia ketahui memang berhak untuk
diberikan, dan menahan dari orang yang Dia ketahui memang tidak
berhak diberikan.
{وَلِكُلٍّ جَعَلْنَا مَوَالِيَ مِمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ
وَالْأَقْرَبُونَ وَالَّذِينَ عَقَدَتْ أَيْمَانُكُمْ
فَآتُوهُمْ نَصِيبَهُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَى كُلِّ
شَيْءٍ شَهِيدًا (33)}
.
"Bagi tiap-tiap harta peninggalan dari harta yang ditinggal-kan
ibu bapak dan karib kerabat, Kami jadikan pewaris-pewaris-nya.
Dan
(jika ada) orang-orang yang kamu
telah bersumpah setia dengan mereka, maka berilah kepada mereka
bagiannya. Sesung-guhnya Allah menyaksikan segala sesuatu."
(An-Nisa`: 33).
#
{33} أي:
{ولكلٍّ}: من الناس
{جعلنا مواليَ}؛
أي:
يتولَّوْنَهُ ويتولاَّهم بالتعزُّز والنُّصرة والمعاونة على
الأمور،
{ممَّا ترك الوالدن والأقربون}:
وهذا يشملُ سائر الأقارب من الأصول والفروع والحواشي، هؤلاء
الموالي من القرابة. ثم ذكر نوعاً آخر من الموالي،
فقال:
{والذين عَقدَت أيمانُكم}؛
أي:
حالفتُموهم بما عَقَدْتُم معهم من عقد المحالفة على النُّصرة
والمساعدة والاشتراك بالأموال وغير ذلك، وكل هذا من نعم الله على
عباده؛ حيث كان الموالي يتعاونون بما لا يقدِرُ عليه بعضُهم
مفرداً. قال تعالى:
{فآتوهم نصيبَهم}؛
أي:
آتوا الموالي نصيبهم الذي يجب القيام به من النُّصرة والمعاونة
والمساعدة على غير معصيةِ الله والميراث للأقارب الأدْنَيْنَ من
الموالي.
{إنَّ الله كان على كلِّ شيءٍ شهيداً}؛ أي: مطَّلعاً على كلِّ شيءٍ بعلمه
لجميع الأمور وبصرِهِ لحركات عبادِهِ وسمعه لجميع أصواتهم.
(33) FirmanNya, ﴾ وَلِكُلّٖ
﴿ "Dan bagi tiap-tiap" yaitu dari manusia, ﴾
جَعَلۡنَا مَوَٰلِيَ
﴿ "Kami jadikan pewaris-pewarisnya" maksud-nya, mereka
membantunya dan ia membantu mereka dengan cara saling
menghargai, membela, dan saling menolong terhadap
per-kara-perkara, ﴾
مِمَّا تَرَكَ ٱلۡوَٰلِدَانِ وَٱلۡأَقۡرَبُونَۚ
﴿ "dari harta yang ditinggalkan ibu bapak dan karib kerabat,"
hal ini mencakup seluruh karib kerabat berupa Ushul
(garis keturunan ke atas/leluhur),
Furu'
(garis ketu-runan ke bawah) maupun
Hawasyi (kerabat), mereka itu adalah
pewaris-pewaris karena kekerabatan. Kemudian Allah
menyebut-kan sebuah jenis yang lain dari pewaris-pewaris
tersebut dalam FirmanNya, ﴾
وَٱلَّذِينَ عَقَدَتۡ أَيۡمَٰنُكُمۡ
﴿ "Dan (jika ada) orang-orang yang
kamu telah bersumpah setia dengan mereka," yaitu kalian
berjanji kepada mereka dengan perkara yang telah kalian
setujui akadnya bersama berupa akad sumpah setia untuk saling
membela, mem-bantu, dan bersekutu dalam harta dan sebagainya.
Semua itu adalah di antara nikmat-nikmat Allah kepada
hamba-hambaNya, di mana para pewaris-pewaris tersebut saling
membantu dalam suatu hal yang tidak bisa dilakukan oleh
sebagian dari mereka secara sendirian, Allah سبحانه وتعالى
berfirman, ﴾
فَـَٔاتُوهُمۡ نَصِيبَهُمۡۚ
﴿ "Maka berilah kepada mereka bagiannya" yaitu berikanlah
kepada pewaris-pewaris tersebut bagian-bagian mereka yang
memang seharusnya ditunai-kan berupa pembelaan, saling
membantu, dan menolong dalam perkara di luar kemaksiatan
kepada Allah, dan harta warisan itu milik karib kerabat dari
pewaris-pewaris tersebut yang terdekat. ﴾
إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَلَىٰ كُلِّ شَيۡءٖ شَهِيدًا ﴿ "Sesungguhnya
Allah menyaksikan segala sesuatu" yaitu menyaksikan segala
sesuatu, dengan ilmuNya akan segala perkara, dan pandanganNya
terhadap segala gerakan-ge-rakan hambaNya, serta pendengaranNya
terhadap segala suara-suara mereka.
{الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ
اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ
أَمْوَالِهِمْ فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ
لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ وَاللَّاتِي تَخَافُونَ
نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ
وَاضْرِبُوهُنَّ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا
عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا
(34)}
.
"Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, karena
Allah telah melebihkan sebagian mereka
(laki-laki) atas sebagian yang lain
(wanita), dan karena mereka
(laki-laki) telah menafkahkan sebagian
dari harta mereka. Sebab itu, maka wanita yang shalih, ialah
yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya
tidak ada, karena Allah telah memelihara
(me-reka). Wanita-wanita yang kamu
khawatirkan nusyuznya, maka nasihatilah mereka dan pisahkanlah
mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian
jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan
untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Mahatinggi lagi
Mahabesar."
(An-Nisa`: 34).
#
{34} يخبر تعالى أنَّ
{الرجال قوامون على النساء}؛
أي:
قوَّامون عليهنَّ بإلزامهنَّ بحقوق الله تعالى من المحافظة على
فرائضه وكفِّهِنَّ عن المفاسد، والرجال عليهم أن يُلْزِموهنَّ
بذلك، وقوَّامون عليهنَّ أيضاً بالإنفاق عليهنَّ والكسوة
والمسكن. ثم ذكر السبب الموجب لقيام الرجال على النساء،
فقال:
{بما فضَّل الله بعضَهم على بعض وبما أنفقوا من
أموالهم}؛ أي: بسبب فضل الرجال على النساء
وإفضالهم عليهنَّ؛
فتفضيل الرجال على النساء من وجوهٍ متعدِّدة:
من كون الولايات مختصَّة بالرجال، والنبوَّة، والرسالة،
واختصاصهم بكثيرٍ من العبادات كالجهاد والأعياد والجمع، وبما
خصَّهم الله به من العقل والرَّزانة والصَّبر والجَلَد الذي ليس
للنساء مثله، وكذلك خصَّهم بالنفقات على الزوجات، بل وكثير من
النفقات يختصُّ بها الرجال ويتميَّزون عن النساء،
ولعل هذا سرُّ قوله:
{بما أنفقوا}، وحذف المفعول؛
ليدلَّ على عموم النفقة، فعُلِمَ من هذا كلِّه أنَّ الرجل
كالوالي والسيِّد لامرأتِهِ، وهي عنده عانية أسيرةٌ خادمةٌ،
فوظيفتُهُ أن يقومَ بما استرعاه الله به، ووظيفتُها القيام بطاعة
ربِّها وطاعة زوجها؛ فلهذا قال:
{فالصالحاتُ قانتاتٌ}؛
أي:
مطيعات لله تعالى،
{حافظاتٌ للغيب}؛
أي:
مطيعات لأزواجهنَّ حتى في الغيب، تحفظُ بعلَها بنفسها ومالِهِ،
وذلك بحفظ الله لهنَّ وتوفيقه لهنَّ لا من أنفسهنَّ؛ فإنَّ النفس
أمارةٌ بالسوء، ولكن من توكَّل على الله؛ كفاه ما أهمَّه من أمر
دينه ودنياه. ثم قال:
{واللاَّتي تخافونَ نُشوزهنَّ}؛ أي: ارتفاعهن عن طاعة أزواجهنَّ؛ بأن
تعصيه بالقول أو الفعل؛ فإنه يؤدِّبها بالأسهل فالأسهل.
{فعظوهنَّ}؛
أي:
ببيان حكم الله في طاعة الزوج ومعصيته، والترغيب في الطاعة،
والترهيب من المعصية؛ فإن انتهت؛ فذلك المطلوب، وإلاَّ؛
فيهجُرُها الزوجُ في المضجع؛ بأن لا يضاجِعَها ولا يجامِعَها
بمقدار ما يحصُلُ به المقصود، وإلاَّ؛ ضربها ضرباً غير مبرِّح؛
فإن حصل المقصود بواحد من هذه الأمور وأطعنكم؛
{فلا تبغوا عليهنَّ سبيلاً}؛
أي:
فقد حصل لكم ما تحبُّون؛ فاتركوا معاتبتها على الأمور الماضية
والتنقيب عن العيوب التي يضرُّ ذكرُها، ويَحْدُثُ بسببه الشرُّ.
{إنَّ الله كان عليًّا كبيراً}؛ أي: له العلوُّ المطلق بجميع الوجوه
والاعتبارات؛ علوُّ الذات وعلوُّ القدر، وعلوُّ القهر.
الكبير:
الذي لا أكبر منه ولا أجلَّ ولا أعظم، كبير الذات والصفات.
(34) Allah سبحانه وتعالى mengabarkan
bahwasanya ﴾ ٱلرِّجَالُ قَوَّٰمُونَ عَلَى ٱلنِّسَآءِ
﴿ "kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita,"
maksudnya, dengan cara mengharuskan mereka untuk menunaikan
hak-hak Allah سبحانه وتعالى berupa pemeliharaan akan
kewajiban-kewajiban dariNya dan melarang mereka dari berbuat
kerusakan, laki-laki wajib untuk menekankan hal tersebut
kepada mereka, dan laki-laki juga adalah pemimpin mereka
dengan memberikan nafkah kepada mereka berupa pakaian dan
tempat tinggal. Kemudian Allah menyebutkan sebab yang
mengharuskan fungsi laki-laki tersebut sebagai pemimpin atas
wanita dalam FirmanNya, ﴾
بِمَا فَضَّلَ ٱللَّهُ بَعۡضَهُمۡ عَلَىٰ بَعۡضٖ وَبِمَآ
أَنفَقُواْ مِنۡ أَمۡوَٰلِهِمۡۚ
﴿ "Oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka
(laki-laki) atas sebagian yang lain
(wanita), dan karena mereka
(laki-laki) telah menafkahkan sebagian
dari harta mereka," yaitu disebab-kan karena keutamaan
laki-laki atas wanita dan kelebihan yang diberikan
(Allah) kepada mereka atas wanita.
Pengutamaan laki-laki atas wanita disebabkan dari berbagai
segi; dari segi kekuasaan adalah dikhususkan bagi laki-laki,
ke-nabian, kerasulan, pengkhususan mereka dalam berbagai macam
ibadah seperti jihad, shalat Hari Raya dan Shalat Jum'at, dan
apa yang telah Allah berikan secara khusus buat mereka berupa
akal pikiran yang matang, kesabaran, dan ketegaran yang tidak
dimiliki oleh wanita, demikian juga Allah mengkhususkan mereka
dengan (kewajiban memberi) nafkah
kepada istri, bahkan pada sebagian besar nafkah laki-laki
dikhususkan untuknya dan diistimewakan dengannya daripada
wanita, dan mungkin hal ini adalah rahasia dari Firman Allah,
﴾
وَبِمَآ أَنفَقُواْ
﴿ "Karena mereka telah menafkahkan," dan menghilangkan obyek
dalam kalimat tersebut menunjukkan kepada nafkah secara umum,
maka dapat diketahui dari itu semua bahwa laki-laki itu adalah
seperti wali dan tuan bagi istrinya, sedang istrinya itu
adalah sebagai pendamping, tawanan, dan pelayan, maka tugas
laki-laki adalah menunaikan apa yang telah Allah pe-rintahkan
untuk dilindungi, dan tugas wanita adalah melakukan ketaatan
kepada Rabbnya dan ketaatan kepada suaminya, oleh karena
itulah Allah berfirman, ﴾
فَٱلصَّٰلِحَٰتُ قَٰنِتَٰتٌ
﴿ "Sebab itu, maka wanita yang shalih, ialah yang taat" yaitu
ia taat kepada Allah سبحانه وتعالى, ﴾
حَٰفِظَٰتٞ لِّلۡغَيۡبِ
﴿ "lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada," yaitu ia
taat kepada suaminya hingga saat suami sedang tidak ada,
dengan menjaga dirinya untuk suaminya dan juga hartanya, yang
demikian itu dengan penjagaan Allah bagi mereka dan
bimbingan-Nya terhadap mereka dan bukannya dari diri mereka
sendiri, karena sesungguhnya nafsu itu selalu memerintahkan
kepada kejahatan, akan tetapi barangsiapa yang bertawakal
kepada Allah, niscaya cukuplah baginya hal itu dari perkara
yang merisaukannya berupa perkara dunia maupun agamanya.
Kemudian Allah berfirman, ﴾
وَٱلَّٰتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ
﴿ "Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya" yaitu
tindakan tidak taat mereka kepada para suami mereka, berupa
kedurhakaan terhadap suami, baik dengan perkataan maupun
perbuatan, maka sang suami boleh menghukumnya dengan yang
paling mudah lalu yang mudah. ﴾
فَعِظُوهُنَّ
﴿ "Maka nasihatilah mereka" yaitu dengan menjelaskan kepada
mereka tentang hukum-hukum Allah dalam perkara ke-taatan dan
kedurhakaan kepada suami, menganjurkannya untuk taat, dan
mengancamnya dari berbuat durhaka, bila ia kembali taat, maka
itulah yang diharapkan, namun bila tidak, maka suami boleh
memisahkan istri di tempat tidurnya, yaitu suami tidak
menggaulinya dengan tujuan sampai perkara yang diinginkan
tercapai, namun bila tidak tercapai, maka suami boleh
memukul-nya dengan pukulan yang tidak membahayakan
(tidak meninggal-kan luka), dan bila
perkara yang diinginkan tercapai dengan salah satu dari
cara-cara tersebut di atas kemudian mereka kembali taat kepada
kalian, ﴾
فَلَا تَبۡغُواْ عَلَيۡهِنَّ سَبِيلًاۗ
﴿ "maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk
menyusahkannya," maksudnya, karena telah tercapai apa yang
kalian kehendaki, maka janganlah kalian mencelanya atas
perkara-perkara yang telah berlalu tersebut dan mencari-cari
kekurangan yang sangat berbahaya bila disebutkan, di mana hal
itu akan menimbulkan keburukan. ﴾
إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَلِيّٗا كَبِيرٗا ﴿ "Sesungguhnya Allah
Mahatinggi lagi Mahabesar," yaitu milikNya ketinggian yang
mutlak dari berbagai segi dan pandangan, ketinggian Dzat,
ketinggian kuasa dan keting-gian kemampuan, dan Yang Mahabesar
di mana tidak ada yang lebih besar, lebih mulia dan lebih agung,
daripada Allah سبحانه وتعالى,, Dia memiliki keagungan Dzat dan
Sifat.
{وَإِنْ خِفْتُمْ شِقَاقَ بَيْنِهِمَا فَابْعَثُوا حَكَمًا
مِنْ أَهْلِهِ وَحَكَمًا مِنْ أَهْلِهَا إِنْ يُرِيدَا
إِصْلَاحًا يُوَفِّقِ اللَّهُ بَيْنَهُمَا إِنَّ اللَّهَ كَانَ
عَلِيمًا خَبِيرًا (35)}
.
"Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara ke-duanya,
maka kirimlah seorang hakam
(juru damai) dari keluarga laki-laki dan
seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam
itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik
kepada suami-istri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi
Maha Mengenal."
(An-Nisa`: 35).
#
{35} أي: وإن خفتم الشقاق بين
الزوجين والمباعدة والمجانبة حتى يكون كل منهما في شقٍّ؛
{فابعثوا حكماً من أهله وحكماً من أهلها}؛ أي: رجلينِ مكلَّفينِ مسلمينِ عدلينِ
عاقلينِ، يعرفان ما بين الزوجين، ويعرفان الجمع والتفريق، وهذا
مستفادٌ من لفظ الحكم؛ لأنه لا يصلح حَكماً إلاَّ من اتَّصف بتلك
الصفات، فينظران ما يَنْقُمُ كلٌّ منهما على صاحبه، ثم يُلْزِمان
كلاًّ منهما ما يجب؛ فإن لم يستطع أحدهما ذلك؛ قنَّعا الزوج
الآخر بالرِّضا بما تيسَّر من الرزق والخلق، ومهما أمكنهما الجمع
والإصلاح؛ فلا يعدِلا عنه؛ فإن وصلت الحال إلى أنه لا يمكنُ
اجتماعهما وإصلاحهما إلا على وجه المعاداة والمقاطعة ومعصية
الله، ورأيا أنَّ التفريق بينهما أصلح؛ فرَّقا بينهما، ولا
يُشْتَرَطُ رضا الزوج كما يدلُّ عليه أن الله سماهما الحكمين،
والحكمُ يَحْكُمُ، وإن لم يرضَ المحكوم عليه،
ولهذا قال:
{إن يُريدا إصلاحاً يُوفِّقِ اللهُ بينَهما}؛ أي: بسبب الرأي الميمون والكلام الذي
يجذِبُ القلوبَ ويؤلِّف بين القرينين.
{إنَّ الله كان عليماً خبيراً}؛ أي: عالماً بجميع الظواهر والبواطن،
مطلعاً على خفايا الأمور وأسرارها؛ فمن علمِهِ وخبرِهِ أن شرع
لكم هذه الأحكام الجليلة والشرائع الجميلة.
(35) Maksudnya, bila kalian
mengkhawatirkan terjadinya saling sengketa antara kedua suami
istri, saling menjauh dan saling menghindar hingga setiap pihak
dari kedua belah pihak tersebut berada pada posisi yang berbeda,
﴾ فَٱبۡعَثُواْ حَكَمٗا مِّنۡ أَهۡلِهِۦ
﴿ "maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan
seorang hakam dari keluarga perempuan" yaitu dua orang
laki-laki Muslim yang baligh, adil, dan sehat akal, serta
mengetahui tentang apa yang terjadi antara kedua suami istri
tersebut, juga mengetahui penyatuan dan perceraian, ini semua
disarikan dari kata al-Hakam, karena sesungguhnya tidaklah
pantas seorang hakam itu kecuali orang yang memiliki ciri-ciri
tersebut, mereka berdua
(hakam) meneliti apa yang menjadi
permasalahan dari setiap pihak dari kedua suami istri itu
terhadap pihak lainnya, kemudian kedua hakam itu mengharuskan
setiap dari kedua belah pihak tersebut untuk menunaikan apa
yang wajib dilakukan, namun bila salah satu pihak tidak dapat
melakukannya, maka kedua hakam itu membujuk pihak lainnya agar
ridha terha-dap apa yang mungkin dilakukan berupa nafkah dan
perilaku yang baik. Dan selama kedua hakam itu mampu
menyatukan kedua belah pihak tersebut maka tidak boleh bagi
mereka berdua untuk mencari jalan lain, namun bila kondisi
kedua belah pihak menuju kepada posisi yang tidak mungkin lagi
untuk disatukan dan diper-baiki kecuali akan mengakibatkan
permusuhan, pemutusan tali kekeluargaan, dan maksiat kepada
Allah, dan kedua hakam tersebut memandang bahwa jalan terbaik
adalah perceraian, maka kedua hakam tersebut memisahkan antara
kedua pihak suami-istri terse-but, dalam hal itu tidaklah
disyaratkan ridha suami sebagaimana yang diindikasikan dalam
ayat ini bahwa Allah telah menamakan mereka sebagai hakam, dan
hakam itu tugasnya adalah memutus-kan hukum hingga walaupun
orang yang terhukum tidak ridha dengan keputusan tersebut,
oleh karena itu Allah سبحانه وتعالى berfirman, ﴾
إِن يُرِيدَآ إِصۡلَٰحٗا يُوَفِّقِ ٱللَّهُ بَيۡنَهُمَآۗ
﴿ "Jika kedua orang hakam itu bermaksud menga-dakan
perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-istri
itu," yaitu karena disebabkan oleh pandangan yang mengandung
keber-kahan dan pembicaraan yang memikat hati dan
menenteramkan antara kedua suami istri. ﴾
إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَلِيمًا خَبِيرٗا ﴿ "Sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Mengenal," yaitu mengetahui segala yang
lahir maupun yang batin, mengawasi perkara-perkara yang
tersembunyi dan rahasia. Dan di antara ilmu dan pengetahuanNya
adalah bahwa Allah mensyariatkan hukum-hukum yang mulia dan
syariat-syariat yang indah tersebut.
{وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا
وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَبِذِي الْقُرْبَى
وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَالْجَارِ ذِي الْقُرْبَى
وَالْجَارِ الْجُنُبِ وَالصَّاحِبِ بِالْجَنْبِ وَابْنِ
السَّبِيلِ وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ إِنَّ اللَّهَ لَا
يُحِبُّ مَنْ كَانَ مُخْتَالًا فَخُورًا
(36) الَّذِينَ يَبْخَلُونَ
وَيَأْمُرُونَ النَّاسَ بِالْبُخْلِ وَيَكْتُمُونَ مَا
آتَاهُمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ وَأَعْتَدْنَا لِلْكَافِرِينَ
عَذَابًا مُهِينًا (37) وَالَّذِينَ
يُنْفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ رِئَاءَ النَّاسِ وَلَا يُؤْمِنُونَ
بِاللَّهِ وَلَا بِالْيَوْمِ الْآخِرِ وَمَنْ يَكُنِ
الشَّيْطَانُ لَهُ قَرِينًا فَسَاءَ قَرِينًا
(38)}
.
"Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan
sesuatu pun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapak,
karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga
yang dekat dan tetangga yang jauh, dan teman sejawat, ibnu sabil
dan apa-apa yang kamu miliki
(hamba sahaya). Sesung-guhnya Allah
tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan
diri.
(Yaitu) orang-orang yang kikir,
dan menyuruh orang lain berbuat kikir, dan menyembunyikan
karunia Allah yang telah diberikanNya kepada mereka. Dan Kami
telah menyediakan untuk orang-orang kafir siksa yang
menghinakan. Dan
(juga) orang-orang yang
menafkahkan harta-harta mereka karena riya kepada manusia, dan
orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan kepada Hari
Kemudian. Barangsiapa yang menjadikan setan itu sebagai
temannya, maka setan itu adalah seburuk-buruknya teman."
(An-Nisa`: 36-38).
#
{36 ـ 37} يأمر تعالى عباده
بعبادتِهِ وحدَه لا شريك له، وهو الدخول تحت رقِّ عبوديَّتِهِ
والانقياد لأوامره ونواهيه محبةً وذلًّا وإخلاصاً له في جميع
العبادات الظاهرة والباطنة، وينهى عن الشرك به شيئاً، لا شركاً
أصغر، ولا أكبر، لا مَلَكاً، ولا نبيًّا، ولا وليًّا، ولا غيرهم
من المخلوقين الذين لا يملِكون لأنفسهم نفعاً ولا ضرًّا ولا
موتاً ولا حياة ولا نشوراً، بل الواجبُ المتعيِّن إخلاصُ العبادة
لمن له الكمالُ المطلق من جميع الوجوه، وله التدبير الكامل الذي
لا يَشْرَكُه ولا يعينُهُ عليه أحدٌ. ثم بعد ما أمر بعبادتِهِ
والقيام بحقِّه أمر بالقيام بحقوق العبادِ الأقرب فالأقرب،
فقال:
{وبالوالدين إحساناً}؛
أي:
أحسنوا إليهم بالقول الكريم والخطاب اللطيف والفعل الجميل،
بطاعةِ أمرِهما واجتنابِ نهيِهِما، والإنفاق عليهما، وإكرام من
له تعلُّق بهما، وصلة الرحم التي لا رحمَ لك إلاَّ بهما.
وللإحسان ضدَّانِ الإساءةُ وعدمُ الإحسان، وكلاهما منهيٌّ عنه.
{وبذي القربى} أيضاً إحساناً،
ويشمل ذلك جميع الأقارب، قَرُبوا أو بَعُدوا، بأن يُحْسِنَ إليهم
بالقول والفعل، وأنْ لا يقطعَ برحمه بقولِهِ أو فعلِهِ.
{واليتامى}؛
أي:
الذين فُقِدَ آباؤهم وهم صغارٌ، فلهم حقٌّ على المسلمين، سواءٌ
كانوا أقارب أو غيرهم، بكفالتهم وبِرِّهم وجبرِ خواطرِهم
وتأديبِهم وتربيتهم أحسن تربية في مصالح دينهم ودنياهم.
{والمساكين}: وهم الذين أسكنتهم
الحاجةُ والفقرُ، فلم يحصُلوا على كفايتهم ولا كفاية من يمونون،
فأمر الله تعالى بالإحسان إليهم بسدِّ خلَّتهم وبدفع فاقتهم
والحضِّ على ذلك والقيام بما يمكن منه.
{والجار ذي القربى}؛
أي:
الجار القريب الذي له حقَّان؛ حقُّ الجوار وحقُّ القرابة؛ فله
على جارِهِ حقٌّ وإحسانٌ راجعٌ إلى العرف. وكذلك
{الجار الجُنُب}؛
أي:
الذي ليس له قرابةٌ، وكلَّما كان الجارُ أقربَ باباً؛ كان آكد
حقًّا، فينبغي للجار أن يتعاهدَ جارَه بالهدية والصدقة والدعوة
واللطافة بالأقوال والأفعال وعدم أذيَّتِهِ بقول أو فعل.
{والصاحب بالجنب}: قيل: الرفيقُ في
السفر، وقيل: الزوجة،
وقيل:
الصاحب مطلقاً، ولعله أولى؛ فإنه يَشْمَلُ الصاحبَ في الحضر
والسفر ويَشْمَلُ الزوجةَ؛ فعلى الصاحب لصاحبه حقٌّ زائد على
مجرَّد إسلامه، من مساعدته على أمور دينه ودنياه، والنصح له،
والوفاء معه في اليسر والعسر والمنشط والمكره، وأن يحبَّ له ما
يحبُّ لنفسه، ويكره له مايكره لنفسه، وكلَّما زادت الصحبة؛ تأكد
الحق وزاد. {وابن السبيل}: وهو
الغريب الذي احتاج في بلد الغربة أو لم يحتج؛ فله حقٌّ على
المسلمين لشدَّة حاجتِهِ وكونِهِ في غير وطنه بتبليغه إلى مقصوده
أو بعض مقصوده وبإكرامه وتأنيسه.
{وما ملكت أيمانكم}؛
أي:
من الآدميين والبهائم، بالقيام بكفايتهم وعدم تحميلهم ما يشقُّ
عليهم، وإعانتُهم على ما تحمَّلوه وتأديبهم لما فيه مصلحتُهم؛
فَمَنْ قام بهذه المأمورات؛ فهو الخاضع لربه، المتواضع لعباد
الله، المنقاد لأمر الله وشرعه، الذي يستحقُّ الثواب الجزيل
والثناء الجميل، ومن لم يقم بذلك؛ فإنه عبد معرِضٌ عن ربه، غير
منقاد لأوامره، ولا متواضع للخلق، بل هو متكبِّر على عباد الله،
معجبٌ بنفسه، فخورٌ بقوله. ولهذا قال:
{إنَّ الله لا يحبُّ من كان مختالاً}؛ أي: معجَباً بنفسه متكبراً على
الخلق، {فخوراً}؛ يثني على نفسه
ويمدحُها على وجه الفخر والبطرِ على عباد الله؛ فهؤلاء ما بهم من
الاختيال والفخر يمنعُهم من القيام بالحقوق،
ولهذا ذمَّهم بقوله:
{الذين يبخلون}؛
أي:
يمنعون ما عليهم من الحقوق الواجبة،
{ويأمرون الناس بالبُخل}: بأقوالهم
وأفعالهم،
{ويكتُمون ما آتاهمُ الله من فضلِهِ}؛ أي: من العلم الذي يهتدي به الضالون
ويسترشِدُ به الجاهلون، فيكتُمونه عنهم، ويُظْهِرون لهم من
الباطل ما يَحولُ بينَهم وبين الحقِّ، فجمعوا بين البخل بالمال
والبخل بالعلم وبين السعي في خسارة أنفسهم وخسارة غيرهم، وهذه هي
صفات الكافرين؛ فلهذا قال تعالى:
{وأعتَدْنا للكافرين عذاباً مهيناً}؛ أي: كما تكبَّروا على عباد الله،
ومنعوا حقوقه، وتسبَّبوا في منع غيرِهم من البخل وعدم الاهتداء؛
أهانهم بالعذاب الأليم والخزي الدائم؛ فعياذاً بك اللهمَّ من
كلِّ سوء.
(36-37) Allah سبحانه وتعالى
memerintahkan hamba-hambaNya untuk beribadah semata kepadaNya
yang tidak ada sekutu bagiNya, yaitu dengan menjatuhkan dirinya
ke dalam perbudakan periba-dahan kepadaNya, tunduk patuh
(dengan menjalankan)
perintah-perintahNya dan
(menjauhi) larangan-laranganNya dengan
rasa cinta, hina, dan tulus ikhlas hanya untukNya dalam seluruh
ibadah yang lahir maupun yang batin. Lalu Allah melarang dari
menyeku-tukan DiriNya dengan sesuatu pun, baik syirik yang kecil
maupun syirik yang besar, tidak dengan malaikat, seorang nabi,
seorang wali Allah, dan tidak pula dengan selain mereka dari
seluruh makhluk yang mereka sendiri tidak mampu
(mendatangkan) manfaat bagi mereka, dan
tidak pula mampu
(mencegah) mudarat,
tidak mampu mematikan, menghidupkan, dan tidak pula
mem-bangkitkan, akan tetapi yang seharusnya dilakukan adalah
meng-ikhlaskan ibadah hanya untuk Dzat yang memiliki
kesempurnaan mutlak dari berbagai seginya, dan bagi Dzat yang
memiliki kekua-saan mengatur yang menyeluruh yang tidak ada
sekutu dan tidak dibantu dalam hal itu oleh seorang pun.
Kemudian setelah Allah memerintahkan
(para hambaNya) untuk beribadah
kepadaNya dan menunaikan hak-hakNya, lalu Allah memerintahkan
mereka untuk menunaikan hak-hak hamba yang paling terdekat lalu
yang dekat, Allah berfirman, ﴾ وَبِٱلۡوَٰلِدَيۡنِ إِحۡسَٰنٗا
﴿ "Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapak" yaitu
berbuat baik-lah kepada mereka dengan perkataan yang mulia,
percakapan yang lembut, dan tingkah laku yang luhur, dengan
menaati perintah keduanya, meninggalkan larangan keduanya,
memberikan nafkah kepada keduanya, memuliakan orang-orang yang
memiliki hubungan dengan keduanya, menjalin silaturahim dengan
orang-orang yang tidak ada bagimu hubungan silaturahim itu
kecuali karena keduanya. Berbuat baik ini memiliki dua lawan
kata yaitu berbuat jelek dan tidak berbuat baik, kedua hal
tersebut adalah dilarang. ﴾
وَبِذِي ٱلۡقُرۡبَىٰ
﴿ "Karib-kerabat" maksudnya, berbuat baiklah kepada mereka,
dan yang demikian itu mencakup seluruh karib kerabat, baik
yang dekat maupun yang jauh, yaitu berbuat baik kepada mereka
dengan perkataan maupun perbuatan, dan agar tidak memutus
hubungan silaturahim dengan mereka dengan perkataan maupun
perbuatan. ﴾
وَٱلۡيَتَٰمَىٰ
﴿ "Anak-anak yatim" yaitu anak-anak yang kehilangan ayah
selagi mereka masih kecil, maka mereka memiliki hak atas kaum
Muslimin, baik mereka itu termasuk karib kerabat maupun bukan,
yaitu dengan cara menyantuni mereka, berbuat baik kepada
mereka, menghibur hati mereka, mendidik mereka, mengajar
mereka dengan sebaik-baik pendidikan dan pengajaran untuk
kemaslahatan dunia dan akhirat mereka. ﴾
وَٱلۡمَسَٰكِينِ
﴿ "Orang-orang miskin," mereka adalah orang-orang yang
dihimpit oleh kebutuhan dan kepapaan, mereka tidak mendapatkan
apa yang mampu menutupi kebutuhan mereka apalagi menutupi
kebutuhan orang-orang yang mereka tanggung, maka Allah سبحانه
وتعالى memerintahkan untuk berbuat baik dengan cara memenuhi
kebutuhan hidup mereka, menghilangkan kekurangan mereka, dan
Allah menganjurkan kepada hal tersebut serta menunaikannya
sesuai dengan kemam-puan. ﴾
وَٱلۡجَارِ ذِي ٱلۡقُرۡبَىٰ
﴿ "Tetangga yang dekat," yaitu tetangga dekat yang memiliki
dua hak, hak bertetangga dan hak kekerabatan, maka ia memiliki
hak dan perbuatan baik atas tetangganya, dan hal itu menurut
kebiasaan yang berlaku. Demikian juga, ﴾
وَٱلۡجَارِ ٱلۡجُنُبِ
﴿ "dan tetangga yang jauh" yaitu yang tidak memiliki tali
kekerabatan, maka semakin dekat rumah tetangga semakin besar
haknya. Karena itu, seyogyanya seorang tetangga selalu
berusaha memberikan tetangganya hadiah, sede-kah, dakwah, dan
kelembutan dengan perkataan maupun per-buatan, serta tidak
mengganggunya, baik dengan perkataan mau-pun perbuatan.
﴾
وَٱلصَّاحِبِ بِٱلۡجَنۢبِ
﴿ "Dan teman sejawat." Ada yang berpendapat bahwa maksudnya
adalah; teman dalam perjalanan, pendapat lain mengatakan bahwa
ia adalah istri, sedangkan yang lain lagi berpendapat bahwa ia
adalah teman secara umum. Namun yang terakhir ini lebih cocok,
karena mencakup teman baik dalam perjalanan maupun ketika
bermukim (menetap), dan juga menca-kup
istri, maka seorang teman memiliki hak atas temannya lebih
dari sekedar karena keislamannya, yaitu dengan menolongnya
dalam urusan-urusan agamanya maupun dunianya, menasihati-nya,
setia padanya, baik dalam kondisi susah maupun senang, duka
maupun suka, mencintai untuknya apa yang dicintai untuk
dirinya, membenci untuknya apa yang dibenci untuk dirinya, dan
setiap kali bertambah rasa pertemanan, maka semakin besar dan
kokoh pula hak teman atas temannya itu. ﴾
وَٱبۡنِ ٱلسَّبِيلِ
﴿ "Ibnu sabil" yaitu orang asing yang sedang berada pada
suatu daerah yang asing, baginya baik ia membutuhkan bantuan
ataupun tidak, baginya hak atas kaum Muslimin karena
mendesaknya kebutuhan dirinya dan karena kondisinya sebagai
seorang yang asing yang tidak berada pada daerahnya yaitu
dengan cara menyampaikannya kepada tujuannya atau sebagian
tujuannya dan dengan memuliakannya, serta memberikan sam-butan
yang baik, ﴾
وَمَا مَلَكَتۡ أَيۡمَٰنُكُمۡۗ
﴿ "dan apa-apa yang kamu miliki," yaitu dari manusia maupun
binatang, dengan cara menunaikan hajat mereka, tidak
memikulkan apa yang tidak mampu mereka kerjakan, membantu
mereka pada apa yang mereka kerjakan, dan mendidik mereka
kepada sesuatu yang mengandung kemasla-hatan bagi mereka, maka
barangsiapa yang menunaikan perintah-perintah tersebut,
niscaya ia adalah seorang yang taat kepada Rabbnya dan berlaku
rendah hati terhadap hamba-hambaNya, tunduk terhadap
perintah-perintah Allah dan syariatNya, sehingga ia berhak
mendapatkan balasan yang melimpah dan pujian yang baik. Adapun
orang yang tidak menunaikan perintah-perintah tersebut, maka
sesungguhnya ia adalah seorang hamba yang berpaling dari
Rabbnya, tidak tunduk pada perintah-perintahNya, tidak pula
rendah hati terhadap hamba-hambaNya, akan tetapi ia adalah
seorang yang berlaku sombong terhadap hamba-hamba Allah,
bangga terhadap diri sendiri dan perkataannya, oleh karena itu
Allah berfirman, ﴾
إِنَّ ٱللَّهَ لَا يُحِبُّ مَن كَانَ مُخۡتَالٗا
﴿ "Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang
sombong," yaitu merasa bangga akan dirinya sendiri dan congkak
terhadap makhluk, ﴾
فَخُورًا
﴿ "dan membangga-banggakan diri," memuji diri sendiri dan
menyanjungnya dengan maksud sombong dan angkuh terhadap
hamba-hamba Allah, mereka itu dengan apa yang ada pada diri
mereka berupa kesom-bongan dan membangga-banggakan diri telah
menghalangi me-reka dari menunaikan hak-hak tersebut, karena
itu Allah mencela mereka dalam FirmanNya, ﴾
ٱلَّذِينَ يَبۡخَلُونَ
﴿ "(Yaitu) orang-orang yang kikir,"
maksudnya, mereka tidak mau menunaikan hak-hak yang wajib atas
mereka, ﴾
وَيَأۡمُرُونَ ٱلنَّاسَ بِٱلۡبُخۡلِ
﴿ "dan menyuruh orang lain berbuat kikir" dengan perkataan
dan perbuatan mereka,﴾
وَيَكۡتُمُونَ مَآ ءَاتَىٰهُمُ ٱللَّهُ مِن فَضۡلِهِۦۗ
﴿ "dan menyembunyikan karunia Allah yang telah di-berikanNya
kepada mereka" yaitu berupa ilmu yang digunakan oleh orang
yang tersesat sebagai hidayah dan oleh orang yang bodoh
sebagai petunjuk, namun mereka menyembunyikannya dari
orang-orang tersebut, mereka menampakkan kepada orang-orang
terse-but kebatilan yang akan menghalangi orang-orang tersebut
dari kebenaran, mereka telah menyatukan antara kikir harta dan
kikir ilmu serta usaha menuju kerugian diri mereka sendiri dan
kerugian orang lain, dan inilah sifat-sifat orang-orang kafir,
oleh karena itu Allah سبحانه وتعالى berfirman, ﴾
وَأَعۡتَدۡنَا لِلۡكَٰفِرِينَ عَذَابٗا مُّهِينٗا ﴿ "Dan Kami
telah me-nyediakan untuk orang-orang kafir siksa yang
menghinakan" yaitu seba-gaimana mereka telah berlaku sombong
terhadap hamba-hamba Allah dan tidak mau menunaikan hak-hak
mereka, menjadi penye-bab orang lain menolak hak-hak hamba-hamba
berupa kekikiran dan tidak mendapatkan petunjuk, begitu pula
Allah menghinakan mereka dengan siksa yang pedih dan kehinaan
yang abadi. Kami berlindung kepadaMu ya Allah, dari segala
keburukan.
#
{38} ثم أخبر عن النفقة الصادرة عن
رياءٍ وسُمْعَة وعدم إيمان به، فقال:
{والذين ينفقون أموالهم رئاء الناس}؛ أي: ليروهم ويمدحوهم ويعظموهم.
{ولا يؤمنون بالله ولا باليوم الآخِرِ}؛ أي: ليس إنفاقهم صادراً عن إخلاص
وإيمان بالله ورجاء ثوابه؛ أي: فهذا من
خطوات الشيطان وأعماله، التي يدعو حزبه إليها ليكونوا من أصحاب
السعير، وصدرت منهم بسبب مقارنته لهم وأزِّهم إليها؛
فلهذا قال:
{ومن يَكُنِ الشيطانُ له قريناً فساءَ قريناً}؛ أي: بئس المقارن والصاحب الذي يريد
إهلاك مَن قارنه ويسعى فيه أشدَّ السعي؛ فكما أن مَن بخل بما
آتاه الله وكَتَمَ ما منَّ به الله عليه عاصٍ آثمٌ مخالفٌ
لربِّه؛ فكذلك من أنفق وتعبَّد لغير الله؛ فإنه آثم عاصٍ لربِّه
مستوجبٌ للعقوبة؛ لأن الله إنما أمر بطاعتِهِ وامتثال أمره على
وجه الإخلاص؛ كما قال تعالى:
{وما أُمِروا إلا ليعبدوا الله مُخلصينَ له الدِّين}؛ فهذا العمل المقبول الذي يستحقُّ صاحبُهُ المدح والثواب؛
فلهذا حثَّ تعالى عليه بقوله:
(38) Kemudian Allah memberitakan tentang
nafkah yang bersumber dari suatu tindakan riya`
(ingin dilihat) dan sum'ah
(ingin didengar) serta tidak beriman
kepadaNya dalam FirmanNya, ﴾ وَٱلَّذِينَ يُنفِقُونَ
أَمۡوَٰلَهُمۡ رِئَآءَ ٱلنَّاسِ
﴿ "Dan (juga) orang-orang yang
menafkah-kan harta-harta mereka karena riya kepada manusia,"
maksudnya, agar orang lain melihat, memuji, dan menghormati
mereka.﴾
وَلَا يُؤۡمِنُونَ بِٱللَّهِ وَلَا بِٱلۡيَوۡمِ ٱلۡأٓخِرِۗ
﴿ "Dan orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan kepada
Hari Kemudian" yaitu infak mereka tidaklah bersumber dari hati
yang ikhlas dan keimanan kepada Allah serta mengharap
ba-lasanNya, artinya adalah bahwa hal ini di antara
langkah-langkah setan dan perbuatan-perbuatannya, di mana ia
mengajak golongan-nya melakukan hal tersebut, agar mereka
semua menjadi penghuni-penghuni neraka yang menyala, dan
terjadilah perbuatan itu dari mereka yang disebabkan oleh
setan yang selalu mengiringi mereka dan bantuannya terhadap
mereka kepada hal tersebut, karena itu Allah berfirman,
﴾
وَمَن يَكُنِ ٱلشَّيۡطَٰنُ لَهُۥ قَرِينٗا فَسَآءَ قَرِينٗا
﴿ "Barangsiapa yang menjadikan setan itu sebagai temannya,
maka setan itu adalah seburuk-buruknya teman," yaitu
seburuk-buruknya teman dan pendamping yang menghendaki
kehancuran orang yang ditemani dengan usaha yang keras untuk
dapat merealisasikannya. Dan sebagaimana orang yang berlaku
kikir akan apa yang telah Allah karuniakan kepadanya dan
menyembunyikan apa yang telah Allah berikan kepadanya adalah
seorang pendosa lagi berpaling dari Rabbnya, begitu pula orang
yang berinfak dan beribadah kepada selain Allah, sesungguhnya
ia telah berdosa, durhaka terhadap Rabbnya, sehingga ia berhak
mendapatkan hukuman, karena Allah meme-rintahkan untuk taat
kepadaNya dan menunaikan perintah-perin-tahNya dengan ikhlas,
sebagaimana Allah berfirman, ﴾
وَمَآ أُمِرُوٓاْ إِلَّا لِيَعۡبُدُواْ ٱللَّهَ مُخۡلِصِينَ لَهُ
ٱلدِّينَ ﴿ "Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya
menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepadaNya dalam
(menjalankan) agama yang lurus."
(Al-Bayyinah: 5). Inilah perbuatan yang akan diterima, di mana pelakunya berhak
mendapatkan pahala dan pujian, oleh karena itulah Allah سبحانه
وتعالى menganjurkan hal tersebut dalam FirmanNya,
{وَمَاذَا عَلَيْهِمْ لَوْ آمَنُوا بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ
الْآخِرِ وَأَنْفَقُوا مِمَّا رَزَقَهُمُ اللَّهُ وَكَانَ
اللَّهُ بِهِمْ عَلِيمًا (39)}
.
"Apakah kemudharatannya bagi mereka, kalau mereka ber-iman
kepada Allah dan Hari Kemudian dan menafkahkan sebagian rizki
yang telah diberikan Allah kepada mereka? Dan Allah Maha
Mengetahui keadaan mereka."
(An-Nisa`: 39).
#
{39} أي: أيُّ شيء عليهم وأيُّ حرج
ومشَّقة تلحقُهم لو حَصَلَ منهم الإيمانُ بالله الذي هو الإخلاص
وأنفقوا من أموالِهِم التي رَزَقَهم الله وأنعم بها عليهم،
فجمعوا بين الإخلاص والإنفاق، ولما كان الإخلاص سرًّا بين العبد
وبين ربِّه لا يطَّلع عليه إلا الله؛ أخبر تعالى بعلمِهِ بجميع
الأحوال، فقال:
{وكان الله بهم عليماً}.
(39) Maksudnya, apa yang menimpa mereka
dan kerugian atau kesusahan apa yang akan mereka temui bila
mereka beriman kepada Allah yaitu ikhlas dan menginfakkan
sebagian harta yang telah Allah berikan kepada mereka dan telah
Allah karuniakan mereka dengannya, sehingga mereka dapat
menyatukan antara keikhlasan dan berinfak? Namun ketika
keikhlasan itu adalah sebuah perkara yang tersembunyi antara
seorang hamba dengan Rabbnya di mana tidak ada yang mampu
mengetahuinya kecuali Allah, maka Allah سبحانه وتعالى
mengabarkan bahwa Dia mengetahui segala keadaan dan kondisi
dalam FirmanNya, ﴾ وَكَانَ ٱللَّهُ بِهِمۡ عَلِيمًا ﴿ "Dan Allah
Maha Mengetahui keadaan mereka."
{إِنَّ اللَّهَ لَا يَظْلِمُ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ وَإِنْ تَكُ
حَسَنَةً يُضَاعِفْهَا وَيُؤْتِ مِنْ لَدُنْهُ أَجْرًا
عَظِيمًا (40) فَكَيْفَ إِذَا جِئْنَا
مِنْ كُلِّ أُمَّةٍ بِشَهِيدٍ وَجِئْنَا بِكَ عَلَى هَؤُلَاءِ
شَهِيدًا (41) يَوْمَئِذٍ يَوَدُّ
الَّذِينَ كَفَرُوا وَعَصَوُا الرَّسُولَ لَوْ تُسَوَّى بِهِمُ
الْأَرْضُ وَلَا يَكْتُمُونَ اللَّهَ حَدِيثًا
(42)}
.
"Sesungguhnya Allah tidak menganiaya seseorang walaupun sebesar
dzarrah, dan jika ada kebajikan sebesar dzarrah, niscaya Allah
akan melipat gandakannya dan memberikan dari sisiNya pahala yang
besar. Maka bagaimanakah
(halnya orang kafir nanti), apabila Kami
mendatangkan seorang saksi
(rasul) dari
tiap-tiap umat dan Kami mendatangkan kamu
(Muhammad) sebagai saksi atas mereka itu
(sebagai umatmu). Di hari itu
orang-orang kafir dan orang-orang yang mendurhakai rasul, ingin
supaya mereka disamaratakan dengan tanah, dan mereka tidak dapat
menyembunyikan
(dari Allah) suatu
kejadian pun."
(An-Nisa`: 40-42).
#
{40} يخبر تعالى عن كمال عدلِهِ
وفضله وتنزُّهه عما يضادُّ ذلك من الظلم القليل والكثير،
فقال:
{إنَّ الله لا يظلم مثقالَ ذرَّة}؛ أي: يَنْقُصُها من حسنات عبده أو
يزيدُها في سيئاتِهِ؛ كما قال تعالى:
{فَمَن يعمل مثقالَ ذَرَّةٍ خيراً يَرَه. ومَن يعمل مثقالَ
ذرَّة شرًّا يَرَه}.
{وإن تكُ حسنةً يضاعِفْها}؛
أي:
إلى عشرة أمثالها، إلى أكثر من ذلك، بحسب حالها ونفعها وحال
صاحبها إخلاصاً ومحبةً وكمالاً.
{ويؤتِ من لَدُنْهُ أجراً عظيماً}؛ أي: زيادة على ثواب العمل بنفسه من
التوفيق لأعمال أُخَرَ وإعطاء البرِّ الكثير والخير الغزير.
(40) Allah سبحانه وتعالى memberitakan
tentang kesempurnaan keadil-anNya, keutamaanNya dan berlepas
diriNya dari perkara yang berlawanan dengan hal-hal tersebut
seperti kezhaliman, baik sedikit maupun banyak, seraya
berfirman, ﴾ إِنَّ ٱللَّهَ لَا يَظۡلِمُ مِثۡقَالَ ذَرَّةٖۖ
﴿ "Sesungguh-nya Allah tidak menganiaya seseorang walaupun
sebesar dzarrah" yaitu Allah mengurangi kebaikan-kebaikan
hambaNya atau menambah keburukan-keburukannya, sebagaimana
juga Allah تعالى berfirman, ﴾
فَمَن يَعۡمَلۡ مِثۡقَالَ ذَرَّةٍ خَيۡرٗا يَرَهُۥ 7 وَمَن
يَعۡمَلۡ مِثۡقَالَ ذَرَّةٖ شَرّٗا يَرَهُۥ 8
﴿ "Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrah pun,
nis-caya dia akan melihat
(balasan)nya. Dan barangsiapa yang
mengerjakan kejahatan sebesar dzarrah pun, niscaya dia akan
melihat (balasan)nya pula."
(Az-Zalzalah: 7-8). ﴾
وَإِن تَكُ حَسَنَةٗ يُضَٰعِفۡهَا
﴿ "Dan jika ada kebajikan sebesar dzarrah, nis-caya Allah
akan melipat gandakannya" yaitu hingga sepuluh kali lipat dan
bahkan lebih banyak lagi dari itu, yang sesuai dengan kondisi
dan manfaat kebajikan tersebut, serta kondisi pelakunya dari
segi keikhlasan, rasa cinta, dan kesempurnaan. ﴾
وَيُؤۡتِ مِن لَّدُنۡهُ أَجۡرًا عَظِيمٗا ﴿ "Dan memberikan dari
sisiNya pahala yang besar" yaitu sebagai tam-bahan atas pahala
perbuatan itu sendiri berupa taufik kepada amalan-amalan
(baik) lainnya dan memberikan kebaikan
yang melimpah serta keberkahan yang banyak.
#
{41} ثم قال تعالى:
{فكيف إذا جِئْنا من كلِّ أُمةٍ بشهيدٍ وجئنا بك على هؤلاء
شهيداً}؛ أي: كيف تكون تلك الأحوالُ؟ وكيف
يكونُ ذلك الحكم العظيم الذي جَمَعَ أنَّ مَن حكم به كامل العلم
كامل العدل كامل الحكمةِ بشهادة أزكى الخلق وهُم الرسلُ على
أُممِهِم مع إقرار المحكوم عليه؟ فهذا والله الحكم الذي هو أعمُّ
الأحكام وأعدلها وأعظمها، وهناك يبقى المحكومُ عليهم مقرِّين له.
بكمال الفضل والعدل والحمد والثناء، وهنالك يسعد أقوامٌ بالفوز
والفلاح والعزِّ والنجاح ويشقى أقوام بالخِزْي والفضيحة والعذاب
المُهين.
(41) Kemudian Allah سبحانه وتعالى
berfirman, ﴾ فَكَيۡفَ إِذَا جِئۡنَا مِن كُلِّ أُمَّةِۭ بِشَهِيدٖ
وَجِئۡنَا بِكَ عَلَىٰ هَٰٓؤُلَآءِ شَهِيدٗا ﴿ "Maka bagaimanakah
(halnya orang kafir nanti), apabila Kami
mendatangkan seorang saksi
(rasul) dari
tiap-tiap umat dan Kami mendatangkan kamu
(Muhammad) sebagai saksi atas mereka itu
(sebagai umatmu)" maksudnya,
bagaimanakah kondisi kala itu? Dan bagaimana terjadinya hukum
yang agung tersebut yang menya-tukan antara Dzat yang memutuskan
ketetapan itu adalah Dzat yang memiliki kesempurnaan ilmu,
keadilan yang tidak bercacat dan kebijaksanaan yang agung dengan
kesaksian makhluk yang paling suci –yaitu para Rasul– atas
umat-umat mereka bersamaan dengan pengakuan secara sadar dari
mereka yang menjadi ter-dakwa? Yang demikian itu demi Allah,
adalah hukum yang paling umum dan menyeluruh, yang paling adil
dan paling agung, ke-mudian tinggallah mereka
(pihak yang terhukum atau terdakwa)
mengakui akan kesempurnaan karunia, keadilan, pujian dan
san-junganNya, ada golongan yang berbahagia dengan mendapatkan
keberuntungan, keberhasilan, kemuliaan dan kesuksesan, dan ada
golongan yang sengsara dengan kehinaan, keterpurukan, dan siksa
yang menghinakan.
#
{42} ولهذا قال:
{يومئذٍ يَوَدُّ الذين كفروا وعَصَوُا الرسولَ}؛ أي: جمعوا بين الكفر بالله وبرسوله
ومعصية الرسول،
{لو تُسَوَّى بهم الأرض}؛
أي:
تبتلعهم ويكونون تراباً وعدماً؛
كما قال تعالى:
{ويقولُ الكافرُ يا ليتني كنتُ تُراباً}.
{ولا يكتمونَ اللهَ حديثاً}؛
أي:
بل يقرُّون له بما عَمِلوا وتشهدُ عليهم ألسنتُهم وأيديهم
وأرجُلُهم بما كانوا يعملونَ، يومئذٍ يوفِّيهم الله دينَهم،
جزاءَهم الحقَّ، ويعلمون أنَّ الله هو الحقُّ المبينُ. فأما ما
ورد من أنَّ الكفار يكتُمون كفرَهم وجحودَهم؛ فإنَّ ذلك يكون في
بعض مواضع القيامةِ حين يظنُّون أن جحودَهم ينفعُهم من عذابِ
الله؛ فإذا عرفوا الحقائقَ وشهِدَتْ عليهم جوارِحُهم، حينئذٍ
ينجلي الأمر، ولا يبقى للكتمان موضعٌ ولا نفعٌ ولا فائدةٌ.
(42) Oleh karena itulah Allah berfirman,
﴾ يَوۡمَئِذٖ يَوَدُّ ٱلَّذِينَ كَفَرُواْ وَعَصَوُاْ ٱلرَّسُولَ
﴿ "Di hari itu orang-orang kafir dan orang-orang yang
men-durhakai rasul ingin" yaitu mereka menyatukan antara kufur
kepada Allah dan kepada RasulNya dengan durhaka kepada Rasul,
﴾
لَوۡ تُسَوَّىٰ بِهِمُ ٱلۡأَرۡضُ
﴿ "supaya mereka disamaratakan dengan tanah," maksudnya,
tanah itu menelan mereka hingga mereka menjadi tanah dan
meng-hilang, sebagaimana Allah سبحانه وتعالى berfirman,
﴾
وَيَقُولُ ٱلۡكَافِرُ يَٰلَيۡتَنِي كُنتُ تُرَٰبَۢا 40
﴿ "Dan orang kafir berkata, 'Alangkah baiknya sekiranya aku
dahulu adalah tanah'."
(An-Naba`: 40). ﴾
وَلَا يَكۡتُمُونَ ٱللَّهَ حَدِيثٗا ﴿ "Dan mereka tidak dapat
menyembunyikan
(dari Allah) suatu
kejadian pun," maksudnya adalah, bahkan mereka akan mengakui apa
yang telah mereka kerjakan dan semua lisan-lisan mereka,
tangan-tangan mereka, dan kaki-kaki mereka akan bersaksi
terhadap apa yang telah mereka lakukan. Pada hari itu Allah akan
memberi mereka balasan yang setimpal menurut semestinya, hingga
mereka mengetahui bahwa Allah-lah Dzat yang Benar lagi yang
menjelaskan
(segala sesuatu menurut hakikat yang sebenarnya). Adapun riwayat yang menyatakan bahwasanya kaum kafir
me-nyembunyikan kekufuran dan pengingkaran mereka, sesungguh-nya
hal tersebut terjadi pada beberapa kondisi pada Hari Kiamat,
yaitu ketika mereka mengira bahwa pengingkaran mereka akan
berguna bagi mereka
(sehingga terbebas) dari siksa Allah,
namun bila mereka telah mengetahui kenyataan dan seluruh anggota
badan mereka akan bersaksi atas
(semua perbuatan) mereka, maka saat
itulah segala perkara akan jelas, hingga tindakan
menyem-bunyikan itu tidak memiliki manfaat atau faidah.
{يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَقْرَبُوا الصَّلَاةَ
وَأَنْتُمْ سُكَارَى حَتَّى تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ وَلَا
جُنُبًا إِلَّا عَابِرِي سَبِيلٍ حَتَّى تَغْتَسِلُوا وَإِنْ
كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ
مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ
تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا
بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَفُوًّا
غَفُورًا (43)}
.
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang
kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu
ucapkan,
(jangan pula hampiri masjid) sedang kamu
dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga
kamu mandi. Dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau
kembali dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh
pe-rempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka
bertayamum-lah kamu dengan tanah yang baik
(suci); sapulah mukamu dan tanganmu.
Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengam-pun."
(An-Nisa`: 43).
#
{43} ينهى تعالى عباده المؤمنين أن
يَقْرَبوا الصلاة وهم سُكارى حتى يعلَموا ما يقولونَ، وهذا شاملٌ
لِقُرْبانِ مواضع الصلاة؛ كالمسجد؛ فإنه لا يمكَّنُ السكرانُ من
دخولِهِ، وشاملٌ لنفس الصلاة؛ فإنه لا يجوز للسكران صلاةٌ ولا
عبادةٌ لاختلاط عقلِهِ وعدم علمِهِ بما يقول، ولهذا حدَّد تعالى
ذلك وغيَّاه إلى وجود العلم بما يقول السكران. وهذه الآية
الكريمة منسوخةٌ بتحريم الخمر مطلقاً؛ فإنَّ الخمر في أول الأمر
كان غير محرَّم،
ثم إنَّ الله تعالى عَرَّضَ لعبادِهِ بتحريمِهِ بقوله:
{يَسألونَكَ عن الخمرِ والمَيْسِرِ قُلْ فيهما إثمٌ كبيرٌ
ومَنافعُ للنَّاسِ وإثْمُهُما أكبرُ مِنْ نَفعِهِما}، ثم إنَّه تعالى نهاهم عن الخمر عند حضورِ الصلاة كما في هذه
الآية،
ثم إنه تعالى حرَّمه على الإطلاق في جميع الأوقات في
قوله:
{يا أيُّها الذينَ آمنوا إنَّما الخمرُ والمَيْسِرُ والأنصابُ
والأزلام رِجسٌ مِن عملِ الشيطانِ فاجتنبوهُ}
الآية. ومع هذا؛ فإنه يشتدُّ تحريمه وقتَ حضور الصلاة؛ لتضمُّنه
هذه المفسدة العظيمة بعدم حصول مقصود الصلاة الذي هو روحها
ولبُّها، وهو الخشوع وحضور القلب؛ فإنَّ الخمر يُسْكِرُ القلبَ،
ويصدُّ عن ذِكْرِ الله وعن الصلاة. ويؤخَذُ من المعنى منعُ
الدُّخول في الصلاة في حال النُّعاس المفرط الذي لا يشعُرُ صاحبه
بما يقولُ ويفعل، بل لعلَّ فيه إشارة إلى أنه ينبغي لمن أراد
الصلاة أن يقطعَ عنه كلَّ شاغل يَشْغَلُ فكره؛ كمدافعةِ الأخبثين
والتَّوْق لطعام ونحوِهِ؛ كما ورد في ذلك الحديث الصحيح.
ثم قال:
{ولا جُنُباً إلا عابري سبيل}؛ أي: لا تقربوا الصلاة حالة كونِ
أحدِكم جُنباً إلاَّ في هذه الحال، وهو عابرُ السبيل؛
أي:
تمرُّون في المسجد ولا تمكُثون فيه.
{حتَّى تغتَسِلوا}؛
أي:
فإذا اغتسلتم؛ فهو غاية المنع من قربانِ الصلاة للجُنُبِ، فيحلُّ
للجُنُبِ المرورُ في المسجد فقط.
{وإن كنتُم مرضى أو على سفرٍ أو جاء أحدٌ منكم من الغائط أو
لامستُمُ النساءَ فلم تجِدوا ماءً فتيمَّموا}: فأباح التيمُّم للمريض مطلقاً مع وجود الماء وعدمِهِ،
والعلَّة المرضُ الذي يشقُّ مع استعمال الماء، وكذلك السفر؛ فإنه
مَظِنَّة فقد الماء؛ فإذا فقده المسافر، أو وجد ما يتعلَّق
بحاجته من شرب ونحوه؛ جاز له التيمُّم، وكذلك إذا أحدث الإنسان
ببول أو غائطٍ أو ملامسة النساء؛ فإنه يُباح له التيمُّم إذا لم
يجد الماء حضراً وسفراً؛ كما يدلُّ على ذلك عموم الآية.
والحاصل أنَّ الله تعالى أباح التيمُّم في حالتين:
حال عدم الماء، وهذا مطلقاً في الحضر والسفر. وحال المشقة
باستعماله بمرض ونحوه.
واختلف المفسِّرون في معنى قوله:
{أو لامستُمُ النساءَ}: هل المرادُ
بذلك الجِماع؟ فتكونُ الآية نصًّا في جواز التيمُّم للجُنُب كما
تكاثرت بذلك الأحاديث الصحيحة ، أو المراد بذلك مجردُ اللمس
باليد، ويقيَّد ذلك بما إذا كان مَظِنَّة خروج المذي، وهو المس
الذي يكون لشهوةٍ، فتكون الآيةُ دالةً على نقض الوضوء بذلك.
واستدلَّ الفقهاء بقوله:
{فلم تجدوا ماء}: بوجوب طَلَبِ
الماء عند دخول الوقت؛ قالوا: لأنه لا
يُقال: لم يجد لِمَنْ لم يطلب، بل لا يكون ذلك إلا بعد
الطلب.
واستدلَّ بذلك أيضاً على أن الماء المتغيِّرَ بشيء من الطاهرات
يجوز ـ بل يتعيَّن ـ التطهُّر به لدخولِهِ في قوله:
{فلم تجدوا ماءً}، وهذا ماء. ونوزع
في ذلك بأنَّه ماء غير مطلق، وفي ذلك نظر. وفي هذه
[الآية] الكريمة: مشروعيَّة هذا الحكم
العظيم الذي امتنَّ به الله على هذه الأمة، وهو مشروعية
التيمُّم، وقد أجمع على ذلك العلماء، ولله الحمد. وأنَّ التيمُّم
يكون بالصَّعيد الطيب، وهو كل ما تصاعد على وجه الأرض، سواء كان
له غبار أم لا، ويُحتمل أن يختصَّ ذلك بذي الغبار؛
لأن الله قال:
{فامْسَحوا بوجوهِكم وأيديكم} منه،
وما لا غبار له لا يُمْسَحُ به. وقوله:
{فامسحوا بوجوهِكم وأيديكم} منه:
هذا محل المسح في التيمُّم: الوجه جميعه واليدين إلى الكوعين؛
كما دلَّت على ذلك الأحاديث الصحيحة، ويستحبُّ أن يكون ذلك
بضربةٍ واحدةٍ؛ كما دلَّ على ذلك حديث عمار ، وفيه أنَّ تيمُّم
الجُنُب كتيمُّم غيره بالوجه واليدين.
فائدة:
اعلم أن قواعد الطبِّ تدور على ثلاث قواعدَ: حفظ الصحة عن
المؤذيات، والاستفراغ منها، والحميةُ عنها.
وقد نبَّه تعالى عليها في كتابه العزيز:
أمَّا حفظ الصحة والحمية عن المؤذي؛ فقد أمر بالأكل والشرب وعدم
الإسراف في ذلك، وأباح للمسافر والمريض الفطر حفظاً لصحَّتهما
باستعمال ما يُصْلِحُ البدن على وجه العدل، وحماية للمريض عما
يضرُّه. وأما استفراغُ المؤذي؛ فقد أباح تعالى للمحرم المتأذِّي
برأسه أن يحلِقَهُ لإزالة الأبخرة المحتقنة فيه؛ ففيه تنبيهٌ على
استفراغ ما هو أولى منها من البول والغائط والقيء والمنيِّ والدم
وغير ذلك. نبه على ذلك ابن القيم رحمه الله تعالى. وفي الآية
وجوبُ تعميم مسح الوجه واليدين، وأنَّه يجوز التيمُّم، ولو لم
يضق الوقت، وأنه لا يخاطَب بطلب الماء إلا بعد وجود سبب الوجوب.
والله أعلم. ثمَّ ختم الآية بقوله:
{إنَّ اللهَ كانَ عفُوًّا غَفوراً}؛ أي: كثير العفو والمغفرة لعباده
المؤمنين بتيسير ما أمرهم به وتسهيلِهِ غايةَ التسهيل بحيثُ لا
يَشُقُّ على العبد امتثالُه فيحرج بذلك، ومن عفوه ومغفرته أنْ
رَحِمَ هذه الأمة بشرع طهارة التُّراب بدل الماء عند تعذُّر
استعماله، ومن عفوِهِ ومغفرتِهِ أن فتح للمذنبين باب التوبة
والإنابة ودعاهُم إليه ووعدهم بمغفرة ذنوبهم، ومن عفوه ومغفرته
أنَّ المؤمن لو أتاه بقُراب الأرض خطايا ثم لَقِيَهُ لا يشرك به
شيئاً؛ لأتاه بقرابها مغفرةً.
(43) Allah سبحانه وتعالى melarang
hamba-hambaNya yang beriman untuk tidak mendekati shalat ketika
dalam kondisi mabuk hingga mereka mampu mengetahui apa yang
mereka katakan, hal ini mencakup juga perkara mendekati
tempat-tempat shalat, seperti masjid, maka sesungguhnya seorang
yang mabuk itu tidak diboleh-kan memasukinya, dan juga mencakup
shalat itu sendiri, karena sesungguhnya seorang yang mabuk tidak
boleh melakukan shalat, tidak juga ibadah yang lain, disebabkan
karena pikirannya yang tidak lurus, dan ketidaktahuannya tentang
apa yang diucapkan-nya, oleh karena itu Allah سبحانه وتعالى
mengancam hal tersebut dan men-syaratkan bolehnya melakukan
perkara itu ketika mengetahui apa yang diucapkan oleh orang yang
mabuk tersebut. Ayat yang mulia ini telah dinasakh oleh ayat
pengharaman khamar secara mutlak, karena sesungguhnya khamar itu
pada awalnya tidak diharamkan, kemudian Allah سبحانه وتعالى
telah mengisyarat-kan tentang keharamannya bagi hamba-hambaNya
dengan Firman-Nya, ﴾ يَسۡـَٔلُونَكَ عَنِ ٱلۡخَمۡرِ
وَٱلۡمَيۡسِرِۖ قُلۡ فِيهِمَآ إِثۡمٞ كَبِيرٞ وَمَنَٰفِعُ
لِلنَّاسِ وَإِثۡمُهُمَآ أَكۡبَرُ مِن نَّفۡعِهِمَاۗ
﴿ "Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi.
Katakanlah, 'Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan
beberapa manfaat bagi ma-nusia, tetapi dosa keduanya lebih
besar dari manfaatnya'."
(Al-Baqarah: 219). Kemudian Allah سبحانه وتعالى melarang mereka minum khamar
ketika akan mendirikan shalat sebagaimana disebutkan dalam
ayat ini, kemudian Allah سبحانه وتعالى mengharamkannya secara
mutlak dalam segala kondisi dan waktu dalam FirmanNya, ﴾
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِنَّمَا ٱلۡخَمۡرُ
وَٱلۡمَيۡسِرُ وَٱلۡأَنصَابُ وَٱلۡأَزۡلَٰمُ رِجۡسٞ مِّنۡ عَمَلِ
ٱلشَّيۡطَٰنِ فَٱجۡتَنِبُوهُ
﴿ "Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya
(meminum) kha-mar, berjudi,
(berkurban untuk) berhala, mengundi
nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan setan. Maka
jauhilah perbuatan-perbuatan itu."
(Al-Ma`idah: 90). Walaupun demikian sesungguhnya khamar itu akan lebih haram
lagi ketika akan mendirikan shalat karena mengandung
ke-rusakan yang besar, yaitu dengan tidak tercapainya maksud
dari shalat yang merupakan ruh dari shalat dan intinya, yaitu
kekhu-syu'an dan hadirnya hati, sedangkan khamar menutupi hati
dan menghalangi dari berdzikirkepada Allah dan dari shalat.
Dan di antara faidah dari makna ini adalah larangan memu-lai
shalat dalam kondisi sangat mengantuk di mana orang tersebut
tidak merasakan (mengetahui) apa yang
diucapkan dan dikerja-kannya, bahkan ada indikasi dari makna
ini bahwa seyogyanya bagi seseorang yang hendak menegakkan
shalat agar meninggal-kan segala hal-hal yang menyibukkan
pikirannya, seperti menahan buang air kecil atau air besar,
atau hasrat untuk makan dan hal-hal lain semisalnya,
sebagaimana dijelaskan tentang hal itu oleh hadits Nabi ﷺ yang
shahih.[25] Kemudian Allah berfirman,
﴾
وَلَا جُنُبًا إِلَّا عَابِرِي سَبِيلٍ
﴿ "(Jangan pula hampiri masjid)
sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu
saja" yaitu janganlah kalian mendekati shalat ketika kondisi
kalian sedang junub kecuali bila sekedar lewat saja, artinya
kalian melewati masjid dan tidak tinggal di dalamnya, ﴾
حَتَّىٰ تَغۡتَسِلُواْۚ
﴿ "hingga kamu mandi" maksudnya, apabila kalian telah mandi.
Dan itulah batas dari larangan mendekati shalat bagi seorang
yang junub, maka yang dibolehkan bagi orang tersebut hanyalah
melewati masjid saja. ﴾
وَإِن كُنتُم مَّرۡضَىٰٓ أَوۡ عَلَىٰ سَفَرٍ أَوۡ جَآءَ أَحَدٞ
مِّنكُم مِّنَ ٱلۡغَآئِطِ أَوۡ لَٰمَسۡتُمُ ٱلنِّسَآءَ فَلَمۡ
تَجِدُواْ مَآءٗ فَتَيَمَّمُواْ
﴿ "Dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau kembali
dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan,
kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah." Tayamum
dibolehkan bagi orang yang sakit secara mutlak, baik ada air
ataupun tidak, karena alasannya adalah sakit yang membuat
pemakaian air sangat berat baginya, demikian pula perjalanan
jauh (safar), karena ia adalah suatu
kondisi yang dihadapkan dengan susahnya menda-patkan air,
apabila seorang musafir tidak mendapatkan air atau ia
mendapatkannya namun hanya dapat menutupi kebutuhan pokok-nya
seperti minum dan lainnya, maka boleh baginya bertayamum.
Demikian juga bila seseorang telah buang air kecil atau besar
atau menyentuh wanita, maka dia boleh bertayamum apabila ia
tidak mendapatkan air, baik saat perjalanan maupun menetap,
sebagai-mana hal itu ditunjukkan oleh keumuman ayat tersebut.
Kesim-pulannya adalah bahwa Allah سبحانه وتعالى membolehkan
tayamum dalam dua kondisi; di saat tidak ada air, hal ini
secara mutlak, baik saat perjalanan maupun menetap, dan di
saat sangat berat untuk mem-pergunakannya seperti sakit atau
lainnya. Dan para ahli tafsir telah berbeda pendapat tentang
makna Firman Allah, ﴾
أَوۡ لَٰمَسۡتُمُ ٱلنِّسَآءَ
﴿ "Atau kamu telah menyentuh perempuan," apakah yang dimaksud
di situ adalah berjimak? Sehingga ayat ini menjadi sebuah nash
yang jelas tentang bolehnya bertayamum bagi orang yang junub
sebagaimana dijelaskan dalam banyak hadits[26], ataukah maksud darinya adalah hanya sebatas sentuhan dengan
tangan, lalu hal tersebut disyaratkan dengan kondisi bila
menjadi sebab keluarnya madzi, artinya sentuhan dengan adanya
syahwat, maka ayat itu menjadi sebuah dalil akan batalnya
wudhu karena hal tersebut. Dan para ahli fikih telah berdalil
dengan Firman Allah, ﴾
فَلَمۡ تَجِدُواْ مَآءٗ
﴿ "Kemudian kamu tidak mendapat air" akan wajibnya usaha
mencari air pada saat masuknya waktu shalat, mereka ber-kata;
karena sesungguhnya tidaklah mungkin dikatakan bahwa tidak
mendapat air bagi orang yang belum mencari, akan tetapi
tidaklah dikatakan seperti itu kecuali setelah mencari. Mereka
kembali berdalil dengan ayat itu bahwa air yang berubah karena
disebabkan oleh sesuatu yang suci boleh -bahkan harus- bersuci
dengannya, hal ini karena ia termasuk dalam ayat, ﴾
فَلَمۡ تَجِدُواْ مَآءٗ
﴿ "Kemudian kamu tidak mendapat air" dan air yang telah
berubah ka-rena bercampur dengan sesuatu yang suci itu juga
disebut. Dalam hal itu kita dapat membagi dan menyebutnya
sebagai kategori bukan air mutlak, dan dalam masalah ini perlu
pembahasan. Dan ayat yang mulia ini menunjukkan
disyariatkannya hukum yang agung tersebut atas umat ini, di
mana dengannya Allah سبحانه وتعالى memberikan karunia atas
mereka, yaitu syariat tayamum, dan para ulama telah bersepakat
atas hal tersebut, dan segala puji hanya milik Allah. Dan
bahwasanya tayamum itu dilakukan dengan tanah yang baik, yaitu
segala apa yang ada di atas bumi, baik yang memiliki debu atau
tidak, dan kemungkinan juga dikhususkan hanya tanah yang
memiliki debu, karena Allah berfirman, ﴾
فَٱمۡسَحُواْ بِوُجُوهِكُمۡ وَأَيۡدِيكُمۡۗ
﴿ "Sapulah mukamu dan tanganmu" dengannya, sedangkan tanah
yang tidak memiliki debu tidaklah mungkin mengusap
(wajah) dengan-nya. Dan FirmanNya,
﴾
فَٱمۡسَحُواْ بِوُجُوهِكُمۡ وَأَيۡدِيكُمۡۗ
﴿ "Sapulah mukamu dan tanganmu" dengannya, ini adalah bagian
yang harus disapu dalam bertayamum yaitu seluruh wajah dan
kedua tangan hingga kedua pergelangan tangannya, sebagaimana
yang ditunjukkan oleh hadits-hadits shahih akan hal
tersebut[27], dan disunnahkan dalam
bertayamum adalah dengan satu kali tepukan saja sebagaimana
yang dijelaskan oleh hadits Ammar رضي الله عنه
[28], ayat ini juga menunjukkan bahwa
tayamumnya orang yang junub sama seperti lainnya yaitu bagian
wajah dan kedua tangan.
Suatu pelajaran:
Ketahuilah, bahwa kaidah-kaidah kedokteran berporos pada tiga
kaidah; menjaga kesehatan dari segala macam penyakit,
menghilangkan, dan memberikan perlindungan darinya.
Sesungguhnya Allah سبحانه وتعالى telah mengingatkan akan hal
tersebut dalam kitabNya yang mulia; adapun yang menyangkut
kaidah menjaga dan memberikan perlindungan, maka sesungguhnya
Allah telah memerintahkan untuk makan dan minum serta tidak
berlebihan dalam hal tersebut, Allah juga membolehkan bagi
se-orang musafir dan orang sakit untuk berbuka puasa demi
menjaga kesehatan keduanya, yaitu dengan mempergunakan sesuatu
yang bermanfaat untuk tubuh dalam bentuk yang seimbang, dan
juga melindungi si sakit dari segala hal yang membahayakannya.
Ada-pun tentang kaidah menghilangkan hal yang mengganggu, maka
sesungguhnya Allah سبحانه وتعالى telah membolehkan bagi
seorang yang sedang ihram yang kepalanya sedang terganggu
dengan suatu hal untuk mencukur rambutnya demi menghilangkan
bau yang tidak sedap padanya. Dalam hal itu juga menyimpan
suatu peringatan untuk menghilangkan suatu yang lebih utama
darinya berupa air kecil, air besar, muntah, air mani, darah
dan lain sebagainya. Ibnu al-Qayyim 5 telah mengingatkan akan
hal tersebut[29]. Ayat ini menunjukkan
wajibnya membasuh wajah dan kedua tangan secara menyeluruh,
dan bahwa tayamum hukumnya di-bolehkan meskipun waktunya tidak
sempit, dan bahwa mencari air itu tidaklah diminta kecuali
setelah adanya sebab-sebab wajib, Wallahu a'lam. Kemudian
Allah menutup ayat ini dengan FirmanNya,﴾
إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَفُوًّا غَفُورًا ﴿ "Sesungguhnya Allah Maha
Pemaaf lagi Maha Pengampun," maksudnya, Allah memiliki maaf dan
ampunan yang melimpah bagi hamba-hambaNya yang beriman dengan
memudahkan dan meringankan dengan seringan-ringannya apa yang
telah Dia perintahkan kepada mereka, di mana seorang hamba tidak
akan mendapatkan kesulitan dalam menjalankannya hingga ia merasa
berat karenanya. Di antara maaf dan ampunanNya adalah Allah
merahmati umat ini dengan menetapkan syariat sucinya tanah
sebagai pengganti air ketika seorang hamba tidak mampu
mema-kainya, dan di antara maaf dan ampunanNya yang lain adalah
Allah membuka pintu taubat dan ampunan bagi orang-orang yang
berbuat dosa. Allah menyeru mereka kepadanya dan menjanjikan
kepada mereka ampunanNya atas dosa-dosa mereka. Dan di antara
maaf dan ampunanNya juga adalah bahwa seorang Mukmin bila
bertemu Allah dengan membawa dosa dan kesalahan sepenuh bumi dan
hamba itu bertemu Allah sedang ia tidak memperseku-tukanNya
dengan sesuatu pun, maka pastilah Allah akan mem-berikan
kepadanya ampunan sepenuh bumi pula.
{أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ أُوتُوا نَصِيبًا مِنَ
الْكِتَابِ يَشْتَرُونَ الضَّلَالَةَ وَيُرِيدُونَ أَنْ
تَضِلُّوا السَّبِيلَ (44) وَاللَّهُ
أَعْلَمُ بِأَعْدَائِكُمْ وَكَفَى بِاللَّهِ وَلِيًّا وَكَفَى
بِاللَّهِ نَصِيرًا (45) مِنَ
الَّذِينَ هَادُوا يُحَرِّفُونَ الْكَلِمَ عَنْ مَوَاضِعِهِ
وَيَقُولُونَ سَمِعْنَا وَعَصَيْنَا وَاسْمَعْ غَيْرَ مُسْمَعٍ
وَرَاعِنَا لَيًّا بِأَلْسِنَتِهِمْ وَطَعْنًا فِي الدِّينِ
وَلَوْ أَنَّهُمْ قَالُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا وَاسْمَعْ
وَانْظُرْنَا لَكَانَ خَيْرًا لَهُمْ وَأَقْوَمَ وَلَكِنْ
لَعَنَهُمُ اللَّهُ بِكُفْرِهِمْ فَلَا يُؤْمِنُونَ إِلَّا
قَلِيلًا (46)}
.
"Apakah kamu tidak melihat orang-orang yang telah diberi bagian
dari al-Kitab
(Taurat)? Mereka membeli
(memilih) kesesatan
(dengan petunjuk) dan mereka bermaksud
supaya kamu tersesat
(menyimpang) dari
jalan
(yang benar). Dan Allah lebih
mengeta-hui
(daripada kamu) tentang
musuh-musuhmu. Dan cukuplah Allah menjadi Pelindung
(bagimu). Dan cukuplah Allah menjadi
Penolong
(bagimu). Yaitu orang-orang
Yahudi, mereka mengubah perkataan dari tempat-tempatnya. Mereka
berkata, 'Kami men-dengar, tetapi kami tidak mau menurutinya.'
Dan
(mereka menga-takan pula),
'Dengarlah,' sedang kamu sebenarnya tidak mende-ngar apa-apa.
Dan
(mereka mengatakan), 'Ra'ina',
dengan me-mutar-mutar lidahnya dan mencela agama. Sekiranya
mereka mengatakan, 'Kami mendengar dan menurut, dan dengarlah,
dan perhatikanlah kami', tentulah itu lebih baik bagi mereka dan
lebih tepat, akan tetapi Allah mengutuk mereka, karena kekafiran
mereka. Mereka tidak beriman kecuali iman yang sangat tipis."
(An-Nisa`: 44-46).
#
{44} هذا ذمٌّ لمن
{أوتوا نصيباً من الكتاب}، وفي
ضمنه تحذيرُ عبادِهِ عن الاغترار بهم والوقوع في أشراكهم، فأخبر
أنهم في أنفسهم
{يشترون الضلالة}؛
أي:
يحبُّونها محبةً عظيمةً ويؤثِرونها إيثار مَن يبذُلُ المال
الكثير في طلب ما يحبُّه، فيؤثرون الضلال على الهدى والكفر على
الإيمان والشقاء على السعادة، ومع هذا
{يريدونَ أن تَضِلُّوا السبيل}؛
فهم حريصون على إضلالِكُم غايةَ الحرص، باذِلون جهدَهم في ذلك،
ولكن لما كان الله وليَّ عباده المؤمنين وناصرهم؛ بيَّن لهم ما
اشتملوا عليه من الضلال والإضلال.
(44) Ini merupakan celaan bagi
orang-orang yang ﴾ أُوتُواْ نَصِيبٗا مِّنَ ٱلۡكِتَٰبِ
﴿ "telah diberi bagian dari al-Kitab
(Taurat)" dan ayat ini juga mengandung
peringatan buat hamba-hambaNya agar tidak terpe-daya dengan
mereka dan tidak terjerumus ke dalam orang-orang yang semisal
mereka, lalu Allah mengabarkan mereka tentang diri mereka
sendiri, ﴾
يَشۡتَرُونَ ٱلضَّلَٰلَةَ
﴿ "Mereka membeli (memilih) kesesatan
(dengan petunjuk)" maksudnya, mereka
sangat menyukainya dan mendahulukannya sebagaimana seorang
yang mengerahkan harta yang banyak untuk meraih apa yang
disukainya, mereka men-dahulukan kesesatan daripada petunjuk
dan kekufuran daripada keimanan serta kesengsaraan daripada
kebahagiaan, walaupun demikian, ﴾
وَيُرِيدُونَ أَن تَضِلُّواْ ٱلسَّبِيلَ ﴿ "mereka bermaksud
supaya kamu tersesat
(menyimpang) dari
jalan
(yang benar)" mereka itu sangat
bersemangat untuk menyesatkan kalian dengan segenap kemampuan,
mereka mengerahkan segala upaya dalam hal tersebut, akan tetapi
ketika Allah adalah pelindung bagi hamba-hambaNya yang beriman
dan penolong mereka, maka Allah menerangkan kepada mereka
tentang apa yang terkandung padanya berupa kesesatan dan
penyesatan.
#
{45} ولهذا قال:
{وكفى بالله وليًّا}؛
أي:
يتولَّى أحوال عباده، ويلطف بهم في جميع أمورهم، وييسِّر لهم ما
به سعادتهم وفلاحهم،
{وكفى بالله نصيراً}: ينصرُهُم على
أعدائهم، ويبيِّن لهم ما يحذَرون منهم، ويعينُهم عليهم؛
فولايتُهُ تعالى فيها حصول الخير، ونصرُهُ فيه زوال الشرِّ.
(45) Oleh karena itulah Allah berfirman,
﴾ وَكَفَىٰ بِٱللَّهِ نَصِيرٗا
﴿ "Dan cukuplah Allah menjadi Pelindung
(bagimu)," yaitu Allah mengurus
kondisi hamba-hambaNya, mengasihi mereka dalam segala urusan
mereka, dan Allah memudahkan bagi mereka hal-hal yang menjadi
kebahagiaan dan keberuntungan mereka, ﴾
وَكَفَىٰ بِٱللَّهِ نَصِيرٗا ﴿ "Dan cukup-lah Allah menjadi
Penolong
(bagimu)" membela orang-orang
yang beriman atas musuh-musuh mereka, Allah menjelaskan kepada
mereka tentang apa yang harus mereka hindari dari musuh-musuh
tersebut, kemudian Dia menolong mereka atas musuh-musuh
ter-sebut, maka perlindungan Allah تعالى dalam hal itu adalah
tercapai-nya kebaikan, sedang pertolonganNya adalah hilangnya
keburukan.
#
{46} ثم بيَّن كيفية ضلالهم
وعنادهم وإيثارهم الباطل على الحق،
فقال:
{من الذين هادوا}؛
أي:
اليهود، وهم علماء الضلال منهم،
{يُحرِّفون الكلمَ عن مواضعه}: إما
بتغيير اللفظ أو المعنى أو هما جميعاً؛ فمن تحريفهم تنزيل الصفات
التي ذُكِرَت في كتبهم التي لا تنطبق ولا تصدُقُ إلاَّ على محمد
- صلى الله عليه وسلم - على أنه غيرُ مراد بها ولا مقصودٍ بها،
بل أُريد بها غيره، وكتمانهم ذلك؛ فهذا حالهم في العلم شر حال،
قلبوا فيه الحقائق، ونزَّلوا الحقَّ على الباطل، وجحدوا لذلك
الحق. وأما حالهم في العمل والانقياد؛ فإنَّهم
{يقولون سمعنا وعصينا}؛
أي:
سمعنا قولك وعصينا أمرك، وهذا غاية الكفر والعناد والشرود عن
الانقياد، وكذلك يخاطبون الرسول - صلى الله عليه وسلم - بأقبح
خطاب وأبعده عن الأدب، فيقولون:
{اسمع غير مُسْمَع}؛
قصدُهم:
اسمع منا غير مُسْمَع ما تحبُّ بل مُسْمَع ما تكره.
{وراعنا}:
[و] قصدهم بذلك الرعونةَ بالعيب القبيح،
ويظنُّون أن اللفظ لما كان محتملاً لغير ما أرادوا من الأمور؛
أنه يَروج على الله وعلى رسوله، فتوصَّلوا بذلك اللفظ الذي يلوون
به ألسنتهم إلى الطعن في الدين والعيب للرسول، ويصرِّحون بذلك
فيما بينهم؛ فلهذا قال:
{ليًّا بألسنتهم وطعناً في الدين}.
ثم أرشدهم إلى ما هو خيرٌ لهم من ذلك،
فقال:
{ولو أنهم قالوا سمعنا وأطعنا واسمع وانظُرْنا لكان خيراً لهم
وأقوم}: وذلك لما تضمَّنه هذا الكلام من حسن الخطاب والأدب اللائق في
مخاطبة الرسول والدُّخول تحت طاعة الله والانقياد لأمره وحُسن
التلطُّف في طلبهم العلم بسماع سؤالهم والاعتناء بأمرهم؛ فهذا هو
الذي ينبغي لهم سلوكه، ولكن لما كانت طبائِعُهم غير زكيَّةٍ؛
أعرضوا عن ذلك وطردهم الله بكفرِهم وعنادِهم،
ولهذا قال:
{ولكن لعنهم الله بكفرهم فلا يؤمنون إلا قليلاً}.
(46) Kemudian Allah menjelaskan tentang
kesesatan dan kedurhakaan mereka, serta sikap mereka
mendahulukan kebatilan daripada kebenaran dalam FirmanNya, ﴾
مِّنَ ٱلَّذِينَ هَادُواْ
﴿ "Yaitu orang-orang Yahudi" di mana mereka itu adalah para
ulama kesesatan dari kaum Yahudi, ﴾
يُحَرِّفُونَ ٱلۡكَلِمَ عَن مَّوَاضِعِهِۦ
﴿ "mereka mengubah perkataan dari tempat-tempatnya," dengan
merubah lafazhnya atau maknanya atau merubah keduanya
sekaligus. Dan di antara penyelewengan mereka adalah
menempatkan sifat-sifat yang disebutkan dalam kitab-kitab
mereka hanya sesuai bagi Nabi Muhammad ﷺ pada posisi bukan itu
yang dimaksudkan
(menurut anggapan mereka) dan bukan
pula yang dikehendaki dari ayat-ayat itu, akan tetapi yang
dimaksudkan olehnya adalah selain beliau ﷺ dan mereka
menyembunyikan hal tersebut. Inilah kondisi mereka dalam ilmu
yang merupakan seburuk-buruk kondisi, mereka telah
memutar-balikkan hakikat yang sebenarnya, dan menempatkan
kebenaran pada kebatilan lalu mengingkari kebenaran tersebut.
Adapun kondisi mereka pada amal perbuatan dan ketun-dukan
adalah, ﴾
وَيَقُولُونَ سَمِعۡنَا وَعَصَيۡنَا
﴿ "mereka berkata, 'Kami mendengar, tetapi kami tidak mau
menurutinya'," maksudnya, kami telah mende-ngarkan perkataanmu
(wahai Muhammad) dan kami tidak
menu-ruti perintahmu, inilah puncak dari kekufuran,
kedurhakaan dan keluar dari ketundukan. Demikian juga, mereka
berdialog dengan Nabi ﷺ dengan seburuk-buruk dialog dan paling
jauh dari tata krama yang baik, mereka berkata, ﴾
وَٱسۡمَعۡ غَيۡرَ مُسۡمَعٖ
﴿ "Dengarlah" sedang kamu sebenarnya tidak mendengar
apa-apa," maksud mereka adalah dengarkanlah dari kami sedang
kamu tidak mendengar apa-apa yang kamu sukai, akan tetapi kamu
mendengar apa yang kamu benci. ﴾
وَرَٰعِنَا
﴿ "Dan (mereka mengatakan), Ra'ina"
maksud mereka dari hal itu adalah Ru'unah,
yang berarti:
kebodohan yang sangat, sebagai ejekan kepada Rasulullah ﷺ, dan
mereka mengira bahwa lafazh tersebut ketika maknanya memiliki
kemungkinan berbeda dari apa yang mereka maksudkan, bahwasanya
lafazh itu membuat samar
(tidak jelas) bagi Allah dan RasulNya,
lalu mereka meman-faatkan lafazh itu di mana lisan-lisan
mereka selalu mengucapkan-nya demi mencela agama dan
menjatuhkan kehormatan Rasul, ke-mudian mereka mengutarakan
hal tersebut secara terang-terangan di antara mereka, karena
itulah Allah berfirman, ﴾
لَيَّۢا بِأَلۡسِنَتِهِمۡ وَطَعۡنٗا فِي ٱلدِّينِۚ
﴿ "Dengan memutar-mutar lidahnya dan mencela agama." Kemudian
Allah memberikan petunjuk kepada mereka menuju perkara yang
mengandung kebaikan buat mereka daripada hal tersebut dengan
berfirman, ﴾
وَلَوۡ أَنَّهُمۡ قَالُواْ سَمِعۡنَا وَأَطَعۡنَا وَٱسۡمَعۡ
وَٱنظُرۡنَا لَكَانَ خَيۡرٗا لَّهُمۡ وَأَقۡوَمَ
﴿ "Sekiranya mereka mengatakan, 'Kami mendengar dan menurut,
dan dengarlah, dan perhatikanlah kami', tentulah itu lebih
baik bagi mereka dan lebih tepat," hal itu karena apa yang
dikandung oleh perkataan tersebut berupa dialog yang baik dan
tata krama yang patut dalam berdialog dengan Rasulullah ﷺ dan
termasuk dalam ketaatan kepada Allah, tunduk akan perintahNya,
serta kesopanan yang baik dari mereka saat menuntut ilmu di
mana mereka mengutarakan pertanyaan mereka dengan cara yang
baik dan memperhatikan sikap mereka, inilah yang sepatutnya
mereka tempuh, akan tetapi ketika tabiat dan karakter mereka
tidaklah bersih, akhirnya mereka berpaling dari hal tersebut
lalu Allah mengusir mereka akibat dari kekufuran dan
kedurhakaan mereka, oleh karena itu Allah berfirman,﴾
وَلَٰكِن لَّعَنَهُمُ ٱللَّهُ بِكُفۡرِهِمۡ فَلَا يُؤۡمِنُونَ
إِلَّا قَلِيلٗا ﴿ "Akan tetapi Allah mengutuk mereka, karena
kekafiran mereka. Mereka tidak beriman kecuali iman yang sangat
tipis."
{يَاأَيُّهَا الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ آمِنُوا بِمَا
نَزَّلْنَا مُصَدِّقًا لِمَا مَعَكُمْ مِنْ قَبْلِ أَنْ
نَطْمِسَ وُجُوهًا فَنَرُدَّهَا عَلَى أَدْبَارِهَا أَوْ
نَلْعَنَهُمْ كَمَا لَعَنَّا أَصْحَابَ السَّبْتِ وَكَانَ
أَمْرُ اللَّهِ مَفْعُولًا
(47)}
.
"Hai orang-orang yang telah diberi al-Kitab, berimanlah kamu
kepada apa yang telah Kami turunkan
(al-Qur`an) yang membenarkan Kitab yang
ada pada kamu sebelum Kami mengubah muka
(mu), lalu Kami putarkan ke belakang atau Kami kutuk me-reka
sebagaimana Kami telah mengutuk orang-orang
(yang berbuat maksiat) pada Hari Sabtu.
Dan ketetapan Allah pasti berlaku."
(An-Nisa`: 47).
#
{47} يأمُرُ تعالى أهل الكتاب من
اليهود والنصارى أن يؤمنوا بالرسول محمد - صلى الله عليه وسلم -
وما أنزل الله عليه من القرآن العظيم المهيمن على غيره من الكتب
السابقة الذي صدقها؛ فإنها أخبرت به، فلما وقع المُخْبَرُ به؛
كان تصديقاً لذلك الخبر. وأيضاً؛ فإنهم إن لم يؤمنوا بهذا
القرآن؛ فإنهم لم يؤمنوا بما في أيديهم من الكتب؛ لأنَّ كتب الله
يصدِّق بعضها بعضاً، ويوافق بعضها بعضاً؛ فدعوى الإيمان ببعضها
دون بعضٍ دعوى باطلة، لا يمكن صدقها.
وفي قوله:
{آمنوا بما نزَّلنا مصدقاً لما معكم}: حثٌّ لهم، وأنهم ينبغي أن يكونوا قبل غيرهم مبادِرين إليه
بسبب ما أنعم الله عليهم به من العلم والكتاب الذي يوجِبُ أن
يكون ما عليهم أعظم من غيرهم، ولهذا توعَّدهم على عدم
الإيمان، فقال:
{من قبل أن نطمِسَ وجوهاً فنردَّها على أدبارِها}: وهذا جزاءٌ من جنس ما عملوا؛ كما تركوا الحقَّ وآثروا الباطل
وقلبوا الحقائق فجعلوا الباطل حقًّا والحقَّ باطلاً، جُوزوا من
جنس ذلك بطَمْس وجوههم كما طَمَسوا الحقَّ، وردِّها على أدبارها
بأن تُجْعَلَ في أقفائهم، وهذا أشنع ما يكون.
{أو نَلْعَنَهم كما لَعَنَّا أصحاب السبت}: بأن يَطْرُدَهم من رحمته ويعاقِبَهم بجعلهم قردةً؛ كما فعل
بإخوانهم الذين اعتدَوا في السبت فقلنا لهم كونوا قردة خاسئين.
{وكان أمر الله مفعولاً}.
كقوله:
{إنما أمره إذا أراد شيئاً أن يقول له كن فيكون}.
(47) Allah سبحانه وتعالى memerintahkan
Ahli Kitab dari kaum Yahudi dan Nasrani untuk beriman kepada
Rasul Muhammad ﷺ dan apa yang telah Allah turunkan kepadanya
berupa al-Qur`an yang agung yang mencakup
(isi) kitab-kitab selainnya dari
kitab-kitab sebelumnya yang telah ia benarkan, sesungguhnya
kitab-kitab itu telah mengabarkan tentang al-Qur`an, dan ketika
terjadi apa yang dikabarkan, maka ia menjadi bukti akan kabar
tersebut, dan se-sungguhnya bila mereka tidak beriman kepada
al-Qur`an ini, maka sebenarnya mereka pun tidaklah beriman
kepada kitab-kitab yang ada di tangan mereka, karena kitab-kitab
Allah sebagiannya mem-benarkan sebagian yang lain, dan
sebagiannya berkesesuaian dengan sebagian yang lain, maka
pengakuan beriman kepada sebagiannya tanpa mengimani sebagian
yang lain adalah sebuah pengakuan yang batil yang tidak mungkin
dapat dipercaya. Dan dalam FirmanNya, ﴾ ءَامِنُواْ بِمَا
نَزَّلۡنَا مُصَدِّقٗا لِّمَا مَعَكُم
﴿ "Berimanlah kamu kepada apa yang telah Kami turunkan
(al-Qur`an) yang membe-narkan Kitab
yang ada pada kamu." Ini adalah sebuah anjuran untuk mereka,
dan bahwa yang sepatutnya mereka lakukan adalah bersegera
beriman sebelum kaum lain selain mereka, dikarenakan Allah
telah menganugerahkan nikmat kepada mereka berupa ilmu dan
kitab yang mengharuskan apa yang wajib atas mereka adalah
lebih besar daripada selain mereka, karena itulah Allah
mengancam mereka bila tidak beriman dalam FirmanNya, ﴾
مِّن قَبۡلِ أَن نَّطۡمِسَ وُجُوهٗا فَنَرُدَّهَا عَلَىٰٓ
أَدۡبَارِهَآ
﴿ "Sebelum Kami mengubah muka(mu),
lalu Kami putarkan ke belakang," ini merupakan balasan
terhadap apa yang sesuai dengan jenis amalan mereka,
sebagaimana mereka meninggalkan kebenaran dan lebih
mendahulukan kebatilan, mereka memutar-balikkan hakikat yang
sebenarnya hingga mereka menjadikan yang batil menjadi benar
dan yang benar menjadi batil, akhirnya mereka diberikan
balasan sesuai dengan apa yang telah mereka perbuat yaitu
dengan merubah wajah-wajah mereka sebagaimana mereka merubah
kebenaran, dan memutarnya ke belakang pung-gung mereka yaitu
menjadikan wajah mereka berada pada tengkuk mereka, dan hal
ini merupakan suatu hal yang paling jelek. ﴾
أَوۡ نَلۡعَنَهُمۡ كَمَا لَعَنَّآ أَصۡحَٰبَ ٱلسَّبۡتِۚ
﴿ "Atau Kami kutuk mereka sebagaimana Kami telah mengutuk
orang-orang
(yang berbuat maksiat) pada hari
Sabtu," yaitu dengan mengusir mereka dari rahmat Allah dan
menghukum mereka dengan cara menjadikan mereka kera-kera,
sebagaimana yang dilakukan juga kepada saudara-saudara mereka
yang telah melampaui batas pada hari Sabtu, maka Kami
berfirman kepada mereka, jadilah kalian kera-kera yang
terhina. ﴾
وَكَانَ أَمۡرُ ٱللَّهِ مَفۡعُولًا
﴿ "Dan ketetapan Allah pasti berlaku" seperti FirmanNya,
﴾
إِنَّمَآ أَمۡرُهُۥٓ إِذَآ أَرَادَ شَيۡـًٔا أَن يَقُولَ لَهُۥ
كُن فَيَكُونُ 82 ﴿ "Sesungguhnya keadaanNya apabila Dia
menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya, 'Jadilah!' maka
terjadilah ia."
(Yasin: 82).
{إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ
مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ
فَقَدِ افْتَرَى إِثْمًا عَظِيمًا
(48)}
.
"Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia
mengampuni segala dosa yang selain dari
(syirik) itu, bagi siapa yang
dikehendakiNya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka
sungguh ia telah berbuat dosa yang besar."
(An-Nisa`: 48).
#
{48} يخبر تعالى أنه لا يَغْفِرُ
لمن أشرك به أحداً من المخلوقين ويغفر ما دون ذلك من الذُّنوب
صغائرها وكبائرها، وذلك عند مشيئته مغفرةَ ذلك إذا اقتضتْ
حكمتُهُ مغفرتَه؛ فالذُّنوب التي دون الشرك قد جعل الله
لمغفرتِها أسباباً كثيرةً؛ كالحسنات الماحية والمصائب المكفِّرة
في الدُّنيا والبرزخ ويوم القيامة، وكدعاء المؤمنين بعضهم لبعض،
وبشفاعة الشافعين، ومن [فوق] ذلك كلِّه
رحمته التي أحق بها أهل الإيمان والتوحيد، وهذا بخلاف الشرك؛
فإنَّ المشرك قد سدَّ على نفسه أبواب المغفرة، وأغلق دونه أبواب
الرحمة؛ فلا تنفعه الطاعاتُ من دون التوحيد، ولا تفيده المصائب
شيئاً،
{وما لهم يوم القيامةِ من شافعينَ ولا صديقٍ حميم}، ولهذا قال تعالى:
{ومَن يُشْرِكْ بالله فقد افترى إثماً عظيماً}؛ أي: افترى جرماً كبيراً، وأيُّ ظلم
أعظم ممَّن سوَّى المخلوقَ من ترابٍ، الناقصَ من جميع الوجوه،
الفقيرَ بذاته من كلِّ وجه، الذي لا يملِكُ لنفسه فضلاً عمَّن
عَبَدَهُ نفعاً ولا ضرًّا ولا موتاً ولا حياة ولا نشوراً؛
بالخالق لكل شيء، الكامل من جميع الوجوه، الغني بذاتِهِ عن جميع
مخلوقاتِهِ، الذي بيدِهِ النفع والضُّرُّ والعطاء والمنع، الذي
ما من نعمةٍ بالمخلوقين إلا فمنه تعالى؛ فهل أعظمُ من هذا الظلم
شيء؟! ولهذا حتَّم على صاحبه بالخلود بالعذاب وحرمان
الثواب:
{إنَّه مَن يُشْرِكْ بالله فقد حرَّم اللهُ عليه الجنةَ
ومأواه النار}. وهذه الآية الكريمة في حقِّ غير التائب، وأما التائب؛ فإنه
يُغْفَرُ له الشرك فما دونه؛
كما قال تعالى:
{قل يا عبادي الذين أسرفوا على أنفسهم لا تَقْنَطوا من رحمة
الله إنَّ اللهَ يَغْفِرُ الذنوبَ جميعاً}؛ أي: لمن تاب إليه وأناب.
(48) Allah سبحانه وتعالى mengabarkan
bahwasanya Dia tidak akan mengampuni seseorang yang
menyekutukanNya dengan sesuatu pun dari para makhluk dan Dia
mengampuni dosa-dosa selain dari syirik, baik dosa yang kecil
maupun yang besar. Yang demi-kian itu adalah menurut kehendakNya
dalam mengampuninya, yaitu bila hikmahNya telah menentukan untuk
mengampuninya. Adapun dosa-dosa selain syirik, sesungguhnya
Allah telah menjadi-kan baginya banyak sekali sebab-sebab
pengampunannya, seperti kebaikan-kebaikan yang menggugurkan
dosa, musibah-musibah yang menghapus dosa di dunia, alam barzakh
dan di Hari Kiamat, atau seperti doa sebagian kaum Mukminin
untuk sebagian yang lain, atau dengan syafa'atnya orang-orang
yang memberi syafa'at, dan yang lebih dari semua itu adalah
rahmat Allah, di mana yang paling berhak mendapatkannya adalah
para ahli iman dan tauhid. Berbeda halnya dengan kesyirikan,
sesungguhnya seorang musyrik telah menutup pintu-pintu ampunan
bagi dirinya sendiri, dan juga telah mengunci rapat pintu-pintu
rahmat, sehingga tidak akan berguna bagi mereka segala ketaatan
selain dari ketauhidan, dan musibah-musibah tidak bermanfaat
sama sekali baginya, ﴾ فَمَا لَنَا مِن شَٰفِعِينَ 100 وَلَا
صَدِيقٍ حَمِيمٖ 101
﴿ "Maka kami tidak mempunyai pemberi syafa'at seorang pun,
dan tidak pula mempunyai teman yang akrab."
(Asy-Syu'ara`: 100-101). Oleh karena itulah Allah berfirman, ﴾
وَمَن يُشۡرِكۡ بِٱللَّهِ فَقَدِ ٱفۡتَرَىٰٓ إِثۡمًا عَظِيمًا
﴿ "Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia
telah ber-buat dosa yang besar," maksudnya, ia telah berbuat
kejahatan yang besar, dan kezhaliman apa lagi yang paling
besar dari orang yang menyamakan antara seorang makhluk yang
berasal dari tanah, yang memiliki kekurangan dari segala
aspeknya, di mana dirinya sendiri sangat fakir dari segala
sisi, yang tidak memiliki apa pun bagi dirinya apalagi untuk
orang yang menyembahnya, di mana dia tidak mampu mendatangkan
manfaat, bahaya, dan tidak pula mampu mematikan, menghidupkan,
apalagi membangkitkan, dengan sang Pencipta segala sesuatu,
yang Mahasempurna dari segala aspeknya, di mana DiriNya
Mahakaya dan tidak butuh ke-pada seluruh makhluk, yang pada
TanganNya ada manfaat, bahaya, pemberian maupun peniadaan, dan
yang tiada suatu nikmat pun yang dirasakan oleh seluruh
makhluk kecuali dariNya سبحانه وتعالى. Maka adakah suatu hal
yang lebih besar dari kezhaliman itu? Oleh karena itu Allah
menetapkan bahwa pelakunya abadi dalam siksa neraka dan
diharamkan mendapatkan pahala, ﴾
إِنَّهُۥ مَن يُشۡرِكۡ بِٱللَّهِ فَقَدۡ حَرَّمَ ٱللَّهُ عَلَيۡهِ
ٱلۡجَنَّةَ وَمَأۡوَىٰهُ ٱلنَّارُۖ
﴿ "Sesungguhnya orang yang mempersekutukan
(sesuatu dengan) Allah, maka pasti
Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah
neraka."
(Al-Ma`idah: 72). Ayat yang mulia ini berlaku bagi selain orang yang
bertaubat, adapun orang yang bertaubat, maka akan diampuni
baginya, baik dosa syirik ataupun dosa selainnya, sebagaimana
Allah سبحانه وتعالى berfir-man, ﴾
قُلۡ يَٰعِبَادِيَ ٱلَّذِينَ أَسۡرَفُواْ عَلَىٰٓ أَنفُسِهِمۡ لَا
تَقۡنَطُواْ مِن رَّحۡمَةِ ٱللَّهِۚ إِنَّ ٱللَّهَ يَغۡفِرُ
ٱلذُّنُوبَ جَمِيعًاۚ ﴿ "Katakanlah, 'Hai hamba-hambaKu yang
melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu
berputus asa dari rahmat Allah. Se-sungguhnya Allah mengampuni
dosa-dosa semuanya'."
(Az-Zumar: 53),
yaitu bagi orang yang bertaubat dan kembali kepadaNya.
{أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ يُزَكُّونَ أَنْفُسَهُمْ بَلِ
اللَّهُ يُزَكِّي مَنْ يَشَاءُ وَلَا يُظْلَمُونَ فَتِيلًا
(49) انْظُرْ كَيْفَ يَفْتَرُونَ
عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ وَكَفَى بِهِ إِثْمًا مُبِينًا
(50)}
.
"Apakah kamu tidak memperhatikan orang yang mengang-gap dirinya
bersih? Sebenarnya Allah membersihkan siapa yang dikehendakiNya
dan mereka tidak dianiaya sedikit pun. Perhati-kanlah, betapakah
mereka mengada-adakan dusta terhadap Allah? Dan cukuplah
perbuatan itu menjadi dosa yang nyata
(bagi me-reka)."
(An-Nisa`: 49-50).
#
{49} هذا تعجُّب من الله لعباده
وتوبيخٌ للذين يُزكُّون أنفسهم من اليهود والنصارى ومَن نحا
نحوَهم من كلِّ من زَكَّى نفسَه بأمر ليس فيه،
وذلك أن اليهود والنصارى يقولون:
{نحنُ أبناءُ الله وأحبَّاؤُهُ}، ويقولون:
{لن يدخُلَ الجنَّة إلاَّ مَن كانَ هُوداً أو نصارى}: وهذا مجردُ دعوى لا برهانَ عليها،
وإنَّما البرهانُ ما أخبر به في القرآن في قوله:
{بلى مَن أسلمَ وجهَهُ للهِ وهو محسنٌ فلهُ أجرُهُ عندَ ربِّه
ولا خوفٌ عليهم ولا هُم يحزنون}، فهؤلاء هم الذين زكَّاهم الله،
ولهذا قال هنا:
{بلِ اللهُ يُزكِّي مَن يشاء}؛ أي: بالإيمان والعمل الصالح،
بالتخلِّي عن الأخلاق الرَّذيلة والتحلِّي بالصفات الجميلة، وأما
هؤلاء؛ فهم وإن زَكَّوا أنفسهم بزعمهم أنهم على شيء وأنَّ الثواب
لهم وحدهم؛ فإنهم كذبة في ذلك، ليس لهم من خصال الزاكين نصيبٌ
بسبب ظلمهم وكفرهم لا بظُلم من الله لهم،
ولهذا قال:
{ولا يُظْلَمونَ فَتيلاً}، وهذا
لتحقيق العموم؛ أي: لا يظلمون شيئاً،
ولا مقدار الفتيل الذي في شِقِّ النَّواة أو الذي يُفْتَلُ من
وسخ اليدِ وغيرها.
(49) Ini merupakan keheranan dari Allah
kepada hamba-hambaNya dan suatu celaan bagi orang-orang yang
menyucikan diri mereka dari kaum Yahudi dan Nasrani serta
orang-orang yang sejalan dengan mereka, yaitu setiap orang yang
menyucikan dirinya sendiri dengan suatu perkara yang tidak ada
padanya, yang demikian itu bahwa Yahudi dan Nasrani berkata, ﴾
نَحۡنُ أَبۡنَٰٓؤُاْ ٱللَّهِ وَأَحِبَّٰٓؤُهُۥۚ
﴿ "Kami ini adalah anak-anak Allah dan kekasih-kekasihNya."
(Al-Ma`idah: 18). Mereka juga berkata, ﴾
وَقَالُواْ لَن يَدۡخُلَ ٱلۡجَنَّةَ إِلَّا مَن كَانَ هُودًا أَوۡ
نَصَٰرَىٰۗ
﴿ "Dan mereka
(Yahudi dan Nasrani) berkata,
'Sekali-kali tidak akan masuk surga kecuali orang-orang
(yang beragama) Yahudi atau Nasrani'."
(Al-Baqarah: 111). Ini merupakan pengakuan kosong belaka yang tidak memiliki
landasan apa pun, dan yang ada landasannya adalah apa yang
telah Allah tegaskan dalam al-Qur`an dalam FirmanNya, ﴾
بَلَىٰۚ مَنۡ أَسۡلَمَ وَجۡهَهُۥ لِلَّهِ وَهُوَ مُحۡسِنٞ فَلَهُۥٓ
أَجۡرُهُۥ عِندَ رَبِّهِۦ وَلَا خَوۡفٌ عَلَيۡهِمۡ وَلَا هُمۡ
يَحۡزَنُونَ 112
﴿ "(Tidak demikian) bahkan
barangsiapa yang menyerahkan diri kepada Allah, sedang ia
berbuat kebajikan, maka baginya pahala pada sisi Rabbnya dan
tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak
(pula) mereka bersedih hati."
(Al-Baqarah: 112). Mereka itulah orang-orang yang Allah sucikan, oleh karena
itulah Allah berfirman dalam ayat ini, ﴾
بَلِ ٱللَّهُ يُزَكِّي مَن يَشَآءُ
﴿ "Sebenarnya Allah membersihkan siapa yang dikehendakiNya"
yaitu dengan iman dan amal shalih, dengan berlepas diri dari
akhlak yang tercela dan menghiasi diri dengan akhlak yang
luhur. Adapun mereka itu walaupun telah menyucikan diri atas
dasar sangkaan mereka bahwa mereka berada pada suatu
(derajat) dan bahwa pahala itu hanya
milik mereka sendiri, maka sesungguhnya mereka hanya-lah para
pendusta, dan mereka tidak mendapatkan bagian sedikit pun dari
pahala orang-orang yang suci, hal itu disebabkan oleh
kezhaliman dan kekufuran mereka, dan bukannya kezhaliman dari
Allah terhadap mereka, oleh karena itu Allah berfirman,
﴾
وَلَا يُظۡلَمُونَ فَتِيلًا ﴿ "Dan mereka tidak dianiaya sedikit
pun," hal ini untuk menegas-kan keumuman
(suatu perkara), artinya, mereka sedikit
pun tidak dizhalimi, meski hanya seukuran biji yang ada pada
belahan atom atau sesuatu yang dibuang dari kotoran tangan dan
selainnya.
#
{50} قال تعالى:
{انظر كيف يفترونَ على الله الكذب}؛ أي: بتزكيتهم أنفسهم؛ لأنَّ هذا من
أعظم الافتراء على الله؛ لأنَّ مضمون تزكيتِهِم لأنفسهم الإخبارُ
بأنَّ الله جَعَلَ ما هم عليه حَقًّا وما عليه المؤمنون المسلمون
باطلاً، وهذا أعظم الكذب وقلبِ الحقائق بجعل الحقِّ باطلاً
والباطل حقًّا، ولهذا قال:
{وكفى به إثماً مبيناً}؛
أي:
ظاهراً بَيِّناً موجباً للعقوبة البليغة والعذاب الأليم.
(50) Allah سبحانه وتعالى berfirman, ﴾
ٱنظُرۡ كَيۡفَ يَفۡتَرُونَ عَلَى ٱللَّهِ ٱلۡكَذِبَۖ
﴿ "Perhatikan-lah, betapakah mereka mengada-adakan dusta
terhadap Allah?" yaitu dengan cara menyucikan diri mereka
sendiri, karena hal itu meru-pakan pendustaan yang paling
besar atas Allah, karena muatan dari penyucian diri mereka itu
adalah sebuah kabar bahwa Allah telah menjadikan apa yang
mereka lakukan saat itu adalah benar dan apa yang dilakukan
kaum Mukminin adalah batil, ini adalah pendustaan yang paling
besar dan sebuah pemutarbalikan kenya-taan dan hakikat dengan
cara membuat yang haq menjadi batil, dan batil menjadi haq,
karena itulah Allah berfirman, ﴾
وَكَفَىٰ بِهِۦٓ إِثۡمٗا مُّبِينًا ﴿ "Dan cukuplah perbuatan itu
menjadi dosa yang nyata
(bagi mereka),"
maksudnya, sangat nampak dan jelas
(bahwa perbuatan itu) meng-akibatkan
hukuman yang keras dan siksa yang pedih.
{أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ أُوتُوا نَصِيبًا مِنَ
الْكِتَابِ يُؤْمِنُونَ بِالْجِبْتِ وَالطَّاغُوتِ
وَيَقُولُونَ لِلَّذِينَ كَفَرُوا هَؤُلَاءِ أَهْدَى مِنَ
الَّذِينَ آمَنُوا سَبِيلًا
(51) أُولَئِكَ الَّذِينَ لَعَنَهُمُ
اللَّهُ وَمَنْ يَلْعَنِ اللَّهُ فَلَنْ تَجِدَ لَهُ نَصِيرًا
(52) أَمْ لَهُمْ نَصِيبٌ مِنَ
الْمُلْكِ فَإِذًا لَا يُؤْتُونَ النَّاسَ نَقِيرًا
(53) أَمْ يَحْسُدُونَ النَّاسَ عَلَى
مَا آتَاهُمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ فَقَدْ آتَيْنَا آلَ
إِبْرَاهِيمَ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَآتَيْنَاهُمْ مُلْكًا
عَظِيمًا (54) فَمِنْهُمْ مَنْ آمَنَ
بِهِ وَمِنْهُمْ مَنْ صَدَّ عَنْهُ وَكَفَى بِجَهَنَّمَ
سَعِيرًا (55) إِنَّ الَّذِينَ
كَفَرُوا بِآيَاتِنَا سَوْفَ نُصْلِيهِمْ نَارًا كُلَّمَا
نَضِجَتْ جُلُودُهُمْ بَدَّلْنَاهُمْ جُلُودًا غَيْرَهَا
لِيَذُوقُوا الْعَذَابَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَزِيزًا حَكِيمًا
(56) وَالَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا
الصَّالِحَاتِ سَنُدْخِلُهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا
الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا لَهُمْ فِيهَا
أَزْوَاجٌ مُطَهَّرَةٌ وَنُدْخِلُهُمْ ظِلًّا ظَلِيلًا
(57)}
.
"Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang di-beri bagian
dari al-Kitab? Mereka percaya kepada jibt dan thaghut, dan
mengatakan kepada orang-orang kafir
(musyrik Makkah), bahwa mereka itu lebih
benar jalannya dari orang-orang yang beriman. Mereka itulah
orang yang dikutuk Allah. Barangsiapa yang dikutuk Allah,
niscaya kamu sekali-kali tidak akan mem-peroleh penolong
baginya. Ataukah ada bagi mereka bagian dari kerajaan
(kekuasaan)? Kendati pun ada, mereka
tidak akan mem-berikan sedikit pun
(kebajikan) kepada manusia. Ataukah
mereka dengki kepada manusia
(Muhammad) lantaran karunia yang Allah
telah berikan kepadanya? Sesungguhnya Kami telah memberikan
Kitab dan Hikmah kepada keluarga Ibrahim, dan Kami telah
mem-berikan kepadanya kerajaan yang besar. Maka di antara mereka
(orang-orang yang dengki itu), ada
orang-orang yang beriman kepadanya, dan di antara mereka ada
orang-orang yang mengha-langi
(manusia) dari beriman kepadanya. Dan
cukuplah
(bagi mereka) Jahanam yang
apinya menyala-nyala. Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada
ayat-ayat Kami, kelak akan Kami masukkan mereka ke dalam neraka.
Setiap kali kulit mereka hangus, Kami ganti kulit mereka dengan
kulit yang lain, supaya mereka merasakan azab. Sesungguhnya
Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana. Dan orang-orang yang
beriman dan mengerjakan amal-amal yang shalih, kelak akan Kami
masukkan mereka ke dalam surga yang di bawahnya mengalir
sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya; di
dalamnya mereka mempu-nyai istri-istri yang suci, dan Kami
masukkan mereka ke tempat yang teduh lagi nyaman."
(An-Nisa`: 51-57).
#
{51} وهذا من قبائح اليهود وحسدِهم
للنبيِّ - صلى الله عليه وسلم - والمؤمنين؛ أنَّ أخلاقَهم
الرذيلة وطبعَهم الخبيث حَمَلَهم على ترك الإيمان باللهِ ورسوله
والتعوُّض عنه بالإيمان بالجبت والطاغوت، وهو الإيمان بكلِّ
عبادةٍ لغير الله أو حكم بغير شرع الله، فدخل في ذلك السِّحر
والكهانة وعبادة غير الله وطاعة الشيطان، كلُّ هذا من الجبت
والطاغوت، وكذلك حَمَلَهُمُ الكفر والحسد على أن فضَّلوا طريقة
الكافرين بالله عبدةِ الأصنام على طريق المؤمنين،
فقال:
{ويقولون للذين كفروا}؛
أي:
لأجلهم تملُّقاً لهم ومداهنةً وبغضاً للإيمان:
{هؤلاء أهدى من الذين آمنوا سبيلاً}؛ أي: طريقاً؛ فما أسْمَجَهم وأشدَّ
عنادهم وأقلَّ عقولهم! كيف سلكوا هذا المسلك الوخيم والواديَ
الذَّميم؟! هل ظنُّوا أنَّ هذا يروج على أحدٍ من العقلاء أو يدخل
عقلَ أحدٍ من الجهلاء؟! فهل يَفْضُلُ دينٌ قام على عبادة الأصنام
والأوثان، واستقام على تحريم الطيِّبات وإباحة الخبائث وإحلال
كثيرٍ من المحرَّمات، وإقامة الظلم بين الخَلْق وتسوية الخالق
بالمخلوقين، والكفر بالله ورسله وكتبه على دينٍ قام على عبادة
الرحمن، والإخلاص لله في السرِّ والإعلان والكفر بما يُعْبَدُ من
دونه من الأوثان والأنداد والكاذبين، وعلى صلة الأرحام والإحسان
إلى جميع الخَلْق حتى البهائم، وإقامة العدل والقسط بين الناس
وتحريم كلِّ خبيث وظلم ومصدق في جميع الأقوال والأعمال؟! فهل هذا
إلاَّ من الهذيان؟! وصاحب هذا القول إما من أجهل الناس وأضعفهم
عقلاً، وإما من أعظمهم عناداً وتمرداً ومراغمة للحق، وهذا هو
الواقع.
(51) Ini adalah di antara
keburukan-keburukan orang-orang Yahudi dan kedengkian mereka
terhadap Nabi ﷺ dan kaum Mukminin, bahwa akhlak mereka yang
tercela dan kebiasaan atau tabiat mereka yang kotor membawa
mereka kepada tindakan meninggalkan iman kepada Allah dan
RasulNya kemudian meng-gantikannya dengan iman kepada jibt dan
thaghut, artinya beriman kepada segala peribadatan
(yang ditujukan) kepada selain Allah
سبحانه وتعالى atau berhukum dengan selain syariat Allah, dan
termasuk dalam hal itu adalah sihir, perdukunan, dan peribadahan
kepada selain Allah dan taat kepada setan, semua itu termasuk di
antara jibt dan thaghut. Demikian juga, kekufuran dan kedengkian
telah membawa mereka kepada pengutamaan jalan orang-orang yang
kafir terhadap Allah, dan para penyembah berhala daripada jalan
kaum Muk-minin, Allah berfirman, ﴾ وَيَقُولُونَ لِلَّذِينَ
كَفَرُواْ
﴿ "Dan mengatakan kepada orang-orang kafir
(musyrik Makkah)" yaitu karena mereka
menjadi-kannya sebagai suatu jalan untuk menjilat dan mencari
muka serta benci terhadap keimanan, ﴾
هَٰٓؤُلَآءِ أَهۡدَىٰ مِنَ ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ سَبِيلًا ﴿
"Bahwa mereka itu lebih benar jalannya dari orang-orang yang
beriman." Betapa jelek-nya mereka, betapa kerasnya kedurhakaan
mereka, dan betapa kerdilnya akal pikiran mereka! Bagaimana bisa
mereka menempuh jalan yang berbahaya dan jurang yang
menjerumuskan?! Apakah mereka mengira bahwa hal ini tersamar
(tidak diketahui) oleh orang-orang yang
berakal atau akan masuk ke dalam akal orang-orang yang bodoh?!
Apakah sebuah agama yang dibangun di atas ajaran penyem-bahan
terhadap berhala dan patung-patung, terus-menerus dalam
mengharamkan hal-hal yang baik, membolehkan hal-hal yang kotor,
dan menghalalkan jumlah yang banyak dari hal-hal yang
diharamkan, kezhaliman di antara makhluk serta penyamaan antara
Pencipta dan para makhluk yang diciptakan, kufur kepada Allah,
Rasul-rasulNya dan kitab-kitabNya, lebih utama daripada sebuah
agama yang tegak di atas ajaran peribadahan kepada Yang Maha
Penyayang, keikhlasan kepadaNya dalam
(amal perbuatan yang dilakukan) ketika
sendirian maupun di tengah-tengah kha-layak, pengingkaran
terhadap segala sembahan selainNya berupa patung-patung,
tandingan-tandingan dan para pendusta, dan di atas ajaran
menyambung silaturahim, berbuat baik kepada seluruh makhluk
hingga kepada binatang sekalipun, menegakkan keadilan di antara
manusia, mengharamkan segala yang buruk dan mengan-dung
kezhaliman serta jujur dalam setiap perkataan dan perbuatan!
Tidakkah apa yang mereka perbuat tersebut melainkan karena
ke-bingungan?! Dan orang yang berkata seperti itu merupakan
orang yang paling bodoh dan paling lemah akalnya, atau merupakan
orang yang paling keras kedurhakaan, pembangkangan, dan
peno-lakannya terhadap kebenaran, dan inilah yang terjadi.
#
{52} ولهذا قال تعالى عنهم:
{أولئك الذين لَعَنَهم الله}؛
أي:
طَرَدَهُم عن رحمته وأحلَّ عليهم نقمته.
{ومَن يلعنِ الله فلن تجدَ له نَصيراً}؛ أي: يتولاَّه ويقوم بمصالحه ويحفظُه
عن المكارِهِ، وهذا غايةُ الخِذلان.
(52) Oleh karena itulah Allah سبحانه
وتعالى berfirman tentang mereka, ﴾ أُوْلَٰٓئِكَ ٱلَّذِينَ
لَعَنَهُمُ ٱللَّهُۖ
﴿ "Mereka itulah orang yang dikutuk Allah" yaitu Allah
mengusir mereka dari rahmatNya dan menempatkan mereka pada
kemurkaanNya. ﴾
وَمَن يَلۡعَنِ ٱللَّهُ فَلَن تَجِدَ لَهُۥ نَصِيرًا ﴿
"Barangsiapa yang dikutuk Allah, niscaya kamu sekali-kali tidak
akan memperoleh penolong baginya," maksudnya, yang melindunginya
dan mengurus kemaslahatan-nya, serta menjaganya dari hal-hal
yang dibenci, dan inilah puncak dari keterhinaan.
#
{53}
{أم لهم نصيبٌ من الملك}؛
أي:
فيفضِّلون من شاؤوا على من شاؤوا بمجرَّد أهوائهم، فيكونون شركاء
لله في تدبير المملكة؛ فلو كانوا كذلك؛ لشحُّوا وبخلوا أشدَّ
البخل. ولهذا قال:
{فإذاً}؛
أي:
لو كان لهم نصيبٌ من الملك
{لا يؤتون الناس نقيراً}؛
أي:
شيئاً ولا قليلاً. وهذا وصفٌ لهم بشدَّة البخل على تقدير وجود
ملكهم المشارك لملك الله، وأُخْرِجَ هذا مخرج الاستفهام
المتقرِّر إنكاره عند كلِّ أحدٍ.
(53) ﴾ أَمۡ لَهُمۡ نَصِيبٞ مِّنَ
ٱلۡمُلۡكِ
﴿ "Ataukah ada bagi mereka bagian dari kerajaan
(kekuasaan)?" Maksudnya, mereka
mengutamakan orang-orang yang mereka kehendaki
(yaitu orang-orang musyrik Makkah)
daripada orang-orang yang mereka kehendaki
(yaitu orang-orang Mukmin) hanya
bersandar kepada hawa nafsu mereka, lalu men-jadikan mereka
sekutu bagi Allah dalam mengurus kerajaan dan kekuasaan,
seandainya mereka seperti itu halnya, niscaya mereka akan
berlaku kikir dan sangat bakhil. Oleh karena itu Allah
ber-firman, ﴾
فَإِذٗا
﴿ "Kendatipun ada" yaitu seandainya mereka memiliki bagian
dalam perkara kekuasaan itu, ﴾
لَّا يُؤۡتُونَ ٱلنَّاسَ نَقِيرًا ﴿ "mereka tidak akan memberikan
sedikit pun
(kebajikan) kepada manusia,"
maksudnya
(mereka tidak akan memberikan) sesuatu
pun walaupun sedikit. Ini merupakan penyifatan bagi mereka
dengan kebakhilan yang sangat, padahal itu dalam suatu perkiraan
adanya kekuasaan mereka sebagai sekutu bagi Allah dalam
kerajaanNya, kalimat ini diungkapkan dalam bentuk pertanyaan
yang sudah jelas jawaban-nya, yaitu sesuatu yang pasti diingkari
oleh setiap orang.
#
{54}
{أم يحسُدون الناس على ما آتاهُمُ الله من فضلِهِ}؛ أي: هل الحاملُ لهم على قولهم كونُهم
شركاءَ لله فيفضِّلون مَن شاؤوا؟ أم الحامل لهم على ذلك الحسد
للرسول وللمؤمنين على ما آتاهم الله من فضله؟ وذلك ليس ببدع ولا
غريب على فضل الله؛
{فقد آتينا آلَ إبراهيم الكتابَ والحكمة وآتيناهم ملكاً
عظيماً}، وذلك ما أنعم الله به على إبراهيم وذرِّيَّته من النبوَّة
والكتاب والملك الذي أعطاه مَن أعطاه من أنبيائه؛ كداود وسليمان؛
فإنعامه لم يزل مُسْتمِرًّا على عبادِهِ المؤمنين؛ فكيف ينكِرون
إنعامَهُ بالنبوَّة والنصر والملك لمحمدٍ - صلى الله عليه وسلم -
أفضل الخلق وأجلِّهم وأعظمهم معرفةً بالله وأخشاهم له؟!
(54) ﴾ أَمۡ يَحۡسُدُونَ ٱلنَّاسَ عَلَىٰ
مَآ ءَاتَىٰهُمُ ٱللَّهُ مِن فَضۡلِهِۦۖ
﴿ "Ataukah mereka dengki kepada manusia
(Muhammad) lantaran karunia yang telah
Allah berikan kepadanya?" Maksudnya, apakah pendorong bagi
perkataan mereka itu adalah posisi mereka sebagai sekutu bagi
Allah lalu mereka mendahulukan orang-orang yang mereka
kehendaki?! Ataukah pendorong bagi mereka dalam hal itu adalah
kedengkian terhadap Rasulullah ﷺ dan kaum Mukminin atas apa
yang telah Allah berikan kepada mereka dari karuniaNya? Dan
yang demikian itu bukanlah suatu hal yang asing dan aneh lagi
atas karunia dari Allah, ﴾
فَقَدۡ ءَاتَيۡنَآ ءَالَ إِبۡرَٰهِيمَ ٱلۡكِتَٰبَ وَٱلۡحِكۡمَةَ
وَءَاتَيۡنَٰهُم مُّلۡكًا عَظِيمٗا ﴿ "sesungguhnya Kami telah
memberikan Kitab dan Hikmah kepada keluarga Ibrahim, dan Kami
telah memberikan kepadanya kerajaan yang besar," yaitu karunia
yang telah Allah berikan kepada Ibrahim dan anak cucunya berupa
kenabian dan kitab serta kerajaan yang diberikan kepada seorang
nabi dari nabi-nabiNya seperti Dawud dan Sulaiman عليهما السلام,
dan pemberian nikmat olehNya masih terus berlangsung atas
hamba-hambaNya yang beriman, lalu bagaimana mungkin mereka
meng-ingkari pemberian nikmat olehNya berupa kenabian dan
pembe-laan serta kerajaan bagi Muhammad ﷺ sebagai makhluk yang
paling utama, paling mulia, dan paling mengetahui tentang Allah
dan paling takut kepadaNya?!
#
{55}
{فمنهم من آمن به}؛
أي:
بمحمدٍ - صلى الله عليه وسلم - فنال بذلك السعادة الدنيويَّة
والفلاح الأخرويَّ،
{ومنهم من صدَّ عنه}؛ عناداً
وبغياً وحسدًا، فحصل لهم من شقاء الدُّنيا ومصائبها ما هو بعض
آثار معاصيهم،
{وكفى بجهنَّم سعيراً}: تُسَعَّرُ
على مَن كَفَرَ بالله، وجَحَدَ نبوَّة أنبيائِهِ من اليهود
والنصارى وغيرِهم من أصناف الكَفَرة.
(55) ﴾ فَمِنۡهُم مَّنۡ ءَامَنَ بِهِۦ
﴿ "Maka di antara mereka
(orang-orang yang dengki itu), ada
orang-orang yang beriman kepadanya" yaitu kepada Muhammad ﷺ,
sehingga dengan hal itu ia mendapatkan kebaha-giaan dunia dan
kemenangan di akhirat, ﴾
وَمِنۡهُم مَّن صَدَّ عَنۡهُۚ
﴿ "dan di antara mereka ada orang-orang yang menghalangi
(manusia) dari beriman kepadanya"
sebagai suatu kedurhakaan, kezhaliman, dan kedeng-kian,
sehingga mereka memperoleh kesengsaraan dunia dan
mu-sibah-musibahnya yang merupakan bagian dari efek
kemaksiatan mereka, ﴾
وَكَفَىٰ بِجَهَنَّمَ سَعِيرًا ﴿ "Dan cukuplah
(bagi mereka) Jahanam yang menyala-nyala
apinya" yang dinyalakan untuk orang-orang yang kufur kepada
Allah, mengingkari kenabian para nabi-nabiNya dari kaum Yahudi
dan Nasrani serta selain mereka dari berbagai macam orang-orang
kafir lainnya.
#
{56} ولهذا قال:
{إنَّ الذين كفروا بآياتِنا سوفَ نُصليهم ناراً}؛ أي: عظيمة الوَقود شديدة الحرارة،
{كلَّما نَضِجَتْ جلودُهم}؛
أي:
احترقت،
{بدَّلْناهم جلوداً غيرَها لِيَذوقوا العذابَ}؛ أي: ليبلغ العذابُ منهُم كلَّ مبلغ،
وكما تكرَّرَ منهم الكفرُ والعنادُ؛ وصار وصفاً لهم وسجيَّةً؛
كرَّر عليهم العذاب جزاء وفاقاً،
ولهذا قال:
{إنَّ الله كان عزيزاً حكيماً}؛ أي: له العزَّة العظيمة والحكمة في
خلقه وأمره وثوابِهِ وعقابِهِ.
(56) Oleh karena itulah Allah berfirman,
﴾ إِنَّ ٱلَّذِينَ كَفَرُواْ بِـَٔايَٰتِنَا سَوۡفَ نُصۡلِيهِمۡ
نَارٗا
﴿ "Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada ayat-ayat Kami,
kelak akan Kami masukkan mereka ke dalam neraka" yaitu sangat
besar menyalanya dan sangat keras panasnya, ﴾
كُلَّمَا نَضِجَتۡ جُلُودُهُم
﴿ "setiap kali kulit mereka hangus" yaitu terbakar, ﴾
بَدَّلۡنَٰهُمۡ جُلُودًا غَيۡرَهَا لِيَذُوقُواْ ٱلۡعَذَابَۗ
﴿ "Kami ganti kulit mereka dengan kulit yang lain, supaya
mereka merasakan azab" yaitu agar siksaan itu sampai kepada
mereka dengan sebenar-be-narnya, dan sebagaimana berulangnya
kekufuran dan kedurhakaan mereka yang akhirnya menjadi
karakter dan sifat abadi bagi me-reka, Allah juga
mengulang-ulang siksaanNya bagi mereka sebagai suatu balasan
yang setimpal, oleh karena itu Allah berfirman, ﴾
إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَزِيزًا حَكِيمٗا ﴿ "Sesungguhnya Allah
Mahaperkasa lagi Mahabijaksana" yaitu milikNya kemuliaan yang
agung dan hikmah pada pencipta-an, perintah, pahala, dan
siksaanNya.
#
{57}
{والذين آمنوا}؛
أي:
بالله وما أوجب الإيمان به،
{وعملوا الصالحات}: من الواجبات
والمستحبات،
{سندخلهم جناتٍ تجري من تحتها الأنهارُ لهم فيها أزواج
مطهرة}؛ أي: من الأخلاق الرذيلة والخُلُق
الذَّميم وممّا يكون من نساء الدُّنيا من كل دَنَسٍ وعيبٍ،
{وندخِلُهم ظِلاًّ ظليلاً}.
(57) ﴾ وَٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ
﴿ "Dan orang-orang yang beriman" yaitu ke-pada Allah dan
perkara apa pun yang wajib diimani, ﴾
وَعَمِلُواْ ٱلصَّٰلِحَٰتِ
﴿ "dan mengerjakan amal-amal yang shalih," baik yang wajib
maupun yang sunnah, ﴾
سَنُدۡخِلُهُمۡ جَنَّٰتٖ تَجۡرِي مِن تَحۡتِهَا ٱلۡأَنۡهَٰرُ
خَٰلِدِينَ فِيهَآ أَبَدٗاۖ لَّهُمۡ فِيهَآ أَزۡوَٰجٞ
مُّطَهَّرَةٞۖ
﴿ "kelak akan Kami masukkan mereka ke dalam surga yang di
bawahnya mengalir sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya
selama-lamanya; mereka di dalamnya mempunyai istri-istri yang
suci" yaitu dari akhlak yang tercela dan budi pekerti yang
hina dan juga dari apa yang dialami oleh wanita dunia dari
setiap kotoran dan kekurangan, ﴾
وَنُدۡخِلُهُمۡ ظِلّٗا ظَلِيلًا ﴿ "dan Kami masukkan mereka ke
tempat yang teduh lagi nyaman."
{إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ
إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ
تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ إِنَّ اللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ
بِهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ سَمِيعًا بَصِيرًا
(58) يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا
أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ
مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى
اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ
وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
(59)}
.
"Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada
yang berhak menerimanya, dan
(menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum
di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil.
Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya
kepadamu. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah
Rasul
(Nya), dan ulil amri di antara
kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu,
maka kembalikanlah ia kepada Allah
(al-Qur`an) dan Rasul
(sunnahnya), jika kamu benar-benar
beriman kepada Allah dan Hari Kemudian. Yang de-mikian itu lebih
utama
(bagimu) dan lebih baik
akibatnya."
(An-Nisa`: 58-59).
#
{58} الأمانات كلُّ ما اؤتُمِنَ
عليه الإنسان وأُمِرَ بالقيام به، فأمر اللهُ عباده
بأدائِها؛ أي: كاملة موفَّرة لا منقوصة
ولا مبخوسةً ولا ممطولاً بها، ويدخُلُ في ذلك أماناتُ الولايات
والأموال والأسرار والمأمورات التي لا يطَّلع عليها إلا الله.
وقد ذكر الفقهاء على أنَّ مَن اؤتُمِنَ أمانة؛ وَجَبَ عليه
حفظُها في حِرْز مثلها؛ قالوا: لأنه لا
يمكنُ أداؤها إلاَّ بحفظها، فوجب ذلك.
وفي قوله:
{إلى أهلها}: دلالة على أنها لا
تُدْفَعُ وتؤدَّى لغير المؤتَمِن، ووكيلُهُ بمنزلتِهِ؛ فلو دفعها
لغير ربِّها؛ لم يكن مؤدِّياً لها.
{وإذا حكمتُم بين الناس أن تحكُموا بالعدل}: وهذا يشمل الحكم بينهم في الدِّماء والأموال والأعراض؛ القليل
من ذلك والكثير، على القريب والبعيد والبَرِّ والفاجر والوليِّ
والعدوِّ. والمراد بالعدل الذي أمر الله بالحكم به هو ما
شَرَعَهُ الله على لسان رسولِهِ من الحدود والأحكام، وهذا يستلزم
معرفة العدل ليحكُمَ به، ولما كانت هذه أوامر حسنةً عادلةً؛
قال:
{إنَّ الله نِعمَّا يَعِظُكُم به، إنَّ اللهَ كان سميعاً
بصيراً}: وهذا مدحٌ من الله لأوامره ونواهيه؛ لاشتمالها على مصالح
الدارين ودفع مضارِّهما؛ لأنَّ شارعها السميع البصير الذي لا
تَخْفى عليه خافيةٌ ويعلم من مصالح العباد ما لا يعلمون.
(58) Amanah itu adalah setiap hal yang
dipercayakan ke-pada seseorang dan ia diperintahkan untuk
menunaikannya, Allah سبحانه وتعالى memerintahkan hamba-hambaNya
agar menunaikan amanah, maksudnya secara sempurna dan penuh,
tidak dikurangi, dicurangi, dan tidak pula diulur-ulur, dan
termasuk dalam amanah di sini adalah amanah kekuasaan, harta,
rahasia-rahasia, dan perintah-perintah yang tidak diketahui
kecuali oleh Allah semata. Sesung-guhnya para ahli fikih telah
menyebutkan bahwa barangsiapa yang diserahkan kepadanya suatu
amanah, maka ia wajib menjaga amanah tersebut dalam suatu tempat
yang patut, mereka berkata, "Karena sesungguhnya tidaklah
mungkin dapat ditunaikan kecuali dengan menjaganya, maka
wajiblah hal itu dilakukan." Dan Firman Allah, ﴾ إِلَىٰٓ
أَهۡلِهَا
﴿ "Kepada yang berhak menerimanya," sebuah dalil bahwa
tidaklah diserahkan dan ditunaikan kepada selain orang yang
berhak menerimanya, dan wakil orang tersebut adalah dalam
posisinya, sehingga apabila ia menyerahkannya kepada selain
orang yang berhak menerimanya, maka ia tidaklah dikatakan
telah menunaikannya. ﴾
وَإِذَا حَكَمۡتُم بَيۡنَ ٱلنَّاسِ أَن تَحۡكُمُواْ بِٱلۡعَدۡلِۚ
﴿ "Dan (menyuruh kamu) apabila
menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan
dengan adil," hal ini mencakup hukum di antara mereka dalam
perkara darah, harta, maupun kehormatan, baik sedikit maupun
banyak, terhadap yang dekat maupun yang jauh, seorang yang
baik mau-pun yang jahat, seorang teman maupun musuh. Maksud
dari adil di sini adalah yang diperintahkan oleh Allah untuk
berhukum dengannya yaitu apa yang disyariatkan oleh Allah
melalui lisan RasulNya berupa ketentuan-ketentuan dan
hukum-hukum. Hal ini menuntut untuk mengetahui keadilan agar
dapat menetapkan hukum dengannya, dan ketika perintah-perintah
tersebut adalah suatu yang baik dan adil, Allah berfirman,
﴾
إِنَّ ٱللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُم بِهِۦٓۗ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ
سَمِيعَۢا بَصِيرٗا ﴿ "Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang
sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi
Maha Melihat," ini merupakan pujian dari Allah bagi
perintah-perintahNya dan larangan-laranganNya, karena mencakup
kemaslahatan dunia dan akhirat dan menolak kemudharatan pada
keduanya, karena sesung-guhnya Dzat yang mensyariatkannya adalah
Maha Mendengar lagi Maha Melihat, yang tidak ada sesuatu pun
yang tersembunyi bagiNya dan Dia mengetahui kemaslahatan hamba,
yang mereka sendiri tidak mengetahuinya.
#
{59} ثم أمر بطاعتِهِ وطاعة
رسولِهِ، وذلك بامتثال أمرهما الواجب والمستحبِّ واجتناب
نهيهِما، وأمر بطاعة أولي الأمر، وهم الولاة على الناس من
الأمراء والحكَّام والمفتين؛ فإنَّه لا يستقيمُ للناس أمرُ دينهم
ودُنياهم إلاَّ بطاعِتِهم والانقيادِ لهم. طاعةً لله ورغبةً فيما
عنده، ولكن بشرط أن لا يأمروا بمعصية الله؛ فإنْ أمروا بذلك؛ فلا
طاعة لمخلوق في معصية الخالق. ولعل هذا هو السرُّ في حذف الفعل
عند الأمر بطاعتهم وذِكْرِهِ مع طاعة الرسول؛ فإنَّ الرسول لا
يأمر إلا بطاعة الله، ومَنْ يُطِعْهُ؛ فقد أطاع الله، وأما أولو
الأمر؛ فشرطُ الأمرِ بطاعتهم أن لا يكونَ معصيةً. ثم أمَرَ بردِّ
كلِّ ما تنازع الناس فيه من أصول الدين وفروعه إلى الله وإلى
الرسول ؛ أي: إلى كتاب الله وسنة
رسوله؛
فإنَّ فيهما الفصل في جميع المسائل الخلافيَّة:
إمَّا بصريحهما أو عمومهما أو إيماءٍ أو تنبيهٍ أو مفهوم أو عموم
معنى يُقاسُ عليه ما أشبهه؛ لأنَّ كتاب الله وسنة رسوله عليهما
بناءُ الدين، ولا يستقيم الإيمان إلاَّ بهما؛ فالردُّ إليهما
شرطٌ في الإيمان؛ فلهذا قال:
{إن كنتم تؤمنون بالله واليوم الآخر}: فدلَّ ذلك على أنَّ من لم يردَّ إليهما مسائلَ النزاع؛ فليس
بمؤمن حقيقةً، بل مؤمنٌ بالطاغوت؛ كما ذكر في الآية بعدها.
{ذلك}؛
أي:
الردُّ إلى الله ورسوله،
{خيرٌ وأحسنُ تأويلاً}؛ فإنَّ حُكم
الله ورسوله أحسنُ الأحكام وأعدلُها وأصلحُها للناس في أمر دينهم
ودُنياهم وعاقبتهم.
(59) Kemudian Allah memerintahkan untuk
taat kepadaNya dan taat kepada RasulNya, yaitu dengan
melaksanakan perintah keduanya yang wajib dan yang sunnah, serta
menjauhi larangan keduanya. Allah juga memerintahkan untuk taat
kepada para pemimpin, mereka itu adalah orang-orang yang
memegang ke-kuasaan atas manusia, yaitu para penguasa, para
hakim, dan para ahli fatwa
(mufti),
sesungguhnya tidaklah akan berjalan baik urusan agama dan dunia
manusia kecuali dengan taat dan tunduk kepada mereka, sebagai
suatu tindakan ketaatan kepada Allah dan meng-harap apa yang ada
di sisiNya, akan tetapi dengan syarat bila mereka tidak
memerintahkan kepada kemaksiatan kepada Allah, dan bila mereka
memerintahkan kepada kemaksiatan kepada Allah, maka tidak ada
ketaatan kepada makhluk dalam kemaksiatan kepada Allah. Dan bisa
jadi inilah rahasia dari dihilangkannya kata kerja "taat" pada
perintah taat kepada mereka dan penyebutannya bersama dengan
taat kepada Rasul, karena sesungguhnya Rasul tidaklah
memerintahkan kecuali ketaatan kepada Allah, dan ba-rangsiapa
yang taat kepadanya, sesungguhnya ia telah taat kepada Allah,
adapun para pemimpin, maka syarat taat kepada mereka adalah
bahwa apa yang diperintahkan bukanlah suatu kemaksiatan.
Kemudian Allah memerintahkan agar mengembalikan segala perkara
yang diperselisihkan oleh manusia dari perkara-perkara yang
merupakan dasar-dasar agama ataupun cabang-cabangnya kepada
Allah dan RasulNya, maksudnya kepada kitabullah dan sunnah
RasulNya, karena pada kedua hal itu ada keputusan yang adil bagi
seluruh masalah yang diperselisihkan, yaitu dengan
pengungkapannya secara jelas oleh keduanya atau secara umum atau
isyarat atau peringatan atau pemahaman atau keumuman makna yang
dapat diqiyaskan dengannya segala hal yang sejenis dengan
keumuman makna tersebut, karena sesungguhnya di atas Kitabullah
dan Sunnah RasulNya agama tegak berdiri, dan tidak-lah akan
lurus iman seseorang kecuali dengan mengimani kedua-nya, maka
mengembalikan perkara kepada keduanya adalah syarat keimanan,
karena itulah Allah berfirman, ﴾ إِن كُنتُمۡ تُؤۡمِنُونَ
بِٱللَّهِ وَٱلۡيَوۡمِ ٱلۡأٓخِرِۚ
﴿ "Jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan Hari
Kemudian" hal ini menunjukkan bahwa barangsiapa yang tidak
mengembalikan perkara-perkara yang diperselisihkan kepada
keduanya, maka ia bukanlah seorang Mukmin yang hakiki, akan
tetapi ia adalah seorang yang percaya kepada thaghut
sebagaimana yang Allah sebutkan dalam ayat selanjutnya,
﴾
ذَٰلِكَ
﴿ "Yang demikian itu" yaitu mengembalikan kepada Allah dan
RasulNya, ﴾
خَيۡرٞ وَأَحۡسَنُ تَأۡوِيلًا ﴿ "lebih utama
(bagimu) dan lebih baik akibatnya,"
karena sesungguhnya hukum Allah dan RasulNya adalah sebaik-baik
hukum, seadil-adilnya, dan paling berguna bagi manusia dalam
urusan agama, dunia, dan hasil akhirat mereka.
{أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ يَزْعُمُونَ أَنَّهُمْ آمَنُوا
بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ
يُرِيدُونَ أَنْ يَتَحَاكَمُوا إِلَى الطَّاغُوتِ وَقَدْ
أُمِرُوا أَنْ يَكْفُرُوا بِهِ وَيُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَنْ
يُضِلَّهُمْ ضَلَالًا بَعِيدًا
(60) وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ تَعَالَوْا
إِلَى مَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَإِلَى الرَّسُولِ رَأَيْتَ
الْمُنَافِقِينَ يَصُدُّونَ عَنْكَ صُدُودًا
(61) فَكَيْفَ إِذَا أَصَابَتْهُمْ
مُصِيبَةٌ بِمَا قَدَّمَتْ أَيْدِيهِمْ ثُمَّ جَاءُوكَ
يَحْلِفُونَ بِاللَّهِ إِنْ أَرَدْنَا إِلَّا إِحْسَانًا
وَتَوْفِيقًا (62) أُولَئِكَ
الَّذِينَ يَعْلَمُ اللَّهُ مَا فِي قُلُوبِهِمْ فَأَعْرِضْ
عَنْهُمْ وَعِظْهُمْ وَقُلْ لَهُمْ فِي أَنْفُسِهِمْ قَوْلًا
بَلِيغًا (63)}
.
"Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang me-ngaku
dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepa-damu dan
kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak berhakim
kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah mengingkari
thaghut itu. Dan setan bermaksud menyesatkan me-reka
(dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya.
Apabila dikata-kan kepada mereka, 'Marilah
(tunduk) kepada hukum yang telah Allah
turunkan dan kepada hukum Rasul,' niscaya kamu lihat orang-orang
munafik menghalangi
(manusia) dengan
sekuat-kuat-nya dari
(mendekati) kamu.
Maka bagaimanakah halnya apabila mereka
(orang-orang munafik) ditimpa sesuatu
musibah disebab-kan perbuatan tangan mereka sendiri, kemudian
mereka datang kepadamu sambil bersumpah, 'Demi Allah, kami
sekali-kali tidak menghendaki selain penyelesaian yang baik dan
perdamaian yang sempurna.' Mereka itu adalah orang-orang yang
Allah mengetahui apa yang ada di dalam hati mereka. Karena itu
berpalinglah kamu dari mereka, dan berilah mereka pelajaran, dan
katakanlah kepada mereka perkataan yang berbekas pada jiwa
mereka."
(An-Nisa`: 60-63).
#
{60 ـ 61} يُعجِّب تعالى عبادَه من
حالة المنافقين الذين يزعُمون أنَّهم مؤمنون بما جاء به الرسولُ
وبما قبلَه، ومع هذا
{يُريدون أن يتحاكموا إلى الطَّاغوت}، وهو كلُّ مَن حَكَمَ بغير شرع الله؛ فهو طاغوتٌ، والحالُ
أنَّهم
{قد أُمِروا أن يكفُروا به}؛ فكيف
يجتمع هذا والإيمان؛ فإنَّ الإيمان يقتضي الانقيادَ لشرع الله
وتحكيمِهِ في كل أمر من الأمور؛ فَمنْ زَعَمَ أنه مؤمنٌ واختار
حكم الطاغوت على حكم الله؛ فهو كاذبٌ في ذلك، وهذا من إضلال
الشيطان إيَّاهم، ولهذا قال:
{ويُريد الشيطانُ أنْ يُضلَّهم ضلالاً بعيداً}
عن الحقِّ.
(60-61) Allah سبحانه وتعالى membuat
hamba-hambaNya heran dari kondisi orang-orang munafik yang
mengira bahwa mereka adalah orang-orang yang beriman kepada apa
yang dibawa oleh Rasul dan apa yang datang sebelumnya, namun
demikian, ﴾ يُرِيدُونَ أَن يَتَحَاكَمُوٓاْ إِلَى ٱلطَّٰغُوتِ
﴿ "mereka hendak berhakim kepada thaghut" yaitu setiap orang
yang berhukum dengan selain syariat Allah, maka itulah
thaghut, padahal sebenarnya mereka ﴾
وَقَدۡ أُمِرُوٓاْ أَن يَكۡفُرُواْ بِهِۦۖ
﴿ "telah diperintah mengingkari thaghut itu" lalu
bagaimanakah bisa bersatu antara hal ini dengan keimanan,
karena sesungguhnya iman itu mengharus-kan adanya ketundukan
kepada syariat Allah dan ketentuanNya terhadap setiap perkara,
sehingga barangsiapa yang mengaku bahwa ia seorang Mukmin lalu
ia memilih hukum thaghut daripada hukum Allah, maka ia adalah
pendusta dalam pengakuannya itu, dan ini merupakan penyesatan
setan terhadap diri mereka, karena itu Allah berfirman,
﴾
وَيُرِيدُ ٱلشَّيۡطَٰنُ أَن يُضِلَّهُمۡ ضَلَٰلَۢا بَعِيدٗا ﴿ "Dan
setan ber-maksud menyesatkan mereka
(dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya"
dari kebenaran.
#
{62}
{فكيف} يكونُ حال هؤلاء الضالِّين
{إذا أصابتهم مصيبةٌ بما قدَّمت أيديهم}
من المعاصي، ومنها تحكيمُ الطَّاغوت،
{ثم جاؤوك} متعذرين لما صَدَرَ
منهم، ويقولون:
{إن أردْنا إلَّا إحساناً وتوفيقاً}؛ أي: ما قصدنا في ذلك إلاَّ الإحسان
إلى المتخاصمين والتوفيقَ بينهم، وهم كَذَبَةٌ في ذلك؛ فإن
الإحسان كل الإحسان تحكيم الله ورسوله، ومَنْ أحسنُ من الله
حكماً لقوم يوقنون.
(62) ﴾ فَكَيۡفَ
﴿ "Maka bagaimanakah" kondisi mereka orang-orang yang
tersesat, ﴾
إِذَآ أَصَٰبَتۡهُم مُّصِيبَةُۢ بِمَا قَدَّمَتۡ أَيۡدِيهِمۡ
﴿ "apabila mereka
(orang-orang munafik) ditimpa sesuatu
musibah disebabkan perbuatan tangan mereka sendiri" berupa
kemaksiatan-kemaksiatan, di antara-nya adalah berhukum dengan
thaghut, ﴾
ثُمَّ جَآءُوكَ
﴿ "kemudian mereka datang kepadamu" dengan maksud untuk
meminta maaf atas apa yang telah mereka lakukan seraya
berkata, ﴾
إِنۡ أَرَدۡنَآ إِلَّآ إِحۡسَٰنٗا وَتَوۡفِيقًا ﴿ "kami
sekali-kali tidak menghendaki selain penyelesaian yang baik dan
perdamaian yang sempurna," maksudnya, tidaklah kami bermaksud
dengan hal itu kecuali berbuat baik kepada dua belah pihak yang
berselisih dan mendamaikan antara mereka, namun mereka ber-dusta
dalam hal tersebut, karena sesungguhnya berbuat baik ada-lah
dengan berhukum kepada Allah dan RasulNya, dan siapakah gerangan
yang paling baik hukumnya daripada Allah bagi kaum yang yakin.
#
{63} ولهذا قال:
{أولئك الذين يعلمُ الله ما في قلوبهم}؛ أي: من النفاق والقصد السيئ؛
{فأعرضْ عنهم}؛
أي:
لا تُبال بهم ولا تقابِلْهم على ما فعلوه واقترفوه،
{وعِظْهُم}؛
أي:
بيِّن لهم حكم الله تعالى مع الترغيب في الانقياد لله والترهيب
من تركه،
{وقل لهم في أنفسِهم قولاً بليغاً}؛ أي: انصحْهم سِرًّا بينك وبينهم؛
فإنه أنجح لحصول المقصود، وبالغْ في زجرِهم وقَمْعِهِم عمَّا
كانوا عليه. وفي هذا دليل على أن مقترفَ المعاصي وإن أُعْرِضَ
عنه؛ فإنه يُنصَح سِرًّا ويبالغ في وعظه بما يظنُّ حصول المقصود
به.
(63) Oleh karena itulah Allah berfirman,
﴾ أُوْلَٰٓئِكَ ٱلَّذِينَ يَعۡلَمُ ٱللَّهُ مَا فِي قُلُوبِهِمۡ
﴿ "Mereka itu adalah orang-orang yang Allah mengetahui apa
yang ada di dalam hati mereka" yaitu berupa kemunafikan dan
tujuan yang jelek, ﴾
فَأَعۡرِضۡ عَنۡهُمۡ
﴿ "karena itu berpalinglah kamu dari mereka," maksudnya,
janganlah kalian memperhatikan mereka dan jangan-lah kalian
menghadapi apa yang mereka lakukan dan apa yang mereka
ada-adakan, ﴾
وَعِظۡهُمۡ
﴿ "dan berilah mereka pelajaran," yaitu jelaskanlah kepada
mereka tentang hukum Allah سبحانه وتعالى dengan meng-ajak
mereka untuk tunduk kepada Allah dan mengancam mereka dari
meninggalkannya, ﴾
وَقُل لَّهُمۡ فِيٓ أَنفُسِهِمۡ قَوۡلَۢا بَلِيغٗا ﴿ "dan
katakanlah kepada mereka perkataan yang berbekas pada jiwa
mereka," yaitu nasi-hatilah mereka dengan sembunyi-sembunyi
antara kalian dengan mereka, karena sesungguhnya yang demikian
itu lebih berhasil untuk memperoleh tujuan, dan bersikaplah
tegas terhadap mereka dalam memperingati dan mengekang mereka
dari apa yang mereka lakukan. Ayat ini adalah dalil bahwa
seorang pelaku kemaksiatan walaupun dihindari namun tetap harus
diberikan nasihat secara sembunyi-sembunyi dan tegas dalam
memberikan nasihat tersebut dengan perkara yang dapat
menghantarkan kepada apa yang di-harapkan.
{وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ رَسُولٍ إِلَّا لِيُطَاعَ بِإِذْنِ
اللَّهِ وَلَوْ أَنَّهُمْ إِذْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ جَاءُوكَ
فَاسْتَغْفَرُوا اللَّهَ وَاسْتَغْفَرَ لَهُمُ الرَّسُولُ
لَوَجَدُوا اللَّهَ تَوَّابًا رَحِيمًا
(64) فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ
حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا
يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ
وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا (65)}
.
"Dan Kami tidak mengutus seorang rasul melainkan untuk ditaati
dengan seizin Allah. Sesungguhnya jikalau mereka ketika
menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada
Allah, dan Rasul pun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah
mereka mendapati Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.
Maka demi Rabbmu, mereka
(pada hakikatnya) tidak beriman hingga
mereka menjadikan kamu hakim dalam per-kara yang mereka
perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati
mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima
dengan sepenuhnya."
(An-Nisa`: 64-65).
#
{64} يخبر تعالى خبراً في ضمنِهِ
الأمرُ والحثُّ على طاعة الرسول والانقيادِ له، وأنَّ الغاية من
إرسال الرسل أن يكونوا مطاعين ينقادُ لهم المرسَل إليهم في جميع
ما آمروا به ونَهوا عنه، وأن يكونوا معظَّمين تعظيمَ المطاع
للمطيع ، وفي هذا إثبات عصمة الرُّسل فيما يبلِّغونَهُ عن اللهِ
وفيما يأمرونَ به ويَنْهَوْنَ عنه؛ لأنَّ الله أمر بطاعتهم
مطلقاً؛ فلولا أنهم معصومون لا يشرعون ما هو خطأ؛ لما أمر بذلك
مطلقاً. وقوله:
{بإذن الله}؛
أي:
الطاعة من المطيع صادرة بقضاء الله وقدرِهِ؛ ففيه إثباتُ القضاء
والقَدَر، والحثُّ على الاستعانة بالله، وبيان أنَّه لا يمكَّنُ
الإنسان إن لم يُعِنْه الله أن يطيع الرسول. ثم أخبر عن كرمِهِ
العظيم وجُودِهِ ودعوته لمن اقترف السيِّئات أن يعترِفوا ويتوبوا
ويستغفِروا الله، فقال:
{ولو أنَّهم إذ ظَلَموا أنفُسَهم جاؤوك}؛ أي: معترفين بذنوبهم باخِعين بها.
{فاستَغْفَروا الله واستغفرَ لهم الرسولُ لوجدوا الله
توَّاباً رحيماً}؛ أي: لتاب عليهم بمغفرتِهِ ظُلْمَهم
ورَحِمَهُم بقَبول التوبة والتوفيق لها والثواب عليها. وهذا
المجيء إلى الرسول - صلى الله عليه وسلم - مختصٌّ بحياتِهِ؛
لأنَّ السياق يدلُّ على ذلك؛ لكون الاستغفار من الرسول لا يكون
إلاَّ في حياتِهِ، وأمَّا بعد موتِهِ؛ فإنَّه لا يطلب منه شيءٌ،
بل ذلك شركٌ.
(64) Allah سبحانه وتعالى mengabarkan
tentang suatu berita di mana di antaranya mengandung perintah
dan anjuran untuk taat kepada Rasul dan tunduk kepadanya, dan
bahwa tujuan dari pengutusan para rasul adalah agar mereka
ditaati dan dipatuhi oleh manusia yang mana para rasul tersebut
diutus kepada mereka dalam segala perkara yang mereka
diperintahkan kepadanya dan perkara yang mereka dilarang
darinya, dan agar mereka dihormati dengan penghormatan seorang
yang ditaati oleh orang yang menaati. Ayat ini mengandung
penetapan akan keterpeliharaan para Rasul dari kesalahan dalam
perkara yang mereka dakwahkan dari Allah dan pada apa yang
mereka perintahkan kepadanya serta apa yang mereka larang
darinya, karena Allah سبحانه وتعالى telah memerintahkan untuk
taat kepada mereka secara mutlak, dan sekiranya mereka tidak
ma'shum, pastilah mereka tidak akan mensyariatkan apa yang
salah, ketika Allah memerintahkan hal tersebut secara mutlak,
dan FirmanNya, ﴾ بِإِذۡنِ ٱللَّهِۚ
﴿ "Dengan izin Allah" maksudnya, ketaatan seorang yang taat
adalah bersumber dari qadha` Allah tentang qadarNya, dalam
ayat ini menyimpan dalil pengukuhan akan qadha` dan qadar,
juga anjuran untuk memohon pertolongan kepada Allah, dan
penjelasan bahwa manusia tidaklah akan mampu melakukan
ketaatan kepada Rasul apabila Allah tidak menolongnya.
Kemudian Allah mengabarkan tentang kemurahan hati beliau ﷺ
yang besar, kedermawanan dan dakwah beliau kepada orang yang
telah berbuat kemaksiatan agar mengakui, bertaubat, dan
memohon ampunan kepada Allah dalam FirmanNya,﴾
وَلَوۡ أَنَّهُمۡ إِذ ظَّلَمُوٓاْ أَنفُسَهُمۡ جَآءُوكَ
﴿ "Sesungguhnya jikalau mereka ketika menganiaya dirinya
datang kepadamu" yakni dengan mengakui kesalahan-kesa-lahan
mereka dan menyadarinya,﴾
فَٱسۡتَغۡفَرُواْ ٱللَّهَ وَٱسۡتَغۡفَرَ لَهُمُ ٱلرَّسُولُ
لَوَجَدُواْ ٱللَّهَ تَوَّابٗا رَّحِيمٗا ﴿ "lalu memohon ampun
kepada Allah, dan Rasul pun me-mohonkan ampun untuk mereka,
tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima taubat lagi Maha
Penyayang" maksudnya, pastilah Allah akan menerima taubat mereka
dengan ampunanNya atas kezha-liman mereka dan Allah merahmati
mereka dengan menerima taubat mereka dan memberikan taufik
kepadanya serta balasan atas perbuatan itu. Dan menemui Rasul ﷺ
seperti ini adalah khusus di saat beliau masih hidup, karena
konteks ayat tersebut menunjuk-kan akan hal tersebut, karena
permohonan ampunan Rasul untuk mereka tidaklah mungkin terjadi
kecuali di saat beliau hidup, adapun setelah kematiannya, maka
sesungguhnya tidaklah boleh meminta kepadanya sesuatu pun,
bahkan hal itu adalah suatu kesyirikan.
#
{65} ثم أقسم تعالى بنفسِهِ
الكريمة أنَّهم لا يؤمنون حتَّى يحكِّموا رسولَهُ فيما شَجَرَ
بينَهم؛ أي: في كل شيء يحصُلُ فيه
اختلافٌ؛ بخلاف مسائل الإجماع؛ فإنَّها لا تكون إلاَّ مستندةً
للكتاب والسنَّة، ثم لا يكفي هذا التحكيم حتى ينتفي الحرجُ من
قلوبِهِم والضيقُ. وكونُهم يحكِّمونه على وجه الإغماض، ثم لا
يكفي هذا التحكيم حتى يسلِّموا لحكمِهِ تسليماً بانشراح صدرٍ
وطمأنينةِ نفس وانقيادٍ بالظاهر والباطن؛ فالتحكيم في مقام
الإسلام، وانتفاء الحرج في مقام الإيمان، والتسليم في مقام
الإحسان؛ فمَن استكمل هذه المراتبَ وكمَّلها؛ فقد استكمل مراتبَ
الدِّينِ كلَّها، فمَن ترك هذا التحكيم المذكورَ غير ملتزم له؛
فهو كافر، ومَن تركه مع التزامه؛ فله حكمُ أمثالِهِ من العاصين.
(65) Kemudian Allah سبحانه وتعالى
bersumpah dengan DzatNya yang mulia bahwasanya mereka tidaklah
beriman hingga berhukum ke-pada RasulNya dalam perkara yang
mereka perselisihkan di antara mereka, artinya pada segala hal
yang terjadi perselisihan padanya, berbeda dengan
masalah-masalah yang telah disepakati, sesung-guhnya
perkara-perkara seperti itu tidaklah bersandar kecuali dari
al-Qur`an dan as-Sunnah, karena tidaklah cukup hanya berhukum
kepada beliau ﷺ hingga tidak ada sama sekali dari hati mereka
kebencian dan kedongkolan. Dan kondisi mereka saat berhukum
kepada beliau adalah dengan asumsi bahwa itulah yang paling
benar, kemudian tidaklah cukup juga berhukum kepada beliau itu
hingga mereka menerima keputusan beliau dengan penerimaan yang
baik, kelapangan dada, ketenangan jiwa, dan ketundukan lahir
maupun batin. Maka
(perlu diperhatikan) bahwa berhukum
adalah dalam aspek keislaman, sedangkan tidak adanya keberatan
(dalam menerima putusan) adalah dalam
aspek keimanan, ada-pun penerimaan adalah dalam aspek keihsanan.
Barangsiapa yang menyempurnakan tingkatan-tingkatan tersebut,
maka sesungguh-nya ia telah menyempurnakan semua
tingkatan-tingkatan agama, dan barangsiapa yang meninggalkan
sikap berhukum yang tersebut dalam ayat ini dan tidak konsisten
terhadapnya, maka ia adalah kafir, dan barangsiapa yang
meninggalkannya dengan konsisten, maka hukumnya adalah sama
seperti orang-orang yang semisalnya dari pelaku-pelaku
kemaksiatan.
{وَلَوْ أَنَّا كَتَبْنَا عَلَيْهِمْ أَنِ اقْتُلُوا
أَنْفُسَكُمْ أَوِ اخْرُجُوا مِنْ دِيَارِكُمْ مَا فَعَلُوهُ
إِلَّا قَلِيلٌ مِنْهُمْ وَلَوْ أَنَّهُمْ فَعَلُوا مَا
يُوعَظُونَ بِهِ لَكَانَ خَيْرًا لَهُمْ وَأَشَدَّ تَثْبِيتًا
(66) وَإِذًا لَآتَيْنَاهُمْ مِنْ
لَدُنَّا أَجْرًا عَظِيمًا
(67) وَلَهَدَيْنَاهُمْ صِرَاطًا
مُسْتَقِيمًا (68)}
.
"Dan sesungguhnya kalau Kami perintahkan kepada mereka,
'Bunuhlah dirimu atau keluarlah kamu dari kampungmu', niscaya
mereka tidak akan melakukannya kecuali sebagian kecil dari
mereka. Dan sesungguhnya kalau mereka melaksanakan pelajaran
yang diberikan kepada mereka, tentulah hal yang demikian itu
lebih baik bagi mereka dan lebih menguatkan
(iman mereka). Dan kalau demikian, pasti
Kami berikan kepada mereka pahala yang besar dari sisi Kami, dan
pasti Kami tunjuki mereka kepada jalan yang lurus."
(An-Nisa`: 66-68).
#
{66} يخبر تعالى أنَّه لو كَتَبَ
على عباده الأوامرَ الشاقَّة على النفوس من قتل النفوس والخروج
من الدِّيار؛ لم يفعلْه إلا القليلُ منهم والنادرُ؛
فَلْيَحْمَدوا ربَّهم ولْيَشْكُروه على تيسير ما أمَرَهم به من
الأوامر التي تَسْهُلُ على كلِّ أحدٍ ولا يشقُّ فعلُها، وفي هذا
إشارةٌ إلى أنه ينبغي أن يَلْحَظَ العبدُ ضدَّ ما هو فيه من
المكروهات؛ لتخفَّ عليه العباداتُ، ويزدادَ حمداً وشكراً لربِّه.
ثم أخبر أنَّهم لو
{فعلوا ما يُوعَظونَ به}؛
أي:
ما وُظِّفَ عليهم في كلِّ وقتٍ بحسبه، فبذلوا هممهم، ووفَّروا
نفوسهم للقيام به وتكميله، ولم تطمح نفوسهم لما لم يَصِلوا إليه،
ولم يكونوا بصدده، وهذا هو الذي ينبغي للعبد أن ينظر إلى الحالة
التي يلزمُهُ القيام بها، فيكملها، ثم يتدرَّج شيئاً فشيئاً، حتى
يصلَ إلى ما قُدِّر له من العلم والعمل في أمر الدين والدُّنيا،
وهذا بخلاف من طمحتْ نفسُهُ إلى أمرٍ لم يصلْ إليه ولم يؤمرْ به
بعدُ؛ فإنه لا يكاد يصل إلى ذلك بسبب تفريق الهمة وحصول الكسل
وعدم النشاط؛ ثم رتَّب ما يحصُلُ لهم على فعل ما يوعظون به،
وهو أربعةُ أمورٍ:
أحدها: الخيريَّةَ في قوله:
{لكان خيراً لهم}؛
أي:
لكانوا من الأخيار المتَّصفين بأوصافِهِم من أفعال الخير التي
أُمروا بها؛ أي: وانتفى عنهم بذلك صفة
الأشرار؛ لأنَّ ثبوت الشيء يستلزم نفي ضدِّه.
الثاني:
حصول التثبيت والثبات وزيادتُه؛ فإنَّ الله يثبِّتُ الذين آمنوا
بسبب ما قاموا به من الإيمان الذي هو القيام بما وُعِظوا به،
فيثبِّتُهم في الحياة الدُّنيا عند ورود الفتن في الأوامر
والنواهي والمصائب، فيحصُل لهم ثباتٌ يوفَّقون به لفعل الأوامر
وترك الزواجر التي تقتضي النفسُ فعلها وعند حلول المصائب التي
يكرهها العبدُ، فيوفَّق للتثبيت بالتوفيق للصبر أو للرِّضا أو
للشكر، فينزل عليه معونةٌ من الله للقيام بذلك، ويحصُلُ لهم
الثبات على الدين عند الموت وفي القبر. وأيضاً؛ فإن العبد القائم
بما أمر به لا يزال يتمرَّن على الأوامر الشرعية حتى يألفَها
ويشتاقَ إليها وإلى أمثالها فيكون ذلك معونةً له على الثبات على
الطاعات.
(66) Allah سبحانه وتعالى mengabarkan
bahwa seandainya Allah me-wajibkan atas hamba-hambaNya
perintah-perintah yang berat bagi jiwa berupa membunuh jiwa dan
keluar dari negeri, niscaya tidak akan ada yang melaksanakannya
kecuali hanya sedikit dari mereka dan jarang, karena itu
hendaklah mereka memuji Rabb mereka dan bersyukur kepadaNya atas
apa yang telah Allah mudahkan bagi mereka dalam
perintah-perintahNya yang menjadi mudah bagi siapa saja dan
tidak akan berat untuk dikerjakan, hal ini mengandung isyarat
bahwa sepatutnya seorang hamba mem-perhatikan kebalikan dari apa
yang ada padanya dari hal-hal yang dibenci, agar seluruh ibadah
menjadi ringan baginya, dan bertam-bahlah pujian dan rasa syukur
kepada Rabbnya. Kemudian Allah mengabarkan bahwa seandainya
mereka, ﴾ فَعَلُواْ مَا يُوعَظُونَ بِهِۦ
﴿ "melaksanakan pelajaran yang diberikan kepada mereka" yaitu
apa yang ditugaskan kepada mereka dalam setiap waktu yang
sesuai dengan perhitungannya, lalu mereka mengerahkan segala
semangat dan usaha keras mereka, mempersiapkan diri mereka
untuk melaksanakannya dan menyempurnakannya, dan jiwa mereka
tidak berhasrat terhadap apa yang mereka tidak akan sampai
kepadanya, dan tidak juga mereka berada di hadapannya, maka
inilah yang patut bagi seorang hamba untuk melihat kondisi
yang mewajibkannya untuk melaksanakan perintah tersebut, lalu
menyempurnakannya, kemudian ia melangkah setahap demi setahap,
hingga ia sampai kepada apa yang ditentukan untuknya berupa
ilmu dan amal dalam perkara agama maupun dunianya. Hal ini
berbeda dengan seseorang yang jiwanya sangat menggebu terhadap
suatu perkara yang ia tidak akan mencapainya dan ia pun tidak
diperintahkan kepadanya, sesungguhnya ia hampir tidak akan
sampai kepada hal itu disebabkan oleh tidak teraturnya tekad,
terjadinya kemalasan, dan hilangnya semangat. Kemudian Allah
menyiapkan bagi apa yang mereka peroleh dari pelaksanaan
apa-apa yang diajarkan kepada mereka, yaitu ada empat perkara;
Pertama, kebaikan, sebagaimana terdapat dalam FirmanNya,
﴾
لَكَانَ خَيۡرٗا لَّهُمۡ ﴿ "Tentulah hal yang demikian itu lebih
baik bagi mereka," maksudnya, pastilah mereka itu menjadi bagian
dari orang-orang yang terbaik yang memiliki sifat-sifat seperti
sifat-sifat mereka berupa perbuatan baik di mana mereka
diperintahkan kepadanya, yakni, akan hilang dari mereka
sifat-sifat orang-orang jahat, karena adanya suatu hal
berkonsekuensi tidak adanya hal yang berlawanan dengannya.
Kedua, akan memperoleh keteguhan dan kekuatan serta
peningkatannya, karena Allah سبحانه وتعالى akan meneguhkan
(keyakinan) orang-orang yang beriman
disebabkan oleh apa yang mereka tunaikan berupa keimanan yaitu
menunaikan apa yang diajarkan kepada mereka. Allah meneguhkan
mereka di kehidupan dunia ketika terjadinya fitnah dalam perkara
yang berhubungan dengan perintah, larangan, dan musibah-musibah,
hingga mereka mem-peroleh keteguhan di mana mereka diberi taufik
untuk dapat me-laksanakan perintah dan meninggalkan larangan
yang sangat ingin dilakukan oleh jiwa, dan juga ketika
terjadinya cobaan-cobaan yang dibenci oleh seorang hamba, lalu
ia dibimbing kepada keteguhan dengan taufik kepada kesabaran
atau kepada keridhaan atau bahkan kepada kesyukuran, sehingga
turunlah pertolongan Allah kepadanya agar ia mampu
melaksanakannya, dan mereka juga akan memperoleh keteguhan di
atas agama ketika menghadapi kematian dan juga di dalam kubur.
Demikian juga, sesungguhnya seorang hamba yang melakukan apa
yang diperintahkan kepada-nya, ia selalu melatih diri menunaikan
perintah-perintah syariat hingga ia terbiasa dengannya bahkan ia
rindu kepadanya dan ke-pada hal-hal yang sepertinya, maka hal
itu akan menjadi penolong baginya untuk tetap teguh dalam
mengerjakan segala ketaatan.
#
{67} الثالث: قوله:
{وإذاً لآتيناهُم من لَدُنَّا أجراً عظيماً}؛ أي: في العاجل والآجل، الذي يكون
للروح والقلب والبدن، ومن النعيم المقيم ممَّا لا عينٌ رأت ولا
أُذُنٌ سمعتْ ولا خَطَرَ على قلب بشر.
(67) Ketiga, FirmanNya, ﴾ وَإِذٗا
لَّأٓتَيۡنَٰهُم مِّن لَّدُنَّآ أَجۡرًا عَظِيمٗا ﴿ "Dan kalau
demikian, pasti Kami berikan kepada mereka pahala yang besar
dari sisi Kami," yaitu di dunia maupun di akhirat, untuk ruh,
hati, dan tubuh, dan berupa kenikmatan abadi yang belum pernah
dilihat oleh mata, belum pernah didengar oleh telinga, dan belum
pernah terbesit dalam benak seorang manusia pun.
#
{68} الرابع: الهدايةُ إلى صراطٍ
مستقيم، وهذا عمومٌ بعد خُصوص؛ لشرف الهداية إلى الصراط
المستقيم، من كونِها متضمنةً للعلم بالحقِّ ومحبَّتِهِ وإيثارِهِ
والعمل به وتوقُّف السعادة والفلاح على ذلك؛ فمن هُدِي إلى صراطٍ
مستقيم؛ فقد وُفِّق لكلِّ خير، واندفع عنه كلُّ شَرٍّ وضيرٍ.
(68) Keempat, petunjuk kepada jalan yang
lurus, dan ini merupakan keumuman setelah kekhususan, karena
keutamaan petunjuk kepada jalan yang lurus tersebut, dan apa
yang dikan-dungnya dari ilmu tentang kebenaran, mencintainya,
mendahulu-kannya dan beramal dengannya, dan ketergantungan
kebahagiaan dan kemenangan padanya, maka barangsiapa yang diberi
petunjuk kepada jalan yang lurus, sesungguhnya ia telah
dibimbing kepada setiap kebaikan dan akan terlepas darinya
setiap keburukan dan kezhaliman.
{وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَالرَّسُولَ فَأُولَئِكَ مَعَ
الَّذِينَ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ مِنَ النَّبِيِّينَ
وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِينَ وَحَسُنَ
أُولَئِكَ رَفِيقًا (69) ذَلِكَ
الْفَضْلُ مِنَ اللَّهِ وَكَفَى بِاللَّهِ عَلِيمًا
(70)}
.
"Dan barangsiapa yang menaati Allah dan Rasul
(Nya), me-reka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang
dianugerahi nikmat oleh Allah,
yaitu:
Nabi-nabi, para shiddiqin, orang-orang yang mati syahid, dan
orang-orang shalih. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.
Yang demikian itu adalah karunia dari Allah, dan cukuplah Allah
sebagai Dzat Yang Maha Menge-tahui."
(An-Nisa`: 69-70).
#
{69} أي: كلُّ من أطاع الله
ورسولَه على حَسَبِ حالِهِ وقَدْرِ الواجب عليه من ذكرٍ وأنثى
وصغيرٍ وكبيرٍ؛
{فأولئك مع الذين أنعم الله عليهم}؛ أي: النعمة العظيمة التي تقتضي
الكمال والفلاح والسعادة،
{من النبيِّين}: الذين فضَّلهم
الله بوحيهِ واختصَّهم بتفضيلهم بإرسالهم إلى الخَلْق ودعوتهم
إلى الله تعالى. {والصِّدِّيقين}:
وهم الذين كَمُلَ تصديقُهم بما جاءت به الرُّسل، فعلموا الحقَّ
وصدَّقوه بيقينِهِم وبالقيام به قولاً وعملاً وحالاً ودعوةً إلى
الله. {والشُّهداء}: الذين قاتلوا
في سبيل الله لإعلاء كلمةِ الله، فقُتِلوا.
{والصالحين}: الذين صَلُحَ ظاهرُهم
وباطنُهم، فصَلَحَتْ أعمالُهم؛ فكلُّ من أطاع الله تعالى كان مع
هؤلاء وفي صحبتهم.
{وحَسُنَ أولئك رفيقاً}: بالاجتماع
بهم في جنَّات النعيم والأنس بقربِهِم في جوارِ ربِّ العالمين.
(69) Maksudnya, setiap orang yang
menaati Allah dan RasulNya sesuai dengan kondisinya dan kadar
kewajiban atasnya, baik laki-laki atau perempuan, anak kecil
atau orang dewasa, ﴾ فَأُوْلَٰٓئِكَ مَعَ ٱلَّذِينَ أَنۡعَمَ
ٱللَّهُ عَلَيۡهِم
﴿ "mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang
dianugerahi nikmat oleh Allah," yaitu kenikmatan agung yang
menuntut kesempurnaan, kemenangan, dan kebahagiaan, ﴾
مِّنَ ٱلنَّبِيِّـۧنَ
﴿ "yaitu: Nabi-nabi" orang-orang yang dimuliakan oleh Allah
dengan wahyuNya dan mengkhususkan mereka dalam ke-muliaan itu
dengan cara mengutus mereka kepada makhlukNya dan menyeru
mereka kepada Allah سبحانه وتعالى, ﴾
وَٱلصِّدِّيقِينَ
﴿ "dan para shid-diqin," mereka itu adalah orang-orang yang
kepercayaan mereka sempurna terhadap apa yang dibawa oleh para
Rasul, mereka mengetahui kebenaran dan mempercayainya dengan
keyakinan diri mereka serta merealisasikannya dengan
perkataan, perbuatan, keadaan, dan berdakwah kepada Allah,
﴾
وَٱلشُّهَدَآءِ
﴿ "dan orang-orang yang mati syahid" yaitu orang-orang yang
berperang di jalan Allah demi meninggikan agama Allah lalu
me-reka terbunuh, ﴾
وَٱلصَّٰلِحِينَۚ
﴿ "dan orang-orang shalih" yaitu orang-orang yang baik lahir
dan batin mereka, lalu baik pula perbuatan mereka, maka setiap
orang yang menaati Allah سبحانه وتعالى niscaya akan bersama
orang-orang tersebut dan menjadi teman mereka, ﴾
وَحَسُنَ أُوْلَٰٓئِكَ رَفِيقٗا ﴿ "dan mereka itulah teman yang
sebaik-baiknya," yakni dengan berkumpul bersama me-reka dalam
surga yang penuh dengan kenikmatan, dan kesenangan dekat dengan
mereka pada sisi Rabb semesta alam.
#
{70}
{ذلك الفضل}: الذي نالوه
{من الله}: فهو الذي وفَّقهم لذلكَ
وأعانَهم عليه، وأعطاهم من الثواب ما لا تبلُغُه أعمالُهم.
{وكفى بالله عليماً}: يعلم أحوالَ
عبادِهِ ومن يستحقُّ منهم الثوابَ الجزيلَ بما قام به من الأعمال
الصالحةِ التي تواطأ عليها القلبُ والجوارحُ.
(70) ﴾ ذَٰلِكَ ٱلۡفَضۡلُ
﴿ "Yang demikian itu adalah karunia," yaitu apa yang mereka
peroleh ﴾
مِنَ ٱللَّهِۚ
﴿ "dari Allah," karena Dia-lah yang membimbing mereka kepada
hal tersebut dan menolong mereka atasnya, kemudian memberikan
kepada mereka pahala yang tidak mampu diraih oleh amal-amal
mereka, ﴾
وَكَفَىٰ بِٱللَّهِ عَلِيمٗا ﴿ "dan cukuplah Allah sebagai Dzat
yang Maha Mengetahui," Dia me-ngetahui kondisi hamba-hambaNya
dan mengetahui orang-orang yang berhak memperoleh pahala yang
melimpah karena apa yang telah mereka lakukan dari
perbuatan-perbuatan shalih yang ber-kolerasi antara hati dan
tubuh.
{يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا خُذُوا حِذْرَكُمْ
فَانْفِرُوا ثُبَاتٍ أَوِ انْفِرُوا جَمِيعًا
(71) وَإِنَّ مِنْكُمْ لَمَنْ
لَيُبَطِّئَنَّ فَإِنْ أَصَابَتْكُمْ مُصِيبَةٌ قَالَ قَدْ
أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيَّ إِذْ لَمْ أَكُنْ مَعَهُمْ شَهِيدًا
(72) وَلَئِنْ أَصَابَكُمْ فَضْلٌ
مِنَ اللَّهِ لَيَقُولَنَّ كَأَنْ لَمْ تَكُنْ بَيْنَكُمْ
وَبَيْنَهُ مَوَدَّةٌ يَالَيْتَنِي كُنْتُ مَعَهُمْ فَأَفُوزَ
فَوْزًا عَظِيمًا (73) فَلْيُقَاتِلْ
فِي سَبِيلِ اللَّهِ الَّذِينَ يَشْرُونَ الْحَيَاةَ
الدُّنْيَا بِالْآخِرَةِ وَمَنْ يُقَاتِلْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ
فَيُقْتَلْ أَوْ يَغْلِبْ فَسَوْفَ نُؤْتِيهِ أَجْرًا عَظِيمًا
(74)}
.
"Hai orang-orang yang beriman, bersiap siagalah kamu, dan
majulah
(ke medan pertempuran)
berkelompok-kelompok, atau majulah bersama-sama! Dan
sesungguhnya di antara kamu ada orang yang sangat
berlambat-lambat
(ke medan pertempuran).
Maka jika kamu ditimpa musibah, ia berkata, 'Sesungguhnya Allah
telah menganugerahkan nikmat kepada saya karena saya tidak ikut
berperang bersama mereka. Dan sungguh jika kamu beroleh karunia
(kemenangan) dari Allah, tentulah dia
mengata-kan seolah-olah belum pernah ada hubungan kasih sayang
antara kamu dengan dia, 'Wahai kiranya saya ada bersama-sama
mereka, tentu saya mendapat kemenangan yang besar
(pula).' Karena itu hendaklah
orang-orang yang menukar kehidupan dunia dengan kehidupan
akhirat berperang di jalan Allah. Barangsiapa yang berperang di
jalan Allah, lalu gugur atau memperoleh kemenangan maka kelak
akan Kami berikan kepadanya pahala yang besar."
(An-Nisa`: 71-74).
#
{71} يأمر تعالى عباده المؤمنين
بأخذ حِذْرِهِم من أعدائهم الكافرين، وهذا يَشْمَلُ الأخذ بجميع
الأسباب التي بها يُستعان على قتالهم ويُسْتَدْفَع مَكْرُهم
وقوَّتُهم؛ من استعمال الحصون والخنادق، وتعلُّم الرمي
والرُّكوب، وتعلُّم الصناعات التي تُعينُ على ذلك، وما به
يُعْرَفُ مداخِلُهم ومخارِجُهم ومكرُهم، والنفير في سبيل
الله، ولهذا قال:
{فانفِروا ثُباتٍ}؛
أي:
متفرِّقين؛ بأن تنفر سريَّةٌ أو جيشٌ ويقيم غيرهم،
{أوِ انفِروا جميعاً}، وكلُّ هذا
تَبَعٌ للمصلحة والنِّكاية والراحة للمسلمين في دينهم.
وهذه الآية نظيرُ قوله تعالى:
{وأعِدُّوا لهم ما استطعتُم من قوَّةٍ}.
(71) Allah سبحانه وتعالى memerintahkan
hamba-hambaNya yang ber-iman untuk melakukan tindakan
kewaspadaan dari musuh-musuh mereka dan orang-orang kafir, hal
ini mencakup segala bentuk tindakan kewaspadaan dengan segala
macam sebab dan sarana yang membantu memerangi musuh, menolak
tipu daya dan ke-kuatan mereka, berupa mempergunakan
benteng-benteng, parit-parit, belajar menembak dan berkendara,
mempelajari penemuan-penemuan baru yang dapat membantu itu
semua, dan apa pun yang mampu melacak tempat-tempat masuk dan
keluarnya para musuh serta makar mereka, dan jihad di jalan
Allah, karena itulah Allah berfirman, ﴾ فَٱنفِرُواْ ثُبَاتٍ
﴿ "Dan majulah
(ke medan pertempuran)
berkelompok-kelompok" maksudnya dengan terpisah-pisah, yaitu
maju dengan pasukan kecil atau pasukan yang besar sedang
lain-nya menetap, ﴾
أَوِ ٱنفِرُواْ جَمِيعٗا
﴿ "atau majulah bersama-sama!" Semua itu menurut kemaslahatan
yang ada, kemampuan, dan ketenangan jiwa kaum Muslimin dalam
agama mereka, ayat ini sejalan dengan Firman Allah سبحانه
وتعالى yang lain, ﴾
وَأَعِدُّواْ لَهُم مَّا ٱسۡتَطَعۡتُم مِّن قُوَّةٖ ﴿ "Dan
siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu
sanggupi."
(Al-Anfal: 60).
#
{72} ثم أخبر عن ضعفاء الإيمان
المتكاسِلين عن الجهاد فقال:
{وإنَّ منكُم}؛
أي:
أيُّها المؤمنون،
{لمن لَيُبَطِّئَنَّ}؛
أي:
يتثاقل عن الجهاد في سبيل الله ضعفاً وخَوَراً وجُبناً. هذا
الصحيح، وقيل: معناه لَيُبَطِّئَنَّ
غَيْرَهُ؛ أي: يزهِّده عن القتال،
وهؤلاء هم المنافقون،
ولكنَّ الأول أولى لوجهين:
أحدهما: قولُه: {منكم}، والخطاب
للمؤمنين. والثاني: قوله في آخر الآية:
{كأن لم تَكُن بينَكُم وبينَه مودَّةٌ}؛ فإنَّ الكفَّار من المشركين والمنافقين قد قَطَعَ الله بينَهم
وبينَ المؤمنين المودَّةَ. وأيضاً؛ فإنَّ هذا هو الواقع؛
فإنَّ المؤمنين على قسمين:
صادقون في إيمانِهِم أوْجَبَ لهم ذلك كمالَ التصديق والجهاد.
وضعفاءُ دخلوا في الإسلام فصار معهم إيمانٌ ضعيفٌ لا يقوى على
الجهادِ؛ كما قال تعالى:
{قالتِ الأعرابُ آمَنَّا قُلْ لم تُؤْمِنوا ولكن قولوا
أسْلَمْنا ... }
إلى آخر الآيات. ثم ذَكَرَ غاياتِ هؤلاء المتثاقلين ونهاية
مقاصدهم، وأنَّ معظم قصدِهم الدُّنيا وحطامها،
فقال:
{فإنْ أصابَتْكم مصيبةٌ}؛
أي:
هزيمةٌ وقتلٌ وظَفِر الأعداء عليكم في بعض الأحوال لِمَا لِلَّهِ
في ذلك من الحِكَمِ، {قال} ذلك
المتخلِّف:
{قد أنعم الله عليَّ إذ لم أكُن معهم شهيداً}: رأى من ضَعْف عقلِهِ وإيمانِهِ أنَّ التقاعُدَ عن الجهادِ
الذي فيه تلك المصيبةُ نعمةٌ، ولم يدرِ أن النعمة الحقيقيَّةَ هي
التوفيق لهذه الطاعة الكبيرة التي بها يَقْوى الإيمانُ ويَسْلَم
بها العبدُ من العقوبة والخسران، ويحصُلُ له فيها عظيمُ الثواب
ورضا الكريم الوهَّاب، وأما القعود؛ فإنه وإن استراح قليلاً؛
فإنَّه يَعْقُبُه تعبٌ طويلٌ وآلامٌ عظيمةٌ، ويفوتُهُ ما يحصُلُ
للمجاهدين.
(72) Kemudian Allah mengabarkan tentang
orang-orang yang lemah imannya lagi malas berjihad dengan
berfirman,﴾ وَإِنَّ مِنكُمۡ
﴿ "Dan sesungguhnya di antara kamu" wahai orang-orang yang
beriman, ﴾
لَمَن لَّيُبَطِّئَنَّ
﴿ "ada orang yang sangat berlambat-lambat
(ke medan pertempuran)" yaitu merasa
berat dari berjihad di jalan Allah karena lemah, lesu, dan
pengecut, dan inilah yang shahih, dan pendapat lain berkata,
artinya adalah bahwa mereka memperlambat orang lain, yaitu
membuatnya tidak butuh terhadap peperangan, dan mereka ini
adalah orang-orang munafik, akan tetapi pendapat yang pertama
adalah lebih utama dari dua segi; pertama FirmanNya, ﴾
مِنكُمۡ
﴿ "Di antara kalian" dan percakapan itu ditujukan kepada kaum
Mukminin. Dan kedua; Firman Allah pada akhir ayat, ﴾
كَأَن لَّمۡ تَكُنۢ بَيۡنَكُمۡ وَبَيۡنَهُۥ مَوَدَّةٞ
﴿ "Seolah-olah belum pernah ada hubungan kasih sayang antara
kamu dengan dia," karena sesungguhnya kaum kafir dari
orang-orang musyrik dan orang-orang munafik telah Allah putus
kasih sayang antara mereka dengan kaum Mukminin. Dan juga
bahwasanya hal ini adalah suatu kenyataan yang terjadi,
sesungguhnya kaum Mukminin terbagi dua bagian; orang-orang
yang benar dalam keimanan mereka yang membawa mereka kepada
kesempurnaan keyakinan dan jihad, dan orang-orang yang lemah,
mereka masuk Islam lalu keimanan mereka menjadi lemah hingga
akhirnya mereka tidak mampu ikut berjihad, sebagaimana Allah
سبحانه وتعالى berfirman, ﴾
قَالَتِ ٱلۡأَعۡرَابُ ءَامَنَّاۖ قُل لَّمۡ تُؤۡمِنُواْ وَلَٰكِن
قُولُوٓاْ أَسۡلَمۡنَا وَلَمَّا يَدۡخُلِ ٱلۡإِيمَٰنُ فِي
قُلُوبِكُمۡۖ وَإِن تُطِيعُواْ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥ لَا يَلِتۡكُم
مِّنۡ أَعۡمَٰلِكُمۡ شَيۡـًٔاۚ إِنَّ ٱللَّهَ غَفُورٞ رَّحِيمٌ 14
﴿ "Orang-orang Arab Baduwi itu berkata, 'Kami telah beriman.'
Katakanlah (kepada mereka), 'Kamu
belum beriman, tetapi katakanlah, 'Kami telah tunduk', karena
iman itu belum masuk ke dalam hatimu, dan jika kamu taat
kepada Allah dan RasulNya, Dia tiada akan mengurangi sedikit
pun (pahala) amalanmu; sesungguhnya
Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."
(Al-Hujurat: 14). Kemudian Allah menyebutkan tentang tujuan orang-orang yang
merasa keberatan dan akhir dari maksud-maksud mereka, bahwa
sebagian besar maksud dan tujuan mereka adalah dunia dan
perhiasannya, Allah berfirman, ﴾
فَإِنۡ أَصَٰبَتۡكُم مُّصِيبَةٞ
﴿ "Maka jika kamu ditimpa musibah" yaitu kekalahan dan
pembunuhan, serta keme-nangan musuh atas kalian pada beberapa
kondisi di mana di balik semua itu tersimpan hikmah Allah,
﴾
قَالَ
﴿ "dia berkata," yakni orang yang tidak ikut perang tersebut,
﴾
قَدۡ أَنۡعَمَ ٱللَّهُ عَلَيَّ إِذۡ لَمۡ أَكُن مَّعَهُمۡ شَهِيدٗا
﴿ "Se-sungguhnya Allah telah menganugerahkan nikmat kepada saya
karena saya tidak ikut berperang bersama mereka." Ia memandang
dengan kelemahan akal dan keimanannya bahwasanya berdiam diri
dari berjihad yang terdapat musibah di dalamnya adalah sebuah
nikmat, dan ia tidak tahu bahwa kenikmatan yang sebenarnya
adalah adanya taufik kepada ketaatan yang agung tersebut yang
menjadi pendorong kuatnya iman dan selamatnya seorang hamba dari
hukuman dan kerugian, dan ia akan memperoleh padanya pahala yang
besar dan keridhaan Yang Mahamulia lagi Maha Memberi. Adapun
berdiam diri
(tidak ikut perang), maka
sesungguhnya walaupun terlihat menikmati istirahat sebentar
namun mengaki-batkan kelelahan yang panjang dan kesakitan yang
tiada terperi, dan kehilangan apa yang akan diperoleh oleh
orang-orang yang berjihad.
#
{73} ثم قال:
{ولئن أصابَكُم فضلٌ من الله}؛ أي: نصرٌ وغنيمةٌ،
{ليقولَنَّ كأن لم تكن بينَكم وبينَه مودَّةٌ يا ليتني كنتُ
معهم فأفوزَ فوزاً عظيماً}؛ أي: يتمنَّى أنه حاضرٌ لينال من
المغانم، ليس له رغبةٌ ولا قصدٌ في غير ذلك، كأنه ليس منكم يا
معشر المؤمنين، ولا بينكم وبينه المودَّة الإيمانيَّةُ الذي من
مقتضاها أنَّ المؤمنين مشتركون في جميع مصالحهم ودفع مضارِّهم،
يفرَحون بحصولها ولو على يدِ غيرِه من إخوانه المؤمنين ويألمون
بفَقْدِها ويسعَوْن جميعاً في كلِّ أمرٍ يُصْلِحون به دينَهم
ودُنياهم، فهذا الذي يتمنَّى الدُّنيا فقط ليست معه الرُّوح
الإيمانيَّة المذكورة.
(73) Kemudian Allah berfirman, ﴾
وَلَئِنۡ أَصَٰبَكُمۡ فَضۡلٞ مِّنَ ٱللَّهِ
﴿ "Dan sungguh jika kamu beroleh karunia
(kemenangan) dari Allah" yaitu
ke-menangan dan ghanimah, ﴾
لَيَقُولَنَّ كَأَن لَّمۡ تَكُنۢ بَيۡنَكُمۡ وَبَيۡنَهُۥ مَوَدَّةٞ
يَٰلَيۡتَنِي كُنتُ مَعَهُمۡ فَأَفُوزَ فَوۡزًا عَظِيمٗا ﴿
"tentulah dia mengatakan seolah-olah belum pernah ada hubungan
kasih sayang antara kamu dengan dia, 'Sekiranya saya ada
bersama-sama mereka, tentu saya mendapat kemenangan yang besar
(pula)'," maksudnya ia berangan-angan
sekiranya ia ikut hadir pada saat itu agar ia memperoleh
ghanimah, dan tidak ada keinginan maupun kemauan pada mereka
kecuali hanya untuk itu saja, di mana seakan-akan ia bukanlah di
antara kalian wahai sekalian kaum Mukminin, dan tidak pula di
antara kalian dengannya kasih sayang keimanan yang mana di
antara tuntutannya adalah bahwa kaum Mukminin adalah bersekutu
pada segala kemaslahatan mereka dan menolak kemudharatan dari
mereka, mereka merasa berbahagia dengan diperolehnya
kemaslahatan itu walaupun di-dapatkan oleh orang lain dari
saudara-saudaranya, kaum Muk-minin dan mereka akan merasa sakit
dengan kehilangannya dan mereka semua berusaha bersama-sama
dalam setiap perkara untuk mendapatkan manfaat bagi dunia dan
agama mereka, dan orang yang berangan-angan dunia saja itu tidak
memiliki ruh keimanan yang disebutkan di atas.
#
{74} ومن لُطف الله بعباده أن لا
يَقْطَعَ عنهم رحمتَه، ولا يغلقَ عنهم أبوابها، بل من حصل على
غير ما يليق؛ أمرَه ودعاه إلى جبر نقصِهِ وتكميل نفسِهِ، فلهذا
أمر هؤلاء بالإخلاص والخروج في سبيلهِ،
فقال:
{فَلْيُقاتِلْ في سبيل الله الذين يَشْرونَ الحياة الدُّنيا
بالآخرة}؛ هذا أحد الأقوال في هذه الآية وهو أصحها، وقيل إن معناه
فليقاتل في سبيل الله المؤمنون الكاملو الإيمان الصادقون في
إيمانهم
{الذين يشرون الحياة الدنيا بالآخرة}؛ أي: يبيعون الدُّنيا رغبةً عنها
بالآخرة رغبةً فيها؛ فإنَّ هؤلاء
[هم] الذين يوجَّه إليهم الخطاب؛ لأنهم
الذين قد أعدُّوا أنفسَهم ووطَّنوها على جهاد الأعداء؛ لما معهم
من الإيمان التامِّ المقتضي لذلك، وأمَّا أولئك المتثاقلون؛ فلا
يُعبأ بهم خرجوا أو قعدوا،
فيكون هذا نظيرَ قوله تعالى:
{قل آمنوا به أو لا تؤمنوا إنَّ الذين أوتوا العلم من قبلِهِ
إذا يُتْلى عليهم يَخِرُّونَ للأذقان سُجَّداً ... }
إلى آخر الآيات، وقوله:
{فإن يَكْفُر بها هؤلاء فقد وَكَّلْنا بها قوماً ليسوا بها
بكافرينَ}. وقيل: إن معنى الآية: فليقاتل
المقاتِلُ والمجاهدُ للكفار الذين يَشْرون الحياةَ الدُّنيا
بالآخرةِ، فيكون على هذا الوجه.
{الذين} في محلِّ نصب على
المفعولية،
{ومَن يقاتِلْ في سبيل الله}: بأن
يكونَ جهاداً قد أمر الله به ورسولُهُ، ويكون العبد مخلصاً لله
فيه قاصداً وجه الله،
{فَيُقْتَلْ أو يَغْلِبْ فسوف نُؤْتيهِ أجراً عظيماً}: زيادةً في إيمانِهِ ودينِهِ وغنيمةً وثناءً حسناً وثواب
المجاهدين في سبيل الله الذين أعدَّ الله لهم في الجنة ما لا
عينٌ رأتْ ولا أذنٌ سمعتْ ولا خَطَرَ على قلب بشرٍ.
(74) Dan di antara kasih Allah terhadap
hamba-hambaNya adalah Allah tidak menghentikan rahmatNya dari
mereka, dan tidak juga menutup pintu-pintunya dari mereka, akan
tetapi barangsiapa yang memperoleh selain yang tidak patut,
Allah akan memerintahkan kepadanya dan menyerunya untuk menutup
ke-kurangannya dan menyempurnakan dirinya, karena itulah Allah
memerintahkan mereka untuk ikhlas dan berperang di jalanNya, dan
Allah berfirman, ﴾ فَلۡيُقَٰتِلۡ فِي سَبِيلِ ٱللَّهِ ٱلَّذِينَ
يَشۡرُونَ ٱلۡحَيَوٰةَ ٱلدُّنۡيَا بِٱلۡأٓخِرَةِۚ
﴿ "Karena itu hendaklah orang-orang yang menukar kehidupan
dunia de-ngan kehidupan akhirat berperang di jalan Allah" ini
adalah salah satu pendapat tentang ayat ini dan merupakan
pendapat yang paling benar. Pendapat lain berkata bahwa makna
ayat itu adalah agar kaum Mukminin yang sempurna iman mereka
dan yang benar dalam keimanan mereka, berperang di jalan
Allah, yaitu ﴾
ٱلَّذِينَ يَشۡرُونَ ٱلۡحَيَوٰةَ ٱلدُّنۡيَا بِٱلۡأٓخِرَةِۚ
﴿ "orang-orang yang menukar kehidupan dunia dengan kehidupan
akhirat" yaitu mereka menjual dunia karena tidak suka
kepadanya dengan akhirat karena suka padanya; sesungguh-nya
merekalah orang-orang yang ditujukan kepada mereka per-kataan
tersebut, karena mereka adalah orang-orang yang telah
menyiapkan diri mereka dan meneguhkannya untuk memerangi
musuh, karena mereka memiliki keimanan yang sempurna yang
menuntut akan hal tersebut. Adapun orang-orang yang merasa
keberatan tersebut, tidak-lah mereka dihiraukan, baik mereka
ikut berjihad ataupun tinggal diam saja, maka hal ini akan
sama seperti Firman Allah, ﴾
قُلۡ ءَامِنُواْ بِهِۦٓ أَوۡ لَا تُؤۡمِنُوٓاْۚ إِنَّ ٱلَّذِينَ
أُوتُواْ ٱلۡعِلۡمَ مِن قَبۡلِهِۦٓ إِذَا يُتۡلَىٰ عَلَيۡهِمۡ
يَخِرُّونَۤ لِلۡأَذۡقَانِۤ سُجَّدٗاۤ 107 وَيَقُولُونَ سُبۡحَٰنَ
رَبِّنَآ إِن كَانَ وَعۡدُ رَبِّنَا لَمَفۡعُولٗا 108
وَيَخِرُّونَ لِلۡأَذۡقَانِ يَبۡكُونَ وَيَزِيدُهُمۡ خُشُوعٗا۩ 109
قُلِ ٱدۡعُواْ ٱللَّهَ أَوِ ٱدۡعُواْ ٱلرَّحۡمَٰنَۖ أَيّٗا مَّا
تَدۡعُواْ فَلَهُ ٱلۡأَسۡمَآءُ ٱلۡحُسۡنَىٰۚ وَلَا تَجۡهَرۡ
بِصَلَاتِكَ وَلَا تُخَافِتۡ بِهَا وَٱبۡتَغِ بَيۡنَ ذَٰلِكَ
سَبِيلٗا 110 وَقُلِ ٱلۡحَمۡدُ لِلَّهِ ٱلَّذِي لَمۡ يَتَّخِذۡ
وَلَدٗا وَلَمۡ يَكُن لَّهُۥ شَرِيكٞ فِي ٱلۡمُلۡكِ وَلَمۡ يَكُن
لَّهُۥ وَلِيّٞ مِّنَ ٱلذُّلِّۖ وَكَبِّرۡهُ تَكۡبِيرَۢا 111
﴿ "...Katakanlah, 'Berimanlah kamu kepadanya atau tidak usah
ber-iman (sama saja bagi Allah).
Sesungguhnya orang-orang yang diberi pengetahuan sebelumnya
apabila al-Qur`an dibacakan kepada mereka, mereka menyungkur
atas muka mereka sambil bersujud, dan mereka berkata,
'Mahasuci Rabb kami; sesungguhnya janji Rabb kami pasti
dipenuhi'. Dan mereka menyungkur atas muka mereka sambil
menangis dan mereka bertambah khusyu'. Katakanlah, 'Serulah
Allah atau serulah ar-Rahman. Dengan nama yang mana saja kamu
seru, Dia mempunyai al-Asma` al-Husna
(nama-nama yang terbaik) dan jangan
kamu menge-raskan suaramu dalam shalatmu dan janganlah pula
merendahkannya dan carilah jalan tengah di antara kedua itu'.
Dan katakanlah, 'Segala puji bagi Allah, Yang tidak mempunyai
anak dan tidak mempunyai sekutu dalam kerajaanNya dan tidak
mempunyai penolong
(untuk menjagaNya) dari kehinaan, dan
agungkanlah Dia dengan pengagungan yang sebenar-benarnya...'"
(Al-Isra`: 107-111). Dan FirmanNya, ﴾
فَإِن يَكۡفُرۡ بِهَا هَٰٓؤُلَآءِ فَقَدۡ وَكَّلۡنَا بِهَا
قَوۡمٗا لَّيۡسُواْ بِهَا بِكَٰفِرِينَ 89
﴿ "Jika orang-orang (Quraisy) itu
mengingkarinya, maka sesungguh-nya Kami akan menyerahkannya
kepada kaum yang sekali-kali tidak akan mengingkarinya."
(Al-An'am: 89). Pendapat lain mengatakan, sesungguhnya makna ayat itu
adalah hendaklah seorang pejuang lagi mujahid berperang
meng-hadapi kaum kafir, yang menukar kehidupan dunia dengan
kehi-dupan akhirat. Maka atas dasar ini, ﴾
ٱلَّذِينَ
﴿ "orang-orang yang" dalam posisi manshub sebagai maf'ul
(obyek), ﴾
وَمَن يُقَٰتِلۡ فِي سَبِيلِ ٱللَّهِ
﴿ "barangsiapa yang berperang di jalan Allah" yakni, bahwa
perang itu adalah sebagai jihad yang diperintahkan oleh Allah
dan RasulNya, dan hamba tersebut ikhlas hanya untuk Allah dan
tujuannya hanya Wajah Allah dalam jihadnya tersebut, ﴾
فَيُقۡتَلۡ أَوۡ يَغۡلِبۡ فَسَوۡفَ نُؤۡتِيهِ أَجۡرًا عَظِيمٗا ﴿
"lalu gugur atau memperoleh kemenangan, maka kelak akan Kami
berikan kepadanya pahala yang besar," dengan bertambahnya
keimanan dan agamanya, mendapatkan harta rampasan perang, pujian
yang baik dan pahala orang-orang yang berjihad di jalan Allah,
orang-orang yang Allah siapkan bagi mereka surga yang tidak
pernah dilihat oleh mata, tidak pernah didengar oleh telinga dan
tidak pula terbesit pada benak seorang manusia.
{وَمَا لَكُمْ لَا تُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ
وَالْمُسْتَضْعَفِينَ مِنَ الرِّجَالِ وَالنِّسَاءِ
وَالْوِلْدَانِ الَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا أَخْرِجْنَا
مِنْ هَذِهِ الْقَرْيَةِ الظَّالِمِ أَهْلُهَا وَاجْعَلْ لَنَا
مِنْ لَدُنْكَ وَلِيًّا وَاجْعَلْ لَنَا مِنْ لَدُنْكَ
نَصِيرًا (75)}
.
"Mengapa kamu tidak mau berperang di jalan Allah dan
(membela) orang-orang yang lemah, baik
laki-laki, wanita-wanita, maupun anak-anak yang semuanya berdoa,
'Ya Rabb kami, keluar-kanlah kami dari negeri ini
(Makkah) yang zhalim penduduknya dan
berilah kami pelindung dari sisiMu, dan berilah kami penolong
dari sisiMu!'"
(An-Nisa`: 75).
#
{75} هذا حثٌّ من الله لعبادِهِ
المؤمنين وتهييجٌ لهم على القتال في سبيله، وأنَّ ذلك قد تعيَّن
عليهم وتوجَّه اللوم العظيم عليهم بتركِهِ،
فقال:
{وما لكم لا تقاتِلون في سبيل اللهِ}؛ والحالُ أنَّ المستضعفين من الرجال والنساءِ والولدان الذين
لا يستطيعونَ حيلةً ولا يهتدونَ سبيلاً، ومع هذا فقد نالهم أعظم
الظُّلم من أعدائهم؛ فهم يدعون الله أن يخرِجَهم من هذه القريةِ
الظالم أهلُها لأنفسهم بالكفرِ والشركِ، وللمؤمنينَ بالأذى
والصدِّ عن سبيل الله، ومنعِهِم من الدعوة لدينهم والهجرة،
ويدعونَ الله أن يجعلَ لهم وليًّا ونصيراً يستنقِذُهم من هذه
القرية الظالم أهلُها، فصار جهادُكم على هذا الوجه من باب القتال
والذَّبِّ عن عَيْلاتِكم وأولادِكم ومحارِمِكم؛ لأنَّ بابَ
الجهادِ الذي هو الطمعُ في الكفارِ؛ فإنه وإن كان فيه فضلٌ عظيمٌ
ويُلامُ المتخلِّفُ عنه أعظم اللوم ؛ فالجهادُ الذي فيه استنقاذُ
المستضعفينَ منكُم أعظمُ أجراً وأكبرُ فائدةً بحيث يكونُ من باب
دفع الأعداءِ.
(75) Ini adalah dorongan dari Allah bagi
hamba-hamba-Nya yang beriman dan pengobaran semangat bagi mereka
untuk berperang dijalanNya, dan bahwasanya hal itu telah wajib
atas mereka dan menetapkan celaan yang besar terhadap mereka
bila meninggalkannya, Allah berfirman, ﴾ وَمَا لَكُمۡ لَا
تُقَٰتِلُونَ فِي سَبِيلِ ٱللَّهِ ﴿ "Mengapa kamu tidak mau
berperang di jalan Allah" kondisinya adalah bahwa orang-orang
yang tertindas, baik laki-laki, wanita, atau anak-anak yang
tidak mampu berdaya upaya dan tidak mampu mencari jalan
(untuk hijrah), bersamaan dengan itu
sesungguhnya mereka telah menerima kezhaliman yang sangat keras
dari musuh-musuh mereka, lalu mereka berdoa kepada Allah agar
berkenan menge-luarkan mereka dari kampung tersebut di mana
penduduknya berlaku zhalim terhadap mereka dengan kekufuran dan
kesyirikan, dan terhadap kaum Mukminin dengan gangguan dan
penghalangan dari jalan Allah, dan menahan mereka dari dakwah
kepada agama mereka dan dari berhijrah, mereka juga berdoa
kepada Allah agar berkenan menjadikan seorang pemimpin dan
penolong untuk mereka yang mampu menyelamatkan mereka dari
kampung yang masyarakatnya berlaku zhalim tersebut, maka jihad
yang kalian tegakkan dalam bentuk yang seperti itu adalah
perjuangan dan membela kehormatan kalian, anak-anak kalian, dan
mahram-mah-ram kalian, karena berjihad yang merupakan perlawanan
terhadap kaum kafir, sesungguhnya walaupun mengandung keutamaan
yang besar dan orang yang tidak ikut berjihad akan dihadapkan
dengan celaan yang besar, maka berjihad dengan menyelamatkan
orang-orang yang tertindas di antara kalian adalah lebih besar
ganjarannya dan lebih banyak faidahnya, dan itu termasuk dalam
bentuk tindakan menolak musuh.
Kemudian Allah berfirman,
{الَّذِينَ آمَنُوا يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ
وَالَّذِينَ كَفَرُوا يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ الطَّاغُوتِ
فَقَاتِلُوا أَوْلِيَاءَ الشَّيْطَانِ إِنَّ كَيْدَ
الشَّيْطَانِ كَانَ ضَعِيفًا
(76)}
.
"Orang-orang yang beriman berperang di jalan Allah, dan
orang-orang yang kafir berperang di jalan thaghut, sebab itu
pe-rangilah kawan-kawan setan itu, karena sesungguhnya tipu daya
setan itu adalah lemah."
(An-Nisa`: 76 ).
#
{76} هذا إخبارٌ من الله بأنَّ
المؤمنين يقاتِلون في سبيله،
{والذين كفروا يقاتِلونَ في سبيل الطَّاغوت}
الذي هو الشيطانُ.
في ضمن ذلك عدة فوائد:
منها: أنه بحَسَبِ إيمان العبد يكون جهاده في سبيل الله وإخلاصُه
ومتابعته، فالجهادُ في سبيل الله من آثار الإيمان ومقتضياتِهِ
ولوازمِهِ؛ كما أنَّ القتالَ في سبيل الطاغوت من شُعَبِ الكفر
ومقتضياتِهِ. ومنها: أن الذي يقاتل في
سبيل الله ينبغي له ويَحْسُنُ منه من الصبر والجَلَدِ ما لا يقوم
به غيره؛ فإذا كان أولياء الشيطان يصبِرون ويقاتِلون وهم على
باطل؛ فأهل الحقِّ أولى بذلك؛
كما قال تعالى في هذا المعنى:
{إن تكونوا تألمونَ فإنَّهم يألَمونَ كما تَألَمونَ وترجُون
من اللهِ ما لا يَرجونَ ... }
الآية. ومنها: أن الذي يقاتِلُ في سبيل
الله معتمداً على ركنٍ وثيقٍ، وهو الحقُّ والتوكُّل على الله؛
فصاحب القوة والرُّكن الوثيق يُطْلَبُ منه من الصبر والثَّبات
والنشاط ما لا يُطْلَبُ مِمَّن يقاتِل عن الباطل الذي لا حقيقة
له ولا عاقبة حميدة؛ فلهذا قال تعالى:
{فقاتِلوا أولياءَ الشَّيطانِ إنَّ كيدَ الشيطانِ كان
ضعيفاً}؛ والكيدُ سلوكُ الطرق الخفيَّة في ضرر العدو؛ فالشيطانُ وإن
بَلَغَ مكرُهُ مهما بَلَغَ؛ فإنه في غاية الضَّعْفِ الذي لا يقوم
لأدنى شيءٍ من الحقِّ ولا لكيدِ الله لعبادِهِ المؤمنين.
(76) Hal ini adalah kabar dari Allah
bahwasanya kaum Mukminin berperang di jalanNya,﴾ وَٱلَّذِينَ
كَفَرُواْ يُقَٰتِلُونَ فِي سَبِيلِ ٱلطَّٰغُوتِ
﴿ "dan orang-orang yang kafir berperang di jalan thaghut"
yaitu setan, dalam kandungan hal tersebut ada beberapa faidah,
di antaranya; + Bahwa seberapa besar keimanan seorang hamba,
maka sebe-sar itu pula kadar jihadnya di jalan Allah,
keikhlasannya dan ketaatannya, jihad di jalan Allah adalah di
antara pengaruh keimanan, tuntutan-tuntutannya dan
kebutuhan-kebutuhan-nya, sebagaimana perang di jalan thaghut
itu adalah di antara cabang-cabang kekufuran dan
tuntutan-tuntutannya. + Bahwasanya orang yang berperang di
jalan Allah seyogyanya dan sebaiknya bersabar dan tegar, yaitu
sikap yang tidak di-lakukan oleh selainnya. Apabila wali-wali
setan bersabar dan berperang padahal mereka berada di atas
kebatilan, maka ahli kebenaran adalah lebih patut untuk itu,
sebagaimana Allah سبحانه وتعالى berfirman tentang makna itu,
﴾
إِن تَكُونُواْ تَأۡلَمُونَ فَإِنَّهُمۡ يَأۡلَمُونَ كَمَا
تَأۡلَمُونَۖ وَتَرۡجُونَ مِنَ ٱللَّهِ مَا لَا يَرۡجُونَۗ
﴿ "Jika kamu menderita kesakitan, maka sesungguhnya mereka
pun menderita kesakitan (pula),
sebagaimana kamu menderitanya, se-dang kamu mengharap dari
Allah apa yang tidak mereka harapkan."
(An-Nisa`: 104). + Bahwa orang yang berperang di jalan Allah bersandar pada
suatu pilar yang kokoh, yaitu kebenaran dan tawakal kepada
Allah, maka seorang yang kuat dan berpilar kepada yang kokoh
dituntut untuk bersabar, teguh, dan bersemangat di mana tidak
dituntut dari orang yang berjuang demi kebatilan yang tidak
memiliki hakikat sama sekali dan tidak memiliki akibat yang
baik, karena itulah Allah berfirman, ﴾
فَقَٰتِلُوٓاْ أَوۡلِيَآءَ ٱلشَّيۡطَٰنِۖ إِنَّ كَيۡدَ
ٱلشَّيۡطَٰنِ كَانَ ضَعِيفًا ﴿ "Sebab itu perangilah kawan-kawan
setan itu, karena sesungguhnya tipu daya setan itu adalah
lemah," dan tipu daya itu adalah menempuh cara-cara yang
tersembunyi demi membahayakan musuh, dan setan bila pun tipu
dayanya telah banyak dan berbagai macam, namun semua itu
sangatlah lemah yang sama sekali tidak akan mengalahkan sekecil
apa pun kebenaran dan tidak pula terhadap siasat Allah bagi
hamba-hambaNya yang beriman.
{أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ قِيلَ لَهُمْ كُفُّوا
أَيْدِيَكُمْ وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ
فَلَمَّا كُتِبَ عَلَيْهِمُ الْقِتَالُ إِذَا فَرِيقٌ مِنْهُمْ
يَخْشَوْنَ النَّاسَ كَخَشْيَةِ اللَّهِ أَوْ أَشَدَّ خَشْيَةً
وَقَالُوا رَبَّنَا لِمَ كَتَبْتَ عَلَيْنَا الْقِتَالَ
لَوْلَا أَخَّرْتَنَا إِلَى أَجَلٍ قَرِيبٍ قُلْ مَتَاعُ
الدُّنْيَا قَلِيلٌ وَالْآخِرَةُ خَيْرٌ لِمَنِ اتَّقَى وَلَا
تُظْلَمُونَ فَتِيلًا (77) أَيْنَمَا
تَكُونُوا يُدْرِكْكُمُ الْمَوْتُ وَلَوْ كُنْتُمْ فِي بُرُوجٍ
مُشَيَّدَةٍ}
.
"Tidakkah kamu perhatikan orang-orang yang dikatakan kepada
mereka, 'Tahanlah tanganmu
(dari berperang), dirikanlah shalat dan
tunaikanlah zakat!' Setelah diwajibkan kepada mereka berperang,
tiba-tiba sebagian dari mereka
(golongan munafik) takut kepada manusia
(musuh), seperti takutnya kepada Allah,
bahkan sangat lebih dari itu takutnya. Mereka berkata, 'Ya Rabb
kami, mengapa Engkau wajibkan berperang kepada kami? Me-ngapa
tidak Engkau tangguhkan
(kewajiban berperang) kepada kami
beberapa waktu lagi?' Katakanlah, 'Kesenangan di dunia ini hanya
sebentar dan akhirat itu lebih baik untuk orang-orang yang
bertakwa, dan kamu tidak akan dianiaya sedikit pun. Di mana saja
kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, kendatipun kamu di
dalam benteng yang tinggi lagi kokoh'."
(An-Nisa`: 77-78).
#
{77} كان المسلمون إذ كانوا بمكَّة
مأمورين بالصَّلاة والزَّكاة؛ أي:
مواساة الفقراء، لا الزكاة المعروفة ذات النُّصُب والشُّروط؛
فإنها لم تُفْرَضْ إلاَّ بالمدينة،
ولم يؤمروا بجهاد الأعداء لعدَّة فوائدَ:
منها: أن من حكمة الباري تعالى أن يَشْرَعَ لعبادِهِ الشرائعَ
على وجهٍ لا يشقُّ عليهم، ويبدأ بالأهمِّ فالأهمِّ والأسهل
فالأسهل. ومنها: أنه لو فُرِضَ عليهم
القتالُ مع قلَّة عَددهم وعُددهم وكثرة أعدائهم؛ لأدَّى ذلك إلى
اضمحلال الإسلام، فَرُوعِيَ جانبُ المصلحة العُظمى على ما
دونِها. ولغير ذلك من الحكم. وكان بعض المؤمنين يودُّون أن لو
فُرِضَ عليهم القتالُ في تلك الحال غير اللائق فيها ذلك، وإنما
اللائقُ فيها القيامُ بما أمِروا به في ذلك الوقت من التوحيد
والصَّلاة والزَّكاة ونحو ذلك؛
كما قال تعالى:
{ولو أنَّهم فَعَلوا ما يُوعَظونَ به لكان خيراً لهم وأشدَّ
تَثْبيتاً}، فلمَّا هاجروا إلى المدينة وقَوِيَ الإسلام؛ كُتِبَ عليهم
القتال في وقته المناسب لذلك،
فقال فريقٌ من الذين يستعجِلون القتال قبل ذلك خوفاً من الناس
وضعفاً وخَوَراً:
{ربَّنا لِمَ كَتَبْتَ علينا القتالَ}؟ وفي هذا تضجُّرهم واعتراضُهم على الله، وكان الذي ينبغي لهم
ضدَّ هذه الحال؛ التسليمَ لأمر الله والصبرَ على أوامره، فعكسوا
الأمر المطلوبَ منهم، فقالوا:
{لولا أخَّرْتنا إلى أجلٍ قريبٍ}؛ أي: هلاَّ أخَّرْتَ فرضَ القتال مدةً
متأخِّرةً عن الوقت الحاضر، وهذه الحال كثيراً ما تعرِضُ لمن هو
غير رزينٍ واستعجل في الأمور قبلَ وَقْتِها؛ فالغالبُ عليه أنَّه
لا يصبِرُ عليها وقت حُلولها ولا ينوءُ بِحَمْلِها، بل يكونُ
قليل الصبرِ. ثم إنَّ الله وَعَظَهم عن هذه الحال التي فيها
التخلُّف عن القتال، فقال:
{قُلْ متاعُ الدُّنيا قليلٌ والآخرةُ خيرٌ لِمَن
اتَّقى}؛ أي: التمتُّع بلذَّات الدُنيا
وراحتها قليلٌ، فَتَحَمُّل الأثقال في طاعة الله في المدَّة
القصيرة مما يَسْهُلُ على النفوس ويَخِفُّ عليها؛ لأنها إذا
عَلِمَتْ أنَّ المَشَقَّة التي تنالها لا يطول لُبثها؛ هان عليها
ذلك؛ فكيف إذا وازنتْ بين الدُّنيا والآخرة، وأنَّ الآخرة خيرٌ
منها في ذاتها ولَذَّاتها وزمانها؛ فذاتُها كما ذَكَرَ النبيُّ -
صلى الله عليه وسلم -
في الحديث الثابت عنه:
«إنَّ موضعَ سَوْطٍ في الجنة خيرٌ من الدُّنيا وما
فيها»
، ولَذَّاتُها صافيةٌ عن المكدِّرات، بل كلُّ ما خَطَرَ بالبال
أو دار في الفكر من تصوُّرِ لَذَّةٍ؛ فَلَذَّةُ الجنة فوقَ
ذلك؛ كما قال تعالى:
{فلا تعلمُ نفسٌ ما أخفي لهم من قُرَّةِ أعين}، وقال الله على لسان نبيِّه:
«أعددتُ لعبادي الصالحين ما لا عينٌ رأت ولا أُذنٌ سمعتْ ولا
خَطَرَ على قلب بشر». وأما لَذَّات الدُّنيا؛ فإنَّها مشوبةٌ بأنواع التنغيص الذي
لو قُوبِلَ بين لَذَّاتها وما يقترنُ بها من أنواع الآلام
والهُموم والغُموم؛ لم يكن لذلك نسبةٌ بوجهٍ من الوجوه. وأما
زمانُها؛ فإنَّ الدُّنيا منقضيةٌ وعمر الإنسان بالنسبة إلى
الدُّنيا شيءٌ يسيرٌ، وأما الآخرةُ؛ فإنها دائمة النعيم، وأهلُها
خالدون فيها؛ فإذا فكَّر العاقل في هاتين الدارين، وتصوَّر
حقيقتهما حقَّ التصوُّر؛ عَرَفَ ما هو أحقُّ بالإيثار والسَّعْي
له والاجتهادِ لطلبِهِ، ولهذا قال:
{والآخرةُ خيرٌ لمنِ اتَّقى}؛
أي:
اتَّقى الشرك وسائر المحرمات.
{ولا تُظْلَمون فتيلاً}؛
أي:
فسعيُكم للدار الآخرة ستجدونه كاملاً موفراً غير منقوص منه
شيئاً. {78} ثم أخبر أنه لا يُغني
حذرٌ عن قدرٍ، وأنَّ القاعد لا يدفع عنه قعودُه شيئاً،
فقال:
{أينما تكونوا يدرككم الموتُ}؛ أي: في أيِّ زمان وأيِّ مكان.
{ولو كنتُم في بروجٍ مُشَيَّدة}؛ أي: قصورٍ منيعةٍ ومنازل رفيعةٍ.
وكلُّ هذا حثٌّ على الجهاد في سبيل الله؛ تارةً بالترغيب في
فضلِهِ وثوابِهِ، وتارةً بالترهيبِ من عقوبةِ تركِهِ، وتارةً
بالإخبارِ أنَّه لا ينفع القاعدين قعودُهم، وتارةً بتسهيل الطريق
في ذلك وقصرها. ثم قال:
{وَإِنْ تُصِبْهُمْ حَسَنَةٌ يَقُولُوا هَذِهِ مِنْ عِنْدِ
اللَّهِ وَإِنْ تُصِبْهُمْ سَيِّئَةٌ يَقُولُوا هَذِهِ مِنْ
عِنْدِكَ قُلْ كُلٌّ مِنْ عِنْدِ اللَّهِ فَمَالِ هَؤُلَاءِ
الْقَوْمِ لَا يَكَادُونَ يَفْقَهُونَ حَدِيثًا
(78) مَا أَصَابَكَ مِنْ حَسَنَةٍ
فَمِنَ اللَّهِ وَمَا أَصَابَكَ مِنْ سَيِّئَةٍ فَمِنْ
نَفْسِكَ وَأَرْسَلْنَاكَ لِلنَّاسِ رَسُولًا وَكَفَى
بِاللَّهِ شَهِيدًا (79)}. {78} يخبر تعالى عن الذين لا
يعلمونَ، المعرضينَ عمَّا جاءت به الرسلُ، المعارضين لهم أنَّهم
إذا جاءتهم حسنةٌ؛ أي: خِصْبٌ
وَكَثْرَةُ أموال وتوفُّر أولاد وصحة؛
قالوا:
{هذه من عند الله}، وأنَّهم إن
أصابتهم سيئةٌ؛ أي: جدبٌ وفقرٌ ومرضٌ
وموتُ أولادٍ وأحبابٍ؛ قالوا:
{هذه من عندك}؛
أي:
بسبب ما جئتنا به يا محمد! تطيَّروا برسول الله - صلى الله عليه
وسلم - كما تطيَّر أمثالُهم برسل الله؛
كما أخبر الله عن قوم فرعون أنهم:
{إذا جاءتْهُمُ الحسنةُ قالوا لنا هذه وإن تُصِبْهم سيئةٌ
يَطَّيَّروا بموسى ومن معهُ}، وقال قومُ صالح:
{قالوا اطَّيَّرْنا بك وبَمن معكَ}، وقال قومُ يس لرسلهم:
{إنَّا تطيَّرنا بكم لئن لم تَنتَهوا لَنَرْجُمَنَّكم ...
}
الآية، فلما تشابهتْ قلوبهم بالكفر؛ تشابهتْ أقوالهم وأفعالهم ،
وهكذا كلُّ من نَسَبَ حصولَ الشَّرِّ أو زوالَ الخيرِ لما جاءت
به الرُّسُل أو لبعضِهِ؛ فهو داخلٌ في هذا الذَّمِّ الوخيم.
قال الله في جوابهم:
{قل كلٌّ}؛
أي:
من الحسنة والسيئة والخير والشر،
{من عندِ الله}؛
أي:
بقضائِهِ وقَدَرِهِ وخَلْقِهِ.
{فمال هؤلاء القوم}؛
أي:
الصادر منهم تلك المقالةُ الباطلة،
{لا يكادونَ يفقهونَ حديثاً}؛
أي:
لا يفهمون حديثاً بالكُلِّيَّة ولا يَقْرَبون من فهمِهِ أو لا
يفهمون منه إلاَّ فهماً ضعيفاً. وعلى كلٍّ فهو ذمٌّ لهم وتوبيخ
على عدم فهمهم وفقههم عن الله وعن رسوله، وذلك بسبب كفرهم
وإعراضهم. وفي ضمن ذلك مدح مَن يَفْهَمُ عن الله وعن رسوله،
والحثُّ على ذلك وعلى الأسباب المعينة على ذلك من الإقبال على
كلامِهِما، وتدبُّره وسلوك الطرق الموصلة إليه؛ فلو فَقِهوا عن
الله؛ لعلموا أنَّ الخير والشرَّ والحسنات والسيئات كلَّها بقضاء
الله وقَدَره، لا يخرج منها شيء عن ذلك، وأنَّ الرسل عليهم
الصلاة والسلام لا يكونون سبباً لشرٍّ يحدُث. لا هم ولا ما جاؤوا
به؛ لأنَّهم بُعِثوا بمصالح الدُّنيا والآخرة والدين.
{79} ثم قال تعالى:
{ما أصابك من حسنة}؛
أي:
في الدين والدنيا {فمن الله}: هو
الذي مَنَّ بها ويَسَّرَها بتيسير أسبابها،
{وما أصابك من سيِّئة}: في الدِّين
والدُّنيا {فمن نفسِكَ}؛
أي:
بذنوبك وكسبك وما يعفو الله عنه أكثر؛ فالله تعالى قد فَتَحَ
لعبادِهِ أبوابَ إحسانِهِ وأمَرَهم بالدُّخول لبرِّهِ وفضلِهِ،
وأخبرهم أنَّ المعاصي مانعةٌ من فضلِهِ؛ فإذا فَعَلَها العبد؛
فلا يلومنَّ إلاَّ نفسَه؛ فإنَّه المانعُ لنفسِهِ عن وصول فضل
اللهِ وبِرِّهِ. ثم أخبر عن عموم رسالةِ رسوله محمد - صلى الله
عليه وسلم -، فقال:
{وأرسلناكَ للنَّاسِ رسولاً وكفى باللهِ شهيداً}: على أنك رسولُ الله حَقًّا بما أيَّدك بنصرِهِ والمعجزاتِ
الباهرة والبراهين الساطعةِ؛ فهي أكبر شهادةً على الإطلاق؛
كما قال تعالى:
{قلْ أيُّ شيءٍ أكبرُ شهادةً قل اللهُ شهيدٌ بيني
وبينَكم}؛ فإذا علم أنَّ الله تعالى كامل العلم تامُّ القدرة عظيم
الحكمة وقد أيَّد اللهُ رسولَه بما أيَّده ونَصَرَهُ نصراً
عظيماً؛ تيقَّن بذلك أنَّه رسولُ الله، وإلاَّ؛ فلو تقوَّل عليه
بعضَ الأقاويل؛ لأخذ منه باليمينِ ثم لَقَطَعَ منه الوتينَ.
(77) Kaum Muslimin ketika masih di
Makkah, mereka di-perintahkan untuk mendirikan shalat dan
menunaikan zakat, yaitu sebagai pelipur lara bagi kaum fakir,
bukan zakat yang diketahui yang memiliki nishab dan
syarat-syarat tertentu, sesungguhnya zakat seperti itu belumlah
diwajibkan kecuali di Madinah, dan mereka pun belum
diperintahkan untuk berjihad karena beberapa faidah, di
antaranya; + Bahwa di antara hikmah Allah سبحانه وتعالى adalah
Dia mensyariatkan hukum-hukum kepada hamba-hambaNya dalam bentuk
yang tidak memberatkan mereka, dan Allah memulai dengan yang
paling penting sebelum yang penting, yang lebih mudah sebelum
yang mudah. + Bahwasanya bila saja diperintahkan kepada mereka
jihad padahal jumlah dan perlengkapan mereka yang masih sedikit
ditambah jumlah musuh yang besar, niscaya hal itu akan menjadi
bumerang bagi hancurnya Islam, maka menjadi per-timbangan yang
pasti dari sisi kemaslahatan yang besar atas kemaslahatan yang
lebih kecil darinya dan hikmah-hikmah Ilahi yang lainnya. Dan
sebagian kaum Mukminin merasa sangat menginginkan seandainya
jihad diwajibkan atas mereka pada suatu kondisi yang mana hal
itu tidak cocok untuk diwajibkan, namun yang patut pada kondisi
seperti itu adalah menegakkan apa yang diperintahkan kepada
mereka berupa tauhid, shalat, zakat dan semisalnya, seba-gaimana
Firman Allah, ﴾ وَلَوۡ أَنَّهُمۡ فَعَلُواْ مَا يُوعَظُونَ بِهِۦ
لَكَانَ خَيۡرٗا لَّهُمۡ وَأَشَدَّ تَثۡبِيتٗا 66
﴿ "Dan sesungguhnya kalau mereka melaksanakan pelajaran yang
diberikan kepada mereka, tentulah hal yang demikian itu lebih
baik bagi mereka dan lebih menguatkan
(iman mereka)."
(An-Nisa`: 66). Kemudian ketika mereka berhijrah ke Madinah dan Islam telah
kuat, maka diwajibkanlah jihad atas mereka pada waktunya yang
cocok untuk itu, lalu sekelompok dari orang-orang yang
sebelumnya tergesa-gesa meminta diwajibkannya jihad karena
rasa takut kepada manusia (musuh),
mereka lemah dan tidak berani, ﴾
رَبَّنَا لِمَ كَتَبۡتَ عَلَيۡنَا ٱلۡقِتَالَ
﴿ "Ya Rabb kami, mengapa Engkau wajibkan berperang kepada
kami?" Dalam hal ini tindakan itu adalah sebuah sikap keluh
kesah dan sanggahan terhadap Allah, dan yang sepatutnya bagi
mereka adalah menerima perintah Allah dan bersabar atas
perintah-perintahNya tersebut, maka mereka telah berlaku
kebalikan dari apa yang seharusnya diharapkan dari mereka,
mereka berkata, ﴾
لَوۡلَآ أَخَّرۡتَنَآ إِلَىٰٓ أَجَلٖ قَرِيبٖۗ
﴿ "Mengapa tidak Engkau tangguhkan
(kewajiban berperang) kepada kami
beberapa waktu lagi?" Maksudnya, mengapa engkau tidak menunda
kewajiban jihad itu selama masa tertentu dan bukan saat ini,
kondisi seperti ini sering kita temui diperlihat-kan oleh
orang-orang yang kurang matang dan tergesa-gesa dalam urusan
sebelum waktunya, kebanyakannya adalah ia tidak akan bersabar
atasnya ketika menunaikannya dan tidak pula teguh dalam
mengembannya, akan tetapi ia sedikit sekali kesabarannya.
Kemudian Allah سبحانه وتعالى mengingatkan mereka dari kondisi
seperti itu, di mana itu merupakan tindakan tidak ikut serta
dalam pepe-rangan, dalam FirmanNya, ﴾
قُلۡ مَتَٰعُ ٱلدُّنۡيَا قَلِيلٞ وَٱلۡأٓخِرَةُ خَيۡرٞ لِّمَنِ
ٱتَّقَىٰ
﴿ "Katakanlah, 'Kesenangan di dunia ini hanya sebentar dan
akhirat itu lebih baik untuk orang-orang yang bertakwa',"
maksudnya, menikmati kesenangan-kesenangan dunia dan
keindahan-keindahannya adalah sebentar, dan menghadapi segala
kesulitan dalam ketaatan kepada Allah pada waktu yang sebentar
adalah sangat mudah bagi jiwa dan ringan untuknya, karena bila
ia mengetahui bahwa kesulitan yang dihadapinya itu tidak akan
lama, niscaya hal itu mudah baginya, lalu bagaimana ia mampu
menyamakan antara dunia dan akhirat, padahal akhirat itu lebih
baik dari dunia pada dzatnya yaitu ke-senangan, dan waktunya,
adapun dzatnya adalah seperti yang disabdakan oleh Nabi ﷺ
dalam hadits yang kuat, إِنَّ مَوْضِعَ سَوْطٍ فِي الْجَنَّةِ
لَخَيْرٌ مِنَ الدُّنْيَا وَمَا فِيْهَا. "Sesungguhnya tempat
cambuk di surga itu lebih baik dari dunia dan seisinya."[30]
Adapun kenikmatannya adalah suci dari hal-hal yang
meru-saknya, bahkan setiap yang terbersit dalam benak atau
berputar-putar dalam pikiran berupa gambaran suatu kenikmatan,
maka kenikmatan surga itu adalah lebih dari gambaran tersebut,
seba-gaimana Allah سبحانه وتعالى berfirman, ﴾
فَلَا تَعۡلَمُ نَفۡسٞ مَّآ أُخۡفِيَ لَهُم مِّن قُرَّةِ أَعۡيُنٖ
﴿ "Seorang pun tidak mengetahui apa yang disembunyikan untuk
mereka yaitu
(bermacam-macam nikmat) yang
menyedapkan pandangan mata."
(As-Sajdah: 17). Dan Allah berfirman melalui lisan NabiNya[31], أَعْدَدْتُ لِعِبَادِيَ الصَّالِحِيْنَ مَا لَا عَيْنٌ رَأَتْ
وَلَا أُذُنٌ سَمِعَتْ وَلَا خَطَرَ عَلَى قَلْبِ بَشَرٍ. "Saya
telah menyiapkan bagi hamba-hambaKu yang shalih apa yang tidak
pernah dilihat oleh mata, tidak pernah didengar oleh telinga,
dan tidak pernah terbersit dalam benak seorang manusia pun."
Adapun kenikmatan dunia, sesungguhnya ia bercampur dengan
berbagai macam gangguan di mana bila dibandingkan antara
kelezatannya dan apa yang mengiringinya berupa berbagai macam
penderitaan dan kegelisahan serta kegalauan, maka kele-zatan
tersebut tidaklah mempunyai prosentase sedikit pun dari segala
sisinya. Adapun waktunya, sesungguhnya dunia itu semen-tara,
usia manusia menurut usia dunia sangatlah pendek sekali,
sedangkan akhirat, maka sesungguhnya ia adalah kenikmatan yang
selamanya, penghuni-penghuninya kekal di dalamnya, bila
seorang yang berakal mau berpikir tentang kedua negeri
tersebut dan tergambar olehnya hakikat keduanya dengan
sebenar-benar-nya, mesti ia tahu yang mana yang harus
didahulukan, diusahakan, dan bersungguh-sungguh dalam
meraihnya, karena itulah Allah berfirman, ﴾
وَٱلۡأٓخِرَةُ خَيۡرٞ لِّمَنِ ٱتَّقَىٰ
﴿ "Dan akhirat itu lebih baik untuk orang-orang yang
bertakwa," yaitu menjauhi kesyirikan dan seluruh hal-hal yang
diharamkan, ﴾
وَلَا تُظۡلَمُونَ فَتِيلًا
﴿ "dan kamu tidak akan dianiaya sedikit pun," maksudnya,
usaha kalian untuk akhirat akan kalian dapatkan secara
sempurna dan penuh dan tidak dikurangi sedikit pun darinya.
(78) Kemudian Allah mengabarkan bahwa
tidaklah akan bermanfaat suatu kewaspadaan terhadap takdir
Allah, dan bahwa seorang yang duduk berdiam diri
(tidak ikut berperang) tidaklah
duduknya itu menolongnya dari apa pun juga, dan Allah
berfir-man, ﴾
أَيۡنَمَا تَكُونُواْ يُدۡرِككُّمُ ٱلۡمَوۡتُ
﴿ "Di mana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu"
maksudnya, pada waktu apa pun dan tempat manapun, ﴾
وَلَوۡ كُنتُمۡ فِي بُرُوجٖ مُّشَيَّدَةٖۗ
﴿ "kendatipun kamu di dalam benteng yang tinggi lagi kokoh"
yaitu benteng-benteng yang kuat dan rumah-rumah yang tinggi.
Semua ini merupakan dorongan untuk berjihad di jalan Allah,
terkadang dengan cara bujukan tentang keutamaan dan pahalanya,
terkadang pula dengan menakut-nakuti akan hukuman karena
meninggalkannya, terkadang juga dengan me-ngabarkan bahwa
orang-orang yang duduk-duduk saja
(tidak ikut berperang) tidaklah duduk
mereka itu berguna bagi mereka, dan terkadang lagi dengan
memudahkan jalan kepadanya. Kemudian Allah berfirman, ﴾
وَإِن تُصِبۡهُمۡ حَسَنَةٞ يَقُولُواْ هَٰذِهِۦ مِنۡ عِندِ
ٱللَّهِۖ وَإِن تُصِبۡهُمۡ سَيِّئَةٞ يَقُولُواْ هَٰذِهِۦ مِنۡ
عِندِكَۚ قُلۡ كُلّٞ مِّنۡ عِندِ ٱللَّهِۖ فَمَالِ هَٰٓؤُلَآءِ
ٱلۡقَوۡمِ لَا يَكَادُونَ يَفۡقَهُونَ حَدِيثٗا 78 مَّآ أَصَابَكَ
مِنۡ حَسَنَةٖ فَمِنَ ٱللَّهِۖ وَمَآ أَصَابَكَ مِن سَيِّئَةٖ
فَمِن نَّفۡسِكَۚ وَأَرۡسَلۡنَٰكَ لِلنَّاسِ رَسُولٗاۚ وَكَفَىٰ
بِٱللَّهِ شَهِيدٗا 79
﴿ "Dan jika mereka memperoleh kebaikan, mereka mengatakan,
'Ini adalah dari sisi Allah', dan kalau mereka ditimpa sesuatu
bencana, mereka mengatakan, 'Ini
(datangnya) dari sisi kamu
(Muhammad).' Katakanlah, 'Semuanya
(datang) dari sisi Allah.' Maka
mengapa orang-orang itu
(orang munafik) hampir-hampir tidak
memahami pembicaraan sedikit pun? Apa saja nikmat yang kamu
peroleh adalah dari Allah, dan apa saja bencana yang
me-nimpamu, maka dari
(kesalahan) dirimu sendiri. Kami
mengutus-mu menjadi Rasul kepada segenap manusia. Dan cukuplah
Allah menjadi saksi."
(An-Nisa`: 78-79). Allah سبحانه وتعالى mengabarkan tentang orang-orang yang
tidak me-ngetahui, yang berpaling dari apa yang dibawa oleh
para Rasul dan menentang mereka, bahwa bila orang-orang itu
memperoleh suatu kebaikan, yaitu tanah yang subur, harta yang
melimpah, anak-anak yang banyak dan kesehatan, mereka
berkata,﴾
هَٰذِهِۦ مِنۡ عِندِ ٱللَّهِۖ
﴿ "Ini adalah dari sisi Allah" dan bahwasanya bila mereka
tertimpa suatu musibah, yaitu tanah yang tandus, kefakiran,
penyakit, meninggalnya anak-anak mereka atau orang-orang yang
mereka cintai, mereka berkata, ﴾
هَٰذِهِۦ مِنۡ عِندِكَۚ
﴿ "Ini (datangnya) dari sisi kamu
(Muhammad)." Maksudnya, oleh sebab apa
yang telah engkau bawa kepada kami wahai Muhammad ﷺ! Mereka
mengaitkan musibah itu dengan Rasulullah ﷺ sebagaimana
orang-orang yang seperti mereka mengait-kaitkan suatu musibah
zaman dahulu dengan Rasul-rasul Allah, sebagaimana Allah telah
mengabarkan tentang kaum Fir'aun bahwa mereka berkata kepada
Musa عليه السلام, ﴾
فَإِذَا جَآءَتۡهُمُ ٱلۡحَسَنَةُ قَالُواْ لَنَا هَٰذِهِۦۖ وَإِن
تُصِبۡهُمۡ سَيِّئَةٞ يَطَّيَّرُواْ بِمُوسَىٰ وَمَن مَّعَهُۥٓۗ
﴿ "Kemudian apabila datang kepada mereka kemakmuran, mereka
berkata, 'Itu adalah karena
(usaha) kami.' Dan jika mereka ditimpa
kesu-sahan, mereka lemparkan sebab kesialan itu kepada Musa
dan orang-orang yang besertanya."
(Al-A'raf: 131). Dan kaum Shaleh juga berkata, ﴾
قَالُواْ ٱطَّيَّرۡنَا بِكَ وَبِمَن مَّعَكَۚ
﴿ "Mereka menjawab, 'Kami mendapat nasib yang malang,
disebabkan kamu dan orang-orang yang besertamu'."
(An-Naml: 47).
Dan kaum
(yang disebutkan dalam surat) Yasin
berkata ke-pada Rasul-rasul mereka, ﴾
إِنَّا تَطَيَّرۡنَا بِكُمۡۖ لَئِن لَّمۡ تَنتَهُواْ
لَنَرۡجُمَنَّكُمۡ
﴿ "Sesungguhnya kami bernasib malang karena kamu,
sesungguhnya jika kamu tidak berhenti
(menyeru kami), niscaya kami akan
merajam kamu..." (Yasin: 18). Ketika
hati mereka memiliki keserupaan dalam hal kekufuran, lalu
perkataan dan perbuatan mereka pun menjadi serupa, dan setiap
orang yang menisbatkan terjadinya suatu keburukan atau
hilangnya kebaikan terhadap apa yang dibawa oleh para Rasul
atau terhadap sebagiannya, maka ia termasuk dalam celaan yang
hina tersebut, Allah berfirman dalam menjawab
(perkara) mereka, ﴾
قُلۡ كُلّٞ
﴿ "Katakanlah, 'Semuanya'," yaitu berupa kebaikan dan
kebu-rukan, keberuntungan dan kesialan, ﴾
مِّنۡ عِندِ ٱللَّهِۖ
﴿ "(datang) dari sisi Allah,"
maksudnya, dengan ketetapan dan ketentuanNya serta
penciptaanNya, ﴾
فَمَالِ هَٰٓؤُلَآءِ ٱلۡقَوۡمِ
﴿ "maka mengapa orang-orang itu
(orang munafik)," yaitu apa yang
bersumber dari mereka berupa perkataan yang batil, ﴾
لَا يَكَادُونَ يَفۡقَهُونَ حَدِيثٗا
﴿ "hampir-hampir tidak memahami pem-bicaraan sedikit pun?"
yaitu mereka tidak memahami pembicaraan secara menyeluruh dan
tidak juga mendekati pemahamannya atau mereka tidaklah
memahaminya kecuali dengan pemahaman yang sangat lemah. Namun
yang jelas bahwa hal itu adalah sebuah celaan bagi mereka dan
kecaman atas ketidakpahaman mereka dan ketidakmengertian
mereka tentang Allah dan RasulNya, yang demikian itu adalah
karena kekufuran dan berpalingnya mereka. Dan termasuk dalam
kandungannya adalah pujian terhadap orang yang memahami
tentang Allah dan tentang RasulNya, dan anjuran terhadap hal
tersebut dan terhadap sebab-sebab yang membantu akan hal
tersebut berupa penerimaan perkataan kedua-nya, merenunginya
dan menempuh jalan yang menyampaikan kepadanya. Sekiranya
mereka memahami tentang Allah, niscaya mereka akan mengetahui
bahwa kebaikan dan keburukan, kebe-runtungan dan kesialan
semuanya adalah dengan ketentuan Allah dan ketetapanNya, apa
pun tidak akan keluar dari hal tersebut, dan bahwa para Rasul
bukanlah sebagai sebab akan suatu keburukan yang terjadi,
bukan mereka dan bukan juga apa yang mereka bawa, karena
mereka diutus demi kemaslahatan dunia dan akhirat serta agama.
(79) Kemudian Allah سبحانه وتعالى
berfirman, ﴾
مَّآ أَصَابَكَ مِنۡ حَسَنَةٖ
﴿ "Apa saja nikmat yang kamu peroleh" yaitu dalam
(perkara) agama maupun dunia, ﴾
فَمِنَ ٱللَّهِۖ
﴿ "adalah dari Allah," Dia-lah yang mengaruniakan dan
memudahkannya dengan memudahkan sebab-sebabnya, ﴾
وَمَآ أَصَابَكَ مِن سَيِّئَةٖ
﴿ "dan apa saja bencana yang menimpamu" dalam
(perkara) agama maupun dunia, ﴾
فَمِن نَّفۡسِكَۚ
﴿ "maka dari kesalahan dirimu sendiri," yaitu dengan
dosa-dosamu dan usahamu, padahal apa yang dimaafkan oleh Allah
darinya adalah lebih banyak, dan Allah سبحانه وتعالى telah
mem-buka pintu-pintu kebaikanNya bagi hamba-hambaNya, dan
me-merintahkan mereka untuk memasuki kebaikan dan karuniaNya,
dan mengabarkan kepada mereka bahwa kemaksiatan itu adalah
penghalang dari karuniaNya, lalu bila seorang hamba
melaku-kannya, maka janganlah ia mencela kecuali dirinya
sendiri, karena sesungguhnya yang menjadi penghalang dirinya
memperoleh karunia Allah dan kebaikanNya adalah hal tersebut.
Kemudian Allah mengabarkan tentang keumuman risalah RasulNya
Muhammad ﷺ seraya berfirman, ﴾
وَأَرۡسَلۡنَٰكَ لِلنَّاسِ رَسُولٗاۚ وَكَفَىٰ بِٱللَّهِ شَهِيدٗا
﴿ "Kami mengutusmu menjadi Rasul kepada segenap manusia. Dan
cukup-lah Allah menjadi saksi" bahwa engkau adalah utusan
Allah secara benar dengan apa yang telah Allah topang dengan
pembelaanNya dan mukjizat-mukjizat yang menakjubkan serta
keterangan-kete-rangan yang pasti, dan hal itu adalah
kesaksian yang paling utama secara mutlak, sebagaimana Allah
berfirman, ﴾
قُلۡ أَيُّ شَيۡءٍ أَكۡبَرُ شَهَٰدَةٗۖ قُلِ ٱللَّهُۖ شَهِيدُۢ
بَيۡنِي وَبَيۡنَكُمۡۚ ﴿ "Katakanlah, 'Siapakah yang lebih kuat
persaksiannya?' Katakan-lah, 'Allah.' Dia menjadi saksi antara
aku dan kamu."
(Al-An'am: 19),
dan apabila ia telah mengetahui bahwa ilmu Allah itu sempurna,
kekuasaanNya menyeluruh, hikmahNya agung, dan Dia telah membantu
RasulNya dengan apa pun yang telah menopangnya dan membelanya
dengan pembelaan yang besar, niscaya yakinlah ia dengan hal
tersebut bahwa ia adalah Rasulullah ﷺ, dan bila tidak demikian,
sekiranya dia mengadakan sebagian perkataan atas Allah, niscaya
Allah benar-benar memegangnya dengan Tangan kananNya kemudian
benar-benar Dia potong urat tali jantungnya.
{مَنْ يُطِعِ الرَّسُولَ فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ وَمَنْ
تَوَلَّى فَمَا أَرْسَلْنَاكَ عَلَيْهِمْ حَفِيظًا
(80) وَيَقُولُونَ طَاعَةٌ فَإِذَا
بَرَزُوا مِنْ عِنْدِكَ بَيَّتَ طَائِفَةٌ مِنْهُمْ غَيْرَ
الَّذِي تَقُولُ وَاللَّهُ يَكْتُبُ مَا يُبَيِّتُونَ
فَأَعْرِضْ عَنْهُمْ وَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ وَكَفَى
بِاللَّهِ وَكِيلًا (81)}
.
"Barangsiapa yang menaati Rasul itu, sesungguhnya ia telah
menaati Allah. Dan barangsiapa yang berpaling
(dari ketaatan itu), maka Kami tidak
mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka. Dan mereka
(orang-orang munafik) mengatakan, '
(Kewajiban kami hanyalah)
taat.' Tetapi apabila mereka telah pergi dari sisimu, sebagian
dari mereka mengatur siasat di malam hari
(mengambil keputusan) lain dari yang
telah mereka katakan tadi. Allah menulis siasat yang mereka atur
di malam hari itu, maka berpalinglah kamu dari mereka dan
bertawakallah kepada Allah. Cukuplah Allah menjadi Pelindung."
(An-Nisa`: 80-81).
#
{80} أي: كلُّ من أطاع رسول الله
في أوامره ونواهيه؛
{فقد أطاع الله} تعالى؛ لكونِهِ لا
يأمر ولا ينهى إلا بأمر الله وشرعه ووحيه وتنزيله، وفي هذا عصمةُ
الرسول - صلى الله عليه وسلم -؛ لأنَّ الله أمر بطاعتِهِ مطلقاً؛
فلولا أنَّه معصومٌ في كلِّ ما يبلِّغ عن الله؛ لم يأمرْ
بطاعتِهِ مطلقاً وَيمدَحْ على ذلك، وهذا من الحقوق
المشتركة؛ فإنَّ الحقوق ثلاثةٌ: حقٌّ
لله تعالى لا يكونُ لأحدٍ من الخَلْق، وهو عبادةُ الله والرغبةُ
إليه وتوابع ذلك؛ وقسمٌ مختصٌّ بالرسول، وهو التعزيرُ والتوقيرُ
والنُّصرةُ. وقسمٌ مشترك، وهو الإيمان بالله ورسولِهِ ومحبتُهما
وطاعتُهما؛
كما جَمَعَ الله بين هذه الحقوق في قوله:
{لِتُؤْمنوا بالله ورسوله وتعزِّروهُ وتوقِّروه وتسبِّحوه
بكرةً وأصيلاً}؛ فمَنْ أطاع الرسول؛ فقد أطاع الله، وله من الثواب والخير ما
رُتِّب على طاعة الله.
{ومَن تولَّى}: عن طاعة الله
ورسولِهِ؛ فإنه لا يضرُّ إلا نفسَه، ولا يضرُّ الله شيئاً.
{فما أرسلناك عليهم حفيظاً}؛
أي:
تحفظ أعمالَهم وأحوالَهم، بل أرسلناك مبلِّغاً ومبيِّناً
وناصحاً، وقد أديتَ وظيفتكَ ووَجَبَ أجرُك على الله، سواءٌ
اهتدَوا أم لم يهتدُوا؛ كما قال تعالى:
{فَذَكِّرْ إنَّما أنت مُذَكِّرٌ لستَ عليهم بمصيطرٍ ...
}
الآية.
(80) Maksudnya, setiap orang yang
menaati Rasulullah ﷺ dalam perintah-perintah dan
larangan-larangannya, ﴾ فَقَدۡ أَطَاعَ ٱللَّهَۖ
﴿ "sesungguhnya ia telah menaati Allah سبحانه وتعالى," karena
tidaklah beliau memerintahkan dan tidaklah melarang kecuali
dengan perintah Allah, syariat, wahyu dan segala apa yang
diturunkanNya, hal ini menunjukkan kema'shuman Rasulullah ﷺ,
karena Allah meme-rintahkan untuk menaatinya secara mutlak,
sekiranya bila beliau tidak ma'shum dalam segala hal yang
disampaikannya dari Allah, niscaya tidaklah Allah akan
memerintahkan untuk menaatinya secara mutlak lalu Dia memuji
hal tersebut, dan ini adalah di antara hak-hak yang dimiliki
bersama, karena sesungguhnya hak-hak itu ada tiga macam:
Pertama, hak milik Allah سبحانه وتعالى yang tidak dimiliki
seorang pun dari makhluk, yaitu beribadah kepada Allah,
memo-hon kepadaNya dan segala hal yang menyertainya. Kedua,
hak yang khusus milik Rasul yaitu penghormatan, pemuliaan dan
pembelaan, dan ketiga, hak-hak yang dimiliki bersama yaitu
iman kepada Allah dan RasulNya, mencintai dan menaati keduanya
sebagaimana Allah menyatukan antara hak-hak tersebut dalam
FirmanNya, ﴾
لِّتُؤۡمِنُواْ بِٱللَّهِ وَرَسُولِهِۦ وَتُعَزِّرُوهُ
وَتُوَقِّرُوهُۚ وَتُسَبِّحُوهُ بُكۡرَةٗ وَأَصِيلًا 9
﴿ "Supaya kamu sekalian beriman kepada Allah dan RasulNya,
menguatkan (agama)Nya, membesarkanNya,
dan bertasbih kepadaNya di waktu pagi dan petang."
(Al-Fath: 9),
maka barangsiapa yang taat kepada Rasul, sesungguhnya ia telah
taat kepada Allah, dan ia berhak mendapatkan pahala dan
kebaikan yang disediakan karena ketaatan kepada Allah, ﴾
وَمَن تَوَلَّىٰ
﴿ "dan ba-rangsiapa yang berpaling" dari ketaatan kepada
Allah dan RasulNya, sesungguhnya hal itu tidaklah membahayakan
kecuali bagi dirinya sendiri, dan tidak akan ada yang mampu
membahayakan Allah sama sekali, ﴾
فَمَآ أَرۡسَلۡنَٰكَ عَلَيۡهِمۡ حَفِيظٗا
﴿ "maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi
mereka," maksudnya
(kamu tidaklah diutus untuk)
memelihara perbuatan-perbuatan dan kondisi-kondisi mereka,
akan tetapi Kami mengutusmu sebagai penyeru, pemberi
penjelasan dan pemberi nasihat, dan sungguh engkau telah
menunaikan tugasmu, maka wajiblah ganjarannya untukmu dari
Allah, baik mereka mendapat petunjuk karenanya ataupun tidak
mendapatkannya, sebagaimana Allah سبحانه وتعالى berfirman,
﴾
فَذَكِّرۡ إِنَّمَآ أَنتَ مُذَكِّرٞ 21 لَّسۡتَ عَلَيۡهِم
بِمُصَيۡطِرٍ 22 ﴿ "Maka berilah peringatan, karena sesungguhnya
kamu hanyalah orang yang memberi peringatan. Kamu bukanlah orang
yang berkuasa atas mereka."
(Al-Ghasyiyah: 21-22).
#
{81} ولا بدَّ أن تكون طاعةُ الله
ورسولِهِ ظاهراً وباطناً في الحضرة والمغيبِ، فأمّا من يُظْهِرُ
في الحضرة الطاعةَ والالتزامَ؛ فإذا خلا بنفسِهِ أو أبناء
جنسِهِ؛ تَرَكَ الطاعة وأقبل على ضِدِّها؛ فإنَّ الطاعة التي
أظهرها غيرُ نافعةٍ ولا مفيدةٍ،
وقد أشبهَ مَن قال الله فيهم:
{ويقولونَ طاعةٌ}؛
أي:
يظهِرونَ الطاعةَ إذا كانوا عندك؛
{فإذا بَرَزوا من عندِكَ}؛
أي:
خرجوا وخَلَوا في حالة لا يُطَّلع فيها عليهم،
{بَيَّت طائفةٌ منهم غير الذي تقول}؛ أي: بيَّتوا ودبَّروا غير طاعتِك ولا
ثمَّ إلا المعصية. وفي قوله:
{بَيَّتَ طائفةٌ منهم غيرَ الذي تقول}: دليلٌ على أنَّ الأمر الذي استقرُّوا عليه غيرُ الطاعة؛ لأنَّ
التبييت تدبيرُ الأمر ليلاً على وجهٍ يستقرُّ عليه الرأي. ثم
توعَّدهم على ما فَعلوا، فقال:
{والله يكتُبُ ما يُبَيِّتونَ}؛ أي: يحفظه عليهم وسيجازيهم عليه
أتمَّ الجزاء؛ ففيه وعيدٌ لهم. ثم أمر رسوله بمقابلتهم بالإعراض
وعدم التعنيف؛ فإنهم لا يضرُّونه شيئاً إذا توكَّل على الله
واستعان به في نصر دينِهِ وإقامة شرعِهِ،
ولهذا قال:
{فأعرِضْ عنهم وتوكَّل على الله وكفى باللهِ وكيلاً}.
(81) Ketaatan kepada Allah dan RasulNya
haruslah secara lahir maupun batin dan dalam keadaan ramai
maupun sepi. Ada-pun orang yang menampakkan ketaatan dan
konsistensi di saat ramai, lalu bila ia sedang sendiri atau
bersama orang-orang yang semisalnya ia meninggalkan ketaatan dan
melakukan hal yang bertentangan dengannya, sesungguhnya ketaatan
yang ia tampak-kan itu tidaklah bermanfaat dan tidak berguna,
sungguh hal ini serupa dengan orang-orang yang Allah berfirman
tentang mereka, ﴾ وَيَقُولُونَ طَاعَةٞ
﴿ "Dan mereka
(orang-orang munafik) mengatakan,
'(Ke-wajiban kami hanyalah) taat'."
Yaitu mereka menampakkan ketaatan apabila mereka berada di
sisimu, ﴾
فَإِذَا بَرَزُواْ مِنۡ عِندِكَ
﴿ "tetapi apabila mereka telah pergi dari sisimu" yaitu
mereka keluar dan menyendiri pada kondisi yang tidak ada
seorang pun melihat mereka, ﴾
بَيَّتَ طَآئِفَةٞ مِّنۡهُمۡ غَيۡرَ ٱلَّذِي تَقُولُۖ
﴿ "sebagian dari mereka mengatur siasat di malam hari
(mengambil keputusan) lain dari yang
telah mereka katakan tadi." Maksudnya, mereka mengatur siasat
di malam hari dan ke-mudian berpaling dari ketaatan kepadamu,
serta tidaklah mereka melakukan
(di belakangmu) melainkan kemaksiatan.
Di dalam Firman Allah, ﴾
بَيَّتَ طَآئِفَةٞ مِّنۡهُمۡ غَيۡرَ ٱلَّذِي تَقُولُۖ
﴿, terdapat sebuah dalil bahwa suatu hal yang mana mereka
telah konsisten terhadapnya bukan-lah suatu ketaatan, karena
kata at-Tabyit artinya, mengatur sebuah siasat pada malam hari
dalam bentuk yang ditetapkan oleh pen-dapat. Kemudian Allah
mengancam mereka atas apa yang telah mereka lakukan tersebut
dalam FirmanNya, ﴾
وَٱللَّهُ يَكۡتُبُ مَا يُبَيِّتُونَۖ
﴿ "Allah menulis siasat yang mereka atur di malam hari itu."
Maksudnya, Dia menyimpan siasat mereka dan akan memberikan
balasan kepada mereka atas hal tersebut dengan balasan yang
setimpal, hal itu adalah sebuah ancaman yang keras bagi
mereka. Kemudian Allah memerintahkan RasulNya untuk menghadapi
mereka dengan cara berpaling dari mereka tanpa mengecam,
karena sesungguh-nya mereka itu tidaklah dapat membahayakan
beliau sama sekali apabila beliau bertawakal kepada Allah,
memohon bantuanNya dalam membela agamaNya dan penegakan
syariatNya, karena itulah Allah berfirman, ﴾
فَأَعۡرِضۡ عَنۡهُمۡ وَتَوَكَّلۡ عَلَى ٱللَّهِۚ وَكَفَىٰ
بِٱللَّهِ وَكِيلًا ﴿ "Maka ber-palinglah kamu dari mereka dan
bertawakallah kepada Allah. Cukuplah Allah menjadi Pelindung."
{أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ وَلَوْ كَانَ مِنْ عِنْدِ
غَيْرِ اللَّهِ لَوَجَدُوا فِيهِ اخْتِلَافًا كَثِيرًا
(82)}
.
"Maka apakah mereka tidak memperhatikan al-Qur`an? Kalau kiranya
al-Qur`an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat
pertentangan yang banyak di dalamnya."
(An-Nisa`: 82).
#
{82} يأمر تعالى بتدبُّر كتابه،
وهو التأمُّل في معانيه وتحديق الفكر فيه وفي مبادئِهِ وعواقبه
ولوازم ذلك؛ فإنَّ في تدبُّر كتاب الله مفتاحاً للعلوم والمعارف،
وبه يُسْتَنْتَجُ كلُّ خير وتستخرجُ منه جميعُ العلوم، وبه يزداد
الإيمان في القلب وترسَخُ شجرته؛ فإنَّه يعرِّف بالربِّ المعبود
وما له من صفات الكمال وما يُنَزَّهُ عنه من سماتِ النقص،
ويعرِّف الطريقَ الموصلة إليه وصِفَةَ أهلها وما لهم عند القدوم
عليه، ويعرِّف العدوَّ الذي هو العدوُّ على الحقيقة والطريقَ
الموصلة إلى العذاب وصفة أهلها وما لهم عند وجود أسباب العقاب.
وكلَّما ازداد العبد تأمُّلاً فيه؛ ازداد علماً وعملاً وبصيرةً،
لذلك أمر الله بذلك وحثَّ عليه وأخبر أنه هو المقصود بإنزال
القرآن؛ كما قال تعالى:
{كتابٌ أنزلناه إليك مُبارَكٌ ليدَّبَّروا آياتِهِ وليتذكَّرَ
أُولو الألبابِ}؛ وقال تعالى:
{أفلا يتدبَّرون القرآن أم على قُلوبٍ أقفالُها}. ومن فوائدِ التدبُّر لكتاب الله أنَّه بذلك يصل العبدُ إلى
درجة اليقين والعلم بأنَّه كلام الله؛ لأنَّه يراه يصدِّق بعضُه
بعضاً، ويوافق بعضُه بعضاً، فترى الحِكَمَ والقصةَ والإخبارات
تُعاد في القرآن في عِدَّة مواضع، كلُّها متوافقة متصادقة، لا
ينقُض بعضُها بعضاً؛ فبذلك يُعلم كمال القرآن، وأنَّه من عند مَن
أحاط علمُهُ بجميع الأمور؛
فلذلك قال تعالى:
{ولو كانَ مِن عندِ غيرِ الله لوجدوا فيه اختلافاً
كثيراً}؛ أي: فلما كان من عند الله، لم يكن
فيه اختلافٌ أصلاً.
(82) Allah سبحانه وتعالى memerintahkan
agar merenungi kitabNya, yaitu berpikir tentang maknanya,
memfokuskan pikiran padanya, pada asas-asasnya dan
kesimpulan-kesimpulannya serta hal-hal yang berkaitan dengannya,
karena sesungguhnya perenungan terhadap kitabullah adalah sebuah
kunci
(untuk mendapatkan) ilmu dan
pengetahuan, dengannya dapat dihasilkan segala kebaikan dan
dibuahkan segala ilmu, dengannya iman bertambah dalam hati dan
akarnya akan tertancap dalam-dalam. Sesungguhnya ia memberitahu
tentang Rabb yang harus disembah dan segala per-kara tentang
sifat-sifat kesempurnaan dan perkara yang disucikan dariNya dari
berbagai sifat kekurangan, ia memberitahukan tentang jalan yang
menyampaikan kepadaNya, dan tentang sifat-sifat penghuni surga
dan apa pun yang mereka dapatkan ketika mema-sukinya,
memberitahukan tentang musuh yang benar-benar musuh secara
hakiki, dan tentang jalan yang mengakibatkan siksaan serta
sifat-sifat penghuninya dan hal apa pun yang ada pada mereka
yang menyebabkan siksaan tersebut. Dan setiap kali seorang hamba
bertambah renungannya terhadap al-Qur`an, niscaya bertambah pula
ilmu, amal, dan kearifannya, oleh karena itu Allah
memerin-tahkan kepada hal tersebut dan menganjurkannya lalu
mengabar-kan bahwa itulah maksud dari diturunkannya al-Qur`an,
sebagai-mana Allah berfirman, ﴾ كِتَٰبٌ أَنزَلۡنَٰهُ إِلَيۡكَ
مُبَٰرَكٞ لِّيَدَّبَّرُوٓاْ ءَايَٰتِهِۦ وَلِيَتَذَكَّرَ
أُوْلُواْ ٱلۡأَلۡبَٰبِ 29
﴿ "Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu yang
penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya
dan supaya orang-orang yang mempunyai pikiran mendapatkan
pelajaran." (Shad: 29), dan Allah
سبحانه وتعالى juga berfirman, ﴾
أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ ٱلۡقُرۡءَانَ أَمۡ عَلَىٰ قُلُوبٍ
أَقۡفَالُهَآ 24
﴿ "Maka apakah mereka tidak memperhatikan al-Qur`an ataukah
hati mereka terkunci?" (Muhammad: 24).
Dan di antara faidah dari merenungi kitabullah adalah, bahwa
dengan merenunginya seorang hamba akan sampai kepada derajat
keyakinan dan ilmu bahwa al-Qur`an itu adalah Kalam Allah,
karena sesungguhnya ia akan menyaksikan bahwa sebagiannya
membenarkan sebagian lainnya, sebagiannya sesuai dengan
seba-gian lainnya, dan Anda akan menyaksikan hikmah-hikmah,
kisah-kisah, dan kabar-kabar yang diulang-ulang dalam
al-Qur`an dalam beberapa tempat, seluruhnya saling sesuai dan
saling membenar-kan, sebagiannya tidaklah membatalkan sebagian
lainnya, dengan demikian diketahuilah kesempurnaan al-Qur`an,
dan bahwasanya ia adalah dari Dzat yang ilmuNya meliputi
segala sesuatu, karena itulah Allah سبحانه وتعالى berfirman,
﴾
وَلَوۡ كَانَ مِنۡ عِندِ غَيۡرِ ٱللَّهِ لَوَجَدُواْ فِيهِ
ٱخۡتِلَٰفٗا كَثِيرٗا ﴿ "Kalau kiranya al-Qur`an itu bukan dari
sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di
dalamnya," maksudnya, ketika al-Qur`an itu dari sisi Allah, maka
tidak akan ada perselisihan di dalamnya sama sekali.
{وَإِذَا جَاءَهُمْ أَمْرٌ مِنَ الْأَمْنِ أَوِ الْخَوْفِ
أَذَاعُوا بِهِ وَلَوْ رَدُّوهُ إِلَى الرَّسُولِ وَإِلَى
أُولِي الْأَمْرِ مِنْهُمْ لَعَلِمَهُ الَّذِينَ
يَسْتَنْبِطُونَهُ مِنْهُمْ وَلَوْلَا فَضْلُ اللَّهِ
عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُ لَاتَّبَعْتُمُ الشَّيْطَانَ إِلَّا
قَلِيلًا (83)}
.
"Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan
ataupun ketakutan, mereka menyiarkannya. Dan kalau mereka
menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka,
tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenaran-nya
(akan dapat) mengetahuinya dari mereka
(Rasul dan Ulil Amri). Kalau tidaklah
karena karunia dan rahmat Allah kepada kamu, tentulah kamu
mengikuti setan, kecuali sebagian kecil saja
(di antaramu)."
(An-Nisa`: 83).
#
{83} هذا تأديبٌ من الله لعبادِهِ
عن فعلهم هذا غير اللائق، وأنه ينبغي لهم إذا جاءهم أمرٌ من
الأمور المهمَّة والمصالح العامَّة ما يتعلَّق بالأمن وسرور
المؤمنين أو بالخوف الذي فيه مصيبةٌ عليهم أن يتثبَّتوا ولا
يستعجِلوا بإشاعة ذلك الخبر، بل يردُّونه إلى الرسول وإلى أولي
الأمر منهم أهل الرأي والعلم والنُّصح والعقل والرزانة الذين
يعرفونَ الأمور ويعرفون المصالح وضدَّها؛ فإنْ رأوا في إذاعته
مصلحة ونشاطاً للمؤمنين وسروراً لهم وتحرُّزاً من أعدائِهِم؛
فعلوا ذلك، وإن رأوا [أنه ليس] فيه
مصلحةٌ، أو فيه مصلحة ولكن مضرَّته تزيد على مصلحتِهِ؛ لم
يذيعوهُ. ولهذا قال:
{لَعَلِمَهُ الذين يستنبطونَه منهم}؛ أي: يستخِرجونه بفِكْرهم وآرائهم
السَّديدة وعلومهم الرشيدة. وفي هذا دليلٌ لقاعدةٍ أدبيَّة، وهي
أنه إذا حَصَلَ بحثٌ في أمر من الأمور؛ ينبغي أن يُوَلَّى مَن هو
أهلٌ لذلك، ويُجْعَلَ إلى أهله، ولا يُتَقَدَّم بين أيديهم؛ فإنه
أقرب إلى الصواب وأحرى للسلامة من الخطأ. وفيه النهي عن العجلة
والتسرُّع لنشر الأمور من حين سماعها، والأمر بالتأمُّل قبل
الكلام والنظر فيه؛ هل هو مصلحةٌ فيقْدِمُ عليه الإنسان أم لا
فيُحْجِمُ عنه؟ ثم قال تعالى:
{ولولا فضلُ الله عليكم ورحمتُهُ}؛ أي: في توفيقِكم وتأديبِكم وتعليمِكم
ما لم تكونوا تعلمون،
{لاتَّبعتم الشيطانَ إلَّا قليلاً}؛ لأنَّ الإنسان بطبعِهِ ظالمٌ جاهلٌ فلا تأمرُهُ نفسُه إلاَّ
بالشَّرِّ؛ فإذا لجأ إلى ربِّه، واعتصم به، واجتهدَ في ذلك؛
لَطَفَ به ربُّه، ووفَّقه لكلِّ خيرٍ، وعصمَه من الشيطان الرجيم.
(83) Ini merupakan pengajaran dari Allah
untuk hamba-hambaNya tentang perbuatan mereka yang tidaklah
patut tersebut, dan bahwa seyogyanya apabila datang kepada
mereka suatu perkara penting dan kemaslahatan umum yang
berkaitan dengan keamanan dan kebahagiaan kaum Mukminin atau
dengan kekha-watiran yang mengakibatkan suatu musibah atas
mereka, agar mereka memastikan terlebih dahulu dan tidak
tergesa-gesa untuk menyebarkan kabar tersebut, dan sebaiknya
mereka menyerahkan-nya kepada Rasul dan kepada Ulil Amri di
antara mereka yaitu orang-orang yang memiliki pandangan luas,
ilmu, nasihat, kecer-dasan, dan keteguhan, di mana mereka
mengetahui urusan-urusan dan mengetahui kemaslahatan atau
kemudharatan, dan bila me-reka memandang bahwa menyebarkannya
mengandung kemas-lahatan dan semangat bagi kaum Muslimin, bahkan
kebahagiaan untuk mereka serta tindakan kewaspadaan terhadap
musuh-musuh mereka, maka mereka boleh melakukan hal tersebut,
dan bila mereka memandang bahwa hal itu tidak memiliki
kemaslahatan, atau ada kemaslahatan padanya akan tetapi
kemudharatannya lebih besar daripada kemaslahatannya, maka
janganlah mereka menyiarkannya, karena itulah Allah berfirman,﴾
لَعَلِمَهُ ٱلَّذِينَ يَسۡتَنۢبِطُونَهُۥ مِنۡهُمۡۗ
﴿ "Tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya
(akan dapat) mengetahuinya dari mereka
(Rasul dan Ulil Amri)," maksudnya,
mereka dapat menyimpulkan suatu kebenaran dengan pemikiran dan
pendapat-pendapat mereka yang lurus serta ilmu-ilmu mereka
yang matang. Ayat ini merupakan sebuah dalil bagi sebuah
kaidah moral yaitu bahwa apabila terjadi sebuah pembahasan
dalam suatu per-kara, seyogyanya perkara tersebut diserahkan
kepada orang yang berhak atas perkara tersebut, dan tidak ada
seorang pun yang didahulukan sebelumnya, karena sesungguhnya
ia lebih dekat kepada kebenaran dan lebih dapat selamat dari
kesalahan. Ayat ini juga mengisyaratkan larangan dari sikap
ketergesa-gesaan dan terburu-buru dalam menyebarkan informasi
setelah mendengarnya, dan seharusnya dalam perkara seperti itu
perlu berpikir sebelum membicarakan dan membahasnya, apakah
hal itu menyimpan kemaslahatan hingga ia melakukannya ataukah
tidak hingga ia menahannya. Kemudian Allah سبحانه وتعالى
berfirman, ﴾
وَلَوۡلَا فَضۡلُ ٱللَّهِ عَلَيۡكُمۡ وَرَحۡمَتُهُۥ
﴿ "Kalau tidaklah karena karunia dan rahmat Allah kepada
kamu" yaitu dalam membimbing, mengajarkan, dan mendidik kalian
dengan apa yang belum kalian ketahui, ﴾
لَٱتَّبَعۡتُمُ ٱلشَّيۡطَٰنَ إِلَّا قَلِيلٗا ﴿ "tentulah kamu
meng-ikuti setan, kecuali sebagian kecil saja
(di antaramu)," karena manusia dengan
tabiatnya adalah zhalim lagi bodoh, dan nafsunya tidaklah
menyuruhnya kecuali kepada kejahatan, namun bila ia bersandar
kepada Rabbnya dan berpegang teguh denganNya dan ia berjuang
dalam hal tersebut, niscaya Rabbnya akan mengasihi dan
membim-bingnya kepada segala kebaikan dan menjaganya dari setan
yang terkutuk.
{فَقَاتِلْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ لَا تُكَلَّفُ إِلَّا
نَفْسَكَ وَحَرِّضِ الْمُؤْمِنِينَ عَسَى اللَّهُ أَنْ يَكُفَّ
بَأْسَ الَّذِينَ كَفَرُوا وَاللَّهُ أَشَدُّ بَأْسًا
وَأَشَدُّ تَنْكِيلًا (84)}
.
"Maka berperanglah kamu pada jalan Allah, tidaklah kamu dibebani
melainkan dengan kewajiban kamu sendiri. Kobarkanlah semangat
para Mukmin
(untuk berperang).
Mudah-mudahan Allah menolak serangan orang-orang yang kafir itu,
dan Allah amat besar kekuatan dan amat keras siksaan
(Nya)."
(An-Nisa`: 84).
#
{84} هذه الحالة أفضل أحوال العبد؛
أن يجتهدَ في نفسه على امتثال أمر الله من الجهاد وغيره، ويحرِّض
غيره عليه، وقد يعدم في العبد الأمران أو أحدهما؛ فلهذا قال
[اللهُ] لرسوله:
{فقاتِلْ في سبيل الله لا تُكَلَّفُ إلا نفسَك}؛ أي: ليس عليك قدرة على غير نفسك، فلن
تُكَلَّفَ بفعل غيرك.
{وحرِّضِ المؤمنين} على القتال،
وهذا يشمل كلَّ أمر يحصُل به نشاط المؤمنين وقوَّة قلوبهم؛ من
تقويتهم، والإخبار بضَعْف الأعداء وفشلهم، وبما أعدَّ الله
للمقاتلين من الثواب، وما على المتخلِّفين من العقاب؛ فهذا
وأمثاله كلُّه يدخُل في التحريض على القتال.
{عسى الله أن يكفَّ بأس الذين كفروا}؛ أي: بقتالِكم في سبيل الله وتحريض
بعضِكم بعضاً.
{والله أشدُّ بأساً}؛
أي:
قوة وعزَّة، {وأشدُّ تنكيلاً}:
بالمذنب في نفسه وتنكيلاً لغيره؛ فلو شاء تعالى؛ لانتصر من
الكفار بقوَّته، ولم يجعلْ لهم باقيةً، ولكن من حكمتِهِ يبلو بعض
عبادِهِ ببعض؛ ليقوم سوق الجهاد، ويحصُل الإيمان النافع إيمان
الاختيار لا إيمان الاضطرار، والقَهْر الذي لا يفيدُ شيئاً.
(84) Kondisi ini adalah kondisi terbaik
bagi seorang hamba, yaitu ia berjuang dalam dirinya untuk
melaksanakan perintah Allah berupa jihad ataupun lainnya, dan ia
juga mendorong orang lain kepada hal tersebut, terkadang seorang
hamba tidak berada pada kedua kondisi itu atau hanya berada pada
salah satunya, oleh karena itu Allah berfirman kepada RasulNya,
﴾ فَقَٰتِلۡ فِي سَبِيلِ ٱللَّهِ لَا تُكَلَّفُ إِلَّا نَفۡسَكَۚ
﴿ "Maka berperanglah kamu pada jalan Allah, tidaklah kamu
dibebani melainkan dengan kewajiban kamu sendiri," maksudnya,
tidak ada kemampuan bagimu terhadap selain dirimu, maka
tidaklah kamu dibebankan dengan perbuatan orang lain, ﴾
وَحَرِّضِ ٱلۡمُؤۡمِنِينَۖ
﴿ "dan kobarkanlah semangat para Mukmin
(untuk berperang)," yakni, untuk
berjihad, hal ini mencakup segala hal yang mampu mengobarkan
semangat kaum Mukminin dan kekuatan hati mereka, berupa
tin-dakan memperkuat
(lahir dan batin) mereka, mengabarkan
tentang kelemahan musuh dan kegagalan mereka dan tentang janji
yang akan diberikan oleh Allah bagi orang-orang yang berjihad
berupa pahala, dan hal yang akan diterima oleh orang-orang
yang tidak ikut dalam peperangan berupa siksaan, hal ini dan
yang sema-camnya termasuk dari tindakan mengobarkan semangat
untuk berjihad. ﴾
عَسَى ٱللَّهُ أَن يَكُفَّ بَأۡسَ ٱلَّذِينَ كَفَرُواْۚ
﴿ "Mudah-mudahan Allah menolak se-rangan orang-orang yang
kafir itu," yaitu dengan berperangnya kalian di jalan Allah
dan pengobaran semangat dari sebagian kalian kepada sebagian
lainnya, ﴾
وَٱللَّهُ أَشَدُّ بَأۡسٗا
﴿ "dan Allah amat besar kekuatanNya" yaitu kemampuan dan
kemuliaanNya, ﴾
وَأَشَدُّ تَنكِيلٗا ﴿ "dan amat keras siksaan
(Nya)" terhadap seorang pelaku dosa pada dirinya sendiri, dan
siksaanNya terhadap selain dirinya. Sekiranya Allah
meng-hendaki, niscaya Allah akan mengalahkan kaum kafir dengan
ke-kuatanNya, dan tidak akan menyisakan mereka sedikit pun juga,
akan tetapi di antara hikmahNya adalah Allah menguji sebagian
hamba-hambaNya dengan sebagian lainnya, agar jihad itu
terlak-sana, dan agar tumbuh keimanan yang berguna yaitu
keimanan atas dasar pilihan dan bukan keimanan paksaan atau
tekanan yang tidak berguna sama sekali.
{مَنْ يَشْفَعْ شَفَاعَةً حَسَنَةً يَكُنْ لَهُ نَصِيبٌ
مِنْهَا وَمَنْ يَشْفَعْ شَفَاعَةً سَيِّئَةً يَكُنْ لَهُ
كِفْلٌ مِنْهَا وَكَانَ اللَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ مُقِيتًا
(85)}
.
"Barangsiapa yang memberikan syafa'at yang baik, niscaya ia akan
memperoleh bagian
(pahala) dari padanya.
Dan barang-siapa memberi syafa'at yang buruk, niscaya ia akan
memikul bagian
(dosa) dari padanya. Dan
Allah Mahakuasa atas segala sesuatu."
(An-Nisa`: 85).
#
{85} المراد بالشفاعة هنا
المعاونةُ على أمرٍ من الأمور؛ فمنْ شَفَعَ غيرَهُ وقام معه على
أمرٍ من أمور الخير ومنه الشفاعة للمظلومين لمن ظلمهم؛ كان له
نصيبٌ من شفاعته بحسب سعيه وعمله ونفعه، ولا ينقُصُ من أجر
الأصيل أو المباشر شيءٌ، ومن عاون غيره على أمر من الشرِّ؛ كان
عليه كِفْلٌ من الإثم بحسب ما قام به وعاون عليه. ففي هذا الحثُّ
العظيم على التعاون على البر والتقوى، والزجر العظيم عن التعاون
على الإثم والعدوان. وقرَّر ذلك بقوله:
{وكان الله على كل شيء مُقيتاً}؛ أي: شاهداً حفيظاً حسيباً على هذه
الأعمال، فيجازي كلاًّ ما يستحقُّه.
(85) Maksud dari syafa'at di sini adalah
bantuan atas suatu urusan, barangsiapa yang memberikan syafa'at
kepada orang lain dan melakukan suatu perkara dari
perbuatan-perbuatan baik bersamanya, di antaranya adalah
syafa'at untuk orang-orang yang teraniaya kepada para pelaku
kezhaliman, ia mendapat bagian pahala dari syafa'atnya itu
sesuai dengan usaha, perbuatan, dan nilai manfaatnya, dan
tidaklah akan berkurang sedikit pun pahala orang yang langsung
berkenaan dengannya. Dan barangsiapa yang menolong orang lain
dalam suatu keburukan, maka dia mendapat bagian dari dosa sesuai
dengan apa yang ia lakukan dan apa yang ia bantu. Hal ini adalah
sebuah anjuran yang besar untuk saling tolong menolong dalam
kebaikan dan takwa, dan ancaman yang keras dari tolong menolong
dalam dosa dan kejahatan. Dan Allah menetapkan hal itu dalam
FirmanNya, ﴾ وَكَانَ ٱللَّهُ عَلَىٰ كُلِّ شَيۡءٖ مُّقِيتٗا ﴿
"Dan Allah Mahakuasa atas segala sesuatu" yaitu sebagai saksi,
menyimpan, dan menghitung segala perbuatan-perbuatan tersebut,
lalu mem-balas setiap perbuatan sesuai dengan haknya
masing-masing.
{وَإِذَا حُيِّيتُمْ بِتَحِيَّةٍ فَحَيُّوا بِأَحْسَنَ
مِنْهَا أَوْ رُدُّوهَا إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَى كُلِّ
شَيْءٍ حَسِيبًا (86)}
.
"Apabila kamu dihormati dengan suatu penghormatan, maka balaslah
penghormatan itu dengan yang lebih baik, atau balaslah
(dengan yang serupa). Sesungguhnya Allah
memperhitungkan segala sesuatu."
(An-Nisa`: 86).
#
{86} التحية: هي اللفظ الصادر من
أحد المتلاقيين على وجه الإكرام والدُّعاء وما يقترن بذلك اللفظ
من البشاشة ونحوها، وأعلى أنواع التحية ما ورد به الشرعُ من
السلام ابتداءً وردًّا، فأمر تعالى المؤمنين أنَّهم إذا حُيُّوا
بأيِّ تحيَّة كانت أن يردُّوها بأحسن منها لفظاً وبشاشةً أو
مثلها في ذلك، ومفهوم ذلك النهي عن عدم الردِّ بالكلِّيَّة أو
رَدِّها بدونها.
ويؤخذ من الآية الكريمة الحثُّ على ابتداء السلام والتحيَّة من
وجهين:
أحدهما: أنَّ الله أمر بردِّها بأحسنَ منها أو مثلِها، وذلك
يستلزم أن التحيَّة مطلوبةٌ شرعاً.
والثاني:
ما يُستفادُ من أفعل التفضيل، وهو أحسن، الدالُّ على مشاركة
التحيَّة وردِّها بالحسن؛ كما هو الأصل في ذلك. ويستثنى من عموم
الآية الكريمة من حيَّا بحال غير مأمورٍ بها؛ كعلى مشتغل بقراءةٍ
أو استماع خطبةٍ أو مصلٍّ ونحو ذلك؛ فإنه لا يُطلب إجابةُ
تحيَّته، وكذلك يُستثنى مِن ذلك مَن أمر الشارع بهجره وعدم
تحيَّته، وهو العاصي غير التائب، الذي يرتدِعُ بالهجر؛ فإنَّه
يُهْجَرُ ولا يُحَيَّا ولا تُرَدُّ تحيَّته، وذلك لمعارضة
المصلحة الكبرى، ويدخل في ردِّ التحيَّة كلُّ تحيَّة اعتادها
الناس، وهي غير محظورة شرعاً؛ فإنه مأمورٌ بردِّها أو أحسن
منها.
ثم أوعد تعالى وتوعَّد على فعل الحسنات والسيئاتِ بقوله:
{إنَّ الله كان على كلِّ شيءٍ حسيباً}: فيحفظُ على العباد أعمالهم حَسَنها وسيِّئها، صغيرها وكبيرها،
ثم يجازيهم بما اقتضاه فضلُه وعدلُه وحكمُه المحمود.
(86) Salam penghormatan adalah sebuah
kata yang ber-sumber dari salah seorang dari dua orang yang
bertemu dengan maksud penghormatan dan doa serta segala hal yang
mengiringi ucapan tersebut berupa wajah yang berseri dan
semisalnya. Dan bentuk salam yang paling tinggi adalah apa yang
dijelaskan oleh syariat, baik sebagai permulaan maupun
jawabannya. Allah سبحانه وتعالى memerintahkan kaum Mukminin
bahwa bila mereka diberikan ucapan salam dengan salam apa pun,
maka sepatutnya mereka membalasnya dengan yang lebih baik
darinya, baik perkataan maupun wajah yang berseri, atau dengan
yang sama persis dengan-nya. Pemahaman terbalik
(mafhum al-Mukhalafah) dari hal tersebut
adalah larangan dari tidak membalas sama sekali atau
membalas-nya namun lebih rendah darinya.
Dari ayat ini dapat diambil juga sebuah dalil tentang anjuran
memulai salam dan ucapan selamat dari dua aspek:
Pertama, bahwasanya Allah memerintahkan untuk mem-balasnya
dengan yang lebih baik atau sama persis dengannya, hal itu
menuntut bahwa ucapan penghormatan itu sangat dianjurkan oleh
syariat. Kedua, dapat disarikan dari kata kerja yang menunjukkan
"lebih" atau "paling" yaitu kata lebih baik, di mana hal itu
menun-jukkan akan adanya keikutsertaan ucapan penghormatan dan
ba-lasannya dengan baik, sebagaimana dasarnya memang seperti
itu. Ada pengecualian dari keumuman ayat yang mulia tersebut
bagi orang yang memberikan penghormatan dengan suatu kondisi
yang tidak diperintahkan, seperti memberikan salam kepada orang
yang sedang membaca al-Qur`an atau sedang mendengarkan khutbah
atau seorang yang sedang shalat dan semacamnya, se-sungguhnya
dalam kondisi ini tidaklah dianjurkan untuk memba-las salam
tersebut, demikian juga dikecualikan dari ayat ini adalah orang
yang telah diperintahkan oleh syariat untuk dijauhi dan tidak
diberikan ucapan penghormatan, seperti seorang pelaku maksiat
yang tidak bertaubat, yang mana orang tersebut akan tercegah
dari kemaksiatannya dengan tindakan itu, maka, sesung-guhnya
orang seperti itu dihajr
(dijauhi) tidak
diberikan ucapan penghormatan dan ucapan penghormatan darinya
tidaklah dibalas, yang demikian itu karena bertentangan dengan
kemaslahatan yang lebih besar. Dan yang termasuk dalam membalas
ucapan penghor-matan adalah setiap ucapan penghormatan yang
telah terbiasa diucapkan oleh suatu masyarakat, dan ucapan itu
bukanlah suatu yang dilarang secara syariat, maka harus dibalas
sepertinya atau lebih baik darinya. Kemudian Allah سبحانه وتعالى
menjanjikan balasan
(ke-baikan) atas
segala perbuatan baik dan mengancam segala perbuat-an buruk
dengan FirmanNya, ﴾ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَلَىٰ كُلِّ شَيۡءٍ
حَسِيبًا ﴿ "Sesungguhnya Allah memperhitungkan segala sesuatu,"
Allah menyimpan segala perbuatan-perbuatan para hamba, yang baik
maupun yang buruk, yang kecil maupun yang besar, kemudian Allah
akan membalas mereka dengan apa yang ditetapkan oleh karunia,
keadilan, dan hikmahNya yang terpuji.
{اللَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ لَيَجْمَعَنَّكُمْ إِلَى
يَوْمِ الْقِيَامَةِ لَا رَيْبَ فِيهِ وَمَنْ أَصْدَقُ مِنَ
اللَّهِ حَدِيثًا (87)}
.
"Allah, tidak ada tuhan
(yang berhak disembah) melainkan Dia.
Sesungguhnya Dia akan mengumpulkan kamu di Hari Kiamat, yang
tidak ada keraguan terjadinya. Dan siapakah orang yang lebih
benar perkataan
(nya) daripada Allah?"
(An-Nisa`: 87).
#
{87} يخبر تعالى عن انفرادِهِ
بالوحدانيَّة، وأنَّه لا معبود ولا مألوه إلاَّ هو لكمالِهِ في
ذاته وأوصافه، ولكونِهِ المنفردَ بالخلق والتدبير والنِّعم
الظاهرة والباطنة، وذلك يستلزم الأمر بعبادتِهِ والتقرُّب إليه
بجميع أنواع العبوديَّة؛ لكونِهِ المستحقَّ لذلك وحده، والمجازي
للعباد بما قاموا به من عبوديَّته أو تركوه منها، ولذلك أقسم على
وقوع محلِّ الجزاء، وهو يوم القيامة،
فقال:
{لَيَجْمَعَنَّكم}؛
أي:
أولكم وآخركم، في مقام واحد، في
{يوم القيامة لا ريبَ فيه}؛
أي:
لا شكَّ ولا شبهة بوجهٍ من الوجوه بالدليل العقلي والدليل
السمعي. فالدليل العقليُّ ما نشاهدُهُ من إحياء الأرض بعد موتها،
ومن وجود النَّشأة الأولى التي وقوع الثانية أولى منها بالإمكان،
ومن الحكمة التي يجزمُ بأنَّ الله لم يخلق خلقه عبثاً يَحْيَوْنَ
ثم يموتون. وأما الدليل السمعيُّ؛ فهو إخبار أصدق الصادقين بذلك،
بل إقسامه عليه، ولهذا قال:
{ومَن أصدقُ من الله حديثاً}، كذلك
أمر رسولَه - صلى الله عليه وسلم - أن يُقْسِمَ عليه في غير موضع
من القرآن؛ كقوله تعالى:
{زَعَمَ الذين كفروا أن لن يُبْعَثوا، قل بلى وَرَبِّي
لَتُبْعَثُنَّ ثم لَتُنَبَّؤنَّ بما عمِلْتُم وذلك على الله
يسيرٌ}. وفي قوله:
{ومن أصدقُ من الله حديثاً}،
{ومن أصدق من الله قِيلاً}: إخبارٌ
بأنَّ حديثه وأخباره وأقواله في أعلى مراتب الصدق، بل أعلاها،
فكلُّ ما قيل في العقائد والعلوم والأعمال مما يناقِضُ ما أخبر
الله به؛ فهو باطلٌ لمناقضته للخبر الصادق اليقين؛ فلا يمكِنُ أن
يكون حقًّا.
(87) Allah سبحانه وتعالى mengabarkan
tentang keesaanNya, dan bahwa-sanya tidak ada yang berhak
disembah dan tidak ada yang berhak dituhankan kecuali Allah,
karena kesempurnaanNya pada Dzat dan sifat-sifatNya, dan karena
hanya Dia-lah yang Esa dalam pencipta-an, pengaturan, memberi
nikmat, yang lahir maupun yang batin, yang demikian itu menuntut
adanya perintah untuk beribadah dan mendekatkan diri kepadaNya
dengan segala bentuk penyembahan, karena memang hanya Dia-lah
yang berhak untuk itu, dan Dia memberikan balasan kepada
hamba-hambaNya yang telah mela-kukan peribadahan kepadaNya atau
yang telah mereka tinggal-kan darinya, oleh karena itu Allah
bersumpah terhadap tempat pembalasan yang pasti terjadi, yaitu
Hari Kiamat dalam Firman-Nya, ﴾ لَيَجۡمَعَنَّكُمۡ
﴿ "Dia akan mengumpulkan kamu" yaitu dari orang-orang
terdahulu hingga orang-orang terakhir, pada tempat yang satu,
pada ﴾
يَوۡمِ ٱلۡقِيَٰمَةِ لَا رَيۡبَ فِيهِۗ
﴿ "Hari Kiamat, yang tidak ada keraguan terjadinya,"
maksudnya, tidak ada kebimbangan dan tidak ada kerancuan dalam
bentuk apa pun dengan adanya dalil logika mau-pun dalil dari
wahyu (dalil sam'i). Adapun dalil
logika yaitu apa yang kita saksikan berupa menghidupkan
kembali bumi yang telah mati, terjadinya pencip-taan pertama
di mana penciptaan selanjutnya adalah lebih mudah, dan di
antara hikmah yang memastikan bahwa Allah tidaklah menciptakan
makhluk itu secara sia-sia adalah mereka hidup lalu meninggal.
Adapun dalil sam'i yaitu kabar dari Dzat yang paling benar
tentang hal tersebut, dan bahkan Dia bersumpah atas perkara
itu, karena itulah Allah berfirman, ﴾
وَمَنۡ أَصۡدَقُ مِنَ ٱللَّهِ حَدِيثٗا
﴿ "Dan siapakah orang yang lebih benar perkataan(nya)
daripada Allah?" Demikian juga Allah memerintahkan RasulNya ﷺ
agar bersumpah atasnya pada tempat lain dalam al-Qur`an,
seperti Firman Allah سبحانه وتعالى, ﴾
زَعَمَ ٱلَّذِينَ كَفَرُوٓاْ أَن لَّن يُبۡعَثُواْۚ قُلۡ بَلَىٰ
وَرَبِّي لَتُبۡعَثُنَّ ثُمَّ لَتُنَبَّؤُنَّ بِمَا عَمِلۡتُمۡۚ
وَذَٰلِكَ عَلَى ٱللَّهِ يَسِيرٞ 7
﴿ "Orang-orang yang kafir mengatakan bahwa mereka sekali-kali
tidak akan dibangkitkan. Katakanlah, 'Tidak demikian, demi
Rabbku, benar-benar kamu akan dibangkitkan, kemudian akan
diberitakan kepada-mu apa yang telah kamu kerjakan.' Yang
demikian itu adalah mudah bagi Allah."
(At-Taghabun: 7). Dan pada FirmanNya, ﴾
وَمَنۡ أَصۡدَقُ مِنَ ٱللَّهِ قِيلٗا ﴿ "Dan siapakah yang lebih
benar perkataannya daripada Allah?"
(An-Nisa`: 122),
adalah sebuah pemberitahuan bahwa perkataanNya, kabar-kabar-Nya
dan pembicaraan-pembicaraanNya adalah pada tingkatan kebenaran
tertinggi, bahkan yang tertinggi padanya, maka setiap perkataan
yang diungkapkan tentang akidah, ilmu, dan perbuatan yang
bertentangan dengan apa yang dikabarkan oleh Allah adalah batil,
karena bertentangan dengan kabar yang benar dan yakin, dan
tidaklah mungkin hal tersebut menjadi benar.
{فَمَا لَكُمْ فِي الْمُنَافِقِينَ فِئَتَيْنِ وَاللَّهُ
أَرْكَسَهُمْ بِمَا كَسَبُوا أَتُرِيدُونَ أَنْ تَهْدُوا مَنْ
أَضَلَّ اللَّهُ وَمَنْ يُضْلِلِ اللَّهُ فَلَنْ تَجِدَ لَهُ
سَبِيلًا (88) وَدُّوا لَوْ
تَكْفُرُونَ كَمَا كَفَرُوا فَتَكُونُونَ سَوَاءً فَلَا
تَتَّخِذُوا مِنْهُمْ أَوْلِيَاءَ حَتَّى يُهَاجِرُوا فِي
سَبِيلِ اللَّهِ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَخُذُوهُمْ وَاقْتُلُوهُمْ
حَيْثُ وَجَدْتُمُوهُمْ وَلَا تَتَّخِذُوا مِنْهُمْ وَلِيًّا
وَلَا نَصِيرًا (89) إِلَّا الَّذِينَ
يَصِلُونَ إِلَى قَوْمٍ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهُمْ مِيثَاقٌ أَوْ
جَاءُوكُمْ حَصِرَتْ صُدُورُهُمْ أَنْ يُقَاتِلُوكُمْ أَوْ
يُقَاتِلُوا قَوْمَهُمْ وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ لَسَلَّطَهُمْ
عَلَيْكُمْ فَلَقَاتَلُوكُمْ فَإِنِ اعْتَزَلُوكُمْ فَلَمْ
يُقَاتِلُوكُمْ وَأَلْقَوْا إِلَيْكُمُ السَّلَمَ فَمَا جَعَلَ
اللَّهُ لَكُمْ عَلَيْهِمْ سَبِيلًا
(90) سَتَجِدُونَ آخَرِينَ يُرِيدُونَ
أَنْ يَأْمَنُوكُمْ وَيَأْمَنُوا قَوْمَهُمْ كُلَّ مَا رُدُّوا
إِلَى الْفِتْنَةِ أُرْكِسُوا فِيهَا فَإِنْ لَمْ
يَعْتَزِلُوكُمْ وَيُلْقُوا إِلَيْكُمُ السَّلَمَ وَيَكُفُّوا
أَيْدِيَهُمْ فَخُذُوهُمْ وَاقْتُلُوهُمْ حَيْثُ
ثَقِفْتُمُوهُمْ وَأُولَئِكُمْ جَعَلْنَا لَكُمْ عَلَيْهِمْ
سُلْطَانًا مُبِينًا (91)}
.
"Maka mengapa kamu
(terpecah) menjadi
dua golongan dalam
(menghadapi) orang-orang munafik,
padahal Allah telah membalikkan mereka kepada kekafiran,
disebabkan usaha mereka sendiri? Apakah kamu bermaksud memberi
petunjuk kepada orang-orang yang telah disesatkan Allah?
Barangsiapa yang disesatkan Allah, sekali-kali kamu tidak
mendapatkan jalan
(untuk memberi petunjuk) kepadanya.
Mereka ingin supaya kamu menjadi kafir sebagaimana mereka telah
menjadi kafir, lalu kamu menjadi sama
(dengan mereka). Maka janganlah kamu
jadikan di antara mereka penolong-penolong
(mu), hingga mereka berhijrah pada jalan Allah. Jika mereka
berpaling, maka tawan dan bunuhlah mereka di mana saja kamu
menemuinya, dan janganlah kamu ambil seorang pun di antara
mereka menjadi pelindung, dan jangan
(pula) menjadi penolong, kecuali
orang-orang yang meminta perlindungan kepada sesuatu kaum, yang
antara kamu dan kaum itu telah ada perjan-jian
(damai) atau orang-orang yang datang
kepada kamu sedang hati mereka merasa keberatan untuk memerangi
kamu dan meme-rangi kaumnya. Kalau Allah menghendaki, tentu Dia
memberi kekuasaan kepada mereka terhadap kamu, lalu pastilah
mereka memerangimu. Tetapi jika mereka membiarkan kamu, dan
tidak memerangi kamu serta mengemukakan perdamaian kepadamu,
maka Allah tidak memberi jalan bagimu
(untuk menawan dan membunuh) mereka.
Kelak kamu akan dapati
(golongan-golongan) yang lain, yang
bermaksud supaya mereka aman darimu dan aman
(pula) dari kaumnya. Setiap mereka
diajak kembali kepada fitnah
(syirik),
mereka pun terjun ke dalamnya. Karena itu jika mereka tidak
membiarkan kamu dan
(tidak) mau
mengemukakan perda-maian kepadamu, serta
(tidak) menahan tangan mereka
(dari me-merangimu), maka tawanlah
mereka dan bunuhlah mereka di mana saja kamu menemui mereka, dan
merekalah orang-orang yang Kami berikan kepadamu alasan yang
nyata
(untuk menawan dan membunuh) mereka."
(An-Nisa`: 88-91).
#
{88 ـ 89} المراد بالمنافقين
المذكورين في هذه الآيات، المنافقون المظهِرون إسلامَهم ولم
يهاجِروا مع كفرِهم، وكان قد وقع بين الصحابة رضوانُ الله عليهم
فيهم اشتباهٌ ؛ فبعضُهم تحرَّج عن قتالهم وقطْع موالاتهم بسبب ما
أظهروه من الإيمان، وبعضُهم عَلِمَ أحوالهم بقرائن أفعالهم
فحَكَمَ بكفرِهم، فأخبرهم الله تعالى أنه لا ينبغي لكم أن
تشتبهوا فيهم ولا تشكُّوا، بل أمرُهم واضحٌ غيرُ مُشْكِل، إنهم
منافقون، قد تكرَّر كفرُهم وودُّوا مع ذلك كفركم وأن تكونوا
مثلهم؛ فإذا تحقَّقتم ذلك منهم؛
{فلا تتَّخِذوا منهم أولياء}: وهذا
يستلزم عدم محبَّتِهم؛ لأنَّ الولاية فرع المحبَّة، ويستلزم
أيضاً بُغْضَهم وعداوتهم؛ لأن النهي عن الشيء أمر بضده، وهذا
الأمر موقَّت بهجرتهم؛ فإذا هاجروا؛ جرى عليهم ما جرى على
المسلمين؛ كما كان النبي - صلى الله عليه وسلم - يُجْري أحكام
الإسلام؛ لكلِّ مَن كان معه وهاجر إليه، وسواء كان مؤمناً حقيقةً
أو ظاهر الإيمان، وإنهم إن لم يهاجروا وتولَّوا عنها؛
{فخُذوهم واقتُلوهم حيث وجدتُموهم}؛ أي: في أيِّ وقت وأيِّ محلٍّ كان،
وهذا من جملة الأدلة الدَّالة على نسخ القتال في الأشهر الحرم؛
كما هو قول جمهور العلماء،
والمنازعون يقولون:
هذه نصوص مطلقة محمولةٌ على تقييد التحريم في الأشهر الحرم.
(88-89) Yang dimaksud dengan orang-orang
munafik yang disebutkan dalam ayat-ayat tersebut adalah
orang-orang munafik yang menampakkan keIslaman mereka namun
mereka tidak ber-hijrah meninggalkan kekufuran mereka, dan
sungguh ketika itu telah terjadi di antara para sahabat رضي الله
عنهم suatu kesimpangsiuran
[32], di
antara mereka merasa keberatan untuk membunuh orang-orang
tersebut dan memutuskan ikatan mereka disebabkan oleh apa yang
mereka tampakkan dari keimanan, dan sebagian lagi mengetahui
kondisi orang-orang tersebut dari sinyal-sinyal perbuatan mereka
lalu menetapkan kekufuran mereka, lalu Allah سبحانه وتعالى
mengabarkan bahwasanya tidak sepatutnya kalian menjadi ragu
tentang orang-orang tersebut dan janganlah kalian bimbang lagi,
akan tetapi per-kara mereka itu adalah jelas dan tidak
menyulitkan sama sekali, bahwa mereka itu adalah orang-orang
munafik, di mana kekufuran mereka telah berulang-ulang dan
mereka sangat berharap dengan kondisi mereka itu akan kekufuran
kalian dan agar kalian sama seperti mereka, lalu bila kalian
telah membuktikan hal tersebut tentang mereka, ﴾ فَلَا
تَتَّخِذُواْ مِنۡهُمۡ أَوۡلِيَآءَ
﴿ "maka janganlah kamu jadikan di antara mereka
penolong-penolong(mu)" hal ini
menuntut agar tidak boleh mencintai mereka, karena pertemanan
itu adalah cabang dari kecintaan, dan juga menuntut untuk
membenci dan memusuhi mereka, karena larangan dari suatu hal
adalah perintah kepada hal yang berlawanan dengannya, namun
hal ini adalah suatu per-kara yang bersifat sementara dengan
hijrahnya mereka, dan bila mereka berhijrah, maka berlakulah
atas mereka apa yang berlaku atas kaum Muslimin, sebagaimana
Nabi ﷺ memberlakukan hukum-hukum Islam terhadap orang-orang
yang bersama dengan beliau dan ikut berhijrah dengan beliau,
baik terhadap Mukmin yang hakiki ataupun Mukmin yang lahirnya
saja, akan tetapi bila mereka tidak berhijrah dan berpaling
darinya, ﴾
فَخُذُوهُمۡ وَٱقۡتُلُوهُمۡ حَيۡثُ وَجَدتُّمُوهُمۡۖ ﴿ "maka tawan
dan bunuhlah mereka di mana saja kamu menemui mereka" yaitu
kapan pun dan di mana pun, ini adalah di antara dalil-dalil yang
menunjukkan atas mansukhnya perang pada bulan-bulan haram
sebagaimana menjadi pendapat sebagian besar para ulama, adapun
orang-orang yang tidak sependapat berkata, "Ini adalah nash-nash
yang mutlak yang harus dikaitkan dengan ikatan haram pada
bulan-bulan haram."
#
{90} ثم إن الله استثنى من قتال
هؤلاء المنافقين ثلاث فرق: فرقتين أمر بتركهم وَحتَّم على ذلك:
إحداهما: من يصل إلى قوم بينهم وبين المسلمين عهدٌ وميثاقٌ بترك
القتال، فينضمُّ إليهم، فيكون له حكمُهم في حقن الدم
والمال. والفرقة الثانية: قومٌ
{حَصِرَتْ صدورُهم أن يُقاتِلوكم أو يُقاتِلوا قومَهم}؛ أي: بقوا لا تسمحُ أنفسُهم بقتالِكم
ولا بقتال قومِهم، وأحبُّوا ترك قتال الفريقين؛ فهؤلاء أيضاً
أمَرَ بتركهم،
وذَكَرَ الحكمةَ في ذلك بقوله:
{ولو شاء الله لسلَّطَهم عليكم فَلَقاتَلوكم}؛ فإنَّ الأمورَ الممكنة ثلاثةُ أقسام:
إما أن يكونوا معكم ويقاتِلوا أعداءَكم، وهذا متعذِّر من هؤلاء،
فدار الأمرُ بين قتالِكم مع قومهم، وبين ترك قتال الفريقين، وهو
أهون الأمرين عليكم، والله قادرٌ على تسليطِهم عليكم؛ فاقْبَلوا
العافية واحْمَدوا ربَّكم الذي كفَّ أيدِيَهم عنكم مع التمكُّن
من ذلك؛ فهؤلاء إن اعتزلوكم
{فلم يقاتلوكم وألقوا إليكُمُ السَّلمَ فما جَعَلَ الله لكم
عليهم سبيلاً}.
(90) Kemudian Allah سبحانه وتعالى
mengecualikan dalam memerangi orang-
orang munafik tersebut dengan tiga kelompok:
Dua kelompok di antaranya diperintahkan secara tegas untuk tidak
memerangi mereka. Kelompok pertama; orang yang sampai pada suatu
kaum di mana antara mereka dengan kaum Mukminin ada perjanjian
dan persetujuan untuk tidak saling berperang, lalu orang
tersebut ber-gabung bersama mereka, hingga ketentuan untuknya
adalah seperti ketentuan terhadap kaum tersebut bahwa darah dan
hartanya terlindungi.
Kelompok kedua:
Sebuah kaum, di mana ﴾ حَصِرَتۡ صُدُورُهُمۡ أَن يُقَٰتِلُوكُمۡ
أَوۡ يُقَٰتِلُواْ قَوۡمَهُمۡۚ
﴿ "hati mereka merasa keberatan untuk memerangi kamu dan
memerangi kaumnya" yaitu hati mereka tetap tidak sudi untuk
meme-rangi kalian dan tidak juga memerangi kaum mereka dan
mereka lebih suka untuk tidak memerangi kedua belah pihak,
maka orang-orang tersebut Allah perintahkan juga untuk tidak
diperangi, lalu Allah menyebutkan hikmah dalam hal tersebut
melalui FirmanNya, ﴾
وَلَوۡ شَآءَ ٱللَّهُ لَسَلَّطَهُمۡ عَلَيۡكُمۡ فَلَقَٰتَلُوكُمۡۚ
﴿ "Kalau Allah menghendaki, tentu Dia mem-beri kekuasaan
kepada mereka terhadap kamu, lalu pastilah mereka
me-merangimu" karena sesungguhnya perkara-perkara yang mungkin
terjadi ada tiga macam; mereka bersama kalian dan ikut bersama
kalian memerangi musuh-musuh kalian, namun hal ini tidak
mungkin terjadi dari mereka, maka berlakulah antara dua
perkara yaitu memerangi kalian bersama kaum mereka atau tidak
meme-rangi kedua belah pihak, dan terakhir itulah perkara yang
paling mudah atas kalian, dan Allah Mahakuasa untuk membuat
mereka menguasai kalian, maka terimalah keselamatan itu dan
pujilah Rabb kalian yang telah menahan mereka dari memerangi
kalian dengan kemungkinan bahwa mereka mampu akan hal
tersebut. Mereka itu bila membiarkan kalian, ﴾
فَلَمۡ يُقَٰتِلُوكُمۡ وَأَلۡقَوۡاْ إِلَيۡكُمُ ٱلسَّلَمَ فَمَا
جَعَلَ ٱللَّهُ لَكُمۡ عَلَيۡهِمۡ سَبِيلٗا ﴿ "dan tidak memerangi
kamu serta mengemukakan perdamaian kepadamu, maka Allah tidak
memberi jalan bagimu
(untuk menawan dan membunuh) mereka."
#
{91} الفرقة الثالثة: قومٌ يريدون
مصلحة أنفسهم، بقطع النظر عن احترامكم،
وهم الذين قال الله فيهم:
{ستجِدون آخرينَ}؛
أي:
من هؤلاء المنافقين.
{يريدونَ أن يأمَنوكم}؛
أي:
خوفاً منكم،
{ويأمنوا قومَهم كلَّما رُدُّوا إلى الفتنةِ أُرْكِسوا
فيها}؛ أي: لا يزالون مقيمين على كفرِهم
ونفاقِهم، وكلَّما عَرَضَ لهم عارضٌ من عوارض الفتنِ؛ أعماهم
ونَكَّسَهُم على رؤوسهم وازداد كفرُهم ونفاقُهم، وهؤلاء في
الصورة كالفرقة الثانية، وفي الحقيقة مخالفة لها؛ فإنَّ الفرقة
الثانية تركوا قتال المؤمنين احتراماً لهم لا خوفاً على أنفسهم،
وأما هذه الفرقة؛ فتركوه خوفاً لا احتراماً، بل لو وجدوا فرصةً
في قتال المؤمنين؛ فإنَّهم سيُقِدمون لانتهازها؛ فهؤلاء إن لم
يتبيَّن منهم، ويتَّضح اتِّضاحاً عظيماً اعتزال المؤمنين وترك
قتالهم؛ فإنَّهم يقاتَلون، ولهذا قال:
{فإن لم يعتزِلوكم ويُلْقوا إليكُمُ السَّلمَ}؛ أي: المسالمة والموادعة،
{ويَكُفُّوا أيديَهم فخذوهم واقتلوهم حيث ثَقِفْتُموهم
وأولئكم جعلنا لكم عليهم سلطاناً مُبيناً}؛ أي: حجةً بيِّنةً واضحةً؛ لكونهم
معتدين ظالمين لكم تاركين للمسالمة؛ فلا يلوموا إلا أنفسهم.
(91) Kelompok ketiga: Sebuah kaum yang
menghendaki ke-maslahatan bagi diri mereka sendiri, terlepas
dari penghormatan kalian, mereka itu adalah orang-orang yang
Allah berfirman tentang mereka, ﴾ سَتَجِدُونَ ءَاخَرِينَ
﴿ "Kelak kamu akan dapati
(golongan-golongan) yang lain" yaitu
di antara orang-orang munafik tersebut,﴾
يُرِيدُونَ أَن يَأۡمَنُوكُمۡ
﴿ "yang bermaksud supaya mereka aman dari pada kamu," yaitu
karena takut kepada kalian, ﴾
وَيَأۡمَنُواْ قَوۡمَهُمۡ كُلَّ مَا رُدُّوٓاْ إِلَى ٱلۡفِتۡنَةِ
أُرۡكِسُواْ فِيهَاۚ
﴿ "dan aman (pula) dari kaumnya.
Setiap mereka diajak kembali kepada fitnah
(syirik), mereka pun terjun ke
dalamnya," maksudnya mereka tetap selalu dalam kekufuran
mereka dan kenifakan mereka, dan setiap kali mereka dihadapkan
dengan suatu fitnah, niscaya hal itu akan membutakan mereka
dan membuat kepala-kepala mereka tertun-duk dan bertambahnya
kekufuran dan kenifakan mereka, mereka ini menurut gambarannya
adalah seperti kelompok yang kedua, akan tetapi pada
hakikatnya sangatlah berbeda, karena sesungguh-nya kelompok
yang kedua itu meninggalkan perang terhadap kaum Mukminin
sebagai suatu penghormatan kepada kaum Mukminin dan bukan
karena takut akan diri mereka, adapun kelompok ini, mereka
meninggalkan perang tersebut karena takut dan bukan
penghormatan, bahkan bila mereka mendapatkan sebuah
kesem-patan untuk memerangi kaum Mukminin, pastilah mereka
akan memberanikan diri untuk memanfaatkan kesempatan tersebut.
Maka meskipun tidak begitu jelas sikap mereka dalam
mem-biarkan dan tidak memerangi kaum Mukminin, akan tetapi
mereka harus diperangi, karena itulah Allah berfirman,﴾
فَإِن لَّمۡ يَعۡتَزِلُوكُمۡ وَيُلۡقُوٓاْ إِلَيۡكُمُ ٱلسَّلَمَ
﴿ "Karena itu jika mereka tidak membiarkan kamu dan
(tidak) mau mengemukakan perdamaian
kepadamu," yaitu mengadakan perjanjian dan perdamaian, ﴾
وَيَكُفُّوٓاْ أَيۡدِيَهُمۡ فَخُذُوهُمۡ وَٱقۡتُلُوهُمۡ حَيۡثُ
ثَقِفۡتُمُوهُمۡۚ وَأُوْلَٰٓئِكُمۡ جَعَلۡنَا لَكُمۡ عَلَيۡهِمۡ
سُلۡطَٰنٗا مُّبِينٗا ﴿ "serta
(tidak) menahan tangan mereka
(dari memerangi-mu), maka tawanlah
mereka dan bunuhlah mereka dan merekalah orang-orang yang Kami
berikan kepadamu alasan yang nyata
(untuk menawan dan membunuh) mereka,"
yaitu suatu alasan yang kuat dan jelas, karena mereka adalah
orang-orang yang melampaui batas dan berlaku zhalim terhadap
kalian dan meninggalkan perdamaian, maka janganlah mereka
mencela kecuali diri mereka sendiri.
{وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ أَنْ يَقْتُلَ مُؤْمِنًا إِلَّا
خَطَأً وَمَنْ قَتَلَ مُؤْمِنًا خَطَأً فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ
مُؤْمِنَةٍ وَدِيَةٌ مُسَلَّمَةٌ إِلَى أَهْلِهِ إِلَّا أَنْ
يَصَّدَّقُوا فَإِنْ كَانَ مِنْ قَوْمٍ عَدُوٍّ لَكُمْ وَهُوَ
مُؤْمِنٌ فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ وَإِنْ كَانَ مِنْ
قَوْمٍ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهُمْ مِيثَاقٌ فَدِيَةٌ مُسَلَّمَةٌ
إِلَى أَهْلِهِ وَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ فَمَنْ لَمْ
يَجِدْ فَصِيَامُ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ تَوْبَةً مِنَ
اللَّهِ وَكَانَ اللَّهُ عَلِيمًا حَكِيمًا
(92)}
.
"Dan tidak layak bagi seorang Mukmin membunuh seorang Mukmin
(yang lain), kecuali karena tersalah
(tidak sengaja), dan barangsiapa
membunuh seorang Mukmin karena tersalah,
(hendak-lah) ia memerdekakan seorang
hamba sahaya yang beriman serta membayar diyat yang diserahkan
kepada keluarganya
(si terbunuh itu),
kecuali jika mereka
(keluarga terbunuh) bersedekah. Jika ia
(si terbunuh) dari kaum yang memusuhimu
padahal ia Mukmin, maka
(hendaklah si pembunuh) memerdekakan
seorang hamba sahaya yang Mukmin. Dan jika ia dari kaum
(kafir) yang ada perjanjian
(damai) antara mereka dengan kamu, maka
(hendaklah si pembunuh) membayar diyat
yang diserahkan kepada keluarga-nya
(si terbunuh) serta memerdekakan hamba
sahaya yang Muk-min. Barangsiapa yang tidak memperolehnya, maka
hendaklah ia
(si pembunuh) berpuasa dua
bulan berturut-turut sebagai cara taubat kepada Allah. Dan Allah
Maha Mengetahui lagi Mahabi-jaksana."
(An-Nisa`: 92).
#
{92} هذه الصيغة من صيغ
الامتناع، أي: يمتنع ويستحيل أن يصدر من
مؤمن قتلُ مؤمنٍ؛ أي: متعمداً. وفي هذا
الإخبار بشدَّة تحريمه وأنه منافٍ للإيمان أشدَّ منافاة، وإنَّما
يصْدر ذلك إمَّا من كافر أو من فاسق قد نَقَصَ إيمانه نقصاً
عظيماً ويُخشَى عليه ما هو أكبر من ذلك؛ فإنَّ الإيمان الصحيح
يمنعُ المؤمن من قتل أخيه الذي قد عَقَدَ الله بينَه وبينَه
الأخوَّة الإيمانيَّة التي من مقتضاها محبَّته وموالاته وإزالة
ما يعرض لأخيه من الأذى، وأيُّ أذىً أشد من القتل؟! وهذا يصدقه
قوله - صلى الله عليه وسلم -:
«لا ترجِعوا بعدي كفَّاراً يضرِبُ بعضُكم رقابَ بعض»
، فعُلِمَ أنَّ القتل من الكفر العمليِّ، وأكبر الكبائر بعد
الشرك بالله. ولما كان قوله:
{وما كان لمؤمنٍ أن يقتُلَ مؤمناً}: لفظاً عامًّا لجميع الأحوال، وأنه لا يصدُرُ منه قتلُ أخيه
بوجهٍ من الوجوه؛ استثنى تعالى قتلَ الخطأ،
فقال:
{إلَّا خطأً}؛ فإنَّ المخطئ الذي
لا يقصد القتل غير آثم ولا متجرئ على محارم الله، ولكنه لما كان
قد فعل فعلاً شنيعاً وصورتُهُ كافيةٌ في قبحه وإن لم يقصِدْه؛
أمر تعالى بالكفَّارة والدِّية، فقال:
{ومَن قَتَلَ مؤمناً خطأً}: سواء
كان القاتلُ ذكراً أو أنثى حُرًّا أو عبداً صغيراً أو كبيراً
عاقلاً أو مجنوناً مسلماً أو كافراً؛ كما يفيده لفظ
{مَنْ} الدالة على العموم، وهذا من
أسرار الإتيان بـ «مَن» في هذا
الموضع؛
فإنَّ سياق الكلام يقتضي أنه يقول:
فإن قتله، ولكن هذا لفظٌ لا يشمل ما تشمله
«مَنْ»، وسواء كان المقتول ذكراً أو
أنثى صغيراً أو كبيراً؛ كما يفيده التنكير في سياق الشرط؛ فإنَّ
على القاتل {تحريرُ رقبةٍ مؤمنةٍ}:
كفارةً لذلك، تكون في مالِه، ويشمل ذلك الصغير والكبير والذكر
والأنثى والصحيح والمعيب في قول بعض العلماء، ولكن الحكمة تقتضي
أن لا يُجزئ عتق المعيب في الكفارة؛ لأن المقصود بالعتق نفعُ
العتيق ومُلْكُه منافع نفسه؛ فإذا كان يضيع بعتقه، وبقاؤه في
الرقِّ أنفع له؛ فإنه لا يجزئ عتقه،
مع أن في قوله:
{تحرير رقبة}؛ ما يدلُّ على ذلك؛
فإن التحرير تخليصُ مَنِ استحقت منافعُهُ لغيرِهِ أن تكون له؛
فإذا لم يكن فيه منافع؛ لم يُتَصَوَّر وجود التحرير، فتأمَّل
ذلك؛ فإنه واضح. وأما الدِّية؛ فإنها تجب على عاقلة القاتل في
الخطأ وشبه العمد.
{مسلَّمةٌ إلى أهله}: جبراً
لقلوبهم. والمراد بـ {أهله} هنا هم
ورثتُهُ؛ فإن الورثة يرثون ما ترك الميت، فالدِّية داخلةٌ فيما
ترك، وللدِّيةِ تفاصيل كثيرة مذكورة في كتب الفقه.
وقوله:
{إلَّا أن يَصَّدَّقوا}؛
أي:
يتصدَّق ورثة القتيل بالعفو عن الدِّية؛ فإنها تسقُط، وفي ذلك
حثٌّ لهم على العفو؛ لأنَّ الله سمّاها صدقةً، والصدقة مطلوبة في
كلِّ وقت. {فإن كان} المقتول
{من قوم عدوٍّ لكم}؛
أي:
من كفارٍ حَرْبيِّينَ،
{وهو مؤمنٌ فتحريرُ رقبةٍ مؤمنةٍ}؛ أي: وليس عليكم لأهله دِيَةٌ؛ لعدم
احترامهم في دمائهم وأموالهم.
{وإن كان}: المقتول
{من قوم بينكم وبينهم ميثاقٌ فَدِيَةٌ مسلَّمةٌ إلى أهله
وتحريرُ رقبة مؤمنة}، وذلك لاحترام أهله بما لهم من العهد والميثاق.
{فَمَن لم يجد}: الرقبةَ ولا
ثمنها؛ بأن كان معسراً بذلك، ليس عنده ما يَفْضُلُ عن مؤنته
وحوائجه الأصلية شيء يفي بالرَّقبة.
{فصيام شهرين متتابعين}؛
أي:
لا يفطر بينهما من غير عذرٍ؛ فإن أفطر لعذرٍ؛ فإن العذر لا يقطع
التتابع؛ كالمرض والحيض ونحوهما، وإن كان لغير عذرٍ؛ انقطع
التتابُع، ووجب عليه استئناف الصوم،
{توبةً من الله}؛
أي:
هذه الكفارات التي أوجبها الله على القاتل توبةً من الله على
عباده ورحمةً بهم وتكفيراً لما عساه أن يحصُلَ منهم من تقصير
وعدم احتراز كما هو الواقع كثيراً للقاتل خطأ.
{وكان الله عليماً حكيماً}؛
أي:
كامل العلم كامل الحكمة، لا يخفى عليه مثقال ذرَّة في الأرض ولا
في السماء، ولا أصغر من ذلك ولا أكبر، في أي وقت كان وأي محلٍّ
كان، ولا يخرج عن حكمتِهِ من المخلوقات والشرائع شيءٌ، بل كل ما
خلقه وشرعه فهو متضمِّن لغاية الحكمة. ومن علمه وحكمته أن أوجب
على القاتل كفارةً مناسبةً لما صدر منه؛ فإنَّه تسبَّب لإعدام
نفس محترمة، وأخرجها من الوجود إلى العدم، فناسب أن يَعْتِقَ
رقبةً ويخرِجَها من رِقِّ العبوديَّة للخلق إلى الحريَّة
التامَّة؛ فإنْ لم يجد هذه الرقبة؛ صام شهرين متتابعين، فأخرج
نفسه من رقِّ الشهوات واللَّذَّات الحسيَّة القاطعة للعبد عن
سعادتِهِ الأبديَّة إلى التعبُّد لله تعالى بتركها تقرباً إلى
الله، ومدَّها تعالى بهذه المدة الكثيرة الشاقَّة في عددها ووجوب
التتابُع فيها، ولم يشرع الإطعام في هذه المواضع لعدم المناسبة؛
بخلاف الظِّهار؛ كما سيأتي إن شاء الله تعالى. ومن حكمته أن أوجب
في القتل الدِّية، ولو كان خطأ؛ لتكون رادعةً وكافَّةً عن كثير
من القتل باستعمال الأسباب العاصمة عن ذلك. ومن حكمته أن أُوجِبت
على العاقلة في قتل الخطأ بإجماع العلماء؛ لكون القاتل لم
يُذْنِبْ، فيشق عليه أن يحمل هذه الدية الباهظة، فناسب أن يقوم
بذلك مَن بينه وبينهم المعاونةُ والمناصرةُ والمساعدةُ على تحصيل
المصالح وكفِّ المفاسد، ولعلَّ ذلك من أسباب منعهم لمن يعقِلون
عنه من القتل حذار تحميلهم، ويخف عليهم بسبب توزيعه عليهم بقدر
أحوالهم وطاقتهم، وخُفِّفَت أيضاً بتأجيلها عليهم ثلاث سنين. ومن
حكمته وعلمه أن جبر أهل القتيل عن مصيبتهم بالدِّية التي أوجبها
على أولياء القاتل.
(92) Bentuk kalimat ini adalah merupakan
bentuk kalimat penolakan, artinya tidak mungkin dan mustahil
sekali seorang Mukmin dapat membunuh Mukmin lainnya, maksudnya,
dengan disengaja. Hal ini merupakan sebuah berita tentang betapa
haramnya pembunuhan tersebut, dan bahwa hal tersebut akan
menghilang-kan keimanan dengan sebenar-benarnya, dan
sesungguhnya tin-dakan itu hanya akan dilakukan oleh orang kafir
atau orang fasik yang imannya berkurang sangat banyak dan yang
dikhawatirkan terjadi hal-hal yang lebih besar darinya, karena
sesungguhnya keimanan yang benar akan mencegah seorang Mukmin
dari mem-bunuh saudaranya yang telah Allah ikat antara dia dan
saudaranya tersebut sebuah ikatan persaudaraan karena iman yang
menuntut agar ia mencintai saudaranya itu, menolongnya dan
menghilang-kan segala hal yang membahayakannya berupa gangguan;
dan gangguan apalagi yang paling besar dari pembunuhan? Hal ini
dibenarkan oleh sabda Nabi ﷺ, لَا تَرْجِعُوْا بَعْدِيْ كُفَّارًا
يَضْرِبُ بَعْضُكُمْ رِقَابَ بَعْضٍ. "Janganlah kalian kembali
kepada kekufuran setelah kematianku yaitu sebagian kalian
membunuh sebagian lainnya."
[33] Karena
itu diketahui bahwa pembunuhan merupakan kufur amali
(kufur) perbuatan, dan dosa yang paling
besar setelah syirik kepada Allah. Dan tatkala Firman Allah
سبحانه وتعالى, ﴾ وَمَا كَانَ لِمُؤۡمِنٍ أَن يَقۡتُلَ مُؤۡمِنًا
﴿ "Dan tidak layak bagi seorang Mukmin membunuh seorang
Mukmin (yang lain)" adalah sebuah
lafazh yang umum dalam segala kondisi, dan bahwa seorang
Muslim tidak akan membunuh saudara Muslim lainnya dalam bentuk
apa pun, lalu Allah سبحانه وتعالى mengecualikan dari hal
tersebut pembunuhan karena ketidaksengajaan, seraya
berfir-man, ﴾
إِلَّا خَطَـٔٗاۚ
﴿ "Kecuali karena tersalah
(tidak disengaja)," karena
se-sungguhnya seorang yang salah yang tidak bermaksud
membunuh, ia tidaklah berdosa dan tidak dikatakan sebagai
seorang yang berani melanggar batasan-batasan Allah, akan
tetapi karena ia telah mela-kukan suatu tindakan yang keji dan
bentuknya pun sangat cukup untuk dikatakan sangat jelek
walaupun ia sendiri tidak bermaksud demikian, maka Allah
سبحانه وتعالى memerintahkan membayar kaffarat
(denda atas pelanggaran larangan) dan
diyat (ganti rugi pembunuhan) dalam
FirmanNya, ﴾
وَمَن قَتَلَ مُؤۡمِنًا خَطَـٔٗا
﴿ "Dan barangsiapa membunuh seorang Mukmin karena tersalah,"
baik pelaku pembunuhannya adalah laki-laki atau wanita, orang
merdeka atau budak, kecil atau besar, berakal atau gila,
Muslim atau kafir, sebagaimana yang ditunjukkan oleh kata
"barangsiapa" yang menunjukkan kepada keumuman, dan hal ini
adalah di antara rahasia-rahasia menem-patkan kata
"barangsiapa" dalam kalimat tersebut, karena sesung-guhnya
konteks perkataan tersebut mengarahkan kepada ungkapan "dan
jika ia membunuhnya," akan tetapi kalimat ini tidak mencakup
apa yang dicakup oleh konteks yang memakai kata "barangsiapa,"
dan juga sama saja, baik orang yang terbunuh itu laki-laki
atau wanita, kecil atau besar, sebagaimana yang ditunjukkan
oleh kata umum dalam konteks kalimat bersyarat, maka hendaklah
pelaku pembunuhan itu ﴾
فَتَحۡرِيرُ رَقَبَةٖ مُّؤۡمِنَةٖ
﴿ "memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman," sebagai
suatu denda akan hal tersebut, yang harus diambil dari
hartanya. Budak tersebut mencakup; kecil maupun besar,
laki-laki maupun wanita dan yang sehat maupun yang memiliki
cacat me-nurut sebagian pendapat para ulama, akan tetapi
hikmah yang ada menuntut sebuah konsekuensi bahwa denda itu
tidaklah terpenuhi dengan budak yang memiliki cacat, karena
yang dimaksudkan dengan membebaskan budak itu adalah
memanfaatkan budak dan kepemilikan kemaslahatan dirinya, namun
bila budak itu akan terabaikan dengan pembebasannya tersebut
dan tetapnya ia dalam perbudakan adalah lebih bermanfaat bagi
dirinya, maka tidaklah terpenuhi denda tersebut, padahal dalam
FirmanNya, ﴾
فَتَحۡرِيرُ رَقَبَةٖ
﴿ "Memerdekakan seorang hamba sahaya," suatu isyarat yang
menun-jukkan akan hal tersebut, karena sesungguhnya pembebasan
budak itu adalah pelepasan hak memanfaatkan budak tersebut
dari sese-orang kepada orang lain. Namun bila kemaslahatan
tersebut tidak dijumpai, maka tidaklah tergambarkan adanya
pembebasan, karena itu perhatikanlah hal tersebut, karena itu
sangat jelas sekali. Adapun diyat, maka sesungguhnya hal itu
diwajibkan kepada keluarga besar pelaku pembunuhan tidak
disengaja atau pembu-nuhan yang mirip dengan sengaja, ﴾
مُّسَلَّمَةٌ إِلَىٰٓ أَهۡلِهِۦٓ
﴿ "yang diserahkan kepada keluarganya
(si terbunuh itu)," sebagai suatu
hiburan bagi hati mereka yang luka, dan yang dimaksud dengan
﴾
أَهۡلِهِۦٓ
﴿ "keluarga-nya" di sini, adalah ahli warisnya, karena
sesungguhnya ahli waris itu akan mewarisi apa yang
ditinggalkan oleh si mayit, dan diyat ini termasuk dalam
warisannya, dan diyat ini memiliki perincian-perincian yang
luas sekali yang termuat dalam buku-buku fikih. Dan FirmanNya,
﴾
إِلَّآ أَن يَصَّدَّقُواْۚ
﴿ "Kecuali jika mereka
(keluarga terbunuh) bersedekah"
maksudnya, ahli waris terbunuh bersedekah dengan cara
memaafkan keluarga pembunuh dari membayar diyat, maka gugurlah
kewajiban membayar diyat tersebut. Ayat ini mengandung anjuran
kepada keluarga terbunuh untuk memaaf-kan, karena Allah telah
menamakan sikap memaafkan itu dengan sebutan sedekah, dan
sedekah itu sangat diharapkan pada setiap waktu, ﴾
فَإِن كَانَ
﴿ "jika ia" orang yang terbunuh, ﴾ مِن
قَوۡمٍ عَدُوّٖ لَّكُمۡ
﴿ "dari kaum yang memusuhimu," yaitu dari orang-orang kafir
yang boleh diperangi, ﴾
وَهُوَ مُؤۡمِنٞ فَتَحۡرِيرُ رَقَبَةٖ مُّؤۡمِنَةٖۖ
﴿ "padahal ia Mukmin maka ia memerdekakan seorang hamba
sahaya yang beriman" yaitu kalian tidak wajib membayar diyat
kepada keluarga terbunuh, karena tidak adanya penghormatan
dalam darah dan harta mereka, ﴾
وَإِن كَانَ
﴿ "dan jika" orang yang terbunuh, ﴾ مِن
قَوۡمِۭ بَيۡنَكُمۡ وَبَيۡنَهُم مِّيثَٰقٞ فَدِيَةٞ مُّسَلَّمَةٌ
إِلَىٰٓ أَهۡلِهِۦ وَتَحۡرِيرُ رَقَبَةٖ مُّؤۡمِنَةٖۖ
﴿ "dari kaum (kafir) yang ada
perjanjian (damai) antara mereka
dengan kamu, maka
(hendaklah si pembunuh) membayar diyat
yang diserahkan kepada keluarganya
(si terbunuh) serta memerdeka-kan
hamba sahaya yang Mukmin," hal tersebut adalah untuk
meng-hormati penduduknya karena adanya perjanjian dan
perdamaian di antara mereka. ﴾
فَمَن لَّمۡ يَجِدۡ
﴿ "Barangsiapa yang tidak memperoleh" hamba sahaya dan tidak
pula ada harta seharga budak tersebut, karena ia dalam
kesulitan, dan ia tidak memiliki kelebihan nafkah dari
kebutuhan-kebutuhan pokok keluarganya yang mampu memenuhi
denda tersebut, ﴾
فَصِيَامُ شَهۡرَيۡنِ مُتَتَابِعَيۡنِ
﴿ "maka hendaklah ia
(si pembunuh) ber-puasa dua bulan
berturut-turut," yaitu janganlah ia berbuka di antara kedua
bulan tersebut tanpa ada udzur yang syar'i, dan bila ia
ber-buka dengan adanya udzur, maka udzur tersebut tidak
memutus-kan keberlanjutan puasanya tersebut, seperti sakit,
haidh dan sema-camnya, namun bila tanpa udzur, maka
terputuslah keberlanjutan puasanya hingga ia harus mengulangi
lagi dari awal, ﴾
تَوۡبَةٗ مِّنَ ٱللَّهِۗ
﴿ "sebagai cara taubat kepada Allah," maksudnya, denda-denda
tersebut yang diwajibkan oleh Allah atas pelaku pembunuhan
adalah sebagai penerimaan taubat dari Allah atas
hamba-hambaNya dan sebagai rahmat kepada mereka serta
pengguguran akan hal yang terjadi pada mereka berupa kelalaian
dan kurang waspada seba-gaimana yang sering terjadi pada
pelaku pembunuhan yang tidak disengaja. ﴾
وَكَانَ ٱللَّهُ عَلِيمًا حَكِيمٗا ﴿ "Dan Allah Maha Mengetahui
lagi Maha-bijaksana" yaitu ilmu yang sempurna dan hikmah yang
sempurna pula, tidaklah akan tersembunyi dariNya walaupun
sebesar dzarrah di bumi maupun di langit, dan tidak pula yang
lebih kecil dari itu, apalagi yang lebih besar, di masa apa pun
dan tempat manapun, dan tidak ada yang keluar dari hikmahNya,
baik dari seluruh makhluk maupun syariat-syariat, bahkan semua
yang Allah cipta-kan dan syariatkan adalah mengandung hikmah
yang agung. Dan di antara ilmu dan hikmahNya adalah, Allah
mewajib-kan denda terhadap seorang pembunuh yang sesuai dengan
apa yang telah dilakukannya, karena ia telah menjadi penyebab
dari hilangnya sebuah jiwa yang terhormat, dan telah
mengeluarkannya dari dunia nyata menuju ketiadaan, karena itu
patutlah dirinya memerdekakan seorang hamba sahaya dan
mengeluarkannya dari penghambaan kepada makhluk kepada kebebasan
yang penuh, namun bila ia tidak mendapatkan hamba sahaya
tersebut, ia harus berpuasa dua bulan berturut-turut, di mana
dengan puasa itu ia mengeluarkan jiwanya dari penghambaan nafsu
syahwat dan kelezatan-kelezatan lahiriyah yang menghalangi
seorang hamba dari kebahagiaannya yang abadi kepada penghambaan
kepada Allah سبحانه وتعالى dengan meninggalkan nafsu syahwat dan
kelezatan lahi-riyah tersebut untuk mendekatkan diri kepadaNya,
dan Allah تعالى membuat masanya dengan tempo yang panjang lagi
sulit dalam hal jumlah dan kewajiban berturut-turut dalam
menunaikannya, Allah tidak mewajibkan memberi makan dalam
kondisi ini karena tidak sesuai dengan kasusnya, berbeda dengan
zhihar, sebagaimana yang akan dibahas pada masa yang akan
datang, insya Allah سبحانه وتعالى. Dan di antara hikmahNya
adalah Allah mewajibkan diyat dalam perkara pembunuhan, walaupun
tidak disengaja, agar hal itu menjadi penghalang dan perintang
dari banyaknya pembunuhan yang terjadi dengan memakai
sebab-sebab yang melindungi akan hal tersebut. Dan di antara
hikmahNya adalah diwajibkannya diyat atas keluarga pembunuh
(al-Aqilah) dalam pembunuhan tidak
sengaja menurut kesepakatan para ulama, karena pembunuhnya itu
bukanlah seorang yang berdosa, maka sangat berat baginya untuk
memikul beban diyat yang sangat berat tersebut, maka sa-ngatlah
pantas kalau yang ikut dalam memikulnya adalah orang-orang yang
antara mereka dengan pembunuh ada saling tolong-menolong,
membela dan membantu dalam memperoleh kemas-lahatan dan
menghindari kemudharatan, dan meringankan beban mereka, karena
diyat tersebut dibagi menurut kondisi dan kemam-puan mereka
masing-masing, dan juga dibuat ringan untuk mereka dengan masa
pembayaran tiga tahun. Dan di antara hikmah dan ilmuNya juga
adalah menghibur keluarga terbunuh dari musibah pembunuhan
tersebut dengan adanya diyat yang diwajibkan atas keluarga
pembunuh.
{وَمَنْ يَقْتُلْ مُؤْمِنًا مُتَعَمِّدًا فَجَزَاؤُهُ
جَهَنَّمُ خَالِدًا فِيهَا وَغَضِبَ اللَّهُ عَلَيْهِ
وَلَعَنَهُ وَأَعَدَّ لَهُ عَذَابًا عَظِيمًا
(93)}
.
"Dan barangsiapa yang membunuh seorang Mukmin dengan sengaja
maka balasannya ialah Jahanam, ia kekal di dalamnya dan Allah
murka kepadanya, dan mengutuknya serta menyediakan azab yang
besar baginya."
(An-Nisa`: 93).
#
{93} تقدَّم أن الله أخبر أنه لا
يصدر قتل المؤمن من المؤمن، وأن القتل من الكفر العملي، وذكر هنا
وعيد القاتل عمداً وعيداً ترجُفُ له القلوبُ وتنصدِع له الأفئدة
وتنزعج منه أولو العقول، فلم يرد في أنواع الكبائر أعظمُ من هذا
الوعيد، بل ولا مثلُه، ألا وهو الإخبارُ بأنَّ جزاءَه
جهنَّم؛ أي: فهذا الذنب العظيم قد انتهض
وحدَه أن يجازي صاحبَهُ بجهنَّم بما فيها من العذاب العظيم
والخزي المهين وسخط الجبار وفوات الفوز والفلاح وحصول الخيبة
والخسار؛ فعياذاً بالله من كلِّ سبب يبعد عن رحمته. وهذا الوعيد
له حكم أمثاله من نصوص الوعيد على بعض الكبائر والمعاصي بالخلود
في النار أو حرمان الجنة. وقد اختلف الأئمة رحمهم الله في
تأويلها، مع اتفاقهم على بطلان قول الخوارج والمعتزلة الذين
يخلِّدونهم في النار ولو كانوا موحِّدين، والصواب في تأويلها ما
قاله الإمام المحقِّق شمس الدين ابن القيم رحمه الله في
«المدارج» ؛ فإنه قال بعد ما ذكر
تأويلات الأئمة في ذلك وانتقدها، فقال:
وقالت فرقةٌ: إن هذه النصوص وأمثالها مما ذُكِرَ فيه المقتضي
للعقوبة، ولا يلزم من وجود مقتضى الحكم وجودُه؛ فإن الحكم إنما
يتمُّ بوجود مقتضيه وانتفاء موانعه، وغاية هذه النصوص الإعلام
بأن كذا سببٌ للعقوبة ومقتضٍ لها، وقد قام الدليل على ذِكْرِ
الموانع؛ فبعضُها بالإجماع وبعضُها بالنص؛ فالتوبة مانعٌ
بالإجماع، والتوحيد مانعٌ بالنصوص المتواترة التي لا مدفع لها،
والحسناتُ العظيمة الماحية مانعةٌ، والمصائب الكبارُ المكفِّرة
مانعة، وإقامة الحدود في الدُّنيا مانع بالنصِّ، ولا سبيل إلى
تعطيل هذه النصوص، فلا بدَّ من إعمال النصوص من الجانبين، ومن
هنا قامت الموازنةُ بين الحسنات والسيئات اعتباراً لمقتضى العقاب
ومانعه وإعمالاً لأرجحها. قالوا: وعلى
هذا بناء مصالح الدارين ومفاسِدِهما، وعلى هذا بناء الأحكام
الشرعية والأحكام القدريَّة، وهو مقتضى الحكمة السارية في
الوجود، وبه ارتباط الأسباب ومسبَّباتها خَلْقاً وأمراً، وقد جعل
الله سبحانه لكل ضدٍّ ضدًّا يدافِعُه ويقاومه ويكون الحكم للأغلب
منهما؛ فالقوة مقتضيةٌ للصحة، والعافية وفساد الأخلاط وبغيها
مانعٌ من عمل الطبيعة، وفعل القوة والحكم للغالب منهما، وكذلك
قوى الأدوية والأمراض، والعبد يكون فيه مقتضٍ للصحَّة ومقتضٍ
للعطب، وأحدُهما يمنع كمال تأثير الآخر ويقاوِمُه؛ فإذا ترجَّح
عليه وقهره؛ كان التأثير له، ومن هنا يُعلم انقسام الخلق إلى من
يدخل الجنة ولا يدخل النار وعكسه، ومن يدخل النار ثم يخرُجُ منها
ويكون مكثه فيها بحسب ما فيه من مقتضى المكث في سرعة الخروج
وبطئه، ومن له بصيرةٌ منورةٌ يرى بها كلَّ ما أخبر الله به في
كتابه من أمر المعاد وتفاصيلِهِ، حتى كأنه يشاهدُهُ رأي العين،
ويعلم أنَّ هذا مقتضى إلهيته سبحانه وربوبيَّته وعزَّته وحكمته،
وأنه يستحيل عليه خلاف ذلك، ونسبة ذلك إليه نسبة ما لا يليق به
إليه، فيكون نسبة ذلك إلى بصيرته كنسبة الشمس والنجوم إلى بصره،
وهذا يقين الإيمان، وهو الذي يحرق السيِّئات كما تحرق النار
الحطب، وصاحب هذا المقام من الإيمان يستحيل إصرارُهُ على
السيِّئات وإن وقعت منه وكثرت؛ فإنَّ ما معه من نور الإيمان
يأمره بتجديد التوبة كلَّ وقت بالرجوع إلى الله في عدد أنفاسه،
وهذا من أحبِّ الخلق إلى الله. انتهى كلامه قدَّس الله رُوحه
وجزاه عن الإسلام والمسلمين خيراً.
(93) Telah berlalu bahwa Allah سبحانه
وتعالى memberitakan bahwasa-nya tidaklah terjadi pembunuhan
terhadap seorang Mukmin oleh Mukmin yang lain, dan bahwasanya
pembunuhan itu adalah di antara bentuk kufur amali. Dalam ayat
ini Allah menyebutkan tentang ancaman bagi pembunuh dengan
sengaja yaitu ancaman yang menggetarkan jiwa, menakutkan hati,
dan membuat orang-orang yang berakal gelisah, dan tidaklah ada
hukuman yang dike-luarkan bagi dosa-dosa besar yang lebih besar
dari hukuman ini, bahkan tidak ada yang sepertinya, yaitu kabar
bahwa hukumannya adalah Jahanam, artinya, dosa yang besar ini
telah patut menjadi satu-satunya dosa untuk diberikan hukuman
kepada pelakunya dengan Jahanam dengan segala siksaan yang ada
di dalamnya dan kehinaan yang nyata, kemurkaan Allah, hilangnya
keselamatan dan keberuntungan, serta adanya kegagalan dan
kerugian, maka hanya kepada Allah kita berlindung dari segala
sebab yang men-jauhkan dari rahmatNya. Ancaman ini memiliki
kedudukan yang sama seperti hal-hal yang semisal dengannya dari
nash-nash ancaman atas beberapa dosa-dosa besar dan kemaksiatan
dengan keabadian dalam neraka atau haramnya surga. Dan
sesungguhnya para ulama n telah berbeda pendapat tentang
penafsirannya, di samping kesepakatan mereka atas batilnya
pendapat Khawarij dan Mu'tazilah yang ber-pendapat akan kekalnya
orang-orang seperti itu
(pelaku dosa besar) dalam neraka
walaupun mereka ini masih bertauhid, dan yang shahih dalam
tafsirannya adalah apa yang dikatakan oleh Imam Ibnul Qayyim 5
dalam Madarij as-Salikin
[34], di mana
beliau telah menyebutkan beberapa pendapat para ulama dalam
tafsir akan hal tersebut lalu beliau mengomentarinya seraya
berkata; "Sekelompok ulama berpendapat, bahwa nash-nash ini atau
yang semisalnya adalah di antara perkara yang disebutkan padanya
tuntutan diberlakukannya hukuman. Keberadaan tuntutan hukum
tidak mengharuskan adanya suatu hukuman, karena hukuman itu
hanya akan terwujud jika tuntutan-tuntutannya terpenuhi dan
tidak ada penghalang-penghalangnya. Maksud dari nash-nash ini
adalah pemberitahuan bahwa yang demikian itu merupakan sebab
yang mengakibatkan hukuman. Dan sungguh telah ada dalil ten-tang
adanya penghalang-penghalang tersebut yang sebagiannya adalah
ijma' dan sebagian lagi berupa nash. Mereka menyatakan bahwa
atas dasar inilah penegakan ke-maslahatan dunia dan akhirat atau
kemudharatan keduanya, dan atas dasar ini juga patokan
hukum-hukum syariat dan ketetapan-ketetapan takdir, dan juga
merupakan tuntutan sunnah Allah yang berlaku di dunia, dengannya
ada keterkaitan antara sebab-sebab dan akibatnya sebagai suatu
penciptaan dan perintah, dan sungguh Allah سبحانه وتعالى telah
menjadikan bagi setiap hal ada hal lain yang kon-tradiksi
dengannya yang selalu melawannya dan menghadangnya hingga hukum
yang tegak adalah yang paling kuat darinya, maka kekuatan
menghasilkan kesehatan dan keselamatan, dan kerusakan serta
kezhaliman yang terjadi pada interaksi antara dua hal yang
berlawanan tersebut adalah penghalang bagi fungsi alam. Jadi
fungsi kekuatan dan hukum adalah bagi yang paling kuat darinya,
demikian juga bagi kekuatan obat-obatan dan penyakit. Seorang
hamba memiliki kesempatan untuk sehat dan kesempatan untuk
sakit, salah satu pihak dari kedua hal itu akan menghalangi
kesem-purnaan pengaruh dari pihak lainnya dan melawannya, dan
bila ia mampu menanggulanginya dan menang atasnya, niscaya
pe-ngaruhnya yang akan berfungsi, dari sinilah dapat diketahui
pem-bagian makhluk yang masuk surga dan tidak masuk neraka atau
sebaliknya, dan makhluk yang masuk neraka kemudian keluar
darinya dan menetapnya dalam neraka adalah sesuai dengan hal-hal
yang menuntut keberadaannya di neraka tersebut yang berpe-ngaruh
pada cepat atau lambatnya ia keluar dari neraka. Makhluk yang
memiliki mata hati yang terang di mana ia mampu memandang
dengannya segala hal yang dikabarkan oleh Allah dalam kitabNya
berupa perkara tentang Hari Pembalasan dan
perincian-perinciannya, hingga seolah-olah ia menyaksikan-nya
dengan mata kepala sendiri, dan ia mengetahui bahwa hal ini
adalah suatu tuntutan uluhiyah Allah سبحانه وتعالى,,,
rububiyahNya, kemuliaan-Nya, dan hikmahNya, dan bahwasanya
mustahil pada Diri Allah apa yang berlawanan dengan itu semua.
Dan prosentase keyakinan tersebut pada diri orang itu adalah
sama dengan prosentase apa yang tidak pantas padaNya, sehingga
prosentase hal tersebut berkaitan dengan bashirahnya adalah
seperti prosentase
(kuatnya) sinar
matahari dan bintang kepada daya pandangannya. Dan inilah
hakikat keimanan yang benar yang mampu membakar keburukan
sebagaimana api membakar kayu, dan orang yang memiliki ke-imanan
seperti ini, mustahil baginya terus-menerus berbuat kebu-rukan
walaupun ia pernah melakukannya dan bahkan seringkali
melakukannya, karena apa yang ada bersamanya berupa cahaya
keimanan akan selalu memerintahkan kepadanya untuk
memper-baharui taubat pada setiap waktu dan untuk kembali kepada
Allah dalam setiap desah nafasnya. Dan inilah makhluk yang
paling Allah cintai." Berakhir perkataan beliau dan semoga Allah
menyucikan jiwanya dan membalasnya untuk Islam dan kaum Muslimin
dengan kebaikan.
{يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا ضَرَبْتُمْ فِي سَبِيلِ
اللَّهِ فَتَبَيَّنُوا وَلَا تَقُولُوا لِمَنْ أَلْقَى
إِلَيْكُمُ السَّلَامَ لَسْتَ مُؤْمِنًا تَبْتَغُونَ عَرَضَ
الْحَيَاةِ الدُّنْيَا فَعِنْدَ اللَّهِ مَغَانِمُ كَثِيرَةٌ
كَذَلِكَ كُنْتُمْ مِنْ قَبْلُ فَمَنَّ اللَّهُ عَلَيْكُمْ
فَتَبَيَّنُوا إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرًا
(94)}
.
"Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu pergi
(berpe-rang) di jalan Allah, maka
telitilah dan janganlah kamu mengata-kan kepada orang yang
mengucapkan "salam" kepadamu, 'Kamu bukan seorang Mukmin',
(lalu kamu membunuhnya), dengan mak-sud
mencari harta benda kehidupan di dunia, karena di sisi Allah ada
harta yang banyak. Begitu jugalah keadaan kamu dahulu, lalu
Allah menganugerahkan nikmatNya atas kamu, maka telitilah.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan."
(An-Nisa`: 94).
#
{94} يأمر تعالى عباده المؤمنين
إذا خرجوا جهاداً في سبيله وابتغاء مرضاتِهِ أن يتبيَّنوا
ويتثبَّتوا في جميع أمورهم المشتبهة؛
فإنَّ الأمور قسمان:
واضحةٌ وغير واضحةٍ؛ فالواضحة البيِّنة لا تحتاج إلى تثبُّت
وتبيُّن؛ لأنَّ ذلك تحصيل حاصل. وأما الأمور المُشكلة غير
الواضحة؛ فإنَّ الإنسان يحتاج إلى التثبُّت فيها والتبيُّن؛
لِيَعْرِفَ هل يُقْدِمُ عليها أم لا؛ فإنَّ التثبُّت في هذه
الأمور يحصُل فيه من الفوائد الكثيرة والكفِّ لشرورٍ عظيمةٍ؛ ما
به يُعْرَفُ دينُ العبد وعقلُه ورزانتُه؛ بخلاف المستعجِل للأمور
في بداوتها قبل أن يتبيَّن له حكمها؛ فإنَّ ذلك يؤدِّي إلى ما لا
ينبغي؛ كما جرى لهؤلاء الذين عاتبهم الله في الآية لمّا لم
يتثبَّتوا وقتلوا مَن سَلَّم عليهم وكان معه غُنيمةٌ له أو مالُ
غيره؛ ظنًّا أنه يستكفي بذلك قتلهم، وكان هذا خطأً في نفس
الأمر؛ فلهذا عاتبهم بقوله:
{ولا تقولوا لمن ألقى إليكم السلام لست مؤمناً تبتغونَ عَرَض
الحياة الدُّنيا فعندَ الله مغانم كثيرة}؛ أي: فلا يحملنَّكم العَرَض الفاني
القليل على ارتكاب ما لا ينبغي، فيفوتكُم ما عند الله من الثواب
الجزيل الباقي؛ فما عند الله خيرٌ وأبقى. وفي هذا إشارةٌ إلى
أنَّ العبد ينبغي له إذا رأى دواعي نفسه مائلةً إلى حالةٍ له
فيها هوى وهي مضرَّةٌ له؛ أن يذكِّرها ما أعدَّ الله لِمَن نهى
نفسه عن هواها، وقدَّم مرضاة الله على رضا نفسِهِ؛ فإنَّ في ذلك
ترغيباً للنفس في امتثال أمر الله، وإن شقَّ ذلك عليها.
ثم قال تعالى مذكِّراً لهم بحالهم الأولى قبل هدايتهم إلى
الإسلام:
{كذلك كنتُم من قبلُ فَمَنَّ اللهُ عليكم}؛ أي: فكما هداكم بعد ضلالِكم؛ فكذلك
يهدي غيركم، وكما أنَّ الهداية حصلتْ لكم شيئاً فشيئاً؛ فكذلك
غيركم؛ فنظرُ الكامل لحالِهِ الأولى الناقصة ومعاملته لمن كان
على مثلها بمقتضى ما يعرف من حاله الأولى ودعائه له بالحكمة
والموعظة الحسنة من أكبر الأسباب لنفعِهِ وانتفاعِهِ، ولهذا أعاد
الأمر بالتبيين، فقال:
{فتبيَّنوا}! فإذا كان من خرج
للجهاد في سبيل الله ومجاهدة أعداء الله واستعدَّ بأنواع
الاستعداد للإيقاع بهم مأموراً بالتبيين لمن ألقى إليه السلام،
وكانتِ القرينةُ قويةً في أنه إنما سَلَّم تعوذاً من القتل
وخوفاً على نفسه؛ فإن ذلك يدلُّ على الأمر بالتبيُّن والتثبُّت
في كل الأحوال التي يقع فيها نوعُ اشتباه، فيتثبَّت فيها العبدُ،
حتى يتَّضح له الأمرُ، ويبين الرشدُ والصوابُ.
{إنَّ الله كان بما تعملونَ خبيراً}: فيجازي كلاًّ ما عَمِلَهُ ونواه بحسب ما عَلِمهُ من أحوال
عبادِهِ ونيَّاتِهِم.
(94) Allah سبحانه وتعالى memerintahkan
hamba-hambaNya yang ber-iman apabila mereka keluar berjihad di
jalanNya dan mengharap keridhaanNya agar teliti dan cermat
(mencari kejelasan) dalam segala
perkara-perkara mereka yang samar, karena perkara itu ada dua
macam; perkara yang jelas dan perkara yang tidak jelas. Perkara
yang jelas dan nyata tidak butuh lagi kepada ketelitian dan
kecermatan, karena hal tersebut sudah tidak diperdebatkan lagi.
Adapun perkara-perkara yang bermasalah dan yang tidak jelas,
maka sesungguhnya manusia membutuhkan ketelitian dan
kehati-hatian, agar ia mengetahui apakah ia berani mengambil
risiko ataukah tidak, karena ketelitian dalam perkara-perkara
seperti ini akan menghasilkan faidah-faidah yang banyak sekali
dan terhindar dari keburukan yang besar, di mana agama, akal,
dan kematangan seorang hamba dapat diketahui dengannya. Berbeda
dengan seseorang yang tergesa-gesa pada awal-awalnya terhadap
suatu perkara sebelum ia meneliti dan mencari tahu hukumnya,
karena sesungguhnya hal tersebut akan mengakibatkan suatu hal
yang tidak diharapkan, sebagaimana yang terjadi pada orang-orang
yang ditegur oleh Allah dalam ayat tersebut yaitu ketika mereka
tidak meneliti lalu mereka membunuh orang yang menyerahkan
dirinya kepada mereka di mana pada saat itu ada ghanimah
milik-nya atau harta milik orang lain bersamanya, sebagai suatu
dugaan bahwa hal ini hanya sebagai suatu penghindaran diri dari
pembu-nuhan, dan ternyata hal ini adalah suatu kesalahan, karena
itulah Allah menegur mereka dalam FirmanNya, ﴾ وَلَا تَقُولُواْ
لِمَنۡ أَلۡقَىٰٓ إِلَيۡكُمُ ٱلسَّلَٰمَ لَسۡتَ مُؤۡمِنٗا
تَبۡتَغُونَ عَرَضَ ٱلۡحَيَوٰةِ ٱلدُّنۡيَا فَعِندَ ٱللَّهِ
مَغَانِمُ كَثِيرَةٞۚ
﴿ "Dan janganlah kamu mengatakan kepada orang yang
mengucapkan "salam" kepadamu, 'Kamu bukan seorang Mukmin,'
(lalu kamu membunuhnya), dengan maksud
mencari harta benda kehidupan di dunia, karena di sisi Allah
ada harta yang banyak." Maksudnya, janganlah kalian didorong
oleh harta yang sementara lagi sedikit lalu melakukan
perbuatan yang tidak semestinya, hingga membuat kalian luput
dari pahala di sisi Allah yang banyak lagi abadi, dan apa yang
ada di sisi Allah itu lebih baik dan lebih abadi. Hal ini
adalah sebuah isyarat bahwa seorang hamba bila ia merasakan
dorongan-dorongan jiwanya condong kepada suatu kondisi yang
berasaskan hawa nafsu dan membahayakan dirinya, hendaknya ia
ingatkan jiwanya itu dengan apa yang dijanjikan oleh Allah
bagi orang yang mampu menahan nafsunya tersebut, dan
mendahulu-kan keridhaan Allah daripada keridhaan dirinya
sendiri, karena hal itu merupakan dorongan bagi jiwa dalam
melaksanakan perin-tah Allah, walaupun hal itu berat baginya.
Kemudian Allah سبحانه وتعالى berfirman dengan maksud
mengingatkan mereka tentang kondisi mereka pertama kali
sebelum mereka diberi petunjuk kepada Islam, ﴾
كَذَٰلِكَ كُنتُم مِّن قَبۡلُ فَمَنَّ ٱللَّهُ عَلَيۡكُمۡ
﴿ "Begitu jugalah keadaan kamu dahulu, lalu Allah
menganugerahkan nikmatNya atas kamu." Maksudnya, sebagaimana
Allah memberikan hidayah-Nya kepada kalian setelah kesesatan
kalian, demikian pula Allah memberikan hidayahNya kepada
selain kalian, dan sebagaimana hidayah itu kalian dapatkan
sedikit demi sedikit, begitu pula selain kalian, maka memahami
secara sempurna akan kondisinya pertama kali yang kurang dan
muamalahnya terhadap orang yang sama seperti kondisinya dengan
tuntutan pengetahuannya tentang kondisinya pertama kali dan
seruannya untuk orang tersebut de-ngan hikmah dan nasihat yang
baik adalah di antara sebab-sebab yang paling besar dalam
memberikan faidah dan manfaat kepada-nya, karena itulah Allah
mengulangi perintah untuk teliti dalam FirmanNya, ﴾
فَتَبَيَّنُوٓاْۚ
﴿ "Maka telitilah," dan orang yang keluar ber-jihad di jalan
Allah dan berjuang memerangi musuh-musuh Allah serta
menyiapkan diri dengan berbagai persiapan demi mengalah-kan
mereka, dia diperintahkan untuk teliti terhadap orang yang
mengucapkan salam kepadanya, karena ada indikasi kuat yang
menunjukkan bahwa tindakan itu hanyalah sebagai suatu jalan
menghindar dari pembunuhan dan khawatir akan dirinya,
sesung-guhnya hal itu menunjukkan perintah untuk teliti dan
berhati-hati dalam segala kondisi di mana terjadi suatu
perkara yang samar padanya, dan seorang hamba harus meneliti
masalah itu hingga masalah tersebut jelas baginya dan
teranglah maksud dan kebe-narannya. ﴾
إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ بِمَا تَعۡمَلُونَ خَبِيرٗا ﴿ "Sesungguhnya
Allah Maha Menge-tahui apa yang kamu kerjakan," hingga Allah
membalas setiap orang atas apa yang telah diperbuat dan
diniatkannya sesuai dengan apa yang diketahuiNya dari kondisi
hamba-hambaNya dan niat-niat mereka.
{لَا يَسْتَوِي الْقَاعِدُونَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ غَيْرُ
أُولِي الضَّرَرِ وَالْمُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ
بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ فَضَّلَ اللَّهُ
الْمُجَاهِدِينَ بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ عَلَى
الْقَاعِدِينَ دَرَجَةً وَكُلًّا وَعَدَ اللَّهُ الْحُسْنَى
وَفَضَّلَ اللَّهُ الْمُجَاهِدِينَ عَلَى الْقَاعِدِينَ
أَجْرًا عَظِيمًا (95) دَرَجَاتٍ
مِنْهُ وَمَغْفِرَةً وَرَحْمَةً وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا
رَحِيمًا (96)}
.
"Tidaklah sama antara Mukmin yang duduk
(yang tidak ikut berperang) yang tidak
mempunyai udzur dengan orang-orang yang berjihad di jalan Allah
dengan harta dan jiwa mereka. Allah melebihkan orang-orang yang
berjihad dengan harta dan jiwa mereka atas orang-orang yang
duduk satu derajat. Kepada masing-masing mereka Allah
menjanjikan pahala yang baik
(surga) dan
Allah melebihkan orang-orang yang berjihad atas orang yang duduk
dengan pahala yang besar,
(yaitu) beberapa derajat dariNya,
ampunan, serta rahmat. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang."
(An-Nisa`: 95-96).
#
{95 ـ 96} أي: لا يستوي مَن جاهد
من المؤمنين بنفسِهِ ومالِهِ ومن لم يخرجْ للجهاد ولم يقاتِلْ
أعداء الله؛ ففيه الحث على الخروج للجهاد والترغيب في ذلك
والترهيب من التَّكاسل والقعود عنه من غير عذر، وأما أهل الضَّرر
كالمريض والأعمى والأعرج والذي لا يجدُ ما يتجهَّزُ به؛ فإنهم
ليسوا بمنزلة القاعدين من غير عذر؛ فمن كان من أولي الضرر راضياً
بقعوده، لا ينوي الخروج في سبيل الله لولا وجود المانع ولا
يحدِّث نفسه بذلك؛ فإنه بمنزلة القاعد لغير عذر، ومن كان عازماً
على الخروج في سبيل الله لولا وجود المانع يتمنَّى ذلك ويحدِّث
به نفسَه؛ فإنه بمنزلة من خرج للجهاد؛ لأنَّ النيَّة الجازمة إذا
اقترن بها مقدورُها من القول أو الفعل، يُنَزَّلُ صاحبها منزلة
الفاعل. ثمَّ صرَّح تعالى بتفضيل المجاهدين على القاعدين
بالدرجة؛ أي: الرفعة، وهذا تفضيل على
وجه الإجمال، ثم صرَّح بذلك على وجه التفصيل، ووعدهم بالمغفرة
الصادرة من ربِّهم والرحمة التي تشتَمِلُ على حصول كلِّ خير
واندفاع كلِّ شرٍّ، والدرجات التي فصلها النبي - صلى الله عليه
وسلم - بالحديث الثابت عنه في
«الصحيحين»:
«إن في الجنة مائة درجة، ما بين كل درجتين كما بين السماء
والأرض، أعدها الله للمجاهدين في سبيله».
وهذا الثواب الذي رتَّبه الله على الجهاد نظير الذي في سورة
الصفِّ في قوله:
{يا أيُّها الذين آمنوا هل أدلُّكم على تجارةٍ تُنجيكم من
عذابٍ أليم. تؤمنون بالله ورسولِهِ وتجاهِدون في سبيل اللهِ
بأموالِكم وأنفسِكم ذلكم خيرٌ لكم إن كنتُم تعلَمون. يَغْفِرْ
لكُم ذُنوبَكُم ويُدْخِلْكم جناتٍ تجري من تحتِها الأنهارُ
ومساكنَ طيبةً في جنَّاتِ عدنٍ ذلك الفوزُ العظيم ... }
إلى آخر السورة. وتأمَّل حُسْنَ هذا الانتقال من حالةٍ إلى أعلى
منها؛ فإنه نفى التسوية أولاً بين المجاهد وغيره، ثم صرَّح
بتفضيل المجاهدِ على القاعِد بدرجةٍ، ثمَّ انتقل إلى تفضيلِهِ
بالمغفرةِ والرحمةِ والدَّرجات. وهذا الانتقال من حالة إلى أعلى
منها عند التفضيل والمدح أو النزول من حالةٍ إلى ما دونَها عند
القدح والذمِّ أحسنُ لفظاً وأوقع في النفس، وكذلك إذا فضَّل
تعالى شيئاً على شيءٍ، وكلٌّ منهما له فضلٌ؛ احترز بذكر الفضل
الجامع للأمرين؛ لئلا يتوهَّم أحد ذمَّ المفضَّل عليه؛
كما قال هنا:
{وكلاًّ وَعَدَ الله الحسنى}،
وكما قال تعالى في الآيات المذكورة في الصَّفِّ في قوله:
{وبشِّرِ المؤمنين}،
وكما في قوله تعالى:
{لا يستوي منكُم مَن أنفق مِن قبل الفتح وقاتَلَ}؛ أي: ممَّن لم يكن كذلك،
ثم قال:
{وكلاًّ وَعَدَ الله الحسنى}،
وكما قال تعالى:
{ففهَّمْناها سليمانَ وكلاًّ آتَيْنا حُكماً وعلماً}. فينبغي لمن بَحَثَ في التفضيل بين الأشخاص والطوائف والأعمال
أن يتفطن لهذه النكتة، وكذلك لو تكلَّم في ذمِّ الأشخاص
والمقالات؛ ذكر ما تجتمع فيه عند تفضيل بعضِها على بعض؛ لئلاَّ
يُتَوَهَّم أن المفضَّل قد حصل له الكمال؛
كما إذا قيل:
النصارى خيرٌ من المجوس؛ فليقلْ مع ذلك:
وكلٌّ منهما كافر. والقتلُ أشنع من الزِّنا، وكلٌّ منهما معصيةٌ
كبيرةٌ، حرَّمها الله ورسولُهُ، وزَجَرَ عنها. ولمَّا وَعَدَ
المجاهدين بالمغفرة والرحمةِ الصادِرَيْن عن اسميهِ الكريمين
الغفور الرحيم؛ خَتَمَ هذه الآية بهما،
فقال:
{وكان الله غفوراً رحيماً}.
(95-96) Maksudnya, tidaklah sama orang
yang berjihad di antara kaum Mukminin dengan mempersembahkan
diri dan har-tanya dengan orang yang tidak keluar berjihad dan
tidak berjuang melawan musuh-musuh Allah, hal ini merupakan
anjuran untuk keluar berjihad dan dorongan kepada hal tersebut,
juga ancaman dari bermalas-malasan dan tidak ikut serta tanpa
ada alasan yang benar, adapun orang-orang yang memiliki udzur
seperti orang sakit, orang buta, pincang dan yang tidak memiliki
apa pun untuk mempersiapkan dirinya berperang, maka mereka itu
tidaklah ter-masuk dari orang-orang yang tidak ikut serta tanpa
udzur, barang-siapa yang termasuk dalam kelompok itu namun ia
ridha dengan ketidakhadirannya dan tidak berniat ikut berjihad
di jalan Allah, sekiranya tidak ada penghalang dan tidak pula ia
berbisik kepada dirinya untuk berjihad, maka sesungguhnya ia
termasuk dalam kelompok orang yang tidak ikut serta tanpa udzur,
dan barang-siapa yang bertekad untuk ikut berjihad di jalan
Allah sekiranya tidak ada penghalang dan ia berharap serta
berbisik kepada dirinya untuk ikut serta, maka ia termasuk dalam
kelompok orang yang ikut berjihad, karena niat yang kuat apabila
diikuti oleh kondisi yang memungkinkan, baik perkataan maupun
perbuatan orang itu, akan diposisikan dalam posisi orang yang
berbuat. Kemudian Allah سبحانه وتعالى tegaskan tentang keutamaan
orang-orang yang berjihad atas orang-orang yang tidak ikut serta
berjihad dengan suatu derajat, yaitu kemuliaan, dan keutamaan
tersebut adalah dalam bentuk global, kemudian Allah menegaskan
hal ter-sebut dalam bentuk yang lebih rinci, menjanjikan ampunan
bagi mereka yang datang dari Rabb mereka dan rahmat yang
meliputi segala kebaikan dan perlindungan dari segala keburukan,
dan derajat yang dirincikan oleh Nabi ﷺ dengan hadits beliau
yang kuat dalam Shahih al-Bukhari dan Muslim
[35], إِنَّ فِي الْجَنَّةِ مِائَةَ دَرَجَةٍ، مَا بَيْنَ كُلِّ
دَرَجَتَيْنِ كَمَا بَيْنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ، أَعَدَّهَا
اللّٰهُ لِلْمُجَاهِدِيْنَ فِي سَبِيْلِهِ. "Sesungguhnya dalam
surga itu ada seratus derajat, jarak antara setiap dua derajat
adalah seperti antara langit dan bumi, yang disiapkan oleh Allah
untuk orang-orang yang berjihad di jalanNya." Ganjaran yang
telah disiapkan oleh Allah tersebut untuk amal berjihad serupa
dengan yang ada dalam surat ash-Shaf dalam FirmanNya, ﴾
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ هَلۡ أَدُلُّكُمۡ عَلَىٰ
تِجَٰرَةٖ تُنجِيكُم مِّنۡ عَذَابٍ أَلِيمٖ 10 تُؤۡمِنُونَ
بِٱللَّهِ وَرَسُولِهِۦ وَتُجَٰهِدُونَ فِي سَبِيلِ ٱللَّهِ
بِأَمۡوَٰلِكُمۡ وَأَنفُسِكُمۡۚ ذَٰلِكُمۡ خَيۡرٞ لَّكُمۡ إِن
كُنتُمۡ تَعۡلَمُونَ 11 يَغۡفِرۡ لَكُمۡ ذُنُوبَكُمۡ
وَيُدۡخِلۡكُمۡ جَنَّٰتٖ تَجۡرِي مِن تَحۡتِهَا ٱلۡأَنۡهَٰرُ
وَمَسَٰكِنَ طَيِّبَةٗ فِي جَنَّٰتِ عَدۡنٖۚ ذَٰلِكَ ٱلۡفَوۡزُ
ٱلۡعَظِيمُ 12 وَأُخۡرَىٰ تُحِبُّونَهَاۖ نَصۡرٞ مِّنَ ٱللَّهِ
وَفَتۡحٞ قَرِيبٞۗ وَبَشِّرِ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ 13 يَٰٓأَيُّهَا
ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ كُونُوٓاْ أَنصَارَ ٱللَّهِ كَمَا قَالَ
عِيسَى ٱبۡنُ مَرۡيَمَ لِلۡحَوَارِيِّـۧنَ مَنۡ أَنصَارِيٓ إِلَى
ٱللَّهِۖ قَالَ ٱلۡحَوَارِيُّونَ نَحۡنُ أَنصَارُ ٱللَّهِۖ
فَـَٔامَنَت طَّآئِفَةٞ مِّنۢ بَنِيٓ إِسۡرَٰٓءِيلَ وَكَفَرَت
طَّآئِفَةٞۖ فَأَيَّدۡنَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ عَلَىٰ
عَدُوِّهِمۡ فَأَصۡبَحُواْ ظَٰهِرِينَ 14
﴿ "Hai orang-orang yang beriman, sukakah kamu Aku tunjukkan
suatu perniagaan yang dapat menyelamatkanmu dari azab yang
pedih? (Yaitu) kamu beriman kepada
Allah dan RasulNya dan berjihad di jalan Allah dengan harta
dan jiwamu. Itulah yang lebih baik bagimu, jika kamu
mengetahui. Niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosamu dan
memasukkanmu ke dalam surga yang mengalir di bawahnya
sungai-sungai; dan
(memasukkan kamu) ke tempat tinggal
yang baik di dalam Surga Adn. Itulah keberuntungan yang besar.
Dan (ada lagi) karunia lain yang kamu
sukai (yaitu) pertolongan dari Allah
dan kemenangan yang dekat (waktunya).
Dan sampaikanlah berita gembira kepada orang-orang yang
beriman. Hai orang-orang yang beriman, jadilah kamu
penolong-penolong (agama) Allah
sebagaimana Isa putra Maryam telah berkata kepada
pengikut-pengikutnya yang setia, 'Siapakah yang akan menjadi
penolong-penolongku
(untuk menegakkan agama) Allah?'
Pengikut-pengikut yang setia itu berkata, 'Kamilah
penolong-penolong agama Allah!' Lalu segolongan dari Bani
Israil beriman dan segolongan
(yang lain) kafir; maka Kami berikan
kekuatan kepada orang-orang yang beriman terhadap musuh-musuh
mereka, lalu mereka menjadi orang-orang yang menang."
(Ash-Shaf: 10-14). Perhatikanlah betapa indahnya perpindahan dari suatu
kondisi kepada kondisi yang lebih tinggi darinya, sesungguhnya
hal itu merupakan peniadaan akan persamaan, yang pertama
antara seorang mujahid dengan selainnya, kemudian Allah
mene-gaskan keutamaan seorang mujahid atas seorang yang tidak
ikut serta berperang dengan satu derajat, kemudian Allah
berpindah kepada penyebutan akan keutamaannya dengan ampunan,
rahmat, dan derajat. Perpindahan dari suatu kondisi kepada
kondisi yang lebih tinggi ketika sedang mengutamakan dan
memuji atau perpin-dahan dari suatu kondisi kepada kondisi
yang lebih rendah darinya ketika sedang memberikan celaan dan
hinaan adalah merupakan ungkapan yang paling indah dan paling
menyentuh jiwa. Demi-kian pula apabila Allah سبحانه وتعالى
mengutamakan sesuatu atas sesuatu yang lain, sementara setiap
dari kedua hal tersebut memiliki ke-utamaan, maka Allah
menjaganya dengan cara menyebut keuta-maan yang mencakup bagi
kedua perkara tersebut
(untuk menjaga) agar tidak ada seorang
pun mengira bahwa hal itu merupakan celaan terhadap hal yang
tidak diutamakan
(al-Mufadhdhal alaih), sebagaimana
Allah berfirman di sini, ﴾
وَكُلّٗا وَعَدَ ٱللَّهُ ٱلۡحُسۡنَىٰۚ
﴿ "Kepada ma-sing-masing mereka, Allah menjanjikan pahala
yang baik (surga)." Dan sebagaimana
Allah juga berfirman, ﴾
فَفَهَّمۡنَٰهَا سُلَيۡمَٰنَۚ وَكُلًّا ءَاتَيۡنَا حُكۡمٗا
وَعِلۡمٗاۚ
﴿ "Maka Kami telah memberikan pengertian kepada Sulaiman
tentang hukum (yang lebih tepat); dan
kepada masing-masing mereka
(Dawud dan Sulaiman) telah Kami
berikan hikmah dan ilmu."
(Al-Anbiya`: 79). Oleh karena itu, seyogyanya orang yang mencari keutamaan di
antara beberapa orang, kelompok dan pekerjaan agar mema-hami
poin ini. Demikian juga seandainya ia berbicara tentang
pencelaan terhadap beberapa orang atau terhadap ucapan-ucapan,
ia menyebutkan suatu hal yang menunjukkan adanya kesamaan saat
pengutamaan sebagian mereka atas sebagian yang lain, agar
tidak ada prasangka bahwa orang yang diutamakan itu telah
memperoleh kesempurnaan, sebagaimana jika dikatakan bahwa
orang-orang Nasrani lebih baik dari orang-orang Majusi,
sebaiknya ia juga berkata bahwa setiap dari kedua pihak itu
adalah orang-orang kafir. Pembunuhan itu lebih keji daripada
perzinaan, namun setiap dari kedua hal buruk itu merupakan
kemaksiatan yang besar yang diharamkan oleh Allah dan
RasulNya. Tatkala Allah menjanjikan orang-orang yang berjihad
dengan ampunan dan rahmat yang datang dari dua nama Allah yang
mulia yaitu Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang, Allah
menutup ayat ini dengan kedua NamaNya tersebut seraya
ber-firman, ﴾
وَكَانَ ٱللَّهُ غَفُورٗا رَّحِيمًا ﴿ "Dan Allah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang."
{إِنَّ الَّذِينَ تَوَفَّاهُمُ الْمَلَائِكَةُ ظَالِمِي
أَنْفُسِهِمْ قَالُوا فِيمَ كُنْتُمْ قَالُوا كُنَّا
مُسْتَضْعَفِينَ فِي الْأَرْضِ قَالُوا أَلَمْ تَكُنْ أَرْضُ
اللَّهِ وَاسِعَةً فَتُهَاجِرُوا فِيهَا فَأُولَئِكَ
مَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ وَسَاءَتْ مَصِيرًا
(97) إِلَّا الْمُسْتَضْعَفِينَ مِنَ
الرِّجَالِ وَالنِّسَاءِ وَالْوِلْدَانِ لَا يَسْتَطِيعُونَ
حِيلَةً وَلَا يَهْتَدُونَ سَبِيلًا
(98) فَأُولَئِكَ عَسَى اللَّهُ أَنْ
يَعْفُوَ عَنْهُمْ وَكَانَ اللَّهُ عَفُوًّا غَفُورًا
(99)}
.
"Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan malaikat da-lam
keadaan menganiaya diri sendiri,
(kepada mereka) malaikat bertanya,
'Dalam keadaan bagaimana kamu ini?' Mereka menja-wab, 'Kami
adalah orang-orang yang tertindas di negeri
(Makkah).' Para malaikat berkata,
'Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah di
bumi itu?' Orang-orang itu tempatnya Neraka Jahanam, dan Jahanam
itu seburuk-buruk tempat kembali, kecuali mereka yang tertindas,
baik laki-laki, wanita ataupun anak-anak yang tidak mampu
berdaya upaya dan tidak menge-tahui jalan
(untuk hijrah). Mereka itu,
mudah-mudahan Allah memaafkannya. Dan Allah Maha Pemaaf lagi
Maha Pengampun."
(An-Nisa`: 97-99).
#
{97} هذا الوعيد الشديد لمن ترك
الهجرة مع قدرته عليها حتى مات؛ فإنَّ الملائكة الذين يقبضون
روحه يوبِّخونه بهذا التوبيخ العظيم،
ويقولون لهم:
{فيم كنتُم}؛
أي:
على أيِّ حال كنتم؟ وبأيِّ شيءٍ تميَّزْتم عن المشركين؟ بل
كثَّرْتُم سوادَهم، وربَّما ظاهرتُموهم على المؤمنين، وفاتكم
الخير الكثير والجهادُ مع رسولِهِ والكون مع المسلمين ومعاونتهم
على أعدائهم.
{قالوا كُنَّا مستضعفين في الأرض}؛ أي: ضعفاء مقهورين مظلومين ليس لنا
قدرة على الهجرة، وهم غير صادقين في ذلك؛ لأنَّ الله وَبَّخَهم
وتوعَّدَهم، ولا يكلِّف الله نفساً إلاَّ وسعها، واستثنى
المستضعفين حقيقةً،
ولهذا قالت لهم الملائكة:
{ألم تَكُنْ أرضُ الله واسعةً فتهاجِروا فيها}؟ وهذا استفهام تقرير؛ أي: قد تقرَّر
عند كلِّ أحدٍ أنَّ أرض الله واسعةٌ؛ فحيثما كان العبد في محلٍّ
لا يتمكن فيه من إظهار دينه؛ فإنَّ له متَّسعاً وفسحةً من الأرض
يتمكَّن فيها من عبادة الله؛
كما قال تعالى:
{يا عبادي الذين آمنوا إنَّ أرضي واسعةٌ فإيَّايَ
فاعبُدُونِ}. قال الله عن هؤلاء الذين لا عذر لهم:
{فأولئك مأواهم جهنَّمُ وساءت مصيراً}. وهذا كما تقدَّم فيه ذِكْرُ بيان السبب الموجب؛ فقد يترتَّب
عليه مقتضاهُ مع اجتماع شروطِهِ وانتفاءِ موانعِهِ، وقد يمنعُ من
ذلك مانع. وفي الآية دليل على أن الهجرة من أكبر الواجبات،
وتركها من المحرمات، بل من أكبر الكبائر. وفي الآية دليلٌ على
أنَّ كلَّ من تُوُفِّي فقد استكمل واستوفى ما قُدِّرَ له من
الرِّزْق والأجل والعمل، وذلك مأخوذٌ من لفظ التوفِّي؛ فإنه
يدلُّ على ذلك؛ لأنَّه لو بقي عليه شيءٌ من ذلك؛ لم يكن متوفياً.
وفيه الإيمان بالملائكة ومدحهم؛ لأنَّ الله ساق ذلك الخطاب لهم
على وجه التقرير والاستحسان منهم وموافقته لمحلِّه.
(97) Ancaman yang keras ini ditujukan
kepada orang yang meninggalkan hijrah hingga ia meninggal
padahal ia mampu me-lakukannya, sesungguhnya para malaikat yang
mencabut nyawa-nya mencelanya dengan celaan yang keras tersebut,
mereka berkata kepadanya, ﴾ فِيمَ كُنتُمۡۖ
﴿ "Dalam keadaan bagaimana kamu ini?" maksud-nya, dalam
kondisi bagaimana kalian dahulu? Dan dengan apa kalian berbeda
dengan kaum musyrikin? Akan tetapi kalian hanya menambah
jumlah kekuatan mereka, dan kemungkinan kalian membantu mereka
untuk melawan kaum Mukminin, dan hilanglah dari kalian
kebaikan yang banyak dan kesempatan berjihad bersama
Rasulullah ﷺ serta berada dengan kaum Mukminin dan membantu
mereka untuk melawan musuh-musuh mereka, ﴾
قَالُواْ كُنَّا مُسۡتَضۡعَفِينَ فِي ٱلۡأَرۡضِۚ
﴿ "mereka menjawab, 'Kami adalah orang-orang yang tertindas
di negeri (Makkah)'." Maksudnya, kami
adalah orang-orang yang lemah dan tertindas serta dizhalimi,
kami tidak memiliki kemampuan untuk berhijrah, padahal mereka
tidaklah jujur dalam hal tersebut, karena Allah telah mencela
dan mengancam mereka, dan Allah tidaklah membebankan sesuatu
atas seseorang kecuali yang mampu dilaku-kannya, dan Allah
mengecualikan orang-orang yang benar-benar tertindas, oleh
karena itu malaikat berkata kepada mereka, ﴾
أَلَمۡ تَكُنۡ أَرۡضُ ٱللَّهِ وَٰسِعَةٗ فَتُهَاجِرُواْ فِيهَاۚ
﴿ "Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat
berhijrah di bumi itu?" Ini merupakan pertanyaan pemantapan,
artinya sesungguhnya telah pasti bagi setiap orang bahwa bumi
Allah itu luas, maka di manapun seorang hamba berada dan ia
tidak mampu meninggikan agama Allah di sana, ia memiliki
keluasan dan kemudahan pada bumi Allah yang lain di mana ia
mampu beribadah kepada Allah di tempat itu, sebagaimana Allah
سبحانه وتعالى berfirman, ﴾
يَٰعِبَادِيَ ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِنَّ أَرۡضِي وَٰسِعَةٞ
فَإِيَّٰيَ فَٱعۡبُدُونِ 56
﴿ "Hai hamba-hambaKu yang beriman, sesungguhnya bumiKu luas,
maka sembahlah Aku saja."
(Al-Ankabut: 56). Allah berfirman tentang orang-orang yang tidak memiliki
udzur tersebut, ﴾
فَأُوْلَٰٓئِكَ مَأۡوَىٰهُمۡ جَهَنَّمُۖ وَسَآءَتۡ مَصِيرًا ﴿
"Orang-orang itu tempatnya Neraka Jahanam, dan Jahanam itu
seburuk-buruk tempat kembali," hal ini sebagaimana yang telah
berlalu mengandung ungkapan penje-lasan tentang sebab yang
mengakibatkan hal tersebut, dan terka-dang juga tuntutannya
telah ada dengan adanya syarat-syaratnya dan tidak adanya
penghalang-penghalangnya atau terkadang juga ada penghalang yang
merintanginya. Ayat ini merupakan sebuah dalil bahwa hijrah
adalah di antara kewajiban yang paling besar, dan
meninggalkannya adalah suatu hal yang diharamkan bahkan termasuk
dosa-dosa besar. Dan ayat ini juga sebuah dalil bahwa setiap
orang yang meninggal telah memenuhi dan melengkapi apa yang
ditakdirkan untuknya berupa rizki, ajal, dan perbuatannya, ini
diambil dari lafazh تَوَفَّهُمْ "diwafatkan," yang menunjukkan
akan hal tersebut, karena apabila masih tersisa sesuatu pun dari
perkara-perkara tersebut, maka ia belum dikatakan telah
memenuhinya. Ayat ini juga isyarat tentang keimanan kepada
malaikat dan pujian kepada mereka, karena Allah سبحانه وتعالى
telah menjadikan percakapan itu dari mereka dalam bentuk
penetapan dan kebaikan dari mereka serta kecocokannya dengan
kondisinya.
#
{98 ـ 99} ثم استثنى المستضعفين
على الحقيقة الذين لا قدرة لهم على الهجرة بوجهٍ من الوجوه
{ولا يَهْتَدونَ سبيلاً}؛
فهؤلاء قال الله فيهم:
{فأولئك عسى اللهُ أن يعفُوَ عنهم وكان الله عفوًّا
غفوراً}، و {عسى} ونحوها واجب وقوعها من
الله تعالى بمقتضى كرمِهِ وإحسانه. وفي الترجية بالثواب لمن عمل
بعض الأعمال فائدةٌ، وهو أنَّه قد لا يوفِّيه حقَّ توفيته، ولا
يعمله على الوجه اللائق الذي ينبغي، بل يكون مقصِّراً، فلا
يستحقُّ ذلك الثواب، والله أعلم. وفي الآية الكريمة دليل على أن
من عَجَزَ عن المأمور من واجب وغيره؛ فإنه معذور؛
كما قال تعالى في العاجزين عن الجهاد:
{ليس على الأعمى حَرَجٌ ولا على الأعرج حَرَجٌ ولا على المريض
حَرَجٌ}، وقال في عموم الأوامر:
{فاتَّقوا الله ما استطعتُم}، وقال
النبي - صلى الله عليه وسلم -:
«إذا أمرتُكم بأمرٍ؛ فأتوا منه ما استطعتم». ولكن لا يُعْذَرُ الإنسان إلاَّ إذا بَذَلَ جهدَه، وانسدَّت
عليه أبوابُ الحيل؛ لقوله:
{لا يستطيعونَ حيلةً}. وفي الآية
تنبيهٌ على أنَّ الدَّليل في الحج والعمرة ـ ونحوهما مما يحتاج
إلى سفر ـ من شروط الاستطاعة.
(98-99) Kemudian Allah mengecualikan
orang-orang yang benar-benar tertindas, orang-orang yang tidak
memiliki kemam-puan untuk berhijrah dalam bentuk apa pun, ﴾
وَلَا يَهۡتَدُونَ سَبِيلٗا
﴿ "dan tidak mengetahui jalan
(untuk hijrah)" Allah berfirman
tentang me-reka, ﴾
فَأُوْلَٰٓئِكَ عَسَى ٱللَّهُ أَن يَعۡفُوَ عَنۡهُمۡۚ وَكَانَ
ٱللَّهُ عَفُوًّا غَفُورٗا
﴿ "Mereka itu, mudah-mudahan Allah memaafkannya. Dan Allah
Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun," kata ﴾
عَسَى
﴿ "Mudah-mudahan" dan semacamnya menunjukkan ke-pastian
terjadinya (jika bersumber) dari Allah
سبحانه وتعالى karena tuntutan kemuliaan dan kebaikanNya. Dan
pengharapan akan pahala dari orang-orang yang melakukan
beberapa perbuatan mengandung faidah, yaitu bahwa orang
tersebut bisa jadi tidak benar-benar me-menuhinya, dan tidak
melakukannya menurut bentuk yang sesuai dari yang diinginkan,
akan tetapi ia lalai, maka tidaklah ia berhak mendapatkan
pahala tersebut, wallahu a'lam. Di dalam ayat yang mulia ini
terdapat sebuah dalil bahwa orang yang tidak mampu mengerjakan
suatu perintah berupa kewajiban atau selainnya, maka
sesungguhnya ia dimaafkan, sebagaimana Allah سبحانه وتعالى
berfirman tentang orang-orang yang tidak mampu berjihad,
﴾
لَّيۡسَ عَلَى ٱلۡأَعۡمَىٰ حَرَجٞ وَلَا عَلَى ٱلۡأَعۡرَجِ حَرَجٞ
وَلَا عَلَى ٱلۡمَرِيضِ حَرَجٞۗ
﴿ "Tiada dosa atas orang-orang yang buta dan atas orang-orang
yang pincang dan atas orang yang sakit
(apabila tidak ikut berperang)."
(Al-Fath: 17).
Dan Allah berfirman tentang keumuman segala perintah, ﴾
فَٱتَّقُواْ ٱللَّهَ مَا ٱسۡتَطَعۡتُمۡ
﴿ "Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu."
(At-Taghabun: 16). Nabi ﷺ bersabda, إِذَا أَمَرْتُكُمْ بِأَمْرٍ، فَأْتُوْا
مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ. "Apabila aku memerintahkan kepada
kalian suatu perkara, maka kerjakanlah perkara itu menurut
kesanggupanmu."[36] Akan tetapi
tidaklah seorang manusia itu dimaafkan kecuali setelah ia
mengerahkan segenap kemampuannya, namun tertutup baginya
segala pintu-pintu usaha, atas dasar FirmanNya, ﴾
لَا يَسۡتَطِيعُونَ حِيلَةٗ ﴿ "Yang tidak mampu berdaya upaya."
Ayat ini juga menyimpan suatu isyarat bahwa dalil tentang haji
dan umrah -dan semacamnya dari perkara yang butuh perja-lanan-
di antara syarat menunaikannya adalah kemampuan.
{وَمَنْ يُهَاجِرْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ يَجِدْ فِي الْأَرْضِ
مُرَاغَمًا كَثِيرًا وَسَعَةً وَمَنْ يَخْرُجْ مِنْ بَيْتِهِ
مُهَاجِرًا إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ ثُمَّ يُدْرِكْهُ
الْمَوْتُ فَقَدْ وَقَعَ أَجْرُهُ عَلَى اللَّهِ وَكَانَ
اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا
(100)}
.
"Barangsiapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka men-dapati
di muka bumi ini tempat hijrah yang luas dan rizki yang banyak.
Barangsiapa keluar dari rumahnya dengan maksud ber-hijrah kepada
Allah dan RasulNya, kemudian kematian menimpa-nya
(sebelum sampai ke tempat yang dituju),
maka sungguh telah tetap pahalanya di sisi Allah. Dan Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang."
(An-Nisa`: 100).
#
{100} هذا في بيان الحثِّ على
الهجرة والترغيب وبيان ما فيها من المصالح، فوعد الصادق في وعده
أنَّ من هاجر في سبيله ابتغاء مرضاتِهِ أنه يَجِدُ مراغَماً في
الأرض وسعة؛ فالمراغَم مشتملٌ على مصالح الدين، والسعة على مصالح
الدنيا، وذلك أنَّ كثيراً من الناس يتوهَّم أنَّ في الهجرة
شتاتاً بعد الألفة وفقراً بعد الغنى وذلاًّ بعد العزِّ وشدَّة
بعد الرخاء، والأمر ليس كذلك؛ فإنَّ المؤمن ما دام بين أظهر
المشركين؛ فدينُهُ في غاية النقص؛ لا في العبادات القاصرة عليه
كالصلاة ونحوها، ولا في العبادات المتعدِّية كالجهاد بالقول
والفعل وتوابع ذلك؛ لعدم تمكُّنه من ذلك، وهو بصدد أن يُفْتَنَ
عن دينِهِ، خصوصاً إن كان مستضعفاً؛ فإذا هاجر في سبيل الله؛
تمكَّن من إقامة دين الله وجهاد أعداء الله ومراغمتهم؛ فإنَّ
المراغمة اسم جامعٌ لكلِّ ما يحصُلُ به إغاظةٌ لأعداء الله من
قول وفعل وكذلك يحصل له سعة في رزقه، وقد وقع كما أخبر الله
تعالى. واعْتَبِرْ ذلك بالصحابة رضي الله عنهم؛ فإنهم لما هاجروا
في سبيل الله وتركوا ديارهم وأولادهم وأموالهم لله؛ كمل بذلك
إيمانهم، وحصل لهم من الإيمان التامِّ والجهاد العظيم والنصرِ
لدين الله ما كانوا به أئمة لمن بعدهم، وكذلك حصل لهم مما يترتب
على ذلك من الفتوحات والغنائم ما كانوا به أغنى الناس، وهكذا
كلُّ مَن فَعَلَ فعلَهم؛ حَصَلَ له ما حَصَلَ لهم إلى يوم
القيامة. ثم قال:
{ومن يخرج من بيتِهِ مهاجراً إلى الله ورسولِهِ}؛ أي: قاصداً ربَّه ورضاه ومحبَّته
لرسوله ونصراً لدين الله لا لغير ذلك من المقاصد.
{ثم يدرِكْه الموتُ}: بقتل أو
غيره،
{فقد وَقَعَ أجرُهُ على الله}؛ أي: فقد حَصَلَ له أجرُ المهاجر الذي
أدرك مقصودَه بضمان الله تعالى، وذلك لأنَّه نوى وجَزَمَ وحصل
منه ابتداءٌ وشروعٌ في العمل؛ فمن رحمة الله به وبأمثاله أنْ
أعطاهم أجْرَهم كاملاً، ولو لم يُكْمِلوا العمل، وَغَفَرَ لهم ما
حصل منهم من التقصير في الهجرة وغيرها، ولهذا ختم هذه الآية
بهذين الاسمين الكريمين، فقال:
{وكان الله غفوراً رحيماً}: يغفر
للمؤمنين ما اقترفوه من الخطيئاتِ، خصوصاً التائبين المنيبين إلى
ربهم، رحيماً بجميع الخلق رحمةً أوجدتهم وعافتْهم ورزقتْهم من
المال والبنين والقوَّة وغير ذلك، رحيماً بالمؤمنين؛ حيث وفَّقهم
للإيمان، وعلَّمهم من العلم ما يحصُلُ به الإيقان، ويَسَّرَ لهم
أسبابَ السعادة والفلاح، وما به يدركونَ غايةَ الأرباح، وسيرون
من رحمته وكرمِهِ ما لا عينٌ رأت ولا أذنٌ سمعت ولا خطر على قلب
بشر. فنسأل الله أن لا يحرِمَنا خيره بشرِّ ما عندنا.
(100) Ayat ini sebagai suatu penjelasan
tentang anjuran untuk berhijrah dan dorongan kepadanya serta
penjelasan tentang kemaslahatan yang terkandung di dalamnya, dan
Allah Yang Maha menepati janji itu telah menjanjikan bahwa
barangsiapa yang berhijrah di jalanNya dengan hanya mengharap
keridhaanNya, ia akan mendapatkan tempat yang luas dan rizki
yang melimpah, tempat yang luas itu mencakup
kemaslahatan-kemaslahatan agama, dan rizki yang melimpah
mencakup kemaslahatan-kemaslahatan dunia, yang demikian itu
ketika sebagian besar manusia mengira bahwa berhijrah itu akan
mengakibatkan perpecahan setelah ke-bersamaan, kefakiran setelah
kekayaan, keterhinaan setelah kemu-liaan dan kesusahan setelah
kelapangan, padahal hijrah itu tidaklah demikian, karena
sesungguhnya seorang Mukmin selama ia masih berada di antara
kaum musyrikin, maka agamanya berada dalam kondisi sangat
kritis, tidak hanya pada ibadah-ibadahnya yang pribadi seperti
shalat dan semacamnya, dan tidak juga pada ibadah-ibadahnya yang
berhubungan dengan orang seperti jihad dengan perkataan maupun
perbuatan dan hal-hal yang mengikutinya, karena ia tidak mampu
melakukan hal tersebut, dan ia berada dalam sasaran empuk dalam
perkara agamanya, khususnya jika termasuk dari orang-orang yang
tertindas, namun bila ia berhijrah di jalan Allah, niscaya ia
mampu menegakkan agama Allah dan berjihad melawan musuh-musuh
Allah dan memerangi mereka, sesungguhnya al-muraghamah itu
adalah sebuah kata komprehen-sif yang mencakup segala hal yang
membuat marah musuh-musuh Allah berupa perkataan dan perbuatan,
dan juga mengakibatkan perolehan rizki yang luas, dan
sesungguhnya apa yang dikabarkan oleh Allah سبحانه وتعالى
tersebut benar-benar telah terjadi. Maka ambillah pelajaran
tersebut dari para sahabat رضي الله عنهم, se-sungguhnya mereka
ketika berhijrah di jalan Allah dan meninggal-kan negeri,
anak-anak, serta harta mereka karena Allah, sempurna-lah iman
mereka dengannya, dan mereka memperoleh keimanan yang sempurna,
jihad yang besar, dan pembelaan terhadap agama Allah, di mana
mereka menjadi para pemimpin bagi orang-orang setelah mereka,
demikian juga mereka memperoleh hal-hal yang diakibatkan dari
hal itu berupa kemenangan-kemenangan dan ghanimah-ghanimah, di
mana mereka menjadi orang-orang yang paling kaya, dan
demikianlah, setiap orang yang melakukan se-perti apa yang
mereka lakukan, niscaya ia akan memperoleh apa yang mereka
peroleh sampai Hari Kiamat. Kemudian Allah berfirman, ﴾ وَمَن
يَخۡرُجۡ مِنۢ بَيۡتِهِۦ مُهَاجِرًا إِلَى ٱللَّهِ وَرَسُولِهِۦ
﴿ "Ba-rangsiapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah
kepada Allah dan RasulNya" yaitu bertujuan kepada Rabbnya,
keridhaanNya dan kecintaan kepada RasulNya, pembelaan terhadap
agama Allah, dan bukan bertujuan selain itu, ﴾
ثُمَّ يُدۡرِكۡهُ ٱلۡمَوۡتُ
﴿ "kemudian kematian me-nimpanya
(sebelum sampai ke tempat yang dituju)," dengan terbunuh atau selainnya, ﴾
فَقَدۡ وَقَعَ أَجۡرُهُۥ عَلَى ٱللَّهِۗ
﴿ "maka sungguh telah tetap pahalanya di sisi Allah," yaitu
sesungguhnya ia telah memperoleh pahala orang yang berhijrah
yang telah mendapatkan maksudnya dengan jaminan dari Allah
سبحانه وتعالى, yang demikian itu karena ia telah berniat dan
bertekad serta adanya tindakan memulai perbuatan tersebut,
maka di antara rahmat Allah kepadanya dan kepada orang-orang
yang semisalnya bahwa Allah memberikan pahala untuk mereka
secara penuh walaupun mereka belum menyempurnakan
per-buatannya, dan Allah mengampuni apa yang terjadi dari
mereka berupa kelalaian dalam berhijrah dan selainnya, karena
itulah Allah menutup ayat ini dengan dua namaNya yang mulia
tersebut seraya berfirman, ﴾
وَكَانَ ٱللَّهُ غَفُورٗا رَّحِيمٗا ﴿ "Dan Allah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang." Allah mengampuni bagi kaum Mukminin apa
yang telah mereka lakukan berupa kesalahan-kesalahan, khusus-nya
orang-orang yang bertaubat dan kembali kepada Rabb mereka, Allah
Maha Penyayang terhadap seluruh makhluk dengan rahmat yang
membuat mereka ada atau hidup, menyehatkan mereka, memberi rizki
kepada mereka berupa harta, anak cucu, kekuatan dan lain
sebagainya, Maha Penyayang terhadap kaum Mukminin di mana Allah
membimbing mereka kepada keimanan, mengajar-kan mereka ilmu yang
mengakibatkan keyakinan, memudahkan bagi mereka sebab-sebab
kebahagiaan dan kemenangan, dan per-kara yang membuat mereka
memperoleh keuntungan yang besar, mereka akan melihat di antara
rahmat dan karuniaNya yang tidak pernah dilihat oleh mata, tidak
pernah didengar oleh telinga, dan tidak pernah terbesit pada
hati seorang manusia pun. Kita memo-hon kepada Allah agar tidak
menahan kebaikanNya karena kebu-rukan yang ada pada diri kita.
{وَإِذَا ضَرَبْتُمْ فِي الْأَرْضِ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ
جُنَاحٌ أَنْ تَقْصُرُوا مِنَ الصَّلَاةِ إِنْ خِفْتُمْ أَنْ
يَفْتِنَكُمُ الَّذِينَ كَفَرُوا إِنَّ الْكَافِرِينَ كَانُوا
لَكُمْ عَدُوًّا مُبِينًا
(101) وَإِذَا كُنْتَ فِيهِمْ
فَأَقَمْتَ لَهُمُ الصَّلَاةَ فَلْتَقُمْ طَائِفَةٌ مِنْهُمْ
مَعَكَ وَلْيَأْخُذُوا أَسْلِحَتَهُمْ فَإِذَا سَجَدُوا
فَلْيَكُونُوا مِنْ وَرَائِكُمْ وَلْتَأْتِ طَائِفَةٌ أُخْرَى
لَمْ يُصَلُّوا فَلْيُصَلُّوا مَعَكَ وَلْيَأْخُذُوا
حِذْرَهُمْ وَأَسْلِحَتَهُمْ وَدَّ الَّذِينَ كَفَرُوا لَوْ
تَغْفُلُونَ عَنْ أَسْلِحَتِكُمْ وَأَمْتِعَتِكُمْ
فَيَمِيلُونَ عَلَيْكُمْ مَيْلَةً وَاحِدَةً وَلَا جُنَاحَ
عَلَيْكُمْ إِنْ كَانَ بِكُمْ أَذًى مِنْ مَطَرٍ أَوْ كُنْتُمْ
مَرْضَى أَنْ تَضَعُوا أَسْلِحَتَكُمْ وَخُذُوا حِذْرَكُمْ
إِنَّ اللَّهَ أَعَدَّ لِلْكَافِرِينَ عَذَابًا مُهِينًا
(102)}
.
"Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa
kamu menqashar di antara shalat
(mu),
jika kamu takut diserang orang-orang kafir. Sesungguhnya
orang-orang kafir itu adalah musuh yang nyata bagimu. Dan
apabila kamu berada di tengah-tengah mereka
(sahabatmu) lalu kamu hendak mendirikan
shalat bersama-sama mereka, maka hendaklah segolongan dari
mereka berdiri
(shalat) besertamu dan
menyandang senjata, ke-mudian apabila mereka
(yang shalat besertamu) sujud
(telah menyempurnakan satu rakaat), maka
hendaklah mereka pindah dari belakangmu
(untuk menghadapi musuh) dan hendaklah
datang golongan yang kedua yang belum shalat, lalu shalatlah
mereka denganmu, dan hendaklah mereka bersiap siaga dan
menyandang senjata. Orang-orang kafir ingin supaya kamu lengah
terhadap senjatamu dan harta bendamu, lalu mereka menyerbu kamu
dengan sekaligus. Dan tidak ada dosa atasmu meletakkan
senjata-senja-tamu, jika kamu mendapat suatu kesusahan karena
hujan atau karena kamu memang sakit; dan siap siagalah kamu.
Sesungguh-nya Allah telah menyediakan azab yang menghinakan bagi
orang-orang kafir itu."
(An-Nisa`: 101-102).
#
{101} هاتان الآيتان: أصل في رخصة
القصر وصلاة الخوف، يقول تعالى:
{وإذا ضربتُم في الأرض}؛
أي:
في السفر، وظاهر الآية أنه يقتضي الترخُّص في أي سفر كان، ولو
كان سفر معصية؛ كما هو مذهب أبي حنيفة رحمه الله، وخالف في ذلك
الجمهور، وهم الأئمة الثلاثة وغيرهم، فلم يجوِّزوا الترخيص في
سفر المعصية؛ تخصيصاً للآية بالمعنى والمناسبة؛ فإنَّ الرخصة
سهولةٌ من الله لعباده إذا سافروا أن يقصُروا ويفطروا، والعاصي
بسفره لا يناسب حاله التخفيف. وقوله:
{فليس عليكم جناح أن تقصُروا من الصلاة}؛ أي: لا حرج ولا إثم عليكم في ذلك.
ولا ينافي ذلك كون القصر هو الأفضل؛ لأن نفي الحرج إزالةٌ لبعض
الوهم الواقع في كثيرٍ من النفوس، بل ولا ينافي الوجوب؛
كما تقدَّم ذلك في سورة البقرة في قوله:
{إن الصَّفا والمروة من شعائرِ الله ... }
إلى آخر الآية، وإزالة الوهم في هذا الموضع ظاهرة؛ لأنَّ الصلاة
قد تقرَّر عند المسلمين وجوبُها على هذه الصفة التامَّة، ولا
يزيل هذا عن نفوس أكثرهم إلا بذكر ما ينافيه.
ويدلُّ على أفضلية القصر على الإتمام أمران:
أحدُهما: ملازمة النبيِّ - صلى الله عليه وسلم - على القصر في
جميع أسفاره. والثاني: أن هذا من باب
التوسعة والترخيص والرحمة بالعباد، والله تعالى يُحِبُّ أن تُؤتى
رُخَصُه، كما يكره أن تُؤتى معصيَتُه.
وقوله:
{أن تقصُروا من الصلاة}،
ولم يقل:
أن تقصُروا الصلاة: فيه فائدتان: إحداهما: أنه لو قال: أن تقصروا
الصلاة؛ لكان القصرُ غيرَ منضبط بحدٍّ من الحدود، فربَّما ظنَّ
أنه لو قَصَرَ معظم الصلاة وجعلها ركعةً واحدةً؛ لأجزأ؛
فإتيانه بقوله:
{من الصلاة}؛ ليدل ذلك على أن
القصر محدودٌ مضبوطٌ مرجوعٌ فيه إلى ما تقرَّر من فعل النبيِّ -
صلى الله عليه وسلم - وأصحابه. الثانية:
أنَّ {من} تفيدُ التبعيض؛ ليعلم
بذلك أن القصر لبعض الصلواتِ المفروضاتِ لا جميعها؛ فإنَّ الفجر
والمغرب لا يُقصران، وإنما الذي يُقْصَر الصلاة الرباعية من أربع
إلى ركعتين. فإذا تقرَّر أنَّ القصر في السفر رخصةٌ؛ فاعلمْ أنَّ
المفسِّرين قد اختلفوا في هذا القيد،
وهو قولُهُ:
{إن خفتم أن يَفْتِنَكُمُ الذين كفروا}، الذي يدلُّ ظاهرُهُ أنَّ القصر لا يجوزُ إلا بوجود الأمرين
كليهما السفر مع الخوف،
ويرجِعُ حاصل اختلافهم إلى أنه هل المرادُ بقوله:
{أن تقصُروا}: قصرُ العدد فقط أو
قصرُ العدد والصفة؟ فالإشكال إنما يكون على الوجه الأوَّل. وقد
أشكل هذا على أمير المؤمنين عمر بن الخطاب رضي الله عنه، حتَّى
سأل عنه النبيَّ - صلى الله عليه وسلم -،
فقال:
يا رسول الله! ما لنا نقصُرُ الصلاة وقد أمِنَّا؟
أي:
والله يقولُ:
{إن خِفْتُم أن يَفْتِنَكُمُ الذين كفروا}. فقال رسول الله - صلى الله عليه وسلم -:
«صدقةٌ تصدَّق الله بها عليكم؛ فاقبلوا صَدَقَتَهُ». أو كما قال. فعلى هذا يكون هذا القيد أتى به نظراً لغالب
الحال التي كان النبيُّ - صلى الله عليه وسلم - وأصحابه عليها؛
فإنَّ غالب أسفاره أسفار جهاد.
وفيه فائدةٌ أخرى:
وهي بيان الحكمة والمصلحة في مشروعية رخصة القصر؛ فبيَّن في هذه
الآية أنْهَى ما يُتَصَوَّر من المشقة المناسبة للرخصة، وهي
اجتماع السفر والخوف، ولا يستلزم ذلك أن لا يُقْصَرَ مع السفر
وحده الذي هو مَظِنَّة المشقَّة. وأما على الوجه الثاني، وهو
أنَّ المراد بالقصر [هنا] قصرُ العدد
والصِّفة؛ فإنَّ القيدَ على بابِهِ؛ فإذا وجد السفر والخوف؛ جاز
قصرُ العدد وقصرُ الصفة، وإذا وُجِدَ السفر وحده؛ جاز قَصْرُ
العدد فقط، أو الخوف وحدَه؛ جاز قصرُ الصفة.
(101) Dua ayat ini adalah dasar dari
rukhshah
(dispensasi kemudahan dalam melaksanakan ibadah)
untuk mengqashar dan untuk shalat saat takut
(shalat Khauf), Allah سبحانه وتعالى
berfirman, ﴾ وَإِذَا ضَرَبۡتُمۡ فِي ٱلۡأَرۡضِ
﴿ "Dan apabila kamu bepergian di muka bumi" yaitu bersafar,
lahi-riyah ayat ini menunjukkan keringanan untuk mengqashar
shalat dalam perjalanan apa pun, walaupun perjalanan
kemaksiatan, se-bagaimana yang diyakini oleh madzhab Abu
Hanifah 5, namun berbeda dengan jumhur ulama, yaitu tiga Imam
selain mereka
(Malik, asy-Syafi'i, Ahmad), mereka
tidaklah memberlakukan adanya rukhshah pada perjalanan
maksiat, sebagai pengkhususan bagi ayat ini dengan arti maupun
kesesuaiannya, karena sesung-guhnya rukhshah tersebut
merupakan kemudahan dari Allah untuk hamba-hambaNya apabila
mereka bermusafir agar mereka meng-qasharkan shalat dan
membatalkan puasanya, dan seorang pelaku maksiat dalam
safarnya tidaklah pantas mendapatkan keringanan. Dan
FirmanNya, ﴾
فَلَيۡسَ عَلَيۡكُمۡ جُنَاحٌ أَن تَقۡصُرُواْ مِنَ ٱلصَّلَوٰةِ
﴿ "Maka tidaklah mengapa kamu menqashar di antara shalat(mu)," maksudnya, tidak ada salahnya dan tidak ada dosanya atas
kalian dalam hal tersebut, namun hal itu tidaklah meniadakan
bahwa qashar tersebut adalah lebih utama, karena peniadaan
dosa adalah sebuah penghapusan atas beberapa keraguan yang
terjadi pada sebagian besar manusia, bahkan tidak juga
meniadakan kewajiban, sebagaimana yang telah berlalu pada
surat al-Baqarah pada Firman Allah سبحانه وتعالى, ﴾
إِنَّ ٱلصَّفَا وَٱلۡمَرۡوَةَ مِن شَعَآئِرِ ٱللَّهِۖ
﴿ "Sesungguhnya Shafa dan Marwa adalah sebagian dari syi'ar
Allah."
(Al-Baqarah: 158). Penghapusan keraguan dalam hal ini adalah suatu yang jelas
sekali, karena shalat itu telah tetap bagi kaum Muslimin
tentang hukumnya yang wajib dengan bentuk yang sempurna
tersebut, dan tidaklah hal ini menghapus dari jiwa kebanyakan
orang-orang kecuali dengan menyebutkan perkara yang
meniadakannya. Per-kara yang menunjukkan akan keutamaan qashar
daripada menyem-purnakan ada dua hal:
Pertama, konsistennya Nabi ﷺ dalam meng-qashar shalat pada
seluruh perjalanannya, dan kedua, bahwa hal ini adalah suatu
bentuk keringanan, kemudahan, dan rahmat bagi hamba, dan Allah
سبحانه وتعالى menyukai bila keringanan dariNya itu dila-kukan,
sebagaimana Allah membenci kemaksiatan kepadaNya itu
dikerjakan. Dan FirmanNya, ﴾
أَن تَقۡصُرُواْ مِنَ ٱلصَّلَوٰةِ
﴿ "Kamu menqashar di antara shalat(mu)," Allah tidak berfirman "kamu mengqashar shalatmu," dalam hal itu ada dua faidah:
Pertama, bahwa seandainya Allah berfirman "kamu mengqashar
shalatmu," niscaya qashar tersebut tidaklah terbatasi oleh
batasan tertentu, dan kemungkinan saja akan diduga oleh
seseorang bahwa dengan mengqashar seluruh shalat dalam satu
rakaat saja telah mencukupinya, maka Allah memakai kata dalam
FirmanNya, ﴾
مِنَ ٱلصَّلَوٰةِ
﴿ "Di antara shalat(mu)," agar hal
itu menunjukkan bahwa qashar itu terbatasi dan teratur yang
dikembalikan kepada perbuatan Nabi ﷺ dan para sahabat-nya رضي
الله عنهم, dan kedua, bahwasanya kata, مِنْ menunjukkan
pembagian, agar diketahui bahwa mengqashar shalat itu hanyalah
beberapa shalat wajib saja dan bukan semuanya, karena shalat
Shubuh dan Maghrib tidak diqashar, adapun yang diqashar adalah
shalat-shalat yang empat rakaat saja, dari empat menjadi dua.
Dan bila telah tetap bahwa shalat qashar itu merupakan suatu
keringanan dalam safar, namun ketahuilah bahwa para ahli
Tafsir berbeda pendapat tentang batasan tersebut, yaitu
FirmanNya, ﴾
إِنۡ خِفۡتُمۡ أَن يَفۡتِنَكُمُ ٱلَّذِينَ كَفَرُوٓاْۚ
﴿ "Jika kamu takut diserang orang-orang kafir" di mana
lahiriyahnya menunjukkan bahwa tidaklah qashar itu boleh
dilaku-kan kecuali dengan adanya dua perkara secara bersamaan
yaitu safar dan rasa takut. Pangkal dari perselisihan mereka
adalah ten-tang maksud dari FirmanNya, ﴾
أَن تَقۡصُرُواْ
﴿ "Kamu mengqashar" meng-qashar jumlah saja atau mengqashar
jumlah dan sifatnya? Dan yang masalah adalah yang terjadi pada
hal yang pertama saja, sesung-guhnya hal ini telah
dipermasalahkan oleh Amirul Mukminin Umar bin al-Khaththab رضي
الله عنه hingga beliau bertanya tentang hal ter-sebut kepada
Rasulullah ﷺ seraya berkata, "Wahai Rasulullah ﷺ, kenapa kita
harus mengqashar shalat padahal kita sudah merasa aman?"
Maksudnya, Allah telah berfirman, ﴾
إِنۡ خِفۡتُمۡ أَن يَفۡتِنَكُمُ ٱلَّذِينَ كَفَرُوٓاْۚ ﴿ "Jika
kamu takut diserang orang-orang kafir," maka Rasulullah ﷺ
ber-sabda, صَدَقَةٌ تَصَدَّقَ اللّٰهُ بِهَا عَلَيْكُمْ
فَاقْبَلُوْا صَدَقَتَهُ. "Ia adalah sebuah sedekah yang
diberikan oleh Allah kepada kalian, maka terimalah sedekah Allah
tersebut,"
[37] atau sebagaimana yang
beliau sabdakan. Atas dasar ini maka batasan tersebut disebutkan
karena me-rupakan kondisi yang paling banyak terjadi pada Nabi ﷺ
beserta para sahabatnya رضي الله عنهم, karena kebanyakan dari
perjalanan Nabi ﷺ adalah perjalanan-perjalanan dalam rangka
jihad. Dalam hal ini ada faidah yang lain, yaitu penjelasan
tentang hikmah dan kemaslahatan dalam syariat rukhshah tersebut,
Allah menjelaskan dalam ayat ini batasan perkara yang dapat
dibayang-kan berupa kesulitan yang sesuai untuk keringanan
tersebut, yaitu bersatunya safar dengan rasa takut, namun hal
itu tidaklah mela-zimkan untuk tidak mengqashar pada safar saja,
karena safar meru-pakan suatu kondisi yang selalu dihadapkan
dengan kesulitan. Adapun menurut bentuk yang kedua yaitu yang
dimaksud dengan qashar di sini adalah mengqashar bilangan dan
sifatnya, karena se-sungguhnya syarat tersebut sesuai dengan
babnya, dan bila ditemui adanya safar dan rasa takut, maka boleh
mengqashar jumlah dan sifat shalat, dan bila hanya safar saja
yang ditemui, maka hanya mengqashar jumlah saja yang dibolehkan,
atau bila ditemui takut saja, maka boleh mengqashar sifatnya.
#
{102} ولذلك أتى بصفة صلاة الخوف
بعدها بقوله:
{وإذا كنتَ فيهم فأقمتَ لهمُ الصَّلاة}؛ أي: صَلَّيْتَ بهم صلاةً تُقيمها
وتُتِمُّ ما يجبُ فيها ويلزم فعلُهم ما ينبغي لك ولهم
فعلُه، ثم فسَّر ذلك بقوله:
{فَلْتَقُمْ طائفةٌ منهم معك}؛ أي: وطائفةٌ قائمةٌ بإزاء العدوِّ؛
كما يدلُّ على ذلك ما يأتي.
{فإذا سجدوا}؛
أي:
الذين معك؛ أي: أكملوا صلاتهم، وعبَّر
عن الصلاة بالسُّجود؛ ليدلَّ على فضل السجود وأنَّه ركنٌ من
أركانها، بل هو أعظمُ أركانها،
{فليكونوا من ورائِكُم ولتأتِ طائفةٌ أخرى لم يصلُّوا}: وهم الطائفةُ الذين قاموا إزاءَ العدوِّ،
{فَلْيُصَلُّوا معك}: ودلَّ ذلك
على أنَّ الإمام يبقى بعد انصراف الطائفةِ الأولى منتظراً
للطائفة الثانية؛ فإذا حضروا صلَّى بهم ما بقي من صلاته، ثم جلس
ينتظِرُهم حتى يُكْمِلوا صلاتَهم، ثم يسلِّم بهم. وهذا أحد
الوجوه في صلاة الخوف؛ فإنَّها صحَّت عن النبي صلى الله عليه
(وسلم) من وجوه كثيرة كلها جائزة.
وهذه الآية تدلُّ على أنَّ صلاة الجماعة فرض عين من
وجهين:
أحدهما: أنَّ الله تعالى أمر بها في هذه الحالة الشديدة وقت
اشتداد الخوف من الأعداء وحذر مهاجمتهم؛ فإذا أوجبها في هذه
الحالة الشديدة، فإيجابُها في حالة الطمأنينة والأمن من باب أولى
وأحرى. والثاني: أنَّ المصلِّين صلاة
الخوف يترُكون فيها كثيراً من الشُّروط واللوازم، ويُعفى فيها عن
كثيرٍ من الأفعال المبطلة في غيرها، وما ذاك إلا لتأكُّد وجوب
الجماعة؛ لأنَّه لا تعارض بين واجبٍ ومستحبٍّ؛ فلولا وجوب
الجماعة؛ لم تتركْ هذه الأمور اللازمة لأجلها. وتدلُّ الآية
الكريمة على أنَّ الأَوْلَى والأفضل أن يصلُّوا بإمام واحد ولو
تضمَّن ذلك الإخلال بشيءٍ لا يخلُّ به لو صلَّوها بعدة أئمة،
وذلك لأجل اجتماع كلمة المسلمين واتِّفاقهم وعدم تفرُّق
كلمتِهِم، وليكونَ ذلك أوقع هيبةً في قلوب أعدائِهِم. وأمر تعالى
بأخذ السلاح والحذر في صلاة الخوف، وهذا وإن كان فيه حركةٌ
واشتغالٌ عن بعض أحوال الصلاة؛ فإنَّ فيه مصلحةً راجحةً، وهو
الجمع بين الصلاة والجهاد والحَذَر من الأعداء الحريصين غايةَ
الحرص على الإيقاع بالمسلمين والميل عليهم وعلى أمتعتهم،
ولهذا قال تعالى:
{ودَّ الذين كفروا لو تغفُلون عن أسلحتكِم وأمتعتِكم فيمليونَ
عليكم ميلةً واحدةً}. ثم إنَّ الله عَذَرَ من له عُذْرٌ من مرض أو مطرٍ أن يَضَعَ
سلاحَه، ولكن مع أخذ الحذرِ، فقال:
{ولا جُناح عليكم إن كان بكم أذىً من مطرٍ أو كنتم مرضى أن
تضعوا أسلحتكم وخذوا حِذْركم إن الله أعدَّ للكافرين عذاباً
مهيناً}، ومن العذابِ المهين ما أمر الله به حزبَهُ المؤمنين وأنصار
دينِهِ الموحِّدين مِن قتلهم وقتالهم حيثما ثَقفوهم، ويأخذوهم،
ويحصُروهم، ويقعدوا لهم كلَّ مرصدٍ، ويحذروهم في جميع الأحوال،
ولا يغفلوا عنهم خشية أن ينال الكفار بعض مطلوبهم فيهم؛ فللهِ
أعظم حمدٍ وثناءٍ على ما منَّ به على المؤمنين وأيَّدهم
بمعونتِهِ وتعاليمه التي لو سَلَكوها على وجه الكمال؛ لم تهزمْ
لهم رايةٌ، ولم يظهرْ عليهم عدوٌّ في وقتٍ من الأوقات.
وقوله:
{فإذا سَجَدوا فليكونوا من ورائكم}: يدلُّ على أنَّ هذه الطائفة تُكْمِلُ جميع صلاتها قبل ذهابهم
إلى موضع الحارسين، وأنَّ الرسول - صلى الله عليه وسلم - يثبت
منتظراً للطائفة الأخرى قبل السلام؛ لأنه أولاً ذكر أنَّ الطائفة
تقوم معه، فأخبر عن مصاحبتهم له، ثم أضاف الفعل بعد إليهم دون
الرسول، فدل ذلك على ما ذكرناه. وفي قوله
{فلتأت طائفة أخرى لم يصلوا فليصلوا معك}: دليلٌ على أنَّ الطائفة الأولى قد صلوا، وأنَّ جميع صلاة
الطائفة الثانية تكون مع الإمام حقيقةً في ركعتهم الأولى وحكماً
في ركعتهم الأخيرة، فيستلزمُ ذلك انتظارَ الإمام إيَّاهم حتَّى
يُكْمِلوا صلاتهم، ثم يُسَلِّم بهم. وهذا ظاهرٌ للمتأمِّل.
(102) Karena itulah Allah menyebutkan
setelahnya tata cara dari shalat Khauf dalam FirmanNya, ﴾
وَإِذَا كُنتَ فِيهِمۡ فَأَقَمۡتَ لَهُمُ ٱلصَّلَوٰةَ
﴿ "Dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereka
(sahabatmu) lalu kamu hendak
mendirikan shalat bersama-sama mereka." Maksudnya, engkau
shalat menjadi imam bersama mereka, di mana engkau
menegak-kannya, menyempurnakan aturan-aturannya, dan melakukan
apa yang memang wajib bagimu dan bagi mereka, kemudian Allah
menafsirkan sendiri hal tersebut seraya berfirman, ﴾
فَلۡتَقُمۡ طَآئِفَةٞ مِّنۡهُم مَّعَكَ
﴿ "Maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri
(shalat) beserta-mu," maksudnya, dan
sekelompok lagi berjaga menghadap musuh, sebagaimana yang
ditunjukkan oleh kalimat selanjutnya, ﴾
فَإِذَا سَجَدُواْ
﴿ "Kemudian apabila mereka sujud" yaitu orang-orang yang
shalat be-sertamu, maksudnya, mereka telah menyempurnakan
shalat, dan Allah mengungkapkan maksud shalat dengan kata
sujud untuk menjelaskan tentang keutamaan sujud dan bahwasanya
ia adalah merupakan salah satu rukun di antara rukun-rukun
shalat, bahkan ia merupakan rukun yang paling utama,﴾
فَلۡيَكُونُواْ مِن وَرَآئِكُمۡ وَلۡتَأۡتِ طَآئِفَةٌ أُخۡرَىٰ
لَمۡ يُصَلُّواْ
﴿ "maka hendaklah mereka pindah dari belakangmu
(untuk menghadapi musuh) dan hendaklah
datang golongan yang kedua yang belum shalat," mereka itu
adalah kelompok pertama yang ber-jaga menghadap musuh, ﴾
فَلۡيُصَلُّواْ مَعَكَ
﴿ "lalu shalatlah mereka dengan-mu," hal ini menunjukkan
bahwa imam tidaklah beranjak dari tem-patnya setelah bubarnya
kelompok pertama yang shalat bersama-nya dengan maksud
menunggu kelompok kedua, dan bila mereka telah berdiri dan
siap shalat, maka ia melanjutkan shalat yang tersisa darinya,
kemudian imam duduk sambil menunggu para makmum dengan
menyempurnakan shalat mereka dahulu kemu-dian imam salam
bersama mereka. Ini adalah salah satu tata cara dari shalat
Khauf, karena sesungguhnya banyak sifat-sifat shalat Khauf
yang shahih dari Nabi ﷺ, dan kesemuanya boleh dilakukan. Ayat
ini menunjukkan bahwa shalat jamaah itu wajib 'ain,
hal ini karena dua alasan:
Pertama, bahwasanya Allah سبحانه وتعالى memerintahkan hal
tersebut dalam kondisi yang berat seperti ini, yaitu saat
memuncaknya rasa takut terhadap musuh dan rasa kewaspadaan
terhadap serangan mereka, dan bila Allah mewajibkan hal
tersebut pada kondisi yang segenting itu, maka kewajibannya
dalam kondisi yang tenang dan aman adalah lebih utama dan
lebih patut. Kedua, bahwa orang-orang yang shalat Khauf banyak
me-ninggalkan syarat-syarat dan hal-hal wajib dalam shalat
biasa, dan banyak sekali dibiarkan dari mereka
perbuatan-perbuatan yang membatalkan shalat pada selain shalat
Khauf, hal itu tidaklah me-nunjukkan kecuali hanya untuk
menegaskan akan wajibnya shalat berjamaah, karena tidaklah
akan bertentangan antara yang wajib dengan yang sunnah, dan
sekiranya bukan karena wajibnya shalat jamaah, niscaya semua
hal-hal yang wajib itu tidaklah boleh di-tinggalkan. Dan ayat
yang mulia ini juga menunjukkan bahwa yang paling utama dan
paling baik adalah agar mereka shalat bersama satu imam saja
walaupun hal itu mengandung suatu cacat yang tidak menjadi
suatu hal yang kurang sekiranya mereka shalat de-ngan beberapa
imam, yang demikian itu adalah demi bersatunya kalimat kaum
Muslimin, keselarasan mereka dan tidak bercerai berainya
kesatuan mereka, dan agar hal tersebut menjadi suatu faktor
yang memberi rasa takut kepada musuh-musuh mereka. Allah
سبحانه وتعالى memerintahkan untuk menyandang senjata dan
ber-tindak waspada dalam mengerjakan shalat Khauf, yang
demikian itu walaupun terlihat mengandung suatu gerakan dan
kesibukan di luar amalan-amalan shalat namun sesungguhnya di
balik itu terdapat maslahat yang sangat besar dan lebih
diutamakan, yaitu menyatukan antara shalat, berjihad, dan
bertindak waspada dari musuh yang sangat berusaha keras dalam
mengalahkan kaum Muslimin, menyerbu mereka, dan menjarah
harta-harta benda me-reka, karena itulah Allah berfirman,
﴾
وَدَّ ٱلَّذِينَ كَفَرُواْ لَوۡ تَغۡفُلُونَ عَنۡ أَسۡلِحَتِكُمۡ
وَأَمۡتِعَتِكُمۡ فَيَمِيلُونَ عَلَيۡكُم مَّيۡلَةٗ وَٰحِدَةٗۚ
﴿ "Orang-orang kafir ingin supaya kamu lengah terhadap
senjatamu dan harta bendamu, lalu mereka menyerbu kamu dengan
sekaligus." Kemudian Allah سبحانه وتعالى memaafkan orang-orang
yang memiliki udzur berupa sakit atau karena hujan untuk
meletakkan senjata mereka, akan tetapi mereka tetap harus
bertindak waspada dalam FirmanNya, ﴾
وَلَا جُنَاحَ عَلَيۡكُمۡ إِن كَانَ بِكُمۡ أَذٗى مِّن مَّطَرٍ
أَوۡ كُنتُم مَّرۡضَىٰٓ أَن تَضَعُوٓاْ أَسۡلِحَتَكُمۡۖ وَخُذُواْ
حِذۡرَكُمۡۗ إِنَّ ٱللَّهَ أَعَدَّ لِلۡكَٰفِرِينَ عَذَابٗا
مُّهِينٗا
﴿ "Dan tidak ada dosa atasmu meletak-kan senjata-senjatamu,
jika kamu mendapat suatu kesusahan karena hujan atau karena
kamu memang sakit, dan siap siagalah kamu. Sesungguhnya Allah
telah menyediakan azab yang menghinakan bagi orang-orang kafir
itu," dan di antara siksaan yang menghinakan itu adalah apa
yang telah diperintahkan oleh Allah kepada golonganNya yaitu
orang-orang yang beriman dan para penolong agamaNya, serta
orang-orang yang bertauhid untuk membunuh dan memerangi mereka
di mana saja kaum Muslimin itu menemui mereka, menyerang
mereka, mengepung mereka, dan mencari mereka pada segala
penjuru, mengancam mereka dalam setiap kondisi serta tidak
lengah dari mereka karena dikhawatirkan kaum kafir memperoleh
beberapa keinginan mereka terhadap kaum Mukminin, maka milik
Allah saja pujian dan sanjungan yang terbesar atas apa yang
telah dikaruniakanNya terhadap kaum Mukminin dan pembelaan-Nya
atas mereka dengan pertolonganNya dan instruksi-instruksi-Nya,
di mana bila kaum Muslimin itu menempuhnya secara sem-purna,
niscaya tidaklah akan ada suatu kaum yang akan mengalah-kan
mereka dan tidaklah ada suatu musuh yang akan menguasai mereka
dalam waktu kapan pun. Dan FirmanNya, ﴾
فَإِذَا سَجَدُواْ فَلۡيَكُونُواْ مِن وَرَآئِكُمۡ
﴿ "Kemudian apa-bila mereka
(yang shalat besertamu) sujud
(telah menyempurnakan satu rakaat),
maka hendaklah mereka pindah dari belakangmu
(untuk meng-hadapi musuh)" menunjukkan
bahwa kelompok pertama tersebut menyempurnakan seluruh shalat
mereka sebelum mereka beranjak pergi ke tempat penjagaan, dan
bahwasanya Rasulullah ﷺ tetap diam untuk menunggu kelompok
selanjutnya sebelum beliau salam, karena telah disebutkan di
atas bahwa kelompok tersebut berdiri bersama beliau menegakkan
shalat, lalu Allah mengabarkan tentang keikutsertaan mereka
dengan beliau dalam shalat, kemu-dian Allah menyandarkan
perbuatan tersebut kepada kelompok itu saja tanpa
menyandarkannya kepada Rasul, maka hal itu me-nunjukkan bahwa
maksudnya adalah seperti yang telah kita sebut-kan di atas.
Dan dalam FirmanNya, ﴾
وَلۡتَأۡتِ طَآئِفَةٌ أُخۡرَىٰ لَمۡ يُصَلُّواْ فَلۡيُصَلُّواْ
مَعَكَ ﴿ "Dan hendaklah datang golongan yang kedua yang belum
shalat, lalu shalatlah mereka denganmu" sebuah dalil bahwa
kelompok pertama telah menyelesaikan shalat, dan bahwa seluruh
shalat kelompok yang kedua bersama imam menurut realitanya pada
rakaat per-tama dan menurut hukumnya pada rakaat mereka yang
terakhir, di mana hal itu mengharuskan imam menunggu hingga
mereka menyempurnakan shalat mereka, kemudian imam salam bersama
mereka, hal ini sangatlah jelas bagi orang yang
memperhatikannya.
{فَإِذَا قَضَيْتُمُ الصَّلَاةَ فَاذْكُرُوا اللَّهَ قِيَامًا
وَقُعُودًا وَعَلَى جُنُوبِكُمْ فَإِذَا اطْمَأْنَنْتُمْ
فَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ إِنَّ الصَّلَاةَ كَانَتْ عَلَى
الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَوْقُوتًا
(103)}
.
"Maka apabila kamu telah menyelesaikan shalat
(mu), ingat-lah Allah di waktu berdiri, di waktu duduk dan di waktu
berbaring. Kemudian apabila kamu telah merasa aman, maka
dirikanlah shalat itu
(sebagaimana biasa). Sesungguhnya shalat
itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang
yang ber-iman."
(An-Nisa`: 103).
#
{103} أي: فإذا فَرَغْتُم من
صلاتكم صلاة الخوف وغيرها؛ فاذكروا الله في جميع أحوالكم
وهيئاتكم،
ولكن خُصَّتْ صلاة الخوف بذلك لفوائدَ:
منها: أنَّ القلبَ صلاحُهُ وفلاحُهُ وسعادتُهُ بالإنابة إلى الله
تعالى في المحبة وامتلاء القلب من ذكرِهِ والثناء عليه، وأعظم ما
يحصُلُ به هذا المقصود الصلاةُ التي حقيقتها أنها صلةٌ بين العبد
وبين ربِّه. ومنها: أنَّ فيها من حقائق
الإيمانِ ومعارف الإيقانِ ما أوجب أن يَفْرضَها الله على عبادِهِ
كلَّ يوم وليلة، ومن المعلوم أنَّ صلاة الخوف لا تحصُلُ فيها هذه
المقاصد الحميدة بسبب اشتغال القلب والبدن، والخوف، فأمر
بجَبْرِها بالذِّكر بعدها. ومنها: أنَّ
الخوف يوجِبُ [من] قلق القلب وخوفه، ما
هو مَظِنَّةٌ لضعفه، وإذا ضَعُفَ القلبُ ضَعُفَ البدنُ عن مقاومة
العدوِّ. والذِّكر لله والإكثار منه من أعظم مقويات القلب.
ومنها:
أن الذكر لله تعالى مع الصبر والثبات سبب للفلاح والظفر
بالأعداء؛ كما قال تعالى:
{يا أيها الذين آمنوا إذا لقيتم فئة فاثْبُتوا واذْكُروا الله
كثيراً لعلَّكم تفلحونَ}، فأمر بالإكثار منه في هذه الحال، إلى غير ذلك من الحكم.
وقوله:
{فإذا اطمأنَنتُم فأقيموا الصلاة}؛ أي: إذا أمنتم من الخوف واطمأنَّت
قلوبُكم وأبدانُكم؛ فأتموا صلاتَكم على الوجه الأكمل ظاهراً
وباطناً بأركانها وشروطِها وخشوعِها وسائر مكمِّلاتها.
{إنَّ الصلاةَ كانت على المؤمنين كتاباً موقوتاً}؛ أي: مفروضاً في وقته. فدلَّ ذلك على
فرضيَّتها وأنَّ لها وقتاً لا تصحُّ إلاَّ به، وهو هذه الأوقات
التي قد تقرَّرت عند المسلمين صغيرهم وكبيرهم عالمهم وجاهلهم
وأخذوا ذلك عن نبيِّهم محمدٍ - صلى الله عليه وسلم -
بقوله:
«صلُّوا كما رأيتموني أصلِّي».
ودلَّ قوله:
{على المؤمنين}: على أنَّ الصلاة
ميزانُ الإيمان، وعلى حسب إيمان العبد تكون صلاتُهُ وتتمُّ
وتكمُلُ. ويدلُّ ذلك على أن الكفار ـ وإن كانوا ملتزمين لأحكام
المسلمين كأهل الذمة ـ أنهم لا يخاطَبون بفروع الدين كالصلاة،
ولا يُؤْمَرون بها، بل ولا تصحُّ منهم ما داموا على كفرِهم، وإن
كانوا يعاقَبون عليها وعلى سائر الأحكام في الآخرة.
(103) Maksudnya, apabila kalian telah
menyelesaikan shalat Khauf kalian atau lainnya, maka
berdzikirlah kepada Allah dalam berbagai kondisi dan keadaan
kalian, akan tetapi dikhusus-kan shalat Khauf dengan hal
tersebut adalah karena beberapa faidah,
di antaranya:
+ Bahwasanya baiknya hati, keberuntungan, dan kebahagiaan-nya,
adalah dengan kembali kepada Allah dalam kecintaan dan hati yang
penuh dengan dzikir kepadaNya dan pujian atasNya, dan sarana
yang paling agung untuk mencapai tujuan tersebut adalah shalat,
yang pada hakikatnya merupakan sebuah hu-bungan langsung antara
seorang hamba dengan Rabbnya. + Bahwa dalam hal itu tergambar
hakikat keimanan dan isyarat-isyarat keyakinan yang membuat
Allah harus mewajibkan shalat atas hamba-hambaNya setiap sehari
semalam, dan telah diketahui bahwa di dalam shalat Khauf tidak
didapatkan tujuan-tujuan yang terpuji tersebut disebabkan oleh
sibuknya hati dan tubuh serta rasa takut, maka Allah
memerintahkan untuk menutupinya dengan dzikir setelahnya. +
Bahwasanya takut itu mengakibatkan ketegangan hati dan pe-rasaan
khawatir yang menghadapkannya kepada kelemahan, dan bila hati
telah lemah, niscaya tubuh pun akan lemah dalam menghadapi
musuh, dan memperbanyak dzikir kepada Allah adalah di antara
pemicu kekuatan yang terbesar bagi hati. + Bahwa dzikir kepada
Allah سبحانه وتعالى disertai bersabar dan teguh ada-lah sebab
dari kemenangan dan keberuntungan dari musuh sebagaimana Allah
سبحانه وتعالى berfirman, ﴾ يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ
إِذَا لَقِيتُمۡ فِئَةٗ فَٱثۡبُتُواْ وَٱذۡكُرُواْ ٱللَّهَ
كَثِيرٗا لَّعَلَّكُمۡ تُفۡلِحُونَ 45
﴿ "Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu memerangi
pasukan (musuh), maka berteguh hatilah
kamu dan sebutlah (nama) Allah
sebanyak-banyaknya agar kamu beruntung."
(Al-Anfal: 45), Allah memerintahkan untuk memperbanyak dzikir kepada-Nya
dalam kondisi seperti ini. Dan banyak lagi faidah-faidah
lainnya. Dan FirmanNya, ﴾
فَإِذَا ٱطۡمَأۡنَنتُمۡ فَأَقِيمُواْ ٱلصَّلَوٰةَۚ
﴿ "Kemudian apabila kamu telah merasa aman, maka dirikanlah
shalat itu (sebagaimana biasa),"
maksudnya apabila kalian telah merasa aman dari rasa takut dan
hati serta tubuh kalian telah merasakan ketenangan, maka
sem-purnakanlah shalat kalian secara penuh, baik lahir maupun
batin dengan menegakkan rukun-rukunnya, syarat-syaratnya,
kekhu-syu'annya dan seluruh hal yang melengkapinya. ﴾
إِنَّ ٱلصَّلَوٰةَ كَانَتۡ عَلَى ٱلۡمُؤۡمِنُونَ كِتَٰبٗا
مَّوۡقُوتٗا
﴿ "Sesungguhnya shalat itu adalah kewajiban yang ditentukan
waktunya atas orang-orang yang beriman," maksudnya diwajibkan
pada waktu-waktunya. Hal tersebut menunjukkan kewajiban
shalat, dan bahwa shalat itu memiliki waktu di mana shalat itu
tidak sah kecuali pada waktunya, yaitu waktu-waktu yang telah
diketahui oleh kaum Muslimin, baik anak kecil, orang tua,
ulama maupun orang bodoh mereka, di mana mereka mendapatkan
hal tersebut dari Nabi mereka, Muhammad ﷺ dalam sabdanya,
صَلُّوْا كَمَا رَأَيْتُمُوْنِيْ أُصَلِّي. "Shalatlah kalian
sebagaimana kalian melihat aku shalat."[38]
Firman Allah, ﴾
عَلَى ٱلۡمُؤۡمِنِينَ ﴿ "Atas orang-orang yang beriman"
menunjukkan bahwa shalat itu adalah barometer keimanan, dan
menurut keimanan seorang hambalah shalatnya tegak dan sem-purna.
Yang menunjukkan hal itu adalah bahwa kaum kafir –wa-laupun
mereka konsisten terhadap hukum-hukum kaum Muslimin seperti ahli
dzimmah– tidaklah diwajibkan dengan cabang-cabang agama seperti
shalat, mereka tidak diperintahkan untuk mengerja-kannya, bahkan
hal itu bila mereka lakukan juga tidaklah sah selama mereka
masih dalam kekufuran, dan mereka tetap akan disiksa karena hal
itu dan karena hukum-hukum lain di akhirat nanti.
{وَلَا تَهِنُوا فِي ابْتِغَاءِ الْقَوْمِ إِنْ تَكُونُوا
تَأْلَمُونَ فَإِنَّهُمْ يَأْلَمُونَ كَمَا تَأْلَمُونَ
وَتَرْجُونَ مِنَ اللَّهِ مَا لَا يَرْجُونَ وَكَانَ اللَّهُ
عَلِيمًا حَكِيمًا (104)}
.
"Janganlah kamu berhati lemah dalam mengejar mereka
(musuhmu). Jika kamu menderita
kesakitan, maka sesungguhnya mereka pun menderita kesakitan
(pula), sebagaimana kamu men-deritanya,
sedang kamu mengharap dari Allah apa yang tidak me-reka
harapkan. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana."
(An-Nisa`: 104).
#
{104} أي: لا تضعُفوا ولا تكسلوا
في ابتغاء عدوِّكم من الكفَّار؛ أي: في
جهادهم والمرابطة على ذلك؛ فإنَّ وَهَنَ القلب مستدعٍ لوَهَن
البدن، وذلك يضعف عن مقاومة الأعداء، بل كونوا أقوياء نشيطين في
قتالهم. ثم ذكر ما يقوِّي قلوب المؤمنين،
فذكر شيئين:
الأول: أنَّ ما يصيبكم من الألم والتعب والجراح ونحو ذلك؛ فإنه
يصيب أعداءكم، فليس من المروءة الإنسانيَّة والشهامة الإسلاميَّة
أن تكونوا أضعفَ منهم وأنتم وهم قد تساوَيْتم فيما يوجِبُ ذلك؛
لأنَّ العادة الجارية أنه لا يَضْعُفُ إلاَّ من توالت عليه
الآلام، وانتصر عليه الأعداء على الدوام، لا مَن يُدال مرةً
ويُدال عليه أخرى. الأمر الثاني: أنكم
ترجونَ من الله ما لا يرجون، فترجون الفوز بثوابِهِ والنجاة من
عقابه، بل خواصُّ المؤمنين لهم مقاصدُ عاليةٌ وآمال رفيعةٌ من
نصر دين الله وإقامة شرعه واتِّساع دائرة الإسلام وهداية
الضالِّين وقمع أعداء الدين؛ فهذه الأمور توجب للمؤمن المصدق
زيادة القوة وتضاعف النشاط والشجاعة التامَّة؛ لأنَّ من يقاتل
ويصبر على نيل عزِّه الدُّنيويِّ إن ناله ليس كمن يقاتِلُ لنيل
السعادة الدنيويَّة والأخرويَّة والفوز برضوان الله وجنَّته؛
فسبحان من فاوت بين العباد وفرَّق بينهم بعلمِهِ وحكمتِهِ،
ولهذا قال:
{وكان الله عليماً حكيماً}: كامل
العلم كامل الحكمةِ.
(104) Yaitu janganlah kalian lemah dan
jangan malas dalam mengejar musuh-musuh kalian dari orang-orang
kafir, maksudnya dalam memerangi mereka dan bersiap-siap
menghadapi mereka, karena sesungguhnya kelemahan hati
mengakibatkan kelemahan tubuh. Dan yang demikian itu akan
melemahkan perjuangan terhadap musuh, akan tetapi jadilah kalian
orang-orang yang kuat dan bersemangat dalam memerangi mereka.
Kemudian Allah me-nyebutkan suatu hal yang akan menguatkan hati
kaum Mukminin,
yaitu Allah menyebutkan dua perkara:
Pertama, bahwasanya apa pun yang menimpa kalian berupa
kesedihan, kelelahan, luka dan lain sebagainya, maka hal serupa
itu pun menimpa musuh-musuh kalian, maka menjadi lebih lemah
dari mereka bukanlah di antara kewibawaan dan keluhuran budi
kalian, karena kalian dan mereka sama-sama dalam merasakan
akibat dari hal itu, karena kebiasaan yang berlaku adalah bahwa
tidaklah akan merasa lemah kecuali orang yang tertimpa bencana
yang bertubi-tubi dan dikalahkan oleh musuh secara terus
menerus, dan bukannya orang yang hanya pernah dikalahkan dan
pernah mengalahkan. Perkara kedua, bahwasanya kalian itu
mengharapkan sesuatu di sisi Allah apa yang tidak mereka
harapkan, kalian mengharap-kan kemenangan dengan mendapatkan
pahalaNya dan keselamatan dari siksaNya, bahkan orang-orang yang
khusus dalam Islam memiliki tujuan-tujuan yang jauh dan
cita-cita yang tinggi untuk membela agama Allah, menegakkan
syariatNya, memperluas daerah kekuasaan Islam, memberi petunjuk
kepada orang-orang yang tersesat dan menghancurkan musuh-musuh
agama, hal-hal tersebut akan menambah kekuatan bagi seorang
Mukmin yang benar, meningkatkan semangat dan keberanian yang
penuh, karena barangsiapa yang berjuang dan bersabar dalam
memperoleh kemu-liaan duniawi bila ia memperolehnya tidaklah
sama dengan orang yang berjuang untuk memperoleh kebahagiaan
dunia dan akhirat, serta kemenangan dengan memperoleh ridha
Allah dan surgaNya, maka Mahasuci Allah yang telah
membeda-bedakan antara hamba dan memilah-milah mereka dengan
ilmu dan hikmahNya, karena itulah Allah berfirman, ﴾ وَكَانَ
ٱللَّهُ عَلِيمًا حَكِيمًا ﴿ "Dan Allah Maha Mengetahui lagi
Mahabijaksana," yaitu ilmu dan hikmah yang sempurna.
{إِنَّا أَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ
لِتَحْكُمَ بَيْنَ النَّاسِ بِمَا أَرَاكَ اللَّهُ وَلَا
تَكُنْ لِلْخَائِنِينَ خَصِيمًا
(105) وَاسْتَغْفِرِ اللَّهَ إِنَّ
اللَّهَ كَانَ غَفُورًا رَحِيمًا
(106) وَلَا تُجَادِلْ عَنِ الَّذِينَ
يَخْتَانُونَ أَنْفُسَهُمْ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ مَنْ
كَانَ خَوَّانًا أَثِيمًا
(107) يَسْتَخْفُونَ مِنَ النَّاسِ
وَلَا يَسْتَخْفُونَ مِنَ اللَّهِ وَهُوَ مَعَهُمْ إِذْ
يُبَيِّتُونَ مَا لَا يَرْضَى مِنَ الْقَوْلِ وَكَانَ اللَّهُ
بِمَا يَعْمَلُونَ مُحِيطًا
(108) هَاأَنْتُمْ هَؤُلَاءِ
جَادَلْتُمْ عَنْهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا فَمَنْ
يُجَادِلُ اللَّهَ عَنْهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَمْ مَنْ
يَكُونُ عَلَيْهِمْ وَكِيلًا
(109) وَمَنْ يَعْمَلْ سُوءًا أَوْ
يَظْلِمْ نَفْسَهُ ثُمَّ يَسْتَغْفِرِ اللَّهَ يَجِدِ اللَّهَ
غَفُورًا رَحِيمًا (110) وَمَنْ
يَكْسِبْ إِثْمًا فَإِنَّمَا يَكْسِبُهُ عَلَى نَفْسِهِ
وَكَانَ اللَّهُ عَلِيمًا حَكِيمًا
(111) وَمَنْ يَكْسِبْ خَطِيئَةً أَوْ
إِثْمًا ثُمَّ يَرْمِ بِهِ بَرِيئًا فَقَدِ احْتَمَلَ
بُهْتَانًا وَإِثْمًا مُبِينًا
(112) وَلَوْلَا فَضْلُ اللَّهِ
عَلَيْكَ وَرَحْمَتُهُ لَهَمَّتْ طَائِفَةٌ مِنْهُمْ أَنْ
يُضِلُّوكَ وَمَا يُضِلُّونَ إِلَّا أَنْفُسَهُمْ وَمَا
يَضُرُّونَكَ مِنْ شَيْءٍ وَأَنْزَلَ اللَّهُ عَلَيْكَ
الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَعَلَّمَكَ مَا لَمْ تَكُنْ
تَعْلَمُ وَكَانَ فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكَ عَظِيمًا
(113)}
.
"Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab kepadamu dengan
membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan
apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu
menjadi penantang
(orang yang tidak bersalah) karena
(membela) orang-orang yang khianat, dan
mohonlah ampun kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang. Dan janganlah kamu berdebat
(untuk membela) orang-orang yang
mengkhianati dirinya. Sesungguhnya Allah tidak me-nyukai
orang-orang yang selalu berkhianat lagi bergelimang dosa. Mereka
bersembunyi dari manusia, tetapi mereka tidak bersembu-nyi dari
Allah, padahal Allah beserta mereka, ketika pada suatu malam
mereka menetapkan keputusan rahasia yang Allah tidak ridhai. Dan
Allah Maha Meliputi
(ilmuNya) terhadap
apa yang mereka kerjakan. Beginilah kamu, kamu sekalian adalah
orang-orang yang berdebat untuk
(membela) mereka dalam kehidupan dunia
ini. Maka siapakah yang akan mendebat Allah untuk
(mem-bela) mereka pada Hari Kiamat? Atau
siapakah yang menjadi pelindung mereka
(terhadap siksa Allah)? Dan barangsiapa
yang mengerjakan kejahatan dan menganiaya dirinya, kemudian ia
mohon ampun kepada Allah, niscaya ia mendapati Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang. Barangsiapa yang mengerjakan
dosa, maka sesungguhnya ia mengerjakannya untuk
(kemudaratan) dirinya sendiri. Dan Allah
Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana. Dan barangsiapa yang
mengerjakan kesalahan atau dosa, kemu-dian dituduhkannya kepada
orang yang tidak bersalah, maka sesungguhnya ia telah berbuat
suatu kebohongan dan dosa yang nyata. Sekiranya bukan karena
karunia Allah dan rahmatNya kepadamu, tentulah segolongan dari
mereka berkeinginan keras untuk menyesatkanmu. Tetapi mereka
tidak menyesatkan melain-kan dirinya sendiri, dan mereka tidak
dapat membahayakanmu sedikit pun. Dan
(juga karena) Allah telah menurunkan
Kitab dan hikmah kepadamu, dan telah mengajarkan kepadamu apa
yang belum kamu ketahui. Dan karunia Allah sangat besar
kepadamu."
(An-Nisa`: 105-113).
#
{105} يخبر تعالى أنَّه أنزل على
عبدِهِ ورسولِهِ الكتاب بالحقِّ؛ أي:
محفوظاً في إنزاله من الشياطين أن يتطرَّق إليه منهم باطل، بل
نزل بالحقِّ ومشتملاً أيضاً على الحقِّ؛ فأخباره صدقٌ وأوامره
ونواهيه عدلٌ،
{وتمَّتْ كلمةُ ربِّك صدقاً وعدلاً}، وأخبر أنه أنزله ليحكم بين الناس،
وفي الآية الأخرى:
{وأنْزَلْنا إليك الذِّكْر لِتُبَيِّنَ للناس ما نُزِّلَ
إليهم}، فيحتَمَل أنَّ هذه الآية في الحكم بين الناس في مسائل النزاع
والاختلاف، وتلك في تبيين جميع الدِّين وأصوله وفروعه. ويُحتمل
أنَّ الآيتين كليهما معناهما واحدٌ، فيكون الحكم بين الناس هنا
يشملُ الحكم بينهم في الدِّماء والأعراض والأموال وسائر الحقوق
وفي العقائد وفي جميع مسائل الأحكام.
وقولُه:
{بما أراك الله}،
أي:
لا بهواك بل بما علمك الله وأَلْهَمَكَ كقوله تعالى:
{وما ينطِقُ عن الهوى، إن هو إلا وَحْيٌ يُوحى}. وفي هذا دليلٌ على عصمتِهِ - صلى الله عليه وسلم - فيما
يُبَلِّغُ عن الله من جميع الأحكام وغيرِها، وأنَّه يُشْتَرط في
الحَكَم العلم والعدل؛ لقوله:
{بما أراك الله}،
ولم يقلْ:
بما رأيتَ. ورتَّب أيضاً الحكم بين الناس على معرفة الكتاب. ولما
أمر الله بالحكم بين الناس المتضمِّن للعدل والقِسْط؛ نهاه عن
الجَوْر والظُّلم الذي هو ضدُّ العدل،
فقال:
{ولا تكن للخائنينَ خَصيماً}؛
أي:
لا تخاصِمْ عن من عَرَفْتَ خيانته من مدَّعٍ ما ليس له أو منكرٍ
حقًّا عليه سواء علم ذلك أو ظنَّه. ففي هذا دليل على تحريم
الخصومة في باطل، والنيابة عن المبطل في الخصومات الدينيَّة
والحقوق الدنيويَّة، ويدلُّ مفهوم الآية على جوازِ الدُّخول في
نيابة الخصومة لمن لم يُعْرَفْ منه ظلمٌ.
(105) Allah سبحانه وتعالى mengabarkan
bahwa Dia telah menurunkan kepada hamba dan RasulNya sebuah
kitab dengan kebenaran, maksudnya, terjaga dari setan yang
hendak mencampurnya dengan kebatilan ketika turunnya, akan
tetapi ia turun dengan kebenaran dan mencakup hal-hal yang benar
pula, kabar-kabarNya adalah benar, perintah dan laranganNya
adalah adil, ﴾ وَتَمَّتۡ كَلِمَتُ رَبِّكَ صِدۡقٗا وَعَدۡلٗاۚ
﴿ "Telah sempurnalah kalimat Rabbmu
(al-Qur`an) sebagai kalimat yang benar
dan adil."
(Al-An'am: 115). Dan Allah mengabarkan bahwa Dia menurunkannya untuk
dijadikan sebagai hukum di antara manusia, dan dalam ayat
lain-nya, ﴾
وَأَنزَلۡنَآ إِلَيۡكَ ٱلذِّكۡرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا
نُزِّلَ إِلَيۡهِمۡ
﴿ "Dan Kami turunkan kepadamu al-Qur`an, agar kamu
menerang-kan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan
kepada mereka."
(An-Nahl: 44).
Kemungkinan ayat ini adalah tentang posisi kitab ini sebagai
hakim di antara manusia dalam perkara-perkara yang
diperselisih-kan dan diperdebatkan, dan hal tersebut adalah
dalam menjelaskan seluruh perkara agama, dasar-dasarnya, dan
cabang-cabangnya. Kemungkinan lain bahwa kedua ayat tersebut
memiliki makna yang sama, maka sebagai hakim di sini maksudnya
adalah meliputi hukum tentang darah, kehormatan, harta,
seluruh hak, akidah, dan seluruh permasalahan-permasalahan
hukum, dan FirmanNya, ﴾
بِمَآ أَرَىٰكَ ٱللَّهُۚ
﴿ "Dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu" yaitu bukan
dengan hawa nafsumu, akan tetapi dengan apa yang telah Allah
ajarkan dan Allah ilhamkan kepadamu, sebagaimana Firman Allah
تعالى, ﴾
وَمَا يَنطِقُ عَنِ ٱلۡهَوَىٰٓ 3 إِنۡ هُوَ إِلَّا وَحۡيٞ يُوحَىٰ
4
﴿ "Dan tiadalah yang diucapkannya itu
(al-Qur`an) menurut ke-mauan hawa
nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang
diwahyukan (kepadanya)."
(An-Najm: 3-4). Ayat ini mengandung dalil tentang kema'shuman Nabi ﷺ pada
apa pun yang disampaikannya dari Allah berupa segenap
hukum-hukum atau selainnya, dan bahwa disyaratkan untuk
menjadi hakim itu adalah ilmu dan adil, karena Firman Allah,
﴾
بِمَآ أَرَىٰكَ ٱللَّهُۚ
﴿ "Dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu" dan Allah
tidak berfirman; "dengan pendapatan," dan Allah juga
mengharuskan hakim di antara manusia agar mengetahui tentang
kitab. Dan tatkala Allah memerintahkan untuk mengadili perkara
di antara manusia dengan hukum yang mengandung keadilan, lalu
Allah melarangnya dari kezhaliman dan kesewenang-wenangan yang
merupakan suatu hal yang bertentangan dengan keadilan seraya
berfirman, ﴾
وَلَا تَكُن لِّلۡخَآئِنِينَ خَصِيمٗا ﴿ "Dan janganlah kamu
menjadi penantang
(orang yang tidak bersalah) karena
(membela) orang-orang yang khianat,"
maksudnya, janganlah kamu membela orang yang kalian ketahui
pengkhianatan mereka yaitu seorang yang menga-kui suatu barang
yang bukan miliknya atau seorang yang meng-ingkari suatu hak
yang harus dipenuhinya, baik ia ketahui dengan pasti ataupun
hanya dengan prasangkanya saja. Ayat ini menun-jukkan haramnya
pertikaian dalam kebatilan, dan menjadi pembela bagi orang yang
bersalah dalam perkara agama maupun hak-hak duniawi, dan
pemahaman terbalik dari ayat ini adalah bahwa boleh membela
seseorang dalam perkara persidangan yang mana orang tersebut
tidak diketahui memiliki kezhaliman.
#
{106}
{واستغفرِ الله}: مما صَدَرَ منك
إنْ صدر.
{إنَّ الله كان غفوراً رحيماً}؛ أي: يغفر الذنب العظيم لمن استغفره،
وتاب إليه وأناب، يوفِّقه للعمل الصالح بعد ذلك الموجب لثوابِهِ
وزوال عقابِهِ.
(106) ﴾ وَٱسۡتَغۡفِرِ ٱللَّهَۖ
﴿ "Dan mohonlah ampun kepada Allah" dari segala hal yang
engkau perbuat bila memang ada, ﴾
إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ غَفُورٗا رَّحِيمٗا ﴿ "Sesungguhnya Allah
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang" yaitu Allah Maha Mengampuni
dosa yang besar bagi orang yang me-mohon ampunan kepadaNya,
bertaubat, dan kembali kepadaNya, dan akan membimbingnya kepada
perbuatan shalih setelah itu yang mengakibatkan adanya pahala
dan terlepas dari siksaanNya.
#
{107}
{ولا تجادِلْ عن الذين يختانون أنفسَهم}: الاختيانُ والخيانةُ بمعنى الجنايةِ والظُّلم والإثم، وهذا
يَشْمَلُ النهي عن المجادلة عن من أذنب وتُوَجَّهُ عليه عقوبةٌ
من حدٍّ أو تعزيرٍ؛ فإنَّه لا يجادل عنه بدفع ما صدر منه من
الخيانة أو بدفع ما ترتَّب على ذلك من العقوبة الشرعية.
{إنَّ الله لا يحبُّ مَن كان خوَّاناً أثيماً}؛ أي: كثير الخيانة والإثم، وإذا انتفى
الحبُّ؛ ثبتَ ضدُّه، وهو البغض، وهذا كالتعليل للنهي المتقدم.
(107) ﴾ وَلَا تُجَٰدِلۡ عَنِ ٱلَّذِينَ
يَخۡتَانُونَ أَنفُسَهُمۡۚ
﴿ "Dan janganlah kamu ber-debat
(untuk membela) orang-orang yang
mengkhianati dirinya," kata al-Ikhtiyan dan al-Khiyanah
maknanya kejahatan, kezhaliman, dan perbuatan dosa, dan ini
mencakup larangan dari perdebatan untuk membela orang yang
berdosa dan dihadapkan kepadanya sebuah hukuman berupa had
ataupun hukuman lainnya, sesungguhnya orang seperti itu
tidaklah diperdebatkan untuk membela apa yang telah
dilakukannya berupa pengkhianatan atau untuk menolak perkara
yang seharusnya menjadi akibat dari perbuatannya berupa
hukuman syariat. ﴾
إِنَّ ٱللَّهَ لَا يُحِبُّ مَن كَانَ خَوَّانًا أَثِيمٗا ﴿
"Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang selalu
berkhianat lagi bergelimang dosa," yaitu banyak khianatnya dan
dosanya. Dan apabila kecintaan itu lenyap, niscaya yang ada
adalah perkara yang sebaliknya yaitu kebencian, yang demikian
ini adalah seperti alasan dari larangan yang terdahulu.
#
{108} ثم ذكر عن هؤلاء الخائنين
أنهم
{يَسْتَخْفونَ من الناس ولا يَسْتَخْفونَ من الله وهو معهم إذ
يُبَيِّتونَ ما لا يرضى من القول}: وهذا من ضَعْف الإيمان ونقصان اليقين أن تكونَ مخافةُ الخلق
عندَهم أعظمَ من مخافةِ الله فيحرصون بالطرق المباحة والمحرَّمة
على عدم الفضيحة عند الناس، وهُم مع ذلك قد بارزوا الله
بالعظائم، ولم يبالوا بنظرِهِ واطِّلاعه عليهم، وهو معهم بالعلم
في جميع أحوالهم، خصوصاً في حال تبييتِهِم ما لا يُرضيه من القول
من تبرئة الجاني ورمي البريء بالجناية والسعي في ذلك للرسول -
صلى الله عليه وسلم - ليفعلَ ما بيَّتوه؛ فقد جَمَعَوا بين عدَّة
جنايات، ولم يُراقبوا ربَّ الأرض والسماوات المطَّلع على
سرائِرِهم وضمائِرِهم،
ولهذا توعَّدهم تعالى بقوله:
{وكان الله بما يعملونَ محيطاً}؛ أي: قد أحاط بذلك علماً، ومع هذا لم
يعاجِلْهم بالعقوبة، بل استأنى بهم، وعَرَضَ عليهم التوبةَ،
وحذَّرهم من الإصرارِ على ذَنْبِهِم الموجب للعقوبة البليغة.
(108) Kemudian Allah menyebutkan tentang
orang-orang yang berkhianat tersebut bahwa ﴾ يَسۡتَخۡفُونَ مِنَ
ٱلنَّاسِ وَلَا يَسۡتَخۡفُونَ مِنَ ٱللَّهِ وَهُوَ مَعَهُمۡ إِذۡ
يُبَيِّتُونَ مَا لَا يَرۡضَىٰ مِنَ ٱلۡقَوۡلِۚ
﴿ "mereka bersembunyi dari manusia, tetapi mereka tidak
bersembunyi dari Allah, padahal Allah beserta mereka, ketika
pada suatu malam mereka menetapkan keputusan rahasia yang
Allah tidak ridhai," yang demikian ini adalah karena lemahnya
iman dan ku-rangnya keyakinan, yaitu rasa takut mereka kepada
makhluk lebih besar daripada takut mereka kepada Allah hingga
mereka sangat suka memakai jalan-jalan yang mubah dan yang
haram agar tidak memiliki aib di sisi manusia, dan di samping
hal tersebut mereka telah menantang Allah dengan berbuat
dosa-dosa besar, mereka tidak mempedulikan pengawasan dan
pemantauan Allah atas mereka, padahal Allah selalu bersama
mereka dengan pengetahuan-Nya سبحانه وتعالى tentang seluruh
keadaan mereka, khususnya pada saat mereka mengadakan tipu
daya pada malam hari dalam perkara yang tidak diridhai oleh
Allah berupa perkataan untuk menyela-matkan seorang penjahat
dan menuduh seorang yang tidak bersalah dengan suatu kejahatan
yang tidak diperbuatnya, dan berusaha keras untuk dihadapkan
kepada Rasulullah ﷺ agar beliau melaku-kan apa yang telah
mereka sepakati dalam tipu daya mereka pada malam hari
tersebut. Sesungguhnya mereka telah mengumpulkan beberapa
kejahatan, mereka tidak merasa diawasi oleh Rabb langit dan
bumi Yang mengawasi rahasia-rahasia mereka dan hati-hati
mereka, karena itulah Allah سبحانه وتعالى mengancam mereka
dengan Firman-Nya, ﴾
وَكَانَ ٱللَّهُ بِمَا يَعۡمَلُونَ مُحِيطًا ﴿ "Dan Allah Maha
Meliputi
(ilmuNya) terhadap apa yang
mereka kerjakan," yaitu sesungguhnya Allah telah mengetahui
semua perkara tersebut, walaupun demikian Allah tidak
menyegerakan untuk mereka hukuman atas hal tersebut, akan tetapi
Dia menangguhkannya untuk mereka dan menawarkan kepada mereka
agar bertaubat, mengingatkan mereka untuk tidak kembali
melakukan kemaksiatan mereka yang mengakibatkan hukuman yang
pedih.
#
{109}
{ها أنتم هؤلاء جادَلْتُم عنهم في الحياة الدُّنيا فمن
يجادِلُ الله عنهم يوم القيامة أم من يكونُ عليهم
وكيلاً}؛ أي: هَبْكم جادلتم عنهم في هذه
الحياة الدنيا ودَفَعَ عنهم جدالُكم بعضَ ما يحذَرون من العارِ
والفضيحةِ عند الخَلْق؛ فماذا يُغني عنهم وينفعُهم؟! ومَن يجادلُ
الله عنهم يوم القيامة حين تتوجَّه عليهم الحجَّة وتشهد عليهم
ألسنتهم وأيديهم وأرجُلُهم بما كانوا يعملون؟! يومئذٍ يوفِّيهم
الله دينهم الحق ويعلمون أنَّ الله هو الحق المبين؛ فمن يجادلُ
عنهم من يعلم السِّرَّ وأخفى ومن أقام عليهم من الشهود ما لا
يمكن معه الإنكارُ؟ وفي هذه الآية الإرشاد إلى المقابلة بين ما
يُتَوَهَّم من مصالح الدُّنيا المترتبة على ترك أوامر الله أو
فعل مناهيه وبين ما يَفوتُ من ثواب الآخرة أو يَحْصُلُ من
عقوباتِها،
فيقولُ من أمرتْه نفسُهُ بتركِ أمر الله:
ها أنت تركتَ أمره كسلاً وتفريطاً؛ فما النفع الذي انتفعت به؟
وماذا فاتك من ثواب الآخرة؟ وماذا ترتَّب على هذا الترك من
الشقاء والحرمان والخيبة والخسران؟ وكذلك إذا دعته نفسُه إلى ما
تشتهيه من الشَّهوات المحرَّمة؛
قال لها:
هبكِ فعلتِ ما اشتهيتِ؛ فإنَّ لذَّته تنقضي ويعقُبها من الهموم
والغموم والحَسَرات وفوات الثواب وحصول العقاب ما بعضُه يكفي
العاقل في الإحجام عنها، وهذا من أعظم ما ينفع العبدَ تدبُّره،
وهو خاصَّة العقل الحقيقي؛ بخلاف من يدَّعي العقل وليس كذلك؛
فإنَّه بجهله وظلمِهِ يؤثر اللَّذَّة الحاضرة والراحة الراهنة،
ولو ترتَّب عليها ما ترتب. والله المستعان.
(109) ﴾ هَٰٓأَنتُمۡ هَٰٓؤُلَآءِ
جَٰدَلۡتُمۡ عَنۡهُمۡ فِي ٱلۡحَيَوٰةِ ٱلدُّنۡيَا فَمَن يُجَٰدِلُ
ٱللَّهَ عَنۡهُمۡ يَوۡمَ ٱلۡقِيَٰمَةِ أَم مَّن يَكُونُ عَلَيۡهِمۡ
وَكِيلٗا ﴿ "Beginilah kamu, kamu sekalian adalah orang-orang
yang berdebat untuk
(membela) mereka
dalam kehidupan dunia ini. Maka siapakah yang akan mendebat
Allah untuk
(membela) mereka pada Hari
Kiamat? Atau siapakah yang menjadi pelindung mereka
(ter-hadap siksa Allah)?" Maksudnya
terserah kalian, kalian berdebat untuk membela mereka dalam
kehidupan dunia ini dan perdebatan kalian itu dapat menolong
mereka dari beberapa perkara yang mereka khawatirkan berupa rasa
aib dan hilangnya kehormatan di hadapan manusia, lalu apa yang
berguna dan yang bermanfaat untuk mereka? dan siapakah yang
mendebat Allah untuk meno-long mereka pada Hari Kiamat kelak,
ketika hujjah dihadapkan kepada mereka, sedang lisan, tangan,
dan kaki mereka bersaksi atas mereka sendiri tentang apa yang
telah mereka perbuat? Pada hari itu Allah akan memberi mereka
balasan yang setimpal menu-rut semestinya, dan mereka mengetahui
bahwa Allah-lah Yang benar lagi Yang menjelaskan
(segala sesuatu menurut hakikat yang sebenarnya), maka siapakah yang
(bisa atau mampu) berdebat untuk
menolong mereka terhadap Dzat Yang mengetahui rahasia dan
perkara yang tersembunyi dan Dzat Yang menegakkan untuk mereka
saksi-saksi yang tidak mungkin lagi diingkari? Ayat ini
menyimpan arahan dalam perkara untuk menim-bang-nimbang antara
suatu hal yang diperkirakan merupakan kemaslahatan duniawi yang
mengakibatkan ditinggalkannya pe-rintah-perintah Allah atau
dikerjakannya larangan-laranganNya dengan perkara yang
mengakibatkan hilangnya pahala atau men-dapat siksaan dan
hukuman di akhirat, sehingga hendaknya orang yang nafsunya
memerintahkan dirinya untuk meninggalkan perintah Allah, berkata
(pada dirinya), "Inilah dirimu yang
telah meninggalkan perintah Allah karena malas dan lalai, lalu
faidah apa yang telah kamu peroleh darinya? Dan apa yang telah
hilang darimu berupa pahala akhirat? Dan apa yang dihasilkan
dari tin-dakanmu meninggalkan perintah itu kecuali kesengsaraan,
kehi-langan, kegagalan, dan kerugian?" Demikian juga bila
nafsunya mengajaknya kepada hal-hal yang disukainya dari
syahwat-syah-wat yang haram, ia berkata kepadanya, "Terserah
dirimu melaku-kan apa yang kamu sukai, karena kenikmatannya akan
lenyap lalu diikuti kegelisahan, kebimbangan, penyesalan,
hilangnya pahala, hadirnya hukuman, di mana sebagian dari akibat
itu mencukup-kan seorang yang berakal agar mengendalikan nafsu
tersebut," hal seperti ini adalah di antara perkara yang paling
berguna bagi hamba untuk direnungkan olehnya, yaitu fungsi akal
yang hakiki, berbeda dengan seseorang yang mengaku berakal
padahal tidak seperti itu, sesungguhnya dengan kebodohan dan
kezhalimannya, ia mendahulukan kenikmatan yang sesaat dan
ketenangan yang sebentar walaupun mengakibatkan apa yang akan
diterimanya dari hukuman-hukuman, dan hanya kepada Allah-lah
kita memohon pertolongan.
#
{110} ثم قال تعالى:
{ومَن يعملْ سوءاً أو يَظْلِمْ نفسَه ثم يستغفرِ الله يجدِ
الله غفوراً رحيماً}؛ أي: من تجرَّأ على المعاصي واقتحم
على الإثم، ثم استغفر الله استغفاراً تامًّا يستلزم الإقرار
بالذنب والندم عليه والإقلاع والعزم على أن لا يعود؛ فهذا قد
وَعَدَه من لا يُخْلِف الميعاد بالمغفرة والرحمة، فيغفر له ما
صدر منه من الذَّنب، ويزيل عنه ما ترتَّب عليه من النقص والعيب،
ويعيد إليه ما تقدَّم من الأعمال الصالحة، ويوفِّقه فيما يستقبله
من عمرِهِ، ولا يجعل ذنبه حائلاً عن توفيقِهِ؛ لأنَّه قد غفره،
وإذا غفره؛ غفر ما يترتَّب عليه. واعلم أنَّ عمل السوء عند
الإطلاق يشملُ سائر المعاصي الصغيرة والكبيرة، وسُمِّي سوءاً
لكونِهِ يسوءُ عامله بعقوبته، ولكونِهِ في نفسه سيئاً غير حسن،
وكذلك ظلم النفس عند الإطلاق يَشْمَلُ ظلمها بالشِّرك فما دونَه،
ولكن عند اقتران أحدِهما بالآخرِ قد يُفَسَّرُ كلُّ واحدٍ منهما
بما يناسبه، فيفسَّر عمل السوء هنا بالظُّلم الذي يسوء الناس،
وهو ظلمهم في دمائهم وأموالهم وأعراضهم، ويفسَّر ظلم النفس
بالظُّلم والمعاصي التي بين الله وبين عبده، وسمي ظلم النفس
ظلماً؛ لأن نفس العبد ليست مُلكاً له يتصرَّف فيها بما يشاء،
وإنَّما هي ملك لله تعالى، قد جعلها أمانةً عند العبد، وأمره أن
يُقيمها على طريق العدل بإلزامها للصراط المستقيم علماً وعملاً،
فيسعى في تعليمها ما أمر به، ويسعى في العمل بما يجب، فسعيه في
غير هذا الطريق ظلمٌ لنفسه وخيانةٌ وعدول بها عن العدل الذي ضده
الجور والظلم.
(110) Kemudian Allah سبحانه وتعالى
berfirman, ﴾ وَمَن يَعۡمَلۡ سُوٓءًا أَوۡ يَظۡلِمۡ نَفۡسَهُۥ
ثُمَّ يَسۡتَغۡفِرِ ٱللَّهَ يَجِدِ ٱللَّهَ غَفُورٗا رَّحِيمٗا ﴿
"Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan dan menganiaya
dirinya, kemudian ia mohon ampun kepada Allah, niscaya ia
mendapati Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang," yaitu
barangsiapa yang berani melakukan maksiat dan menerjang dosa,
kemudian ia memohon ampun kepada Allah dengan permohonan yang
total yang mengharuskan adanya pengakuan akan dosa yang telah
dilakukan, menyesalinya, dan berlepas diri dari kesalahan
tersebut, serta bertekad kuat untuk tidak mengulanginya, orang
yang seperti ini telah dijanjikan ampunan dan rahmat oleh Dzat
Yang tidak menyalahi janji, lalu Dia mengampuni apa yang telah
ia perbuat berupa dosa dan maksiat, menghilangkan darinya
per-kara yang dihasilkan olehnya berupa aib dan cela,
mengembalikan kepadanya apa-apa yang telah lalu berupa
amalan-amalan yang shalih, membimbingnya dalam sisa umurnya di
masa depan, tidak menjadikan dosanya itu sebagai penghalang dari
taufikNya, karena sesungguhnya Dia telah mengampuninya, dan bila
Dia telah meng-ampuninya, maka pastilah Dia mengampuni apa yang
menjadi konsekuensi darinya. Ketahuilah bahwa perbuatan buruk
itu secara umum menca-kup kemaksiatan yang kecil maupun yang
besar, dan hal itu disebut buruk karena ia akan merugikan
pelakunya dengan adanya hu-kuman untuknya, dan karena pada
dzatnya sendiri adalah buruk dan tidak baik, demikian juga
secara umum menganiaya diri sendiri mencakup penganiayaan
dirinya dengan kesyirikan atau selainnya, namun bila kedua hal
tersebut saling berdampingan satu sama lain, terkadang setiap
hal itu ditafsirkan dengan perkara yang sesuai dengannya, maka
perbuatan buruk diartikan dengan kezhaliman yang merugikan
manusia, yaitu kezhaliman mereka terhadap darah, harta, dan
kehormatan mereka, sedangkan peng-aniayaan diri sendiri adalah
dengan kezhaliman dan kemaksiatan yang merupakan perbuatan
(yang harus dipertanggungjawabkan)
antara Allah dan hambaNya, dan penganiayaan diri sendiri itu
di-namakan sebagai kezhaliman karena jiwa seseorang itu bukanlah
milik dirinya yang biasa ia atur semaunya, akan tetapi jiwa itu
adalah milik Allah سبحانه وتعالى yang telah Dia jadikan sebagai
amanah pada manusia dan Dia perintahkan kepada manusia agar
membawanya dengan adil dengan mengharuskannya berjalan di atas
jalan yang lurus dalam ilmu dan amal perbuatan, berusaha
mengajarkannya tentang apa yang diperintahkan oleh Allah,
berusaha menunaikan hal-hal yang telah diwajibkan atasnya, maka
usahanya dalam hal yang lain dari perkara di atas adalah suatu
penganiayaan akan diri sendiri, sebuah pengkhianatan dan
penyelewengan dari keadilan yang seharusnya kebalikan dari
kesewenang-wenangan dan ke-zhaliman.
#
{111} ثم قال:
{ومن يكسِبْ إثماً فإنَّما يكسِبُهُ على نفسه}: وهذا يَشْمَلُ كلَّ ما يؤثم من صغير وكبير؛ فمن كسب سيئةً؛
فإن عقوبتها الدُّنيوية والأخروية على نفسه لا تتعدَّاها إلى
غيرها؛ كما قال تعالى:
{ولا تَزِرُ وازرةٌ وِزْرَ أخرى}،
لكن إذا ظهرتِ السيئاتُ فلم تُنْكَرْ؛ عَمَّتْ عقوبتُها وشَمَلَ
إثمُها؛ فلا تخرج أيضاً عن حكم هذه الآية الكريمة؛ لأنَّ من ترك
الإنكار الواجبَ؛ فقد كسب سيئةً، وفي هذا بيان عدل الله وحكمتِهِ
أنه لا يعاقب أحداً بذنبِ أحدٍ، ولا يعاقبُ أحداً أكثر من
العقوبة الناشئة عن ذنبِهِ، ولهذا قال:
{وكان الله عليماً حكيماً}؛
أي:
له العلم الكامل والحكمةُ التامةُ، ومن علمه وحكمتِهِ أنَّه يعلم
الذنبَ وما صدرَ منه والسببَ الداعي لفعله والعقوبةَ المترتبةَ
على فعله،
ويعلم حالة المذنبِ أنَّه إن صَدَرَ منه الذنبُ بغلبة دواعي
نفسِهِ الأمَّارة بالسوء مع إنابته إلى ربِّه في كثيرٍ من
أوقاته:
أنَّه سيغفرُ له ويوفِّقه للتوبة، وإن صدر منه بتجرُّئه على
المحارم استخفافاً بنظر ربِّه وتهاوناً بعقابِهِ؛ فإنَّ هذا
بعيدٌ من المغفرة بعيدٌ من التوفيق للتوبة.
(111) Kemudian Allah سبحانه وتعالى
berfirman, ﴾ وَمَن يَكۡسِبۡ إِثۡمٗا فَإِنَّمَا يَكۡسِبُهُۥ
عَلَىٰ نَفۡسِهِۦۚ
﴿ "Barangsiapa yang mengerjakan dosa, maka sesungguhnya ia
me-ngerjakannya untuk
(kemudharatan) dirinya sendiri," hal
ini mencakup seluruh perkara dosa, baik kecil maupun besar,
maka barangsiapa yang mengerjakan sebuah kemaksiatan,
sesungguhnya hukuman-nya adalah atas dirinya sendiri dan tidak
berpindah kepada orang lain, baik dunia maupun akhirat,
sebagaimana Allah سبحانه وتعالى berfirman, ﴾
وَلَا تَزِرُ وَازِرَةٞ وِزۡرَ أُخۡرَىٰۚ
﴿ "Dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang
lain."
(Al-An'am: 164). Akan tetapi bila kemaksiatan itu terlihat lalu tidak
diingkari, maka hukuman dan dosanya akan menimpa seluruhnya,
dan tidak akan keluar dari ketetapan ayat yang mulia ini,
karena barangsiapa yang meninggalkan pengingkaran yang wajib,
maka sesungguhnya ia telah melakukan suatu keburukan, hal ini
menunjukkan akan keadilan Allah dan hikmahNya, yaitu bahwa Dia
tidak akan meng-hukum seseorang karena dosa orang lain, dan
tidak menyiksa seseorang lebih dari kemaksiatan yang telah
diperbuatnya, karena itulah Allah berfirman, ﴾
وَكَانَ ٱللَّهُ عَلِيمًا حَكِيمٗا ﴿ "Dan Allah Maha Mengeta-hui
lagi Mahabijaksana" yaitu Dia memiliki ilmu dan hikmah yang
sempurna, dan di antara ilmu dan hikmahNya adalah bahwa Dia
mengetahui dosa dan akibatnya, sebab-sebab yang mendorong dalam
melakukannya, dan hukuman yang disiapkan karenanya, dan Dia
mengetahui kondisi pelaku dosa bahwa sebuah dosa yang
dilakukannya adalah karena didorong oleh jiwanya yang selalu
mengajak kepada keburukan, padahal ia selalu kembali kepada
Rabbnya pada kebanyakan waktunya, sesungguhnya Allah akan
mengampuninya dan membimbingnya kepada taubat, namun bila telah
terjadi darinya dosa itu dengan kelancangan dirinya atas hal-hal
yang diharamkan dengan mengabaikan pengawasan Rabbnya dan
meremehkan hukumanNya, maka sesungguhnya orang yang seperti ini
adalah jauh dari ampunan dan jauh dari bimbingan kepada taubat.
#
{112} ثم قال:
{ومن يَكْسِبْ خطيئةً}؛
أي:
ذنباً كبيراً، {أو إثماً}: ما دون
ذلك، {ثم يَرْم به}؛
أي:
يتَّهم بذنبه {بريئاً} من ذلك
الذنب وإن كان مذنباً.
{فقد احتمل بُهتاناً وإثماً مبيناً}؛ أي: فقد حَمَلَ فوق ظهره بَهْتاً
للبريء وإثماً ظاهراً بيِّناً. وهذا يدلُّ على أنَّ ذلك من كبائر
الذُّنوب وموبقاتها؛
فإنه قد جمع عدَّةَ مفاسد:
كسبَ الخطيئة والإثم، ثم رميَ من لم يفعلْها بفعلِها، ثم الكذبَ
الشَّنيعَ بتبرئة نفسه واتِّهام البريء، ثم ما يترتَّب على ذلك
من العقوبة الدُّنيويَّة تندفع عمَّن وجبتْ عليه وتُقام على مَن
لا يستحقُّها، ثم ما يترتَّب على ذلك أيضاً من كلام الناس في
البريء، إلى غير ذلك من المفاسد التي نسأل الله العافية منها ومن
كل شرٍّ.
(112) Kemudian Allah berfirman, ﴾ وَمَن
يَكۡسِبۡ خَطِيٓـَٔةً
﴿ "Dan barangsiapa yang mengerjakan kesalahan" yaitu dosa
yang besar, ﴾
أَوۡ إِثۡمٗا
﴿ "atau dosa" selain dosa besar, ﴾ ثُمَّ
يَرۡمِ بِهِۦ
﴿ "kemudian dituduhkannya" yakni, menuduhkan dosa yang ia
lakukan itu ﴾
بَرِيٓـٔٗا
﴿ "kepada orang yang tidak bersalah" dari dosa tersebut
walaupun dia juga melakukan dosa yang lain, ﴾
فَقَدِ ٱحۡتَمَلَ بُهۡتَٰنٗا وَإِثۡمٗا مُّبِينٗا ﴿ "maka
sesungguhnya ia telah berbuat suatu kebohongan dan dosa yang
nyata," yaitu sesungguhnya ia telah memikul di atas punggungnya
kebohongan terhadap orang yang tidak bersalah dan dosa yang
jelas lagi nyata. Hal ini menun-jukkan bahwa hal tersebut
merupakan dosa besar dan maksiat yang membinasakan, karena
sesungguhnya ia telah mengumpul-kan beberapa kemudharatan, yaitu
melakukan kesalahan dan dosa, lalu menuduh seseorang sebagai
pelakunya padahal ia tidak melakukannya, kemudian melakukan
kebohongan keji dengan berlepas diri dari dosa itu dan
dituduhkan kepada orang yang tidak bersalah tersebut, kemudian
hukuman duniawi yang diakibatkan dari perbuatannya itu terhindar
dari pelaku sebenarnya yang berhak mendapatkan hukuman tersebut,
lalu dijatuhkan kepada orang yang tidak berhak dihukum. Kemudian
apa yang diakibat-kan juga darinya berupa pembicaraan orang
terhadap tertuduh tersebut dan juga kerusakan-kerusakan lainnya
yang kita harap-kan agar Allah memberikan keselamatan darinya
dan dari segala keburukan.
#
{113} ثم ذكر منَّته على رسوله
بحفظه وعصمتِهِ ممَّن أراد أن يضلَّه،
فقال:
{ولولا فضلُ الله عليك ورحمتُهُ لهمَّتْ طائفةٌ منهم أن
يضلوك}: وذلك أنَّ هذه الآيات الكريمات قد ذكر المفسرون أنَّ سبب
نزولها أنَّ أهل بيت سَرَقوا في المدينة، فلما اطُّلع على
سرقتهم؛ خافوا الفضيحة، وأخذوا سرقتهم، فرموها ببيت من هو بريء
من ذلك، واستعان السارق بقومِهِ أن يأتوا رسول الله - صلى الله
عليه وسلم - ويطلُبوا منه أن يبرِّئ صاحِبَهم على رؤوس
الناس، وقالوا: إنَّه لم يسرِقْ وإنَّما
الذي سرق من وجدت السرقةُ ببيتِهِ وهو البريء، فهمَّ رسول الله -
صلى الله عليه وسلم - أن يبرِّئ صاحبهم، فأنزل الله هذه الآيات
تذكيراً وتبييناً لتلك الواقعة وتحذيراً للرسول - صلى الله عليه
وسلم - من المخاصمة عن الخائنين؛ فإنَّ المخاصمة عن المبطِل من
الضَّلال؛ فإنَّ الضلال نوعان: ضلالٌ في
العلم وهو الجهل بالحقِّ، وضلالٌ في العمل وهو العملُ بغير ما
يجب؛ فحفظ الله رسوله عن هذا النوع من الضَّلال كما حفظه عن
الضلال في الأعمال، وأخبر أن كَيْدَهم ومَكْرَهم يعودُ على
أنفسِهم كحالة كلِّ ماكر، فقال:
{وما يضلُّون إلا أنفسَهم}؛ لكون
ذلك المكر وذلك التحيُّل لم يحصُل لهم فيه مقصودُهم ولم يحصُل
لهم إلا الخيبة والحرمان والإثم والخُسران، وهذا نعمةٌ كبيرةٌ
على رسوله - صلى الله عليه وسلم -، يتضمَّن النعمةَ بالعمل، وهو
التوفيق لفعل ما يجب والعصمة له عن كل محرم، ثم ذكر نعمته عليه
بالعلم، فقال:
{وأنزل الله عليك الكتابَ والحكمةَ}؛ أي: أنزل عليك هذا القرآن العظيم
والذِّكر الحكيم الذي فيه تبيانُ كلِّ شيءٍ وعلم الأولين
والآخرين.
والحكمة إمّا السُّنة التي قد قال فيها بعض السلف:
إن السُّنةَ تُنزل عليه كما يُنزل القرآن، وإمّا معرفة أسرار
الشريعة الزائدة على معرفة أحكامها وتنزيل الأشياء منازلها
وترتيب كلِّ شيءٍ بحسبه.
{وعلَّمك ما لم تكُن تعلمُ}: وهذا
يشمل جميع ما علَّمه الله تعالى؛ فإنه - صلى الله عليه وسلم
- كما وصفه الله قبل النبوة بقوله:
{ما كنت تدري ما الكتابُ ولا الإيمان}، {ووجدَكَ ضالاًّ فهدى}، ثم لم
يزل يُوحي الله إليه ويعلِّمه ويكمِّله حتى ارتقى مقاماً من
العلم يتعذَّر وصولُه على الأولين والآخرين، فكان أعلم الخلق على
الإطلاق وأجمعهم لصفات الكمال وأكملهم فيها،
ولهذا قال:
{وكان فضلُ الله عليك عظيماً}؛
ففضلُهُ على الرسول محمد - صلى الله عليه وسلم - أعظم من فضلِهِ
على كلِّ الخلق ، وأجناس الفضل الذي قد فضَّله الله به لا يمكن
استقصاؤه ولا يتيسَّر إحصاؤه.
(113) Kemudian Allah menyebutkan
karuniaNya atas RasulNya dengan menjaga dan melindunginya dari
orang yang hendak menyesatkannya dengan berfirman,﴾ وَلَوۡلَا
فَضۡلُ ٱللَّهِ عَلَيۡكَ وَرَحۡمَتُهُۥ لَهَمَّت طَّآئِفَةٞ
مِّنۡهُمۡ أَن يُضِلُّوكَ
﴿ "Sekiranya bukan karena karunia Allah dan rahmatNya
kepadamu, tentulah segolongan dari mereka berkeinginan keras
untuk menyesatkanmu," yang demikian itu adalah bahwa ayat-ayat
yang mulia ini telah disebutkan oleh para ahli tafsir[39]
tentang sebab turunnya, yaitu bahwa sebuah keluarga telah
mencuri di Madinah, dan ketika pencurian mereka hendak
diperiksa, mereka khawatir aib dan cela mereka terbongkar lalu
mereka mengambil barang curian itu dan meletakkannya di rumah
orang yang tidak bersalah, lalu pelaku pencurian itu meminta
bantuan kepada kaum-nya untuk datang kepada Rasulullah ﷺ dan
memohon kepada beliau agar membebaskan tuduhan percurian dari
teman mereka tersebut di tengah-tengah masyarakat, dan mereka
berkata, bahwa ia tidaklah mencuri, namun yang mencuri itu
adalah orang yang didapatkan pada rumahnya barang curian,
padahal dia tidak melakukannya, lalu Rasulullah ﷺ hendak
membebaskan tuduhan dari teman mereka itu, namun Allah segera
menurunkan ayat-ayat ini kepada beliau sebagai peringatan dan
penjelasan akan kejadian tersebut serta ancaman buat
Rasulullah ﷺ karena membela orang-orang yang berkhianat, dan
berseteru demi membela orang yang salah merupakan
kesesatan,
karena sesungguhnya kesesatan itu ada dua macam:
kesesatan dalam pengetahuan yaitu tidak menge-tahui kebenaran,
dan kesesatan dalam perbuatan yaitu melakukan sesuatu yang
seharusnya tidak dilakukan, karena itu Allah telah memelihara
RasulNya dari bentuk yang pertama sebagaimana Allah juga
menjaga beliau dari kesesatan dalam perbuatan. Lalu Allah
mengabarkan bahwa tipu daya dan makar mereka akan kembali
kepada diri mereka sendiri seperti halnya setiap pe-laku tipu
daya, yaitu FirmanNya, ﴾
وَمَا يُضِلُّونَ إِلَّآ أَنفُسَهُمۡۖ
﴿ "Tetapi mereka tidak menyesatkan melainkan dirinya
sendiri," karena tipu daya dan siasat mereka itu tidaklah
mampu memenuhi apa yang mereka inginkan dan tidak memberikan
mereka kecuali hanya kegagalan, kefakiran, dosa, dan kerugian.
Hal ini adalah sebuah nikmat yang besar atas Rasulullah ﷺ,
yang meliputi nikmat dengan perbuatan yaitu bimbingan untuk
melakukan apa yang harus dilakukan dan perlindungan dari
hal-hal yang diharamkan, kemudian Allah me-nyebutkan nikmatNya
kepadanya dengan ilmu seraya berfirman, ﴾
وَأَنزَلَ ٱللَّهُ عَلَيۡكَ ٱلۡكِتَٰبَ وَٱلۡحِكۡمَةَ
﴿ "Dan (juga karena) Allah telah
menurunkan Kitab dan hikmah kepadamu" yaitu Allah menurunkan
kepadamu al-Qur`an yang agung dan penuh hikmah yang mengandung
penje-lasan akan segala sesuatu dan pengetahuan tentang orang
dahulu maupun yang akan datang. Adapun hikmah yang berarti
sunnah adalah sebagaimana yang diungkapkan oleh para ulama
salaf, "Sesungguhnya sunnah itu diturunkan juga kepadanya
sebagaimana al-Qur`an diturunkan," atau pengetahuan akan
rahasia-rahasia syariat di luar dari penge-tahuan
hukum-hukumnya, menempatkan sesuatu pada tempatnya dan
mengatur segala perkara menurut yang semestinya, ﴾
وَعَلَّمَكَ مَا لَمۡ تَكُن تَعۡلَمُۚ
﴿ "dan telah mengajarkan kepadamu apa yang belum kamu
ketahui," hal ini mencakup segala hal yang diajarkan oleh
Allah kepada beliau, dan sesungguhnya Nabi ﷺ sebagaimana yang
Allah gambarkan tentang beliau, sebelum kerasulan beliau,
﴾
مَا كُنتَ تَدۡرِي مَا ٱلۡكِتَٰبُ وَلَا ٱلۡإِيمَٰنُ
﴿ "Sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apakah al-Kitab
(al-Qur`an) dan tidak pula mengetahui
apakah iman itu."
(Asy-Syura': 52). Dan FirmanNya, ﴾
وَوَجَدَكَ ضَآلّٗا فَهَدَىٰ 7
﴿ "Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang bingung, lalu Dia
memberikan petunjuk."
(Adh-Dhuha: 7), kemudian Allah tetap selalu memberikan wahyu kepadanya,
me-ngajarkannya dan menyempurnakannya hingga beliau meningkat
kepada kedudukan yang tinggi berupa ilmu yang tidak akan mampu
dicapai oleh orang-orang terdahulu maupun yang akan datang,
maka beliau adalah manusia yang paling berilmu secara mutlak,
manusia yang paling banyak sifat-sifat kesempurnaannya dan
paling sempurna dalam hal tersebut, karena itulah Allah
ber-firman, ﴾
وَكَانَ فَضۡلُ ٱللَّهِ عَلَيۡكَ عَظِيمٗا ﴿ "Dan karunia Allah
sangat besar atas-mu," karunia Allah terhadap Rasulullah
Muhammad ﷺ adalah lebih agung daripada karuniaNya terhadap
setiap makhluk
(selainnya), bentuk
karunia yang diberikan Allah kepadanya tidaklah mungkin dapat
diteliti dan tidak mudah untuk dihitung.
{لَا خَيْرَ فِي كَثِيرٍ مِنْ نَجْوَاهُمْ إِلَّا مَنْ أَمَرَ
بِصَدَقَةٍ أَوْ مَعْرُوفٍ أَوْ إِصْلَاحٍ بَيْنَ النَّاسِ
وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ ابْتِغَاءَ مَرْضَاتِ اللَّهِ فَسَوْفَ
نُؤْتِيهِ أَجْرًا عَظِيمًا
(114)}
.
"Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan me-reka,
kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh
(manusia) memberi sedekah, atau berbuat
ma'ruf, atau mengadakan perda-maian di antara manusia. Dan
barangsiapa yang berbuat demikian karena mencari keridhaan
Allah, maka kelak Kami berikan kepa-danya pahala yang besar."
(An-Nisa`: 114).
#
{114} أي: لا خير في كثير مما
يتناجى به الناس ويتخاطبون، وإذا لم يكنْ فيه خيرٌ؛ فإمّا لا
فائدة فيه؛ كفضول الكلام المباح، وإما شرٌّ ومضرَّة محضةٌ؛
كالكلام المحرَّم بجميع أنواعه.
ثم استثنى تعالى فقال:
{إلاَّ من أمر بصدقةٍ}: من مال أو
علم أو أيِّ نفع كان، بل لعلَّه يدخُل فيه العباداتُ القاصرةُ؛
كالتسبيح والتحميد ونحوِهِ؛ كما قال النبيُّ - صلى الله عليه
وسلم -:
«إنَّ بكلِّ تسبيحةٍ صدقة، وكلِّ تكبيرة صدقة، وكلِّ تهليلة
صدقة، وأمر بالمعروف صدقة، ونهي عن المنكر صدقة، وفي بضع أحدكم
صدقة .... »
الحديث. {أو معروفٍ}: وهو الإحسان
والطاعة وكلُّ ما عُرِف في الشرع والعقل حسنُه، وإذا أُطلِقَ
الأمرُ بالمعروف من غير أن يُقْرَنَ بالنَّهي عن المنكر؛ دخلَ
فيه النهي عن المنكر؛ وذلك لأنَّ ترك المنهيّات من المعروف،
وأيضاً لا يتمُّ فعل الخير إلا بترك الشرِّ، وأما عند الاقتران؛
فيفسَّر المعروف بفعل المأمور والمنكَر بترك المنهيِّ.
{أو إصلاح بين الناس}: والإصلاحُ
لا يكون إلاَّ بين متنازعينِ متخاصمينِ، والنِّزاع والخصام
والتغاضُب يوجِب من الشَّرِّ والفرقة ما لا يمكن حصرُه؛ فلذلك
حثَّ الشارع على الإصلاح بين الناس في الدِّماء والأموال
والأعراض، بل وفي الأديان؛
كما قال تعالى:
{واعتَصِموا بحبل الله جميعاً ولا تفرَّقوا}، وقال تعالى:
{وإن طائفتان من المؤمنين اقْتَتَلوا فأصلحوا بينَهما، فإن
بَغَتْ إحداهما على الأخرى فقاتِلوا التي تبغي حتَّى تفيءَ إلى
أمر الله ... }
الآية، وقال تعالى:
{والصُّلْحُ خيرٌ}، والساعي في
الإصلاح بين الناس أفضل من القانتِ بالصلاة والصيام والصدقة،
والمصلِح لا بدَّ أن يُصْلِحَ الله سعيَه وعمله؛ كما أنَّ الساعي
في الإفساد لا يُصْلِحُ الله عمله ولا يتم له مقصوده؛
كما قال تعالى:
{إنَّ الله لا يُصْلِحُ عملَ المفسدين}؛ فهذه الأشياء حيثما فعلت؛ فهي خيرٌ؛ كما دلَّ على ذلك
الاستثناء، ولكن كمال الأجر وتمامه بحسب النيَّة والإخلاص.
ولهذا قال:
{ومن يفعل ذلك ابتغاءَ مرضاةِ الله فسوف نؤتيه أجراً
عظيماً}؛ فلهذا ينبغي للعبد أن يقصدَ وجه الله تعالى ويُخْلِصَ العمل
لله في كلِّ وقت وفي كلِّ جزء من أجزاء الخير؛ ليحصلَ له بذلك
الأجر العظيم، وليتعوَّد الإخلاص، فيكون من المخلصين. وليتمَّ له
الأجر، سواءٌ تمَّ مقصودُه أم لا؛ لأنَّ النيَّة حصلت، واقترن
بها ما يمكنُ من العمل.
(114) Maksudnya, tidak ada kebaikan pada
kebanyakan perkara yang diperbincangkan dan dibicarakan oleh
manusia, lalu bila tidak ada kebaikan padanya, baik karena tidak
ada faidahnya seperti perkataan-perkataan yang mubah tapi tidak
bermanfaat ataupun suatu yang buruk dan berbahaya semata,
seperti perkata-an yang diharamkan dengan segala bentuknya,
kemudian Allah سبحانه وتعالى membuat pengecualian dalam
FirmanNya, ﴾ إِلَّا مَنۡ أَمَرَ بِصَدَقَةٍ
﴿ "Kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh
(manusia) memberi sedekah" berupa
harta atau ilmu atau apa saja yang bermanfaat, bahkan mungkin
saja termasuk ibadah yang sederhana seperti bertasbih,
bertahmid dan semacamnya, sebagaimana yang disabdakan oleh
Nabi ﷺ, إِنَّ بِكُلِّ تَسْبِيْحَةٍ صَدَقَةً، وَكُلِّ
تَكْبِيْرَةٍ صَدَقَةً، وَكُلِّ تَحْمِيْدَةٍ صَدَقَةً، وَكُلِّ
تَهْلِيْلَةٍ صَدَقَةً، وَأَمْرٌ بِالْمَعْرُوْفِ صَدَقَةٌ
وَنَهْيٌ عَنْ مُنْكَرٍ صَدَقَةٌ، وَفِي بُضْعِ أَحَدِكُمْ
صَدَقَةٌ. "Sesungguhnya setiap tasbih itu sedekah, setiap
takbir itu sedekah, dan setiap tahlil itu sedekah, perintah
kepada yang ma'ruf itu sedekah, melarang dari hal yang mungkar
itu sedekah, dan pada kemaluan salah seorang di antara kalian
(bergaul dengan istri) sedekah
..."[40] ﴾
أَوۡ مَعۡرُوفٍ
﴿ "Atau berbuat ma'ruf," yaitu, berbuat baik dan ketaatan
serta seluruh perkara yang diketahui dalam syariat dan akal
manusia akan kebaikannya, dan apabila perintah kepada yang
ma'ruf dimutlakkan tanpa disertakan dengan kalimat melarang
dari yang mungkar, maka secara otomatis melarang dari yang
mungkar termasuk di dalamnya, yang demikian itu karena
me-ninggalkan hal-hal yang dilarang adalah suatu kebaikan, dan
juga tidaklah akan sempurna perbuatan baik itu kecuali bila
diiringi dengan meninggalkan yang jelek, adapun bila
disertakan, maka ma'ruf itu ditafsirkan dengan mengerjakan
yang diperintahkan sedang yang mungkar ditafsirkan dengan
meninggalkan yang dilarang. ﴾
أَوۡ إِصۡلَٰحِۭ بَيۡنَ ٱلنَّاسِۚ
﴿ "Atau mengadakan perdamaian di antara ma-nusia,"
mendamaikan itu tidaklah terjadi kecuali pada dua orang yang
saling berselisih dan bertengkar, perselisihan dan
perteng-karan dan saling memusuhi akan mengakibatkan keburukan
dan perpecahan yang tidak mungkin dapat dihindari, oleh karena
itu syariat Islam menganjurkan untuk mengadakan perdamaian di
antara manusia dalam perkara darah, harta, dan kehormatan,
bahkan dalam beragama sebagaimana Allah سبحانه وتعالى
berfirman, ﴾
وَٱعۡتَصِمُواْ بِحَبۡلِ ٱللَّهِ جَمِيعٗا وَلَا تَفَرَّقُواْۚ
﴿ "Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali
(agama) Allah, dan janganlah kamu
bercerai berai." (Ali Imran: 103), dan
dalam ayat lain, ﴾
وَإِن طَآئِفَتَانِ مِنَ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ ٱقۡتَتَلُواْ
فَأَصۡلِحُواْ بَيۡنَهُمَاۖ فَإِنۢ بَغَتۡ إِحۡدَىٰهُمَا عَلَى
ٱلۡأُخۡرَىٰ فَقَٰتِلُواْ ٱلَّتِي تَبۡغِي حَتَّىٰ تَفِيٓءَ
إِلَىٰٓ أَمۡرِ ٱللَّهِۚ
﴿ "Dan jika ada dua golongan dari orang-orang Mukmin
berperang, maka damaikanlah antara keduanya! Jika salah satu
dari kedua golongan itu berbuat aniaya terhadap golongan yang
lain, maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu
sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah."
(Al-Hujurat: 9), dan FirmanNya, ﴾
وَٱلصُّلۡحُ خَيۡرٞۗ
﴿ "Dan perdamaian itu lebih baik."
(An-Nisa`: 128). Seorang yang berusaha mengadakan perdamaian antara ma-nusia
adalah lebih utama daripada seorang yang taat melakukan shalat
dan puasa serta sedekah. Seorang pembuat perdamaian pastilah
Allah akan memperbaiki usaha dan perbuatannya, seba-gaimana
seorang yang berusaha melakukan kerusakan, maka Allah tidak
akan membiarkan perbuatannya terus berlangsung dan tidak pula
menyempurnakan tujuannya untuk dirinya, sebagaimana Allah
سبحانه وتعالى berfirman, ﴾
إِنَّ ٱللَّهَ لَا يُصۡلِحُ عَمَلَ ٱلۡمُفۡسِدِينَ 81
﴿ "Sesungguhnya Allah tidak akan membiarkan pekerjaan orang
yang membuat kerusakan terus berlangsung."
(Yunus: 81). Hal-hal seperti ini, apa
pun yang dilakukan adalah suatu yang baik sebagaimana yang
ditunjukkan oleh pengecualian tersebut, akan tetapi
kesempurnaan pahala adalah menurut niat dan keikh-lasannya,
karena itulah Allah berfirman,﴾
وَمَن يَفۡعَلۡ ذَٰلِكَ ٱبۡتِغَآءَ مَرۡضَاتِ ٱللَّهِ فَسَوۡفَ
نُؤۡتِيهِ أَجۡرًا عَظِيمٗا ﴿ "Dan barangsiapa yang berbuat
demikian karena men-cari keridhaan Allah, maka kelak Kami
memberi kepadanya pahala yang besar," karena itulah seyogyanya
seorang hamba hanya mengharap-kan keridhaan Allah سبحانه وتعالى,
mengikhlaskan perbuatannya hanya untuk Allah pada setiap waktu
dan pada setiap bentuk dari bentuk-bentuk kebaikan, agar dengan
hal tersebut ia dapat memperoleh pahala yang besar, dan agar ia
terbiasa dengan keikhlasan sehingga men-jadi bagian dari
kelompok orang-orang yang ikhlas, dan agar Allah menyempurnakan
pahalanya, baik tujuannya tercapai ataupun tidak, karena niat
telah ada lalu diiringi dengan perbuatan yang mungkin
diwujudkan.
{وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ
الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ
مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا
(115) إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ
أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ
يَشَاءُ وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا
بَعِيدًا (116)}
.
"Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran
baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang
Mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah
dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahanam, dan
Jahanam itu seburuk-buruk tempat kembali. Sesungguhnya Allah
tidak mengampuni dosa mempersekutukan
(sesuatu) dengan-Nya, dan Dia mengampuni
dosa yang selain syirik itu bagi siapa yang dikehendakiNya.
Barangsiapa yang mempersekutukan
(se-suatu) dengan Allah, maka
sesungguhnya ia telah tersesat sejauh-jauhnya."
(An-Nisa`: 115-116).
#
{115} أي: ومن يخالِف الرسول - صلى
الله عليه وسلم - ويعانِده فيما جاء به،
{من بعدِ ما تبيَّن له الهدى}:
بالدَّلائل القرآنيَّة والبراهين النبويَّة،
{ويتَّبِع غير سبيل المؤمنين}:
وسبيلُهم هو طريقُهم في عقائِدِهم وأعمالهم،
{نولِّه ما تولَّى}؛
أي:
نتركه وما اختاره لنفسِهِ ونخذُله؛ فلا نوفِّقُه للخير؛ لكونِهِ
رأى الحق وعَلِمَهُ وتركَه؛ فجزاؤه من الله عدلاً أن يُبْقِيه في
ضلاله حائراً ويزداد ضلالاً إلى ضلاله؛
كما قال تعالى:
{فلمَّا زاغوا أزاغ الله قلوبَهم}، وقال تعالى:
{ونقلِّب أفئِدَتهم وأبصارَهم كما لَمْ يؤمِنوا به أوَّل
مرة}. ويدلُّ مفهومها على أن من لم يشاقق الرسول
{ويتَّبع غير سبيل المؤمنين}؛ بأن
كان قصده وجه الله واتِّباع رسوله ولزوم جماعة المسلمين، ثم صدر
منه من الذنوب أو الهمِّ بها ما هو من مقتضيات النفوس وغَلَبات
الطباع؛ فإن الله لا يولِّيه نفسه وشيطانه، بل يتداركُه بلطفه
ويمنُّ عليه بحفظه ويعصمه من السوء؛
كما قال تعالى عن يوسف عليه السلام:
{كذلك لنصرفَ عنه السوءَ والفحشاءَ إنَّه من عبادنا
المخلَصين}؛ أي: بسبب إخلاصِهِ صَرَفْنا عنه
السوءَ، وكذلك كلُّ مخلص؛ كما يدلُّ عليه عموم التعليل،
وقوله:
{ونُصْلِهِ جهنَّم}؛
أي:
نعذِّبه فيها عذاباً عظيماً.
{وساءت مصيراً}؛
أي:
مرجعاً له ومآلاً.
(115) Maksudnya, barangsiapa yang
menyelisihi Rasulullah ﷺ dan membangkang terhadap apa yang
dibawa olehnya,﴾ مِنۢ بَعۡدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ ٱلۡهُدَىٰ
﴿ "sesudah jelas kebenaran baginya" dengan dalil-dalil
al-Qur`an dan penjelasan as-Sunnah, ﴾
وَيَتَّبِعۡ غَيۡرَ سَبِيلِ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ
﴿ "dan meng-ikuti jalan yang bukan jalan orang-orang Mukmin,"
jalan mereka adalah cara mereka dalam berakidah dan beramal,
﴾
نُوَلِّهِۦ مَا تَوَلَّىٰ
﴿ "Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah
dikuasainya itu," yaitu Kami membiarkannya dengan apa yang
dipilih untuk dirinya dan Kami menghinakannya, Kami tidak
membimbingnya kepada kebaikan, karena ia telah menyaksikan
kebenaran dan mengetahuinya, na-mun tidak mengikutinya, maka
balasan baginya dari Allah adalah sebuah keadilan yaitu
membiarkannya tetap dalam kesesatannya dengan kondisi bingung
hingga kesesatannya bertambah di atas kesesatan, sebagaimana
Allah سبحانه وتعالى berfirman, ﴾
فَلَمَّا زَاغُوٓاْ أَزَاغَ ٱللَّهُ قُلُوبَهُمۡۚ
﴿ "Maka tatkala mereka berpaling
(dari kebenaran), Allah memaling-kan
hati mereka."
(Ash-Shaff: 5). Dan di dalam ayat lain Allah berfirman, ﴾
وَنُقَلِّبُ أَفۡـِٔدَتَهُمۡ وَأَبۡصَٰرَهُمۡ كَمَا لَمۡ
يُؤۡمِنُواْ بِهِۦٓ أَوَّلَ مَرَّةٖ
﴿ "Dan (begitu pula) Kami memalingkan
hati dan penglihatan mereka seperti mereka belum pernah
beriman kepadanya (al-Qur`an) pada
per-mulaannya."
(Al-An'am: 110). Pemahaman terbalik ayat ini menunjukkan bahwa orang yang
tidak menentang Rasul, ﴾
وَيَتَّبِعۡ غَيۡرَ سَبِيلِ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ
﴿ "dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang Mukmin,"
di mana niatnya adalah mengharap ridha Allah dan mengikuti
RasulNya serta konsisten terhadap jamaah kaum Muslimin, lalu
terjadi atau hendak mela-kukan beberapa dosa di mana hal
tersebut merupakan tuntutan-tuntutan jiwa dan
dorongan-dorongan nafsu, niscaya Allah tidak akan membiarkan
ia dan setannya, akan tetapi Allah akan meng-arahkannya dengan
kasih sayangNya, memberikan karuniaNya atas dirinya dengan
menjaga dan melindunginya dari keburukan, sebagaimana Allah
سبحانه وتعالى berfirman tentang Yusuf عليه السلام, ﴾
كَذَٰلِكَ لِنَصۡرِفَ عَنۡهُ ٱلسُّوٓءَ وَٱلۡفَحۡشَآءَۚ إِنَّهُۥ
مِنۡ عِبَادِنَا ٱلۡمُخۡلَصِينَ 24
﴿ "Demikianlah, agar Kami memalingkan darinya kemungkaran dan
kekejian. Sesungguhnya Yusuf itu termasuk hamba-hamba Kami
yang terpilih." (Yusuf: 24).
Maksudnya, disebabkan karena keikhlasannya, maka Kami
palingkan dirinya dari keburukan, demikian juga setiap orang
yang ikhlas, seperti yang ditunjukkan oleh keumuman dari
alasan itu, dan FirmanNya, ﴾
وَنُصۡلِهِۦ جَهَنَّمَۖ
﴿ "Dan Kami masukkan ia ke dalam Jahanam" maksudnya Kami akan
menyiksanya di dalam neraka tersebut dengan siksaan yang
keras, ﴾
وَسَآءَتۡ مَصِيرًا ﴿ "dan Jahanam itu seburuk-buruk tempat
kembali," yaitu tempat berpulang dan bersandar.
#
{116} وهذا الوعيد المترتِّب على
الشقاق ومخالفة المؤمنين مراتب لا يحصيها إلا الله بحسب حالة
الذنب صغراً وكبراً؛ فمنه ما يخلد في النار ويوجب جميع الخذلان،
ومنه ما هو دون ذلك؛ فلعلَّ الآية الثانية كالتفصيل لهذا المطلق،
وهو أن الشرك لا يغفره الله تعالى؛ لتضمُّنه القدح في ربِّ
العالمين و [في] وحدانيَّته، وتسوية
المخلوق الذي لا يملك لنفسه ضرًّا ولا نفعاً بمن هو مالك النفعِ
والضرِّ، الذي ما من نعمة إلاَّ منه، ولا يدفع النقم إلاَّ هو،
الذي له الكمال المطلق من جميع الوجوه والغنى التامُّ بجميع وجوه
الاعتبارات؛ فمن أعظم الظُّلم وأبعد الضَّلال عدم إخلاص العبادة
لمن هذا شأنه وعظمته، وصرف شيء منها للمخلوق الذي ليس له من صفات
الكمال شيء ولا له من صفات الغنى شيءٌ،
بل ليس له إلاَّ العدم:
عدم الوجود وعدم الكمال وعدم الغنى، والفقر من جميع الوجوه. وأما
ما دون الشرك من الذنوب والمعاصي؛
فهو تحت المشيئة:
إن شاء الله غَفَرَهُ برحمتِهِ وحكمتِهِ، وإن شاء عذَّب عليه
وعاقب بعدلِهِ وحكمتِهِ. وقد استدلَّ بهذه الآية الكريمة على أن
إجماع هذه الأمة حجة، وأنها معصومةٌ من الخطأ، ووجه ذلك أنَّ
الله توعَّد من خالف سبيل المؤمنين بالخِذلان والنار، وسبيل
المؤمنين مفردٌ مضاف يشمل سائر ما المؤمنون عليه من العقائد
والأعمال؛ فإذا اتَّفقوا على إيجاب شيء أو استحبابه أو تحريمه أو
كراهته أو إباحته؛ فهذا سبيلهم فمن خالفهم في شيء من ذلك بعد
انعقاد إجماعهم عليه؛ فقد اتّبَعَ غير سبيلهم.
ويدلُّ على ذلك قوله تعالى:
{كنتُم خير أمةٍ أخْرِجَتْ للناس تأمرون بالمعروفِ
وتَنْهَوْنَ عن المنكرِ}، ووجهُ الدِّلالة منها أنَّ الله تعالى أخبر أن المؤمنين من
هذه الأمة لا يأمُرون إلا بالمعروف؛ فإذا اتَّفقوا على إيجاب
شيءٍ أو استحبابِهِ؛ فهو مما أمروا به، فيتعيَّن بنصِّ الآية أن
يكون معروفاً، ولا شيء بعد المعروف غير المنكر، وكذلك إذا
اتَّفقوا على النهي عن شيء؛ فهو مما نهوا عنه، فلا يكون إلاَّ
منكراً. ومثلُ ذلك قولُه تعالى:
{وكذلك جعلناكم أمة وسطاً لتكونوا شهداءَ على الناس}، فأخبر تعالى أنَّ هذه الأمة جعلها الله وسطاً؛
أي:
عدلاً خياراً؛ ليكونوا شهداء على الناس؛
أي:
في كل شيء؛ فإذا شهدوا على حكم بأنَّ الله أمر به أو نهى عنه أو
أباحه؛ فإنَّ شهادتهم معصومةٌ؛ لكونِهِم عالمين بما شهدوا به
عادلين في شهادتهم؛ فلو كان الأمرُ بخلاف ذلك؛ لم يكونوا عادلين
في شهادتِهم ولا عالمين بها.
ومثلُ ذلك قوله تعالى:
{فإنْ تنازَعْتُم في شيءٍ فرُدُّوه إلى الله والرسول}؛ يُفهم منها أنَّ ما لم يَتَنازعوا فيه بل اتَّفقوا عليه أنهم
غير مأمورين بردِّه إلى الكتاب والسنة، وذلك لا يكون إلاَّ
موافقاً للكتاب والسُّنة، لا يكون مخالفاً. فهذه الأدلة ونحوها
تفيدُ القطع أنَّ إجماع هذه الأمة حجَّةٌ قاطعةٌ.
(116) Ancaman ini yang menjadi akibat
dari pertentangan dan perselisihan terhadap kaum Mukminin
memiliki tingkatan-tingkatan yang tidak ada yang dapat
menghitungnya kecuali Allah semata, yang sesuai dengan pelaku
dosa, baik kecil maupun besar, di antaranya ada yang menyebabkan
kekekalan dalam neraka dan mengakibatkan segala kehinaan, dan
ada juga yang tidak seperti itu, dan kira-kira ayat yang kedua
ini adalah sebagai perincian dari ayat yang mutlak tersebut,
yaitu bahwa kesyirikan itu tidaklah akan diampuni oleh Allah
سبحانه وتعالى, karena mengandung pelecehan ter-hadap Rabb
semesta alam dan juga terhadap keesaanNya, penya-maan antara
makhluk yang sama sekali tidak memiliki manfaat dan mudharat
bagi dirinya dengan Dzat yang memiliki manfaat dan mudharat, di
mana tidak ada kenikmatan sedikit pun kecuali dariNya, dan tidak
menolak keburukan kecuali diriNya, yang me-miliki kesempurnaan
mutlak dari segala sisinya, dan Mahakaya dengan segala
bentuknya, maka di antara hal yang paling besar kezhalimannya
dan paling jauh kesesatannya adalah tidak ikhlas-nya ibadah
untuk Dzat yang memiliki kondisi dan keagungan seperti itu, dan
mengarahkan ibadah itu kepada makhluk yang tidak memiliki sifat
kesempurnaan sedikit pun dan tidak memiliki sifat kekayaan
sedikit pun bahkan yang tidak memiliki apa pun kecuali
ketiadaan, tidak ada wujudnya, tidak ada kesempurnaan-nya, dan
tidak ada kekayaannya, serta hanya memiliki kefakiran dari
segala sisinya. Sedangkan kesalahan dan dosa selain syirik, maka
ia terletak di bawah kehendak Allah, bila Dia menghendaki, Dia
akan mengampuninya dengan rahmat dan hikmahNya, dan bila Dia
menghendaki, Dia akan menyiksa dan menghukumnya dengan keadilan
dan hikmahNya. Ayat yang mulia ini telah dijadikan dalil bahwa
ijma' umat adalah hujjah, dan bahwa ijma' itu adalah ma'shum,
(terjaga) dari kesalahan. Yang demikian
itu karena Allah telah mengancam orang yang menyelisihi jalan
kaum Mukminin dengan kehinaan dan api neraka, jalan kaum
Mukminin ini adalah sebuah kata tunggal yang bersandar, meliputi
segala perkara yang ada pada kaum Mukminin, baik akidah maupun
perbuatan, lalu bila mereka telah sepakat atas wajibnya suatu
perkara atau menganjurkannya atau mengharam-kannya atau
memakruhkannya atau membolehkannya, maka inilah jalan mereka,
dan barangsiapa yang menyelisihi mereka pada suatu hal dari itu
semua setelah terjadinya ijma' mereka atas hal tersebut, maka
sesungguhnya ia telah mengikuti selain jalan mereka. Dan Firman
Allah سبحانه وتعالى yang menunjukkan akan hal tersebut adalah, ﴾
كُنتُمۡ خَيۡرَ أُمَّةٍ أُخۡرِجَتۡ لِلنَّاسِ تَأۡمُرُونَ
بِٱلۡمَعۡرُوفِ وَتَنۡهَوۡنَ عَنِ ٱلۡمُنكَرِۚ
﴿ "Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk
manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang
mungkar." (Ali Imran: 110). Konteks
dalil dari ayat ini adalah bahwa Allah سبحانه وتعالى
mengabar-kan bahwa kaum Mukminin dari umat ini tidaklah
menyuruh kecuali kepada yang ma'ruf, dan bila mereka telah
sepakat atas wajibnya suatu perkara atau sunnahnya, maka
perkara tersebut di antara hal yang mereka perintahkan,
sehingga wajiblah dengan nash ayat ini bahwa perkara itu
menjadi ma'ruf, dan tidak ada hal lagi selain dari yang ma'ruf
itu kecuali yang mungkar, demikian juga bila mereka telah
sepakat atas larangan dari suatu perkara, maka perkara itu
adalah di antara hal yang mereka larang, dan tidaklah hal itu
kecuali suatu yang mungkar. Seperti yang demikian itu juga
Firman Allah yang lain, ﴾
وَكَذَٰلِكَ جَعَلۡنَٰكُمۡ أُمَّةٗ وَسَطٗا لِّتَكُونُواْ
شُهَدَآءَ عَلَى ٱلنَّاسِ
﴿ "Dan demikian (pula) Kami telah
menjadikan kamu (umat Islam), umat
yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas
(perbuatan) manusia."
(Al-Baqarah: 143). Allah سبحانه وتعالى mengabarkan bahwa umat ini telah Dia
jadikan seba-gai umat yang pertengahan, artinya adil dan
pilihan, agar mereka menjadi saksi atas
(perbuatan) manusia, maksudnya
(menjadi saksi) dalam segala perkara,
bila mereka telah bersaksi atas suatu hukum bahwa Allah سبحانه
وتعالى memerintahkannya atau melarang darinya atau
membolehkannya, sesungguhnya kesaksian mereka itu adalah
ma'shum, karena mereka mengetahui apa yang mereka persaksikan
dan berlaku adil dalam hal tersebut, sekiranya saja perkara
ini berbeda dengan yang demikian itu, maka mereka tidaklah
akan menjadi orang-orang yang adil dalam persaksian mereka dan
tidak pula mereka mengetahuinya. Contoh yang sama juga dalam
Firman Allah سبحانه وتعالى, ﴾
فَإِن تَنَٰزَعۡتُمۡ فِي شَيۡءٖ فَرُدُّوهُ إِلَى ٱللَّهِ
وَٱلرَّسُولِ ﴿ "Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang
sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah
(al-Qur`an) dan Rasul
(sunnahnya)."
(An-Nisa`: 59).
Dari ayat ini dapat dipahami bahwasanya perkara yang tidak
mereka perselisihkan akan tetapi mereka sepakati, maka tidaklah
mereka diperintahkan untuk mengembalikannya kepada al-Qur`an dan
as-Sunnah, yang demikian itu tidaklah terjadi kecuali karena
perkara tersebut sesuai dengan al-Qur`an dan as-Sunnah dan tidak
menyelisihi keduanya. Dalil-dalil ini dan yang semacamnya
menunjukkan keyakinan bahwa ijma' umat ini adalah suatu hujjah
yang kuat, karena itulah Allah menjelaskan jeleknya kesesatan
kaum musyrikin dalam Fir-manNya,
{إِنْ يَدْعُونَ مِنْ دُونِهِ إِلَّا إِنَاثًا وَإِنْ
يَدْعُونَ إِلَّا شَيْطَانًا مَرِيدًا
(117) لَعَنَهُ اللَّهُ وَقَالَ
لَأَتَّخِذَنَّ مِنْ عِبَادِكَ نَصِيبًا مَفْرُوضًا
(118) وَلَأُضِلَّنَّهُمْ
وَلَأُمَنِّيَنَّهُمْ وَلَآمُرَنَّهُمْ فَلَيُبَتِّكُنَّ
آذَانَ الْأَنْعَامِ وَلَآمُرَنَّهُمْ فَلَيُغَيِّرُنَّ خَلْقَ
اللَّهِ وَمَنْ يَتَّخِذِ الشَّيْطَانَ وَلِيًّا مِنْ دُونِ
اللَّهِ فَقَدْ خَسِرَ خُسْرَانًا مُبِينًا
(119) يَعِدُهُمْ وَيُمَنِّيهِمْ
وَمَا يَعِدُهُمُ الشَّيْطَانُ إِلَّا غُرُورًا
(120) أُولَئِكَ مَأْوَاهُمْ
جَهَنَّمُ وَلَا يَجِدُونَ عَنْهَا مَحِيصًا
(121)}
.
"Yang mereka sembah selain Allah itu, tidak lain hanyalah
berhala, dan
(dengan menyembah berhala itu) mereka
tidak lain hanyalah menyembah setan yang durhaka, yang dilaknati
Allah, dan setan itu mengatakan, 'Saya benar-benar akan
mengambil dari hamba-hambaMu bagian yang sudah ditentukan
(untukku), dan aku benar-benar akan
menyesatkan mereka, dan akan membang-kitkan angan-angan kosong
pada mereka dan akan menyuruh mereka
(memotong telinga-telinga binatang ternak), lalu mereka benar-benar memotongnya, dan akan aku suruh
mereka
(mengubah ciptaan Allah), lalu
benar-benar mereka merubahnya.' Barang-siapa yang menjadikan
setan sebagai pelindung selain Allah, maka sesungguhnya ia
menderita kerugian yang nyata. Setan itu mem-berikan janji-janji
kepada mereka dan membangkitkan angan-angan kosong pada mereka,
padahal setan itu tidak menjanjikan kepada mereka selain dari
tipuan belaka. Mereka itu tempatnya Jahanam dan mereka tidak
memperoleh tempat lari darinya."
(An-Nisa`: 117-121).
#
{117 ـ 118} أي: ما يدعو هؤلاء
المشركون مِن دون الله إلا إناثاً؛ أي:
أوثاناً وأصناماً مسمَّيات بأسماء الإناث؛ كالعزَّى ومناة
ونحوهما. ومن المعلوم أنَّ الاسم دالٌّ على المسمَّى؛ فإذا كانت
أسماؤها أسماءً مؤنَّثة ناقصةً؛ دلَّ ذلك على نقص المسمَّيات
بتلك الأسماء وفقدها لصفات الكمال؛ كما أخبر الله تعالى في غير
موضع من كتابه أنَّها لا تخلُقُ ولا ترزُقُ ولا تدفَعُ عن
عابديها بل ولا عن نفسها نفعاً ولا ضرًّا ولا تنصُرُ أنفسها
ممَّن يريدُها بسوءٍ، وليس لها أسماعٌ ولا أبصارٌ ولا أفئدةٌ؛
فكيف يُعْبَدُ من هذا وصفه ويترك الإخلاص لمن له الأسماءُ
الحسنى، والصِّفات العليا، والحمدُ والكمال والمجدُ والجلال
والعزُّ والجمال والرحمة والبرُّ والإحسان والانفراد بالخَلْق
والتدبير والحكمة العظيمة في الأمر والتقدير؛ هل هذا إلا من أقبح
القبيح الدالِّ على نقص صاحبه وبلوغه من الخِسَّة والدناءة أدنى
ما يتصوَّره متصورٌ أو يصفه واصفٌ؟! ومع هذا فعبادتهم إنما
صورتُها فقط لهذه الأوثان الناقصة، وبالحقيقة ما عبدوا غير
الشيطان الذي هو عدوُّهم، الذي يريد إهلاكهم، ويسعى في ذلك بكلِّ
ما يقدر عليه، الذي هو في غاية البعد من الله، لعنه الله وأبعده
عن رحمتِهِ؛ فكما أبعده الله من رحمتِهِ، يسعى في إبعاد العباد
عن رحمة الله، إنما يدعو حزبه ليكونوا من أصحاب السعير. ولهذا
أخبر الله عن سعيه في إغواء العباد، وتزيين الشَّرِّ لهم،
والفساد، وأنَّه قال لربِّه مقسماً:
{لأتَّخِذَنَّ من عبادِكَ نصيباً مفروضاً}؛ أي: مقدَّراً، علم اللعين أنه لا
يقدر على إغواء جميع عباد الله، وأن عباد الله المخلَصين ليس له
عليهم سلطانٌ، وإنَّما سلطانُهُ على من تولاَّه وآثر طاعته على
طاعة مولاه. وأقسم في موضع آخر لَيُغْوِيَنَّهم أجمعين؛ إلاَّ
عبادَكَ منهم المُخْلَصين؛ فهذا الذي ظنه الخبيث، وجزم به،
أخبر الله تعالى بوقوعه بقوله:
{ولقد صدَّقَ عليهم إبليسُ ظنَّه فاتَّبعوه إلاَّ فريقاً من
المؤمنين}.
(117-118) Maksudnya, tidaklah
orang-orang musyrik itu berdoa kepada selain daripada Allah
kecuali wanita-wanita, yaitu patung-patung dan berhala-berhala
yang dinamakan dengan nama-nama wanita seperti al-Uzza, Manat
dan sebagainya. Dan suatu hal yang perlu diketahui bahwa nama
itu menunjukkan kepada dzat yang dinamakan dengannya, lalu
apabila nama-nama berhala mereka itu adalah nama-nama perempuan
yang tidak sempurna, maka hal itu menunjukkan kelemahan
dzat-dzat yang dinamakan dengan nama-nama tersebut dan tidak
adanya sifat kesempurnaan padanya, seperti yang dikabarkan oleh
Allah سبحانه وتعالى pada beberapa tempat dalam kitabNya bahwa
berhala-berhala itu tidaklah dapat menciptakan, memberi rizki,
tidak menghindarkan penyembah-penyembahnya bahkan dirinya
sendiri dari kemudharatan dan tidak dapat pula mendatangkan
manfaat, tidak mampu membela dirinya sendiri dari orang yang
hendak berbuat jahat kepadanya, tidak memiliki pendengaran,
tidak pula penglihatan dan tidak pula hati, lalu bagaimana
mungkin dzat yang seperti ini disembah kemudian meninggalkan
keikhlasan kepada Dzat yang memiliki nama-nama yang baik,
sifat-sifat yang tinggi, pujian, kesempurna-an, keagungan,
kemuliaan, kehormatan, keindahan, kasih sayang, kebaikan,
karunia, keesaan dalam mencipta dan mengatur, serta memiliki
hikmah yang agung dalam mengurus dan menetapkan. Tidaklah yang
seperti ini melainkan sejelek-jeleknya kejelekan yang
menunjukkan akan kekurangan pelakunya dan keterpurukan-nya
kepada kehinadinaan, suatu tingkatan terendah dari apa yang
diperkirakan oleh seorang yang mengira-ngira atau yang
diutara-kan oleh orang yang membicarakannya, di samping itu
ibadah mereka tersebut sesungguhnya bentuknya saja ditujukan
kepada berhala dan patung yang penuh kekurangan tersebut, namun
ha-kikatnya tidaklah mereka menyembah kecuali kepada setan yang
merupakan musuh yang nyata bagi mereka, yang menghendaki agar
mereka celaka, dan selalu berusaha untuk mencelakakan mereka
dengan segala macam kemampuannya, yang merupakan suatu keadaan
yang sangat jauh dari Allah, Allah telah melaknat-nya dan
menjauhkannya dari rahmatNya, sebagaimana Allah menjauhkannya
dari rahmatNya, ia juga berusaha menjauhkan manusia dari rahmat
Allah سبحانه وتعالى, sesungguhnya setan itu hanya me-nyeru
golongannya agar menjadi penghuni-penghuni neraka. Oleh sebab
itulah Allah mengabarkan tentang usaha setan dalam menjerumuskan
manusia, menghiasi kejahatan dan kerusakan untuk mereka, dan
bahwa ia telah berkata kepada Rabbnya seraya bersumpah, ﴾
لَأَتَّخِذَنَّ مِنۡ عِبَادِكَ نَصِيبٗا مَّفۡرُوضٗا
﴿ "Saya benar-benar akan meng-ambil dari hamba-hambaMu bagian
yang sudah ditentukan (untukku),"
yaitu yang ditentukan, setan yang terlaknat itu telah
mengetahui bahwa ia tidaklah mampu menggoda seluruh
hamba-hamba Allah, dan bahwa hamba-hamba Allah yang pilihan
tidaklah mampu ia kuasai, sesungguhnya ia hanya akan berkuasa
terhadap orang yang mencintainya dan mendahulukan ketaatan
kepadanya daripada ketaatan kepada Rabbnya. Dan setan juga
telah bersumpah pada tempat yang lain bahwa ia benar-benar
akan menjerumuskan me-reka seluruhnya, kecuali hamba-hambaMu
yang pilihan di antara mereka, inilah yang diperkirakan dan
diyakini oleh setan yang jahat itu, Allah سبحانه وتعالى
mengabarkan tentang terjadinya hal tersebut dengan FirmanNya,
﴾
وَلَقَدۡ صَدَّقَ عَلَيۡهِمۡ إِبۡلِيسُ ظَنَّهُۥ فَٱتَّبَعُوهُ
إِلَّا فَرِيقٗا مِّنَ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ 20 ﴿ "Dan sesungguhnya
iblis telah dapat membuktikan kebenaran sangkaannya terhadap
mereka lalu mereka mengikutinya, kecuali sebagian orang-orang
yang beriman."
(As-Saba`: 20).
#
{119} وهذا النصيب المفروض الذي
أقسم لله أنهم يتخذهم ؛ ذَكَرَ ما يريدُ بهم،
وما يقصدُه لهم بقوله:
{ولأضِلَّنَّهم}؛
أي:
عن الصراط المستقيم ضلالاً في العلم وضلالاً في العمل،
{ولأمنِّينَّهم}؛
أي:
مع الإضلال لأمنِّينَّهم أن ينالوا ما ناله المهتدونَ، وهذا هو
الغرور بعينه، فلم يقتصِرْ على مجرَّد إضلالهم، حتى زيَّن لهم ما
هم فيه من الضلال، وهذا زيادةُ شرٍّ إلى شرِّهم، حيث عملوا أعمال
أهل النار الموجبة للعقوبة، وحسِبوا أنَّها موجبةٌ للجنة.
واعتَبِرْ ذلك باليهود والنَّصارى ونحوهم؛
فإنهم كما حكى الله عنهم:
{وقالوا لَن يَدْخُلَ الجنَّة إلاَّ مَن كان هوداً أو نصارى
تلك أمانِيُّهم}،
{وكذلك زينَّا لكلِّ أمةٍ عَمَلَهم}،
{قل هل ننبِّئُكم بالأخسرينَ أعمالاً الذين ضلَّ سعيُهم في
الحياة الدُّنيا وهم يحسَبون أنَّهم يحسنون صنعاً ... }
الآية، وقال تعالى عن المنافقين: إنهم
يقولون يوم القيامة للمؤمنين:
{ألم نَكُن معكُم قالوا بلى ولكنَّكم فتنتُم أنفسَكم
وتربَّصْتم وارتَبْتُم وغرَّتكم الأماني حتى جاء أمرُ الله
وغرَّكم بالله الغَرورُ}. وقوله:
{ولآمُرَنَّهم فَلَيُبَتِّكُنَّ آذان الأنعام}؛ أي: بتقطيع آذانها، وذلك كالبحيرة
والسائبة والوصيلة والحام، فنبَّه ببعض ذلك على جمعيه، وهذا نوعٌ
من الإضلال يقتضي تحريم ما أحلَّ الله، أو تحليل ما حرَّم الله،
ويلتحق بذلك من الاعتقادات الفاسدة والأحكام الجائرة ما هو من
أكبرِ الإضلال.
{ولآمُرَنَّهم فَلَيُغَيِّرُنَّ خَلْقَ الله}: وهذا يتناول [تغيير] الخِلقة الظاهرة
بالوشم والوَشْر والنَّمْص والتفلُّج للحسن، ونحو ذلك مما أغواهم
به الشيطان، فغيَّروا خِلقة الرحمن، وذلك يتضمَّن التسخُّط من
خلقتِهِ، والقدح في حكمتِهِ واعتقاد أنَّ ما يصنعونَه بأيديهم
أحسنَ من خلقة الرحمن، وعدم الرِّضا بتقديرِهِ وتدبيرِهِ،
ويتناول أيضاً تغيير الخِلقة الباطنةِ؛ فإن الله تعالى خَلَقَ
عباده حنفاء، مفطورين على قَبول الحقِّ وإيثارِهِ، فجاءتهم
الشياطين، فاجتالتْهم عن هذا الخَلْق الجميل، وزيَّنت لهم الشرَّ
والشرك والكفر والفسوق والعصيان؛ فإنَّ كلَّ مولود يولد على
الفطرة، ولكن أبواه يهوِّدانِه أو ينصِّرانِه أو يمجِّسانِه ونحو
ذلك مما يغيِّرون به، ما فَطَرَ الله عليه العباد من توحيدِهِ
وحبِّه ومعرفته، فافترستهم الشياطينُ في هذا الموضع افتراس السبع
والذئاب للغنم المنفردةِ، لولا لطفُ الله وكرمُهُ بعباده
المخلصينَ؛ لجرى عليهم ما جرى على هؤلاء المفتونين، وهذا الذي
جرى عليهم من تولِّيهم عن ربِّهم وفاطرهم وتولِّيهم لعدوِّهم
المريد لهم الشرَّ من كل وجه، فخسروا الدُّنيا والآخرة، ورجعوا
بالخيبة والصفقةِ الخاسرة، ولهذا قال:
{ومن يتَّخِذِ الشيطان وليًّا من دون الله فقد خَسِرَ خسراناً
مبيناً}، وأيُّ خسارٍ أبين وأعظم ممن خَسِرَ دينه ودُنياه وأوبقته
معاصيه وخطاياه فحصل له الشقاءُ الأبديُّ وفاته النعيم
السرمديُّ؟! كما أن من تولَّى مولاه، وآثر رضاه، رَبِحَ كلَّ
الرِّبح، وأفلح كلَّ الفلاح، وفاز بسعادةِ الدَّارين، وأصبح قرير
العين. فلا مانع لما أعطيت ولا معطي لما منعت، اللهم! تولَّنا
فيمن تولَّيت، وعافنا فيمن عافيت.
(119) Bagian yang ditentukan di mana
setan telah bersum-pah kepada Allah bahwa ia akan menggoda
manusia
[41], ia menye-butkan apa yang
menjadi keinginannya dari manusia, dan apa yang menjadi
tujuannya untuk mereka dengan perkataannya, ﴾ وَلَأُضِلَّنَّهُمۡ
﴿ "Dan aku benar-benar akan menyesatkan mereka" yaitu dari
jalan yang lurus, kesesatan dalam hal ilmu dan perbuatan,
﴾
وَلَأُمَنِّيَنَّهُمۡ
﴿ "dan akan membangkitkan angan-angan kosong pada mereka,"
yaitu di samping menyesatkan, membangkitkan angan-angan kosong
mereka untuk memperoleh apa yang akan diperoleh oleh
orang-orang yang diberi petunjuk, inilah inti dari
keterpedayaan itu, dan ia tidaklah sebatas menyesatkan mereka
hingga ia menghiasi kesesatan yang mereka kerjakan, dan hal
ini adalah tambahan keburukan setelah keburukan yang telah ada
pada mereka, di mana mereka me-ngerjakan amalan-amalan
penghuni neraka yang mengakibatkan hukuman dan mereka mengira
bahwa amalan-amalan tersebut akan mengakibatkan surga, maka
ambillah pelajaran dari Yahudi dan Nasrani dan semisal mereka
dalam hal itu, karena sesungguh-nya mereka itu adalah seperti
yang telah Allah beritakan tentang mereka, ﴾
وَقَالُواْ لَن يَدۡخُلَ ٱلۡجَنَّةَ إِلَّا مَن كَانَ هُودًا أَوۡ
نَصَٰرَىٰۗ تِلۡكَ أَمَانِيُّهُمۡۗ
﴿ "Dan mereka
(Yahudi dan Nasrani) berkata,
'Sekali-kali tidak akan masuk surga kecuali orang-orang
(yang beragama) Yahudi atau Nasrani.'
Demikian itu (hanya) angan-angan
mereka yang kosong belaka."
(Al-Baqarah: 111)
dan FirmanNya, ﴾
كَذَٰلِكَ زَيَّنَّا لِكُلِّ أُمَّةٍ عَمَلَهُمۡ
﴿ "Demikianlah Kami jadikan setiap umat menganggap baik
pekerjaan mereka."
(Al-An'am: 108)
dan juga FirmanNya, ﴾
قُلۡ هَلۡ نُنَبِّئُكُم بِٱلۡأَخۡسَرِينَ أَعۡمَٰلًا 103 ٱلَّذِينَ
ضَلَّ سَعۡيُهُمۡ فِي ٱلۡحَيَوٰةِ ٱلدُّنۡيَا وَهُمۡ يَحۡسَبُونَ
أَنَّهُمۡ يُحۡسِنُونَ صُنۡعًا 104
﴿ "Katakanlah, 'Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang
orang-orang yang paling merugi perbuatannya?' Yaitu
orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan
dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat
sebaik-baiknya."
(Al-Kahfi: 103-104). Dan Allah سبحانه وتعالى berfirman tentang kaum munafikin,
﴾
يُنَادُونَهُمۡ أَلَمۡ نَكُن مَّعَكُمۡۖ قَالُواْ بَلَىٰ
وَلَٰكِنَّكُمۡ فَتَنتُمۡ أَنفُسَكُمۡ وَتَرَبَّصۡتُمۡ
وَٱرۡتَبۡتُمۡ وَغَرَّتۡكُمُ ٱلۡأَمَانِيُّ حَتَّىٰ جَآءَ أَمۡرُ
ٱللَّهِ وَغَرَّكُم بِٱللَّهِ ٱلۡغَرُورُ 14
﴿ "Bukankah kami dahulu bersama-sama dengan kamu?" Mereka
men-jawab, "Benar, tetapi kamu mencelakakan dirimu sendiri dan
menunggu (kehancuran kami) dan kamu
ragu-ragu serta ditipu oleh angan-angan kosong sehingga
datanglah ketetapan Allah; dan kamu telah ditipu dengan
(keimanan kepada) Allah oleh
(setan) yang amat penipu."
(Al-Hadid: 14). Dan Firman Allah, ﴾
وَلَأٓمُرَنَّهُمۡ فَلَيُبَتِّكُنَّ ءَاذَانَ ٱلۡأَنۡعَٰمِ
﴿ "Dan menyu-ruh mereka
(memotong telinga-telinga binatang ternak), lalu mereka benar-benar memotongnya," yaitu dengan memotong
telinganya, yang demikian itu seperti bahirah, sa'ibah,
washilah dan ham,[42] Allah
mengisyaratkan dengan sebagian dari hal itu bagi semuanya, hal
yang demikian itu adalah bagian dari penyesatan yang
mengakibat-kan pengharaman apa yang dihalalkan oleh Allah atau
penghalalan apa yang diharamkan oleh Allah, dan hal itu
diikuti dengan keya-kinan-keyakinan yang salah dan hukum-hukum
yang zhalim yang merupakan penyesatan yang paling besar.
﴾
وَلَأٓمُرَنَّهُمۡ فَلَيُغَيِّرُنَّ خَلۡقَ ٱللَّهِۚ
﴿ "Dan akan aku suruh mereka
(mengubah ciptaan Allah), lalu
benar-benar mereka merubahnya," hal ini meliputi pengubahan
penciptaan lahiriyah dengan tatto, meruncingkan atau
menajamkan gigi, mencabut alis, dan memberi celah pada gigi
demi kecantikan dan semacamnya dari perkara-perkara yang
menjadi sasaran setan demi memperdayai mereka, hingga mereka
mengubah penciptaan Allah, yang demikian itu mengandung arti
bahwa ia tidak puas dengan penciptaanNya dan menuduh aib pada
hikmahNya serta keyakinan bahwa apa yang mereka lakukan dengan
tangan-tangan mereka itu lebih indah dari penciptaan Allah,
mereka tidak ridha dengan ketetapan dan aturanNya, dan hal itu
juga mencakup perubahan penciptaan yang bersifat batin.
Sesungguhnya Allah سبحانه وتعالى menciptakan makhluk dalam
ke-adaan suci dan bernaluri untuk menerima kebenaran dan
menda-hulukannya hingga hadirlah setan kepada mereka lalu
menggoda mereka untuk merubah penciptaan yang indah itu,
menghiasi bagi mereka keburukan, kesyirikan, kekufuran,
kefasikan, dan kemak-siatan, dan sesungguhnya setiap anak itu
dilahirkan dalam keadaan fitrah dan suci, akan tetapi kedua
orang tuanyalah yang menjadi-kannya sebagai Yahudi, Nasrani
ataupun Majusi dan semacamnya dari perubahan-perubahan akan
apa yang telah difitrahkan Allah kepada hamba-hambaNya berupa
pengesaan Allah, kecintaan kepadaNya dan MengenalNya, namun
kemudian dalam hal ini setan memangsa mereka seperti binatang
buas dan serigala me-mangsa domba yang sendirian, dan
sekiranya bukan karena kasih sayang Allah dan kemuliaanNya
atas hamba-hambaNya yang ikhlas, niscaya akan terjadi pada
mereka apa yang terjadi pada orang-orang yang terbujuk rayu
setan, dan perkara yang terjadi pada mereka itu disebabkan
karena berpalingnya mereka dari Rabb dan Pencipta mereka
kepada musuh mereka yang menghendaki keburukan dari mereka
dari segala bentuknya, hingga mereka merugi di dunia dan
akhirat, dan kembali dengan kehampaan dan kerugian yang besar,
karena itulah Allah berfirman, ﴾
وَمَن يَتَّخِذِ ٱلشَّيۡطَٰنَ وَلِيّٗا مِّن دُونِ ٱللَّهِ فَقَدۡ
خَسِرَ خُسۡرَانٗا مُّبِينٗا ﴿ "Barang-siapa yang menjadikan
setan sebagai pelindung selain Allah, maka se-sungguhnya ia
menderita kerugian yang nyata," kerugian apa lagi yang paling
nyata dan paling besar daripada seorang yang rugi agama dan
dunianya, dicelakakan oleh kesalahan dan kemaksiatannya hingga
ia memperoleh kesengsaraan yang abadi dan hilang darinya
kenikmatan untuk selamanya? Sebagaimana juga orang yang
mencintai Rabbnya, dan mendahulukan keridhaanNya, niscaya ia
akan sangat beruntung, dan sukses dengan gemilang serta menang
dengan kebahagiaan di dua negeri, dunia dan akhirat, dan menjadi
hamba yang bahagia. Maka tidaklah akan ada yang mampu mena-han
apa yang Engkau berikan dan tidak ada yang mampu memberi apa
yang Engkau tahan, ya Allah, uruslah perkara kami sebagai-mana
Engkau urus perkara orang-orang yang Engkau cintai, dan berilah
kami keafiatan sebagaimana orang-orang yang Engkau beri
keafiatan.
#
{120} ثم قال:
{يَعِدُهم ويمنِّيهم}؛
أي:
يعد الشيطانُ من يسعى في إضلالهم والوعد يشمل حتى الوعيد؛
كما قال تعالى:
{الشيطان يَعِدُكم الفقْرَ}؛ فإنه
يعدهم إذا أنفقوا في سبيل الله؛ افتقروا، ويخوِّفهم إذا جاهدوا
بالقتل وغيره؛ كما قال تعالى:
{إنَّما ذلكم الشيطان يخوِّفُ أولياءَه ... }
الآية، ويخوِّفهم عند إيثار مرضاة الله بكلِّ ما يمكن وما لا
يمكنُ مما يدخله في عقولهم حتى يكسلوا عن فعل الخير، وكذلك
يمنِّيهم الأماني الباطلة التي هي عند التحقيق كالسراب الذي لا
حقيقة له، ولهذا قال:
{وما يَعِدُهم الشيطان إلا غُروراً}.
(120) Kemudian Allah berfirman, ﴾
يَعِدُهُمۡ وَيُمَنِّيهِمۡۖ
﴿ "Setan itu memberikan janji-janji kepada mereka dan
membangkitkan angan-angan kosong pada mereka," maksudnya,
setan berjanji kepada orang yang berusaha disesatkan olehnya,
dan janji itu (segala cara) hingga
ancaman sekalipun seperti Firman Allah سبحانه وتعالى, ﴾
ٱلشَّيۡطَٰنُ يَعِدُكُمُ ٱلۡفَقۡرَ
﴿ "Setan menjanjikan
(menakut-nakuti) kamu dengan
kemiskinan."
(Al-Baqarah: 268). Sesungguhnya setan menakut-nakuti mereka bila mereka
berinfak di jalan Allah, maka mereka akan menjadi miskin, dan
setan juga menakut-nakuti bila mereka hendak berjihad dengan
kematian dan sebagainya seperti Firman Allah سبحانه وتعالى,
﴾
إِنَّمَا ذَٰلِكُمُ ٱلشَّيۡطَٰنُ يُخَوِّفُ أَوۡلِيَآءَهُۥ
﴿ "Sesungguhnya mereka itu tidak lain hanyalah setan yang
menakut-nakuti (kamu) dengan
kawan-kawannya
(orang-orang musyrik Quraisy)."
(Ali Imran: 175). Setan menakut-nakuti
mereka ketika hendak mendahulukan keridhaan Allah dengan
segala cara yang memungkinkan ataupun yang tidak memungkinkan
hingga merasuk dalam akal mereka dan seterusnya mereka malas
untuk melakukan kebaikan, demikian juga ia membuat angan-angan
kosong dan batil kepada mereka di mana bila dibuktikan, maka
itu hanya seperti fatamorgana yang tidak memiliki hakikat,
karena itulah Allah berfirman, ﴾
وَمَا يَعِدُهُمُ ٱلشَّيۡطَٰنُ إِلَّا غُرُورًا ﴿ "Padahal setan
itu tidak menjanjikan kepada mereka selain dari tipuan belaka."
#
{121}
{أولئك مأواهم جهنَّمُ}؛
أي:
من انقاد للشيطانِ وأعرض عن ربِّه وصار من أتباع إبليس وحزبه
مستقرهم النار،
{ولا يجدون عنها محيصاً}؛
أي:
مَخْلصاً ولا ملجأ، بل هم خالدون فيها أبد الآباد.
(121) ﴾ أُوْلَٰٓئِكَ مَأۡوَىٰهُمۡ
جَهَنَّمُ
﴿ "Mereka itu tempatnya Jahanam," maksudnya, orang yang
tunduk kepada setan dan berpaling dari Rabbnya hingga ia
menjadi pengikut iblis dan golongannya di mana tempat menetap
mereka adalah neraka, ﴾
وَلَا يَجِدُونَ عَنۡهَا مَحِيصٗا ﴿ "dan mereka tidak memperoleh
tempat lari dari padanya," maksudnya, me-reka tidak mendapati
tempat berlepas diri dan tempat bersandar, akan tetapi mereka
kekal di dalamnya selama-lamanya.
Dan ketika Allah menjelaskan tentang tempat kembalinya
orang-orang yang celaka yaitu wali-wali setan, lalu Allah
menjelas-kan tempat kembalinya orang-orang yang bahagia dan
wali-waliNya dalam FirmanNya,
{وَالَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ
سَنُدْخِلُهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ
خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا وَعْدَ اللَّهِ حَقًّا وَمَنْ
أَصْدَقُ مِنَ اللَّهِ قِيلًا
(122)}
.
"Orang-orang yang beriman dan mengerjakan amalan shalih, kelak
akan Kami masukkan ke dalam surga yang mengalir sungai-sungai di
bawahnya, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Allah telah
membuat suatu janji yang benar. Dan siapakah yang lebih benar
perkataannya daripada Allah?"
(An-Nisa`: 122).
#
{122} أي:
{آمنوا} بالله وملائكته وكتبه
ورسله واليوم الآخر والقَدَر خيرِه وشرِّه على الوجه الذي أمروا
به علماً وتصديقاً وإقراراً.
{وعملوا الصالحات}: الناشئة عن
الإيمان، وهذا يشمل سائر المأمورات من واجبٍ ومستحبٍّ؛ الذي على
القلب، والذي على اللسان، والذي على بقيَّة الجوارح؛ كل له من
الثواب المرتَّب على ذلك بحسب حاله ومقامه وتكميله للإيمان
والعمل الصالح، ويَفُوتُه ما رُتِّب على ذلك بحسب ما أخلَّ به من
الإيمان والعمل، وذلك بحسب ما علم من حكمة الله ورحمته، وكذلك
وعده الصادق الذي يُعرَف من تتبُّع كتاب الله وسنة رسوله،
ولهذا ذكر الثواب المرتَّب على ذلك بقوله:
{سَنُدْخِلُهم جناتٍ تجري من تحتها الأنهار}: فيها ما لا عينٌ رأت ولا أذنٌ سمعت ولا خطر على قلب بشر؛ من
أنواع المآكل والمشارب اللذيذة، والمناظر العجيبة، والأزواج
الحسنة، والقصور والغرف المزخرفة، والأشجار المتدلِّية، والفواكه
المستغربة، والأصوات الشجيَّة، والنعم السابغة، وتزاور الإخوان
وتذكُّرهم ما كان منهم في رياض الجنان، وأعلى من ذلك
[كُلِّه] وأجلُّ؛ رضوان الله عليهم
وتمتُّع الأرواح بقربه والعيون برؤيته والأسماع بخطابه الذي
يُنسيهم كلَّ نعيم وسرور، ولولا الثباتُ من الله لهم؛ لطاروا
وماتوا من الفرح والحبور؛ فلله ما أحلى ذلك النعيم! وما أعلى ما
أنالهم الربُّ الكريم! وما حصل لهم من كل خير وبهجة لا يصفه
الواصفون! وتمام ذلك وكماله الخلودُ الدائم في تلك المنازل
العاليات. ولهذا قال:
{خالدين فيها أبداً وَعْدَ الله حقًّا ومن أصدق من الله
قيلاً}: فصدق الله العظيم الذي بلغ قوله وحديثه في الصدق أعلى ما
يكون، ولهذا لما كان كلامه صدقاً، وخبره صدقاً ؛ كان ما يدلُّ
عليه مطابقةً وتضمناً وملازمةً؛ كل ذلك مرادٌ من كلامه، وكذلك
كلام رسوله - صلى الله عليه وسلم -؛ لكونه لا يخبر إلاَّ بأمرِهِ
ولا ينطق إلاَّ عن وحيه.
(122) Maksudnya, ﴾ ءَامَنُواْ
﴿ "yang beriman" kepada Allah, malaikat-malaikatNya,
kitab-kitabNya, rasul-rasulNya, Hari Akhir dan takdirNya yang
baik maupun yang buruk sesuai dengan yang diperintahkan, yaitu
berilmu, membenarkan, dan mengikrarkan, ﴾
وَعَمِلُواْ ٱلصَّٰلِحَٰتِ
﴿ "dan mengerjakan amalan shalih" yang bersumber dari
keimanan tersebut. Ini mencakup seluruh perkara yang
dipe-rintahkan, baik wajib maupun sunnah, atas hati, lisan dan
bagian-bagian tubuh lainnya, setiap perkara itu menyimpan
pahala yang akan diperoleh menurut kondisi, kedudukan, dan
penyempurna-an keimanan dan amal shalih, dan
(nilai kebaikan) akan luput dari
dirinya sesuai dengan kadar kekurangan yang terjadi pada
ke-imanan dan amal tersebut, dan itu tergantung kepada apa
yang telah diketahui dari hikmah Allah dan rahmatNya. Demikian
juga janjiNya yang benar yang dapat diketahui dari penelaahan
Kita-bullah maupun sunnah Rasulullah ﷺ, karena itulah Allah
menye-butkan pahala yang diperoleh dari hal tersebut dalam
FirmanNya, ﴾
سَنُدۡخِلُهُمۡ جَنَّٰتٖ تَجۡرِي مِن تَحۡتِهَا ٱلۡأَنۡهَٰرُ
﴿ "Kelak akan Kami masukkan ke dalam surga yang mengalir
sungai-sungai di bawahnya," di dalamnya terdapat berbagai
macam kenikmatan yang belum pernah terlihat oleh mata, belum
pernah terdengar oleh telinga, dan belum pernah terbersit
dalam benak seorang manusia pun, berupa berbagai macam makanan
dan minuman yang lezat, pemandangan-peman-dangan yang indah
nan menakjubkan, istri-istri yang cantik, istana dan
kamar-kamar yang terhias mewah, pepohonan yang rindang,
buah-buahan yang mengagumkan, suara-suara yang merdu,
kenikmatan-kenikmatan yang dalam, saling mengunjungi antara
saudara, saling membicarakan kenikmatan yang mereka peroleh di
dalam surga, dan yang paling tertinggi dari itu semua dan
paling mulia, adalah keridhaan Allah kepada mereka, kenikmatan
ruh berdekatan denganNya, mata melihat kepadaNya, telinga
mendengar Firman-firmanNya yang akan melupakan mereka akan
kenikmatan-kenikmatan yang mereka rasakan di surga. Sekiranya
bukan karena keteguhan dari Allah buat mereka, niscaya mereka
akan melayang dan meninggal karena kegirangan dan
kebahagia-an, maka demi Allah, betapa manisnya kenikmatan itu!
Betapa tingginya apa yang diberikan oleh Allah Yang Mahamulia
kepada mereka! Apa yang mereka peroleh berupa segala kebaikan
dan kebahagiaan tidak mampu digambarkan oleh seorang pun, dan
sebagai pelengkap dan penyempurna dari itu semua adalah
keaba-dian dan kekekalan berada dalam kediaman-kediaman yang
tinggi tersebut. Karena itulah Allah berfirman,﴾
خَٰلِدِينَ فِيهَآ أَبَدٗاۖ وَعۡدَ ٱللَّهِ حَقّٗاۚ وَمَنۡ
أَصۡدَقُ مِنَ ٱللَّهِ قِيلٗا ﴿ "Mereka kekal di dalamnya
selama-lamanya. Allah telah mem-buat suatu janji yang benar. Dan
siapakah yang lebih benar perkataannya daripada Allah?" Maka
benarlah Allah Yang Mahaagung, di mana FirmanNya mencapai
tingkatan tertinggi dalam kebenaran, karena itulah tatkala
FirmanNya adalah benar, kabarNya adalah benar, maka apa pun yang
ditunjukkan dari Firman dan kabarNya itu adalah sesuai,
terkandung, dan terarah, setiap dari hal itu menjadi maksud dari
Kalamullah, demikian juga kalam Rasulullah ﷺ, karena beliau
tidaklah mengabarkan kecuali dengan perintahNya dan beliau tidak
berkata kecuali dari wahyu Allah.
{لَيْسَ بِأَمَانِيِّكُمْ وَلَا أَمَانِيِّ أَهْلِ الْكِتَابِ
مَنْ يَعْمَلْ سُوءًا يُجْزَ بِهِ وَلَا يَجِدْ لَهُ مِنْ
دُونِ اللَّهِ وَلِيًّا وَلَا نَصِيرًا
(123) وَمَنْ يَعْمَلْ مِنَ
الصَّالِحَاتِ مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ
فَأُولَئِكَ يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ وَلَا يُظْلَمُونَ
نَقِيرًا (124)}
.
"
(Pahala dari Allah) itu bukanlah
menurut angan-anganmu yang kosong dan tidak
(pula) menurut angan-angan Ahli Kitab.
Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan, niscaya akan diberi
pembalasan dengan kejahatan itu dan ia tidak mendapat pelindung
dan tidak
(pula) penolong baginya selain
dari Allah. Barangsiapa yang mengerjakan amal-amal shalih, baik
laki-laki maupun wanita sedang ia orang yang beriman, maka
mereka itu masuk ke dalam surga dan mereka tidak dianiaya walau
sedikit pun."
(An-Nisa`: 123-124).
#
{123} أي:
{ليس} الأمر والنجاة والتزكية
{بأمانيِّكم ولا أمانيِّ أهل الكتاب}، والأمانيُّ أحاديث النفس المجرَّدة عن العمل المقترِن بها
دعوى مجرَّدة، لو عُورضت بمثلها؛ لكانت من جنسها، وهذا عامٌّ في
كلِّ أمر؛ فكيف بأمر الإيمان والسعادة الأبديَّة؛ فإنَّ أماني
أهل الكتاب قد أخبر الله بها أنهم
{قالوا لن يدخُلَ الجنَّة إلاَّ من كان هوداً أو نصارى تلك
أمانيُّهم}، وغيرهم ممَّن ليس ينتسب لكتاب ولا رسول من باب أولى وأحرى،
وكذلك أدخل الله في ذلك من ينتسب إلى الإسلام لكمال العدل
والإنصاف؛ فإنَّ مجرد الانتساب إلى أيِّ دينٍ كان لا يفيد شيئاً
إن لم يأت الإنسان ببرهانٍ على صحة دعواه؛ فالأعمال تُصَدِّقُ
الدعوى أو تكذِّبها. ولهذا قال تعالى:
{من يَعْمَلْ سوءاً يُجْزَ به}:
وهذا شامل لجميع العاملين؛ لأنَّ السوء شاملٌ لأيِّ ذنب كان من
صغائر الذُّنوب وكبائِرِها، وشاملٌ أيضاً لكل جزاء؛ قليل أو
كثير، دنيويٍّ أو أخرويٍّ، والناس في هذا المقام درجاتٌ لا
يعلمها إلا الله؛ فمستقلٌّ ومستكثرٌ؛ فمن كان عمله كلُّه سوءاً،
وذلك لا يكون إلا كافراً؛ فإذا مات من دون توبةٍ؛ جوزِيَ بالخلود
في العذاب الأليم، ومن كان عمله صالحاً وهو مستقيمٌ في غالب
أحواله، وإنَّما يصدُر منه أحياناً بعض الذُّنوب الصغار فما
يصيبه من الهمِّ والغمِّ والأذى وبعض الآلام في بدنه، أو قلبه،
أو حبيبه، أو ماله ونحو ذلك؛ فإنها مكفِّرات للذُّنوب؛ وهي مما
يجزى به على عمله، قيضها الله لطفاً بعباده. وبين هذين الحالين
مراتبُ كثيرة، وهذا الجزاء على عمل السوء العام مخصوصٌ في غير
التائبين؛ فإنَّ التائب من الذنب كمن لا ذنبَ له؛ كما دلَّت على
ذلك النصوص. وقوله:
{ولا يَجِدْ له من دون الله وليًّا ولا نصيراً}: لإزالة بعض ما لعلَّه يتوهم أن من استحقَّ المجازاة على عمله
قد يكون له وليٌّ أو ناصر أو شافعٌ يدفعُ عنه ما استحقَّه، فأخبر
تعالى بانتفاء ذلك، فليس له وليٌّ يحصِّل له المطلوبَ ولا نصيرٌ
يدفع عنه المرهوبَ؛ إلاَّ ربَّه ومليكه.
(123) Maksudnya, ﴾ لَّيۡسَ
﴿ "Bukanlah" perkara itu, kesela-matan dan kesucian, ﴾
بِأَمَانِيِّكُمۡ وَلَآ أَمَانِيِّ أَهۡلِ ٱلۡكِتَٰبِۗ
﴿ "menurut angan-anganmu yang kosong dan tidak
(pula) menurut angan-angan Ahli
Kitab," angan-angan itu adalah percakapan jiwa yang tidak
diiringi dengan perbuatan namun hanya pengakuan semata, dan
sekiranya diten-tang oleh angan-angan yang serupa dengannya,
maka pastilah akan menjadi satu jenis dengannya, dan hal ini
adalah umum pada setiap perkara, lalu bagaimanakah bila dalam
perkara keimanan dan kebahagiaan yang abadi? Sesungguhnya
angan-angan Ahli Kitab telah Allah kabarkan tentangnya bahwa
mereka itu, ﴾
وَقَالُواْ لَن يَدۡخُلَ ٱلۡجَنَّةَ إِلَّا مَن كَانَ هُودًا أَوۡ
نَصَٰرَىٰۗ تِلۡكَ أَمَانِيُّهُمۡۗ
﴿ "Dan mereka
(Yahudi dan Nasrani) berkata,
'Sekali-kali tidak akan masuk surga kecuali orang-orang
(yang beragama) Yahudi atau Nasrani.'
Demikian itu (hanya) angan-angan
mereka yang kosong belaka."
(Al-Baqarah: 111), dan selain mereka di antara orang-orang yang tidak
menisbatkan diri kepada sebuah kitab, tidak pula kepada
seorang rasul, maka mereka lebih utama dan lebih patut,
demikian juga Allah mema-sukkan ke dalam golongan itu
orang-orang yang menisbatkan diri kepada Islam atas dasar
kesempurnaan keadilan dan pemenuhan hak, karena sesungguhnya
sekedar menisbahkan diri kepada suatu agama itu sama sekali
tidaklah bermanfaat bila seorang manusia tidak membawa
keterangan yang jelas atas kebenaran pengakuannya, maka
perbuatanlah yang akan membenarkan atau mendustakan pengakuan
itu, karena itulah Allah سبحانه وتعالى berfirman, ﴾
مَن يَعۡمَلۡ سُوٓءٗا يُجۡزَ بِهِۦ
﴿ "Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan, niscaya akan
diberi pembalasan dengan kejahatan itu." Ini mencakup semua
pelaku-pelaku perbuatan, karena keburukan itu mencakup dosa
apa pun, baik kecil maupun besar, dan mencakup juga seluruh
balasan, baik sedikit maupun banyak, di dunia maupun di
akhirat, dan manusia dalam kaitan ini memiliki tingkatan yang
berbeda-beda yang tidak diketahui kecuali oleh Allah سبحانه
وتعالى, ada yang sedikit dan ada yang banyak. Barangsiapa yang
seluruh perbuatannya adalah dosa, dan itu hanya terjadi pada
orang kafir lalu bila ia meninggal sebelum bertaubat, maka
akan dibalas dengan kekekalan dalam siksa yang pedih. Dan
barangsiapa yang perbuatannya adalah shalih dan ia pada
sebagian besar kondisinya dalam keadaan konsisten, hanya saja
terkadang terjadi beberapa kesalahan atau dosa kecil, lalu apa
pun yang menimpanya berupa kegundahan, kesedihan, gangguan dan
sakit di tubuhnya, atau hatinya atau orang yang dicintainya
atau hartanya dan semacamnya, maka sesungguhnya semua itu akan
menjadi penggugur dosa-dosanya, dan hal itu adalah di antara
balasan atas amalan-amalannya, yang telah Allah tentukan
sebagai tindakan kasih sayang kepada hamba-hambaNya. Dan di
antara kedua kondisi ini banyak sekali tingkatan-tingkatannya,
balasan umum atas perbuatan yang buruk adalah dikhususkan pada
selain orang-orang yang bertaubat, karena sesungguhnya seorang
yang bertaubat dari dosa adalah seperti seorang yang tidak
memiliki dosa sama sekali, sebagaimana yang ditunjukkan oleh
nash-nash yang ada. Dan FirmanNya, ﴾
وَلَا يَجِدۡ لَهُۥ مِن دُونِ ٱللَّهِ وَلِيّٗا وَلَا نَصِيرٗا ﴿
"Dan ia tidak mendapat pelindung dan tidak
(pula) penolong baginya selain dari
Allah" untuk menghilangkan beberapa perkara yang diperkirakan
bahwa seorang yang berhak mendapat balasan atas amalannya itu
ke-mungkinan saja memiliki pelindung atau penolong atau pemberi
syafa'at yang membela dirinya dari perkara yang seharusnya
dite-rimanya, lalu Allah سبحانه وتعالى mengabarkan bahwa hal
tersebut tidaklah ada, ia tidak memiliki pelindung yang
membantunya memperoleh apa yang diinginkan dan tidak memiliki
penolong yang membela dirinya dari perkara yang ditakutkan
kecuali Rabbnya dan Rajanya semata.
#
{124}
{ومن يعملْ من الصالحاتِ}: دخل في
ذلك سائر الأعمال القلبيَّة والبدنيَّة، ودخل أيضاً كلُّ عامل؛
من إنس أو جنٍّ، صغير أو كبير، ذكر أو أنثى.
ولهذا قال:
{من ذكرٍ أو أنثى وهو مؤمنٌ}: وهذا
شرطٌ لجميع الأعمال، لا تكون صالحةً ولا تُقبل ولا يترتَّب عليها
الثوابُ ولا يندفع بها العقابُ إلاَّ بالإيمان؛ فالأعمال بدون
الإيمان كأغصان شجرةٍ قُطع أصلُها، وكبناءٍ بني على موج الماء؛
فالإيمان هو الأصل والأساس والقاعدة التي يُبْنَى عليه كل شيء،
وهذا القيد ينبغي التفطُّن له في كلِّ عمل مطلقٍ ؛ فإنه مقيَّدٌ
به. {فأولئك}؛
أي:
الذين جمعوا بين الإيمان والعمل الصالح،
{يدخُلون الجنةَ}: المشتملة على ما
تشتهي الأنفس وتلذُّ الأعين،
{ولا يُظلمون نقيراً}؛
أي:
لا قليلاً ولا كثيراً مما عمِلوه من الخير، بل يجدونَه كاملاً
موفَّراً مضاعفاً أضعافاً كثيرة.
(124) ﴾ وَمَن يَعۡمَلۡ مِنَ
ٱلصَّٰلِحَٰتِ
﴿ "Barangsiapa yang mengerjakan amal-amal shalih" termasuk
dalam hal tersebut amalan-amalan hati maupun anggota badan,
termasuk juga setiap pelaku perbuatan, baik manusia atau jin,
kecil maupun besar, laki-laki maupun perem-puan, karena itulah
Allah berfirman, ﴾
مِن ذَكَرٍ أَوۡ أُنثَىٰ وَهُوَ مُؤۡمِنٞ
﴿ "Baik laki-laki maupun wanita, sedang ia orang yang
beriman," ini merupakan syarat bagi seluruh amal perbuatan,
tidaklah sah, tidak diterima, tidak diberikan balasan pahala
dan tidak diancam dengan siksa kecuali dengan keimanan, karena
perbuatan tanpa keimanan adalah seperti ranting-ranting pohon
yang hilang akarnya, atau seperti bangunan di atas air, maka
iman itu adalah asas, dasar, dan pondasi yang dibangun di
atasnya segala sesuatu, syarat ini harus dicermati lebih baik
pada setiap perbuatan yang umum, bahwa sesungguhnya semua itu
disyaratkan dengannya, ﴾
فَأُوْلَٰٓئِكَ
﴿ "maka mereka itu," yaitu orang-orang yang menyatukan antara
keimanan dan amal shalih ﴾
يَدۡخُلُونَ ٱلۡجَنَّةَ
﴿ "masuk ke dalam surga" yang mengan-dung segala hal yang
dikehendaki oleh jiwa dan dinikmati oleh mata, ﴾
وَلَا يُظۡلَمُونَ نَقِيرٗا ﴿ "dan mereka tidak dianiaya walau
sedikit pun," maksudnya, tidak sedikit dan tidak pula banyak
dari apa yang telah mereka kerjakan berupa kebaikan, akan tetapi
mereka akan mendapatkan balasannya secara penuh dan sempurna
lagi berlipat-lipat ganda yang banyak sekali.
{وَمَنْ أَحْسَنُ دِينًا مِمَّنْ أَسْلَمَ وَجْهَهُ لِلَّهِ
وَهُوَ مُحْسِنٌ وَاتَّبَعَ مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفًا
وَاتَّخَذَ اللَّهُ إِبْرَاهِيمَ خَلِيلًا
(125)}
.
"Dan siapakah yang lebih baik agamanya daripada orang yang
ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang dia pun
mengerjakan kebaikan, dan ia mengikuti agama Ibrahim yang lurus?
Dan Allah menjadikan Ibrahim sebagai kesayanganNya."
(An-Nisa`: 125).
#
{125} أي: لا أحد أحسنُ من دين مَن
جمع بين الإخلاص للمعبود، وهو إسلامُ الوجه لله الدالُّ على
استسلام القلب، وتوجُّهه وإنابته وإخلاصه وتوجُّه الوجه وسائر
الأعضاء لله. {وهو}: مع هذا
الإخلاص والاستسلام {محسنٌ}؛
أي:
متَّبع لشريعة الله التي أرسل الله بها رسله وأنزل كتبه وجعلها
طريقاً لخواصِّ خلقه وأتباعهم،
{واتَّبع مِلَّةَ إبراهيم}؛
أي:
دينه وشرعه {حنيفاً}؛
أي:
مائلاً عن الشرك إلى التوحيد وعن التوجُّه للخلق إلى الإقبال على
الخالق،
{واتَّخذَ الله إبراهيم خليلاً}:
والخُلَّةُ أعلى أنواع المحبة، وهذه المرتبة حصلت للخليلين محمد
وإبراهيم عليهما الصلاة والسلام، وأما المحبَّة من الله؛ فهي
لعموم المؤمنين، وإنَّما اتَّخذ الله إبراهيم خليلاً؛ لأنَّه
وفَّى بما أمر به، وقام بما ابتُلِيَ به، فجعله الله إماماً
للناس، واتَّخذه خليلاً، ونوَّه بذكرِهِ في العالمين.
(125) Maksudnya, tidaklah ada seorang
pun yang paling baik agamanya daripada seorang yang menyatukan
antara keikh-lasan kepada Dzat yang disembah yaitu penyerahan
diri hanya untuk Allah yang menunjukkan akan penyerahan hati,
penghadap-annya, kembalinya, keikhlasannya dan penghadapan wajah
serta seluruh anggota tubuh kepada Allah, ﴾ وَهُوَ
﴿ "sedang dia pun" di samping keikhlasan dan penyerahan diri
tersebut, ﴾
مُحۡسِنٞ
﴿ "menger-jakan kebaikan" yaitu mengikuti syariat Allah yang
telah Allah utus rasul-rasul dengannya dan telah Allah
turunkan kitab-kitabNya dan Allah jadikan hal itu sebagai
jalan bagi makhluk-makhlukNya yang terpilih dan
pengikut-pengikut mereka, ﴾
مِلَّةَ إِبۡرَٰهِيمَ
﴿ "dan ia mengikuti agama Ibrahim" yaitu agama dan syariatnya
﴾
حَنِيفٗاۗ
﴿ "yang lurus" yaitu jauh dari syirik menuju kepada pengesaan
dan jauh dari menghadap kepada makhluk menuju kedekatan kepada
Sang Pencipta, ﴾
وَٱتَّخَذَ ٱللَّهُ إِبۡرَٰهِيمَ خَلِيلٗا ﴿ "dan Allah menjadikan
Ibrahim sebagai kesayanganNya," al-Khullah adalah tingkatan
tertinggi dari kecintaan, tingkatan ini diperoleh oleh dua orang
kesayangan Allah, yaitu Muhammad ﷺ dan Ibrahim عليه السلام,
sedangkan kecintaan dari Allah secara umum adalah kepada seluruh
kaum Mukminin, dan sesung-guhnya Allah menjadikan Ibrahim
sebagai kesayangan, karena beliau telah menunaikan apa yang
telah diperintahkan kepadanya, tegar dalam cobaan yang
dihadapkan kepadanya hingga Allah menjadikannya sebagai imam
bagi seluruh manusia dan mengam-bilnya sebagai kesayangan serta
meninggikan sebutannya pada seluruh alam semesta.
{وَلِلَّهِ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ
وَكَانَ اللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ مُحِيطًا
(126)}
.
"Kepunyaan Allah-lah apa yang di langit dan apa yang di bumi,
dan
(pengetahuan) Allah Maha Meliputi
segala sesuatu."
(An-Nisa`: 126).
#
{126} وهذه الآية الكريمة فيها
بيانُ إحاطة الله تعالى بجميع الأشياء، فأخبر أنَّه له
{ما في السموات وما في الأرض}؛ أي: الجميع ملكُه وعبيدُه؛ فهم
المملوكون وهو المالك المتفرِّد بتدبيرهم، وقد أحاط علمُهُ بجميع
المعلومات، وبصرُهُ بجميع المبصَرات وسمعُهُ بجميع المسموعات
ونفذتْ مشيئتُه وقدرتُه بجميع الموجودات ووَسِعَتْ رحمتُهُ أهل
الأرض والسماوات، وقهر بعزِّه وقهرِهِ كلَّ مخلوقٍ، ودانت له
جميعُ الأشياء.
(126) Ayat yang mulia ini mengandung
penjelasan akan pengetahuan Allah yang meliputi segala sesuatu,
Allah berfirman bahwasanya Dia memiliki ﴾ مَا فِي ٱلسَّمَٰوَٰتِ
وَمَا فِي ٱلۡأَرۡضِۚ ﴿ "apa yang di langit dan apa yang di bumi"
maksudnya, seluruh hal itu adalah milikNya dan hamba-hambaNya,
mereka itu adalah yang dimiliki sedang Allah adalah pemilik
mereka, di mana Allah sendirilah yang mengatur mereka, dan
ilmuNya telah meliputi segala hal yang diketahui, pandanganNya
meliputi segala hal yang dipandang, pendengaranNya meliputi
segala hal yang didengar, kehendak-Nya dan kemampuanNya
terlaksana pada seluruh hal yang ada, rahmatNya meliputi seluruh
penduduk bumi dan langit, Allah me-ngatur dengan keperkasaan dan
kekuatanNya atas setiap makhluk, dan segala sesuatu tunduk
kepadaNya.
{وَيَسْتَفْتُونَكَ فِي النِّسَاءِ قُلِ اللَّهُ يُفْتِيكُمْ
فِيهِنَّ وَمَا يُتْلَى عَلَيْكُمْ فِي الْكِتَابِ فِي
يَتَامَى النِّسَاءِ اللَّاتِي لَا تُؤْتُونَهُنَّ مَا كُتِبَ
لَهُنَّ وَتَرْغَبُونَ أَنْ تَنْكِحُوهُنَّ
وَالْمُسْتَضْعَفِينَ مِنَ الْوِلْدَانِ وَأَنْ تَقُومُوا
لِلْيَتَامَى بِالْقِسْطِ وَمَا تَفْعَلُوا مِنْ خَيْرٍ
فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ بِهِ عَلِيمًا
(127)}
.
"Dan mereka meminta fatwa kepadamu tentang para wanita.
Katakanlah, 'Allah memberi fatwa kepadamu tentang mereka, dan
apa yang dibacakan kepadamu dalam al-Qur`an
(juga memfatwa-kan) tentang para wanita
yatim yang tidak kamu berikan kepada mereka apa yang ditetapkan
untuk mereka, sedang kamu ingin mengawini mereka dan tentang
anak-anak yang masih dipandang lemah. Dan
(Allah menyuruh kamu) supaya kamu
mengurus anak-anak yatim secara adil. Dan kebajikan apa saja
yang kamu kerja-kan, maka sesungguhnya Allah Maha
Mengetahuinya'."
(An-Nisa`: 127).
#
{127} الاستفتاء طلبُ السائل من
المسؤول بيان الحكم الشرعيِّ في ذلك المسؤول عنه، فأخبر عن
المؤمنين أنَّهم يستفتون الرسول - صلى الله عليه وسلم - في حكم
النساء المتعلِّق بهم، فتولَّى الله هذه الفتوى بنفسه،
فقال:
{قل الله يُفتيكم فيهنَّ}؛ فاعملوا
على ما أفتاكم به في جميع شؤون النساء من القيام بحقوقهنَّ وترك
ظلمهنَّ عموماً وخصوصاً، وهذا أمرٌ عام يشمل جميع ما شرع الله
أمراً ونهياً في حقِّ النساء الزوجات وغيرهنَّ الصغار والكبار،
ثم خصَّ بعد التعميم الوصيةَ بالضِّعاف من اليتامى والولدان
اهتماماً بهم وزجراً عن التفريط في حقوقهم،
فقال:
{وما يُتلى عليكم في الكتاب في يتامى النساء}؛ أي: ويُفتيكم أيضاً بما يتلى عليكم
في الكتاب في شأن اليتامى من النساء،
{اللاَّتي لا تؤتونهنَّ ما كُتِبَ لهنَّ}: وهذا إخبار عن الحالة الموجودة الواقعة في ذلك الوقت؛ فإنَّ
اليتيمة إذا كانت تحت ولاية الرجل؛ بَخَسَها حقَّها، وظلمها
إمَّا بأكل مالها الذي لها، أو بعضِهِ، أو مَنْعِها من التزوُّج؛
لينتفع بمالها خوفاً من استخراجه من يدِهِ إن زوَّجها، أو يأخذَ
من صهرها الذي تتزوَّج به بشرطٍ أو غيره، هذا إذا كان راغباً
عنها، أو يرغب فيها وهي ذات جمال ومال ولا يُقْسِطُ في مهرها، بل
يعطيها دون ما تستحقُّ؛ فكلُّ هذا ظلمٌ يدخل تحت هذا
النصِّ، ولهذا قال:
{وترغبون أن تنكِحوهنَّ}؛
أي:
ترغبون عن نكاحهنَّ أو في نكاحهنَّ كما ذكرنا تمثيلَه.
{والمستضعفينَ من الوِلدانِ}؛
أي:
ويُفتيكم في المستضعفين من الولدان الصغارِ أن تُعطوهم حقَّهم من
الميراث وغيرِهِ، وأن لا تستولوا على أموالهم على وجه الظُّلم
والاستبداد،
{وأن تقوموا لليتامى بالقِسْط}؛ أي: بالعدل التامِّ، وهذا يشمَلُ
القيامَ عليهم بإلزامِهم أمرَ الله وما أوجبه على عبادِهِ،
فيكونُ الأولياءُ مكلَّفين بذلك يلزمونهم بما أوجبه الله، ويشملُ
القيام عليهم في مصالحهم الدنيويَّة بتنمية أموالهم وطلبِ
الأحظِّ لهم فيها وأن لا يقربوها إلا بالتي هي أحسن، وكذلك لا
يُحابون فيهم صديقاً ولا غيره في تزوُّج وغيره على وجه الهضم
لحقوقهم، وهذا من رحمته تعالى بعبادِهِ؛ حيث حثَّ غاية الحثِّ
على القيام بمصالح مَن لا يقومُ بمصلحةِ نفسه لضعفِهِ وفقد أبيه.
ثم حثَّ على الإحسان عموماً، فقال:
{وما تفعلوا من خيرٍ}: لليتامى
ولغيرهم، سواء كان الخير متعدياً أو لازماً،
{فإنَّ الله كان به عليماً}؛
أي:
قد أحاط علمُهُ بعمل العاملين للخير، قلَّةً وكثرةً، حسناً
وضدّه، فيجازي كلًّا بحسب عمله.
(127) Al-Istifta` adalah permintaan
fatwa dari seorang penanya kepada seorang alim untuk menjelaskan
suatu hukum syariat dalam hal yang ditanyakan tersebut, Allah
mengabarkan tentang kaum Mukminin yang meminta fatwa dari
Rasulullah ﷺ tentang hukum wanita yang berkaitan dengan mereka,
namun Allah sendiri yang mengambil alih untuk menjawab
pertanyaan mereka tersebut, seraya berfirman, ﴾ قُلِ ٱللَّهُ
يُفۡتِيكُمۡ فِيهِنَّ
﴿ "Katakanlah, 'Allah memberi fatwa kepadamu tentang
mereka'," maka kerjakanlah pada seluruh aspek kehidupan wanita
dengan apa yang telah Allah tetapkan buat kalian dari hukum
tersebut berupa pemenuhan hak-hak mereka dan tidak menzhalimi
mereka secara umum maupun khusus, hal ini adalah suatu
perintah yang bersifat umum yang mencakup seluruh hal yang
disyariatkan oleh Allah melalui perin-tah maupun larangan pada
hak-hak wanita sebagai istri maupun tidak, baik kecil maupun
besar, kemudian setelah mengumumkan hal itu, Allah
mengkhususkan wasiat terhadap orang-orang yang lemah dari
anak-anak yatim sebagai bentuk perhatian kepada mereka dan
ancaman agar jangan sampai lalai dalam memenuhi hak-hak
mereka, Allah berfirman, ﴾
وَمَا يُتۡلَىٰ عَلَيۡكُمۡ فِي ٱلۡكِتَٰبِ فِي يَتَٰمَى
ٱلنِّسَآءِ
﴿ "Dan apa yang dibacakan kepadamu dalam al-Qur`an
(juga memfatwa-kan) tentang para
wanita yatim" maksudnya, Allah memberi fatwa juga dengan apa
yang dibacakan kepada kalian dalam kitab tentang wanita-wanita
yang yatim, ﴾
ٱلَّٰتِي لَا تُؤۡتُونَهُنَّ مَا كُتِبَ لَهُنَّ
﴿ "yang tidak kamu berikan kepada mereka apa yang ditetapkan
untuk mereka," hal ini adalah sebuah kabar tentang kondisi
riil yang terjadi pada saat itu, sesung-guhnya seorang wanita
yatim bila berada dalam kekuasaan seorang laki-laki, ia
merugikan hak-hak yatim tersebut dan menzhaliminya dengan
memakan harta miliknya atau sebagiannya, atau melarang-nya
menikah agar ia dapat memanfaatkan hartanya karena kha-watir
hartanya itu akan diambil darinya bila ia menikahkan wanita
yatim tersebut, atau ia mengambil dari suami yang dinikahi
oleh wanita yatim itu suatu syarat atau hal lainnya, yang
demikian itu bila ia tidak menyukainya, atau ia menyukainya
(kemudian me-nikahinya) karena ia
seorang wanita yang cantik dan berharta namun ia tidak adil
dalam memberi mahar kepadanya, akan tetapi ia memberikan mahar
kurang dari yang seharusnya, semua kondisi itu adalah
kezhaliman yang termasuk dalam ayat ini, karena itulah Allah
berfirman, ﴾
وَتَرۡغَبُونَ أَن تَنكِحُوهُنَّ
﴿ "Sedang kamu ingin mengawini mereka" maksudnya, kalian
tidak suka menikahi mereka atau kalian ingin menikahi mereka
sebagaimana yang telah kami sebutkan dalam contoh. ﴾
وَٱلۡمُسۡتَضۡعَفِينَ مِنَ ٱلۡوِلۡدَٰنِ
﴿ "Dan orang-orang yang lemah berupa anak-anak," maksudnya,
Allah juga memberi fatwa kepada kalian agar mengurusi
orang-orang yang lemah berupa anak-anak yang masih belia agar
kalian memberikan hak-hak mereka kepada me-reka berupa harta
warisan ataupun lainnya, dan janganlah kalian menguasai harta
mereka dalam bentuk kezhaliman dan kesewe-nang-wenangan,
﴾
وَأَن تَقُومُواْ لِلۡيَتَٰمَىٰ بِٱلۡقِسۡطِۚ
﴿ "dan agar kalian mengurus anak-anak yatim dengan adil,"
yaitu dengan keadilan yang penuh, termasuk mengurus mereka
dengan mengharuskan mereka untuk melaksanakan perintah Allah
dan apa yang diwajibkan atas hamba-hambaNya. Dengan demikian,
para wali bertanggung jawab akan hal tersebut dengan
mewajibkan mereka melaksanakan apa-apa yang diwajibkan oleh
Allah, termasuk juga dalam hal ini adalah mengurus mereka
dalam rangka kemaslahatan dunia mereka de-ngan cara
menginvestasikan harta mereka dan mengambil bagian keuntungan
darinya untuk mereka, dan agar para wali itu tidak
mengambilnya kecuali dengan yang patut, demikian juga para
wali tidak boleh melakukan pendekatan kepada teman-teman
mereka atau selainnya agar mau menikah atau selainnya dengan
maksud untuk menghabiskan hak-hak mereka, dan semua ini
merupakan rahmat Allah سبحانه وتعالى atas hamba-hambaNya, di
mana Allah telah me-nganjurkan dengan sangat agar berusaha
mencarikan kemaslahatan bagi orang yang tidak mampu melakukan
itu untuk dirinya sendiri, baik karena kelemahannya atau
karena kematian ayahnya. Kemudian Allah menganjurkan agar
berbuat baik secara umum dalam FirmanNya, ﴾
وَمَا تَفۡعَلُواْ مِنۡ خَيۡرٖ
﴿ "Dan kebajikan apa saja yang kamu kerjakan" untuk anak-anak
yatim atau selain mereka, baik itu berupa kebaikan yang
sekunder ataupun yang primer,﴾
فَإِنَّ ٱللَّهَ كَانَ بِهِۦ عَلِيمٗا ﴿ "maka sesungguhnya Allah
Maha Mengetahuinya," maksudnya, ilmu Allah telah meliputi
perbuatan orang-orang yang berbuat kebaikan, sedikit maupun
banyak, baik ataupun sebaliknya, kemudian Allah akan membalas
setiap orang sesuai dengan amal perbuatannya.
{وَإِنِ امْرَأَةٌ خَافَتْ مِنْ بَعْلِهَا نُشُوزًا أَوْ
إِعْرَاضًا فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا أَنْ يُصْلِحَا
بَيْنَهُمَا صُلْحًا وَالصُّلْحُ خَيْرٌ وَأُحْضِرَتِ
الْأَنْفُسُ الشُّحَّ وَإِنْ تُحْسِنُوا وَتَتَّقُوا فَإِنَّ
اللَّهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرًا
(128)}
.
"Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak
acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan
perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik
(bagi mereka) walaupun manusia itu
menurut tabiat-nya kikir. Dan jika kamu bergaul dengan istrimu
secara baik dan memelihara dirimu
(dari nusyuz dan sikap tak acuh), maka
se-sungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan."
(An-Nisa`: 128).
#
{128} أي: إذا خافت المرأة نشوزَ
زوجِها؛ أي: ترفُّعه عنها وعدم رغبته
فيها وإعراضه عنها؛ فالأحسن في هذه الحالة أن يُصلحا بينهما
صلحاً؛ بأن تسمح المرأة عن بعض حقوقها اللاَّزمة لزوجِها على
وجهٍ تبقى مع زوجِها إمّا أن ترضى بأقلَّ من الواجب لها من
النفقة أو الكسوة أو المسكن أو القَسْم؛ بأن تُسْقِطَ حقَّها منه
أو تَهَبَ يومَها وليلتها لزوجها أو لضرَّتها؛ فإذا اتَّفقا على
هذه الحالة؛ فلا جناح ولا بأس عليهما فيها، لا عليها ولا على
الزوج، فيجوز حينئذٍ لزوجها البقاء معها على هذه الحال، وهي خير
من الفرقة، ولهذا قال:
{والصُّلْحُ خيرٌ}. ويؤخذُ من عموم
هذا اللفظ والمعنى أنَّ الصُّلح بين من بينَهما حقٌّ أو منازعة
في جميع الأشياء أنه خيرٌ من استقصاء كلٍّ منهما على كلِّ حقِّه
لما فيها من الإصلاح وبقاء الألفة والاتِّصاف بصفة السماح، وهو
جائزٌ في جميع الأشياء؛ إلاَّ إذا أحلَّ حراماً أو حرَّم حلالاً؛
فإنه لا يكون صلحاً، وإنَّما يكون جوراً، واعلم أنَّ كلَّ حكم من
الأحكام لا يتمُّ ولا يكملُ إلا بوجود مقتضيه وانتفاء موانعه؛
فمن ذلك هذا الحكم الكبير الذي هو الصلح، فذكر تعالى المقتضي
لذلك، ونبَّه على أنه خيرٌ، والخير كلُّ عاقل يطلُبه ويرغبُ فيه؛
فإنْ كان مع ذلك قد أمر الله به وحثَّ عليه؛ ازداد المؤمن طلباً
له ورغبةً فيه، وذكر المانع بقوله:
{وأحضِرَتِ الأنفس الشُّحَّ}؛
أي:
جُبلت النفوس على الشحِّ، وهو عدم الرغبة في بذل ما على الإنسان،
والحرص على الحق الذي له؛ فالنفوس مجبولة على ذلك طبعاً؛
أي:
فينبغي لكم أن تحرصوا على قلع هذا الخُلُق الدنيء من نفوسكم،
وتستبدلوا به ضدَّه، وهو السماحة، وهو بذل الحقِّ الذي عليك،
والاقتناعُ ببعض الحقِّ الذي لك؛ فمتى وُفِّق الإنسان لهذا الخلق
الحسن؛ سهل حينئذٍ عليه الصلحُ بينه وبين خصمه ومعامله، وتسهَّلت
الطريق للوصول إلى المطلوب؛ بخلاف من لم يجتهدْ في إزالة
الشُّحِّ من نفسه؛ فإنه يعسر عليه الصلح والموافقة؛ لأنه لا
يرضيه إلاَّ جميع مَا لَهُ، ولا يرضى أن يؤدِّي ما عليه؛ فإن كان
خصمُهُ مثله، اشتدَّ الأمر. ثم قال:
{وإن تحسنوا وتتَّقوا}؛
أي:
تحسنوا في عبادة الخالق؛ بأن يعبدَ العبدُ ربَّه كأنه يراه؛ فإن
لم يكن يراه؛ فإنَّه يراه، وتحسِنوا إلى المخلوقين بجميع طرق
الإحسان من نفع بمال أو علم أو جاهٍ أو غير ذلك، وتتَّقوا الله
بفعل جميع المأمورات وترك جميع المحظورات ، أو تحسِنوا بفعل
المأمور وتتَّقوا بترك المحظور؛
{فإنَّ الله كان بما تعملون خبيراً}: قد أحاطَ به علماً وخبراً بظاهرِهِ وباطنِهِ فيحفظه لكم
ويجازيكم عليه أتمَّ الجزاء.
(128) Maksudnya, apabila wanita khawatir
akan kedurha-kaan suaminya, yaitu bersikap congkak padanya,
tidak suka kepadanya, dan tidak acuh padanya, maka dalam kondisi
seperti ini sebaiknya diadakan perbaikan di antara mereka
berdua, dengan cara menggugurkan beberapa haknya yang wajib atas
suaminya agar ia tetap bersama suaminya tersebut, yaitu rela
dengan yang lebih sedikit dari yang seharusnya berupa nafkah
atau pakaian atau tempat tinggal atau pembagian hari dengan cara
menggugur-kan haknya atau memberikan jatah hari atau malamnya
kepada suaminya atau kepada madunya, lalu bila mereka berdua
telah se-pakat dengan kondisi seperti itu, maka tidaklah berdosa
dan tidak salah mereka berdua melakukan itu, tidak mengapa bagi
suami dan tidak mengapa pula bagi istri, karena itu suaminya
boleh tetap bersama istrinya tersebut dalam kondisi seperti itu,
dan hal itu lebih baik daripada bercerai, karena itulah Allah
berfirman, ﴾ وَٱلصُّلۡحُ خَيۡرٞۗ
﴿ "Dan perdamaian itu lebih baik
(bagi mereka)." Dapat diambil dari
keumuman lafazh dan makna ayat ini bahwa perdamaian antara dua
orang yang masing-masing mem-punyai hak atau perselisihan
dalam perkara apa pun, adalah lebih baik daripada
masing-masing dari mereka berdua itu saling ngotot dalam
mempertahankan hak-haknya, karena dengan berdamai akan menjadi
tenang dan tetap berada dalam nuansa saling cinta serta
sama-sama memakai predikat sifat toleransi dan saling
me-maafkan, hal ini boleh dalam segala perkara, kecuali dalam
perkara menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal,
karena sesungguhnya hal itu bukanlah merupakan suatu
perdamaian, akan tetapi menjadi sebuah tindakan melampaui
batas, dan keta-huilah bahwa setiap hukum dari hukum-hukum
yang ada tidaklah akan sempurna dan terpenuhi kecuali dengan
adanya tuntutan-tuntutannya dan tidak adanya
penghalang-penghalangnya, maka di antara hukum tersebut adalah
ketetapan yang besar ini, yaitu perdamaian, Allah سبحانه
وتعالى menyebutkan tuntutan akan hal tersebut dan Allah
mengingatkan bahwa hal itu adalah baik, dan kebaikan itu akan
dicari dan disukai oleh setiap orang yang berakal, di samping
itu Allah juga memerintahkan dan sangat menganjurkan-nya,
hingga seorang Mukmin akan menambah usahanya dalam mencarinya.
Dan Allah juga menyebutkan penghalangnya dalam Firman-Nya,
﴾
وَأُحۡضِرَتِ ٱلۡأَنفُسُ ٱلشُّحَّۚ
﴿ "Walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir," maksudnya,
jiwa manusia itu telah diciptakan memiliki watak kikir, yaitu
tidak suka mengerahkan apa yang menjadi hak manusia lain,
namun sangat berusaha memenuhi hak dirinya, dan jiwa itu telah
diarahkan kepada hal seperti itu secara penciptaan-nya, dan
seharusnya kalian berusaha untuk menghilangkan akhlak yang
hina ini dari jiwa-jiwa kalian, dan menggantikannya dengan
sifat yang bertolak belakang dengannya, yaitu berlapang dada,
artinya mengerahkan hak yang menjadi kewajiban atas dirinya
dan bersikap puas dengan beberapa hak untuk dirinya, dan
ketika seorang manusia dapat dibimbing kepada akhlak yang baik
ini, niscaya di saat itu mudahlah baginya perdamaian antara
dia dengan lawan-lawannya, dan akan mudahlah jalan keluar yang
menyam-paikan mereka kepada yang dikehendaki bersama, berbeda
dengan orang yang tidak berusaha menghilangkan sifat kikir
dari jiwanya, maka pastilah akan terasa susah baginya
perdamaian dan persetu-juan tersebut, karena ia tidak akan
rela kecuali menerima semua haknya dan ia tidak rela untuk
menunaikan semua kewajibannya, apalagi bila musuhnya itu sama
seperti dia, maka tambah ruwetlah perkaranya. Kemudian Allah
berfirman, ﴾
وَإِن تُحۡسِنُواْ وَتَتَّقُواْ
﴿ "Dan jika kamu bergaul dengan istrimu secara baik dan
memelihara dirimu
(dari nusyuz dan sikap tak acuh)"
yaitu kalian berbuat baik dalam beribadah kepada Allah dengan
cara seorang hamba menyembah Rabbnya seolah-olah ia
melihatNya, dan bila ia tidak melihatNya sesung-guhnya Rabbnya
itu melihatnya, dan berbuat baik kepada makhluk dengan
berbagai jalan kebaikan berupa manfaat harta, ilmu, jabatan,
atau selainnya, dan kalian bertakwa kepada Allah dengan
me-ngerjakan seluruh perkara yang diperintahkan dan
meninggalkan seluruh perkara yang dilarang, atau kalian
berbuat baik dengan mengerjakan hal-hal yang diperintahkan dan
kalian bertakwa de-ngan meninggalkan hal-hal yang dilarang,
﴾
فَإِنَّ ٱللَّهَ كَانَ بِمَا تَعۡمَلُونَ خَبِيرٗا ﴿ "maka
sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan,"
sesungguhnya pengetahuan dan ilmuNya meliputi segala hal, baik
lahir maupun batin lalu Allah menjaganya untuk kalian dan
membalasnya dengan balasan yang sempurna.
{وَلَنْ تَسْتَطِيعُوا أَنْ تَعْدِلُوا بَيْنَ النِّسَاءِ
وَلَوْ حَرَصْتُمْ فَلَا تَمِيلُوا كُلَّ الْمَيْلِ
فَتَذَرُوهَا كَالْمُعَلَّقَةِ وَإِنْ تُصْلِحُوا وَتَتَّقُوا
فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ غَفُورًا رَحِيمًا
(129)}
.
"Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara
istri-istri
(mu), walaupun kamu sangat
ingin berbuat demi-kian, karena itu janganlah kamu terlalu
cenderung
(kepada yang kamu cintai),
sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu
mengadakan perbaikan dan memelihara diri
(dari kecurangan), maka sesungguhnya
Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."
(An-Nisa`: 129).
#
{129} يخبر تعالى أن الأزواج لا
يستطيعون وليس في قُدرتهم العدل التامُّ بين النساء، وذلك لأن
العدل يستلزم وجود المحبَّة على السَّواء، والداعي على السواء،
والميل في القلب إليهنَّ على السواء، ثم العمل بمقتضى ذلك، وهذا
متعذِّر غير ممكن؛
فلذلك عفا الله عمّا لا يستطاع ونهى عما هو ممكنٌ بقوله:
{فلا تميلوا كلَّ الميل فتذروها كالمعلَّقة}؛ أي: لا تميلوا ميلاً كثيراً بحيث لا
تؤدُّون حقوقَهن الواجبة، بل افعلوا ما هو باستطاعتكم من العدل؛
فالنفقة والكسوة والقَسْم ونحوها عليكم أن تعدِلوا بينهنَّ فيها؛
بخلاف الحبِّ والوطء ونحو ذلك؛ فإنَّ الزوجة إذا ترك زوجها ما
يجب لها؛ صارت كالمعلقة التي لا زوج لها فتستريح وتستعدُّ
للتزوج، ولا ذات زوج يقوم بحقوقها.
{وإن تُصْلِحوا} ما بينكم وبين
زوجاتِكم بإجبار أنفسكم على فعل ما لا تهواه النفس احتساباً
وقياماً بحقِّ الزوجة، وتصلحوا أيضاً فيما بينكم وبين الناس،
وتصلحوا أيضاً بين الناس فيما تنازعوا فيه، وهذا يستلزم الحثَّ
على كلِّ طريق يوصل إلى الصُّلح مطلقاً كما تقدم.
{وتَتَّقوا}: الله بفعل المأمور
وترك المحظور والصَّبر على المقدور،
{فإنَّ الله كان غفوراً رحيماً}:
يَغْفِرُ ما صَدَرَ منكم من الذُّنوب والتقصير في الحقِّ الواجب،
ويرحمكم كما عطفتم على أزواجكم ورحمتموهنَّ.
(129) Allah سبحانه وتعالى mengabarkan
bahwa para suami tidak akan mampu dan bukan di atas kuasa mereka
untuk memberikan keadilan yang sempurna di antara istri-istri
mereka, karena adil mengharuskan kecintaan secara merata, naluri
yang sama rata, kecenderungan hati kepada mereka yang sama rata,
kemudian melakukan hal yang menjadi tuntutan itu semua, namun
hal se-perti ini adalah mustahil dan tidak mungkin terjadi,
karena itulah Allah mengampuni apa yang tidak mampu mereka
lakukan dan melarang dari perkara yang mungkin dilakukan dalam
FirmanNya, ﴾ فَلَا تَمِيلُواْ كُلَّ ٱلۡمَيۡلِ فَتَذَرُوهَا
كَٱلۡمُعَلَّقَةِۚ
﴿ "Janganlah kamu terlalu cenderung
(kepada yang kamu cintai), sehingga
kamu biarkan yang lain terkatung-katung" yaitu janganlah
kalian condong dengan kecenderungan yang berlebihan di mana
kalian tidak memenuhi hak-hak yang wajib untuk mereka, akan
tetapi lakukanlah menurut kesanggupan kalian dari keadilan
itu, maka nafkah, pakaian, pembagian hari, dan semacamnya
wajib atas kalian berlaku adil dalam perkara tersebut di
antara mereka, berbeda dengan perkara cinta dan berjimak atau
semacamnya, karena sesungguhnya seorang istri, bila suaminya
meninggalkan apa yang seharusnya ia lakukan untuk istrinya,
maka istrinya itu akan menjadi terkatung-katung seperti wanita
yang tidak bersuami yang dapat bersantai dan berhias diri agar
dapat menikah lagi, seperti tidak memiliki suami yang
menunaikan hak-haknya. ﴾
وَإِن تُصۡلِحُواْ
﴿ "Dan jika kamu mengadakan perbaikan" apa yang terjadi
antara kalian dengan istri-istri kalian dengan memaksa diri
kalian untuk melakukan apa yang tidak diinginkan hati kalian
dengan maksud mendapatkan pahala dan menunaikan hak-hak istri,
dan kalian juga mengadakan perbaikan antara kalian dengan
masyarakat, dan juga perbaikan di antara masyarakat dalam
hal-hal yang mereka perselisihkan, hal ini mengharuskan adanya
an-juran untuk menapaki jalan apa pun yang menyampaikan kepada
perbaikan secara mutlak seperti yang terdahulu, ﴾
وَتَتَّقُواْ
﴿ "dan memelihara diri
(dari kecurangan)," maksudnya, takut
kepada Allah dengan melaksanakan perintahNya, menjauhi
laranganNya dan bersabar atas takdirNya, ﴾
فَإِنَّ ٱللَّهَ كَانَ غَفُورٗا رَّحِيمٗا ﴿ "maka sesungguhnya
Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang," Dia mengampuni apa
yang kalian lakukan berupa dosa-dosa dan kelalaian pada hak yang
wajib atas kalian, dan Dia merahmati kalian seperti kalian
menyayangi istri-istri kalian dan merahmati mereka.
{وَإِنْ يَتَفَرَّقَا يُغْنِ اللَّهُ كُلًّا مِنْ سَعَتِهِ
وَكَانَ اللَّهُ وَاسِعًا حَكِيمًا
(130)}
.
"Jika keduanya bercerai, maka Allah akan memberi kecukup-an
kepada masing-masing dari limpahan karuniaNya. Dan Allah
Mahaluas
(karuniaNya) lagi
Mahabijaksana."
(An-Nisa`: 130).
#
{130} هذه الحالة الثالثةُ بين
الزوجين إذا تعذَّر الاتِّفاق؛ فإنه لا بأس بالفراق،
فقال:
{وإن يتفرَّقا}؛
أي:
بطلاق أو فسخ أو خلع أو غير ذلك،
{يُغْنِ الله كلاًّ}: من الزوجين
{من سَعَتِهِ}؛
أي:
من فضله وإحسانه الواسع الشامل، فيغني الزوج بزوجة خيرٍ له منها،
ويغنيها من فضله، وإن انقطع نصيبها من زوجها؛ فإن رزقها على
المتكفِّل بأرزاق جميع الخَلْق، القائم بمصالحهم، ولعلَّ الله
يرزُقها زوجاً خيراً منه.
{وكان الله واسعاً}؛
أي:
كثير الفضل واسع الرحمة، وصلتْ رحمتُه وإحسانُه إلى حيث وصل إليه
علمُه، ولكنَّه مع ذلك
{حكيماً}؛
أي:
يعطي بحكمته ويمنع لحكمتِهِ؛ فإذا اقتضتْ حكمتُهُ منع بعض
عبادِهِ من إحسانه بسبب من العبد لا يستحقُّ معه الإحسان؛
حَرَمَهُ عدلاً وحكمة.
(130) Ini adalah kondisi yang ketiga
antara suami istri apa-bila tidak mungkin terjalin kesepakatan,
maka dibolehkan untuk bercerai. Allah berfirman, ﴾ وَإِن
يَتَفَرَّقَا
﴿ "Jika keduanya bercerai," yaitu dengan talak atau
pembatalan (faskh) atau khulu' atau
semacamnya, ﴾
يُغۡنِ ٱللَّهُ كُلّٗا
﴿ "maka Allah akan memberi kecukupan kepada masing-masing"
kedua suami istri, ﴾
مِّن سَعَتِهِۦۚ
﴿ "dari limpahan karuniaNya," yaitu, dari karuniaNya dan
kebaikanNya yang luas lagi menyelu-ruh. Allah akan mencukupkan
bagi suami dengan istri lain yang lebih baik dari istri
sebelumnya, dan mencukupkan istri dari karu-niaNya walaupun
telah terputus haknya dari suaminya. Karena sesungguhnya rizki
sang istri ada pada Allah yang menjamin rizki-rizki seluruh
makhluk, Yang mengurusi kemaslahatan mereka, dan bisa saja
Allah akan memberikan rizki kepadanya berupa suami yang lebih
baik dari suami sebelumnya. ﴾
وَكَانَ ٱللَّهُ وَٰسِعًا
﴿ "Dan Allah Mahaluas (karuniaNya),"
karuniaNya banyak, rahmatNya luas, di mana rahmat dan
karuniaNya sampai kepada titik di mana ilmu-Nya sampai
kepadanya, akan tetapi Allah di samping itu, ﴾
حَكِيمٗا ﴿ "Mahabijaksana," yaitu, Allah memberikan dengan
kebijaksanaan-Nya dan menahan karena kebijaksanaanNya, dan bila
hikmahNya telah ditentukan bahwa beberapa hambaNya tidak
mendapatkan karuniaNya disebabkan karena hamba itu sendiri, maka
hamba-hamba itu tidak berhak mendapatkan karuniaNya, Allah
mena-hannya karena keadilan dan kebijaksanaan.
{وَلِلَّهِ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ
وَلَقَدْ وَصَّيْنَا الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ
قَبْلِكُمْ وَإِيَّاكُمْ أَنِ اتَّقُوا اللَّهَ وَإِنْ
تَكْفُرُوا فَإِنَّ لِلَّهِ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي
الْأَرْضِ وَكَانَ اللَّهُ غَنِيًّا حَمِيدًا
(131) وَلِلَّهِ مَا فِي
السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ وَكَفَى بِاللَّهِ وَكِيلًا
(132)}
.
"Dan kepunyaan Allah-lah apa yang di langit dan yang di bumi,
dan sungguh Kami telah memerintahkan kepada orang-orang yang
diberi kitab sebelum kamu dan juga kepada kamu; bertakwa-lah
kepada Allah. Tetapi jika kamu kafir, maka
(ketahuilah), sesungguhnya apa yang di
langit dan apa yang di bumi hanyalah kepunyaan Allah, dan Allah
Mahakaya lagi Maha Terpuji. Dan kepunyaan Allah-lah apa yang di
langit dan apa yang di bumi. Cukuplah Allah sebagai Pemelihara."
(An-Nisa`: 131-132).
#
{131 ـ 132} يخبر تعالى عن عموم
ملكه العظيم الواسع المستلزم تدبيره بجميع أنواع التَّدبير
وتصرُّفه بأنواع التصريف قدراً وشرعاً؛ فتصرُّفه الشرعي أن وصَّى
الأوَّلين والآخرين أهل الكتب السابقة واللاَّحقة بالتَّقوى
المتضمِّنة للأمر والنَّهي وتشريع الأحكام والمجازاة لمن قام
بهذه الوصيَّة بالثواب والمعاقبة لمن أهملها وضيَّعها بأليم
العذاب، ولهذا قال:
{وإن تَكْفُروا}: بأن تتركوا تقوى
الله وتشركوا بالله ما لم ينزِّل به عليكم سلطاناً؛ فإنكم لا
تضرُّون بذلك إلا أنفسكم، ولا تضرُّون الله شيئاً، ولا تنقصون
ملكَه، وله عبيدٌ خير منكم وأعظم وأكثر، مطيعون له خاضعون
لأمره، ولهذا رتَّب على ذلك قوله:
{وإن تَكْفُروا فإنَّ لله ما في السموات وما في الأرض وكان
الله غنيًّا حميداً}: له الجود الكامل والإحسان الشامل الصادر من خزائن رحمته التي
لا يَنْقُصُها الإنفاق ولا يَغيضها نفقةٌ، سحاء الليل والنهار،
لو اجتمع أهل السماوات وأهل الأرض أولهم وآخرهم، فسأل كلُّ واحد
منهم ما بلغت أمانيه، ما نَقَصَ من ملكه شيئاً، ذلك بأنه جوادٌ
واجدٌ ماجدٌ، عطاؤه كلامٌ، وعذابه كلامٌ، إنما أمره لشيء إذا
أراد أن يقولَ له كُن فيكون، ومن تمام غِناه أنَّه كامل الأوصاف؛
إذ لو كان فيه نقصٌ بوجه من الوجوه؛ لكان فيه نوعُ افتقارٍ إلى
ذلك الكمال، بل له كلُّ صفة كمال، ومن تلك الصفة كمالها. ومن
تمام غِناه أنَّه لم يتَّخذ صاحبةً ولا ولداً ولا شريكاً في ملكه
ولا ظهيراً ولا معاوناً له على شيء من تدابير ملكِهِ، ومن كمال
غناه افتقار العالم العلويِّ والسفليِّ في جميع أحوالهم وشؤونهم
إليه وسؤالهم إيّاه جميع حوائجهم الدقيقة والجليلة، فقام تعالى
بتلك المطالب والأسئلة، وأغناهم وأقناهم ومنَّ عليهم بلطفه
وهداهم. وأما الحميدُ؛ فهو من أسماء الله تعالى الجليلة، الدال
على أنه هو المستحقُّ لكلِّ حمدٍ ومحبةٍ وثناء وإكرام، وذلك لما
اتَّصف به من صفات الحمد التي هي صفة الجمال والجلال، ولما أنعم
به على خلقه من النعم الجزال؛ فهو المحمود على كلِّ حال.
وما أحسن اقتران هذين الاسمين الكريمين:
الغنيّ الحميد؛ فإنه غنيٌّ محمودٌ؛ فله كمالٌ من غناه وكمالٌ من
حمده وكمالٌ من اقتران أحدهما بالآخر، ثم كرَّر إحاطة ملكه لما
في السماوات و [ما في] الأرض، وأنَّه
على كلِّ شيء وكيل؛ أي: عالم قائم
بتدبير الأشياء على وجه الحكمة؛ فإنَّ ذلك من تمام الوكالة؛
فإنَّ الوكالة تستلزم العلم بما هو وكيلٌ عليه، والقوَّة والقدرة
على تنفيذه وتدبيره، وكون ذلك التدبير على وجه الحكمة والمصلحة؛
فما نقص من ذلك؛ فهو لنقص الوكيل، والله تعالى منزَّه عن كلِّ
نقص.
(131-132) Allah سبحانه وتعالى
memberitakan tentang luasnya kerajaan-Nya yang agung yang
menuntut untuk dikelola dengan berbagai bentuk pengelolaan, dan
diurusi dengan berbagai macam aturan, baik secara takdir maupun
syariat. Pengelolaan Allah menurut syariat yaitu Dia mewasiatkan
kepada orang-orang terdahulu dan orang-orang terakhir, Ahli
Kitab terdahulu dan yang akan datang untuk bertakwa, yang
mengandung perintah, larangan, dan penga-daan hukum-hukum
syariat, dan balasan orang yang menegakkan wasiat tersebut
dengan pahala dan hukuman bagi orang yang melalaikannya dan
menyia-nyiakannya dengan pedihnya siksa neraka, karena itulah
Allah berfirman, ﴾ وَإِن تَكۡفُرُواْ
﴿ "Tetapi jika kamu kafir" dengan meninggalkan takwa kepada
Allah dan kalian syirik kepada Allah di mana Allah tidaklah
menurunkan suatu keterangan pun akan hal tersebut,
sesungguhnya perbuatan kalian itu tidaklah memudharatkan
kecuali bagi diri kalian sendiri, dan tidaklah kalian
memudharatkan Allah sedikit pun, dan tidak pula kalian
mengu-rangi kerajaanNya, Dia memiliki hamba-hamba yang lain
dan lebih baik dari kalian, lebih agung dan lebih banyak, yang
tunduk dan taat kepadaNya serta patuh terhadap perintahNya,
karena itulah Allah menyiapkan balasan akan hal itu dalam
FirmanNya, ﴾
وَإِن تَكۡفُرُواْ فَإِنَّ لِلَّهِ مَا فِي ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَمَا
فِي ٱلۡأَرۡضِۚ وَكَانَ ٱللَّهُ غَنِيًّا حَمِيدٗا ﴿ "Tetapi jika
kamu kafir, maka
(ketahuilah),
sesungguhnya apa yang di langit dan apa yang di bumi hanyalah
kepunyaan Allah, dan Allah Mahakaya lagi Maha Terpuji," Dia
memiliki kedermawanan yang sempurna, karunia yang menyeluruh
yang bersumber dari perbendaharaan rahmat-Nya yang tidak akan
berkurang dengan infak dan tidak pula berkurang dengan nafkah.
KaruniaNya mengalir terus siang dan malam, dan sekiranya
penduduk langit dan penduduk bumi dari orang-orang terdahulu dan
orang-orang yang akan datang ber-kumpul lalu setiap orang dari
mereka memohon seluruh hal yang diangan-angankan olehnya,
(maka hal itu) tidaklah akan mengu-rangi
sedikit pun dari kerajaanNya, yang demikian itu karena Allah
Mahamulia, Maha Pemberi lagi Mahaagung, pemberianNya adalah
FirmanNya, siksaNya adalah FirmanNya, sesungguhnya perintahNya
apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berfirman kepadanya,
"Jadilah" maka jadilah ia, dan merupakan kesempurna-an
KekayaanNya bahwa Dia memiliki sifat yang sempurna, karena bila
ada kekurangan sedikit pun dalam sisi apa pun juga, maka masih
ada semacam kebutuhan kepada kesempurnaan tersebut, akan tetapi
Allah memiliki seluruh sifat kesempurnaan, dan di antara
sifat-sifat itu adalah kesempurnaan sifat-sifatNya. Dan di
antara kesempurnaan kekayaanNya bahwa Dia tidak-lah memiliki
istri, tidak pula anak, tidak pula sekutu dalam kera-jaanNya,
tidak pula penolong, tidak pula pembela untukNya pada perkara
apa pun dalam pengelolaan kerajaanNya, dan merupakan
kesempurnaan kekayaanNya juga adalah kebutuhan seluruh alam
langit maupun bumi dalam segala kondisi dan keadaan mereka
kepadaNya, permohonan mereka kepadaNya akan seluruh kebu-tuhan
mereka yang tersembunyi maupun yang nampak, lalu Allah
menunaikan seluruh kebutuhan-kebutuhan mereka dan
permo-honan-permohonan tersebut, Allah mencukupkan mereka dan
memberikan kepuasan buat mereka serta memberikan karuniaNya atas
mereka dan memberi petunjuk kepada mereka dengan kasih
sayangNya. Sedangkan Yang Maha Terpuji, merupakan salah satu
nama Allah di antara nama-namaNya yang mulia, yang menunjukkan
bahwa Dia berhak atas segala pujian, kecintaan, sanjungan, dan
penghormatan, yang demikian itu adalah saat Allah menyifati
DiriNya dengan sifat terpuji yang merupakan sifat yang indah
lagi mulia, dan saat Allah سبحانه وتعالى memberi karuniaNya atas
makhlukNya berupa kenikmatan-kenikmatan yang banyak, maka Dia
adalah Dzat yang
(berhak) dipuji dalam
segala kondisi. Dan betapa sesuainya kedua nama yang mulia ini
disatukan, Yang Mahakaya lagi Maha Terpuji, sesungguhnya Allah
Mahakaya lagi Maha Terpuji, Allah memiliki kesempurnaan dalam
kekayaan-Nya, kesempurnaan dalam PujianNya dan kesempurnaan
dalam kondisi bersatunya setiap dari kedua nama Allah tersebut
dengan yang lainnya, kemudian Allah mengulangi penyebutan
keluasan kerajaanNya pada apa yang ada di langit dan apa yang
ada di bumi, dan bahwa Allah adalah Maha Pemelihara atas segala
sesuatu, artinya Maha Mengetahui lagi Mengelola segala sesuatu
menurut hikmahNya, karena sesungguhnya hal itu menjadi
kesempurnaan pemeliharaan, dan pemeliharaan itu menuntut adanya
ilmu ter-hadap perkara yang dipelihara, kekuatan dan kemampuan
atas pelaksanaan dan pengelolaannya, dan pengelolaan tersebut
me-nurut hikmahNya dan menurut kemaslahatan, lalu apa pun yang
kurang dari hal itu, maka berpulang kepada kekurangan
pemeli-hara, sedang Allah سبحانه وتعالى terlepas dari segala
kekurangan.
{إِنْ يَشَأْ يُذْهِبْكُمْ أَيُّهَا النَّاسُ وَيَأْتِ
بِآخَرِينَ وَكَانَ اللَّهُ عَلَى ذَلِكَ قَدِيرًا
(133) مَنْ كَانَ يُرِيدُ ثَوَابَ
الدُّنْيَا فَعِنْدَ اللَّهِ ثَوَابُ الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ
وَكَانَ اللَّهُ سَمِيعًا بَصِيرًا
(134)}
.
"Jika Allah menghendaki, niscaya Dia musnahkan kamu wahai
manusia, dan Dia datangkan umat yang lain
(sebagai penggantimu). Dan Allah
Mahakuasa berbuat demikian. Barang-siapa yang menghendaki pahala
di dunia saja
(maka ia merugi), karena
di sisi Allah ada pahala dunia dan akhirat. Dan Allah Maha
Mendengar lagi Maha Melihat."
(An-Nisa`: 133-134).
#
{133} أي: هو الغنيُّ الحميد الذي
له القدرة الكاملة والمشيئة النافذة فيكم.
{إن يشأ يُذْهِبْكم أيُّها الناس ويأت بآخرين}: غيرِكم هم أطوع لله منكم وخيرٌ منكم. وفي هذا تهديدٌ للناس
على إقامتهم على كفرهم وإعراضِهم عن ربِّهم؛ فإنَّ الله لا يعبأ
بهم شيئاً إن لم يطيعوه، ولكنَّه يُمْهِلُ ويملي ولا يُهْمِلُ.
(133) Yaitu Allah Yang Mahakaya lagi
Maha Terpuji, yang memiliki kekuasaan yang sempurna dan kehendak
yang terlaksana pada kalian, ﴾ إِن يَشَأۡ يُذۡهِبۡكُمۡ أَيُّهَا
ٱلنَّاسُ وَيَأۡتِ بِـَٔاخَرِينَۚ ﴿ "jika Allah menghen-daki,
niscaya Dia musnahkan kamu wahai manusia, dan Dia datangkan umat
yang lain
(sebagai penggantimu)," selain
kalian yang lebih taat kepada Allah, dan lebih baik daripada
kalian. Hal ini merupakan ancaman buat manusia terhadap
perbuatan mereka dalam keku-furan dan berpalingnya mereka dari
Rabb mereka, sesungguhnya Allah sedikit pun tidaklah lemah dari
mereka bila mereka tidak me-naatiNya, akan tetapi Allah
menangguhkan mereka dan menunda siksaNya dan tidak melalaikan
mereka.
#
{134} ثم أخبر أنَّ مَن كانت
هِمَّتُه وإرادتُه دنيَّة غير متجاوزة ثواب الدُّنيا، وليس له
إرادةٌ في الآخرة؛ فإنه قد قَصَرَ سعيه ونظره، ومع ذلك؛ فلا
يحصلُ له من ثواب الدُّنيا سوى ما كتب الله له منها؛ فإنه تعالى
هو المالك لكل شيء، الذي عنده ثواب الدُّنيا والآخرة،
فَلْيُطْلَبا منه ويُستعان به عليهما؛ فإنَّه لا يُنال ما عنده
إلاَّ بطاعتِهِ، ولا تُدرك الأمور الدينيَّة والدنيويَّة إلاَّ
بالاستعانة به والافتقار إليه على الدوام، وله الحكمة تعالى في
توفيق من يوفِّقه وخِذلان مَن يخذلُه وفي عطائه ومنعه،
ولهذا قال:
{وكان الله سميعاً بصيراً}.
(134) Kemudian Allah memberitakan bahwa
barangsiapa yang cita-cita dan keinginannya rendah yang tidak
melebihi dari balasan duniawi semata, dan tidak memiliki
keinginan sama sekali kepada akhirat, sesungguhnya ia telah
menyia-nyiakan usaha dan pandangannya, di samping itu tidaklah
ia memperoleh balasan dunia kecuali apa yang telah Allah
tetapkan untuknya, karena Allah سبحانه وتعالى adalah Pemilik
segala sesuatu yang memiliki balasan dunia dan akhirat, maka
agar kedua hal itu diharapkan dariNya سبحانه وتعالى dan
dimohonkan pertolongan kepadaNya akan keduanya, dan sesungguhnya
tidaklah akan diperoleh apa yang ada di sisiNya kecuali dengan
menaatiNya, dan tidaklah akan dipenuhi perkara-perkara dunia
maupun akhirat kecuali dengan memohon perto-longan kepadaNya dan
mengemis kepadaNya secara terus mene-rus. MilikNyalah segala
hikmah dalam membimbing orang yang diberi taufikNya dan dalam
menghinakan orang yang dihinakan dan dalam pemberian dan
laranganNya, karena itulah Allah berfirman, ﴾ وَكَانَ ٱللَّهُ
سَمِيعَۢا بَصِيرٗا ﴿ "Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha
Melihat."
ثم قال تعالى:
{يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ
بِالْقِسْطِ شُهَدَاءَ لِلَّهِ وَلَوْ عَلَى أَنْفُسِكُمْ أَوِ
الْوَالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِينَ إِنْ يَكُنْ غَنِيًّا أَوْ
فَقِيرًا فَاللَّهُ أَوْلَى بِهِمَا فَلَا تَتَّبِعُوا
الْهَوَى أَنْ تَعْدِلُوا وَإِنْ تَلْوُوا أَوْ تُعْرِضُوا
فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرًا
(135)}.
Kemudian Allah تعالى berfirman, "Wahai orang-orang yang beriman,
jadilah kamu orang yang benar-benar menegakkan keadilan, menjadi
saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu
bapak dan kaum kera-batmu. Jika ia kaya ataupun miskin, maka
Allah lebih tahu kemas-lahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti
hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu
memutarbalik-kan
(kata-kata) atau enggan
menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui
segala apa yang kamu kerjakan."
(An-Nisa`: 135).
#
{135} يأمر تعالى عبادَه المؤمنين
أن يكونوا
{قوَّامين بالقسطِ شهداء لله}،
والقوَّام صيغةُ مبالغةٍ؛ أي: كونوا في
كلِّ أحوالكم قائمين بالقسطِ الذي هو العدل في حقوق الله وحقوق
عباده؛ فالقِسْطُ في حقوق الله أن لا يُستعان بنعمه على
معصيتِهِ، بل تُصرف في طاعته، والقِسْط في حقوق الآدميِّين أن
تُؤدِّيَ جميع الحقوق التي عليك كما تَطْلُبُ حقوقك، فتؤدِّي
النفقات الواجبة والدُّيون وتعامل الناس بما تحبُّ أن يعاملوك به
من الأخلاق والمكافأة وغير ذلك. ومن أعظم أنواع القِسْط القِسْط
في المقالات والقائلين؛ فلا يحكم لأحدِ القولين أو أحد
المتنازِعَين لانتسابه أو ميله لأحدهما، بل يَجعل وجهته العدل
بينهما، ومن القسط أداء الشهادة التي عندك على أيِّ وجه كان، حتى
على الأحباب، بل على النفس، ولهذا قال:
{شهداء لله ولو على أنفسكم أو الوالدين والأقربين، إن يكنْ
غنيًّا أو فقيراً فالله أولى بهما}؛ أي: فلا تُراعوا الغنيَّ لغناه ولا
الفقير بزعمكم رحمة له، بل اشهدوا بالحقِّ على مَن كان. والقيام
بالقسط من أعظم الأمور وأدل على دين القائم به وورعِهِ ومقامِهِ
في الإسلام، فيتعيَّن على مَن نصح نفسه وأراد نجاتَها أن يهتمَّ
له غاية الاهتمام، وأن يَجْعَلَهُ نصبَ عينيه ومحلَّ إرادته، وأن
يزيل عن نفسِهِ كلَّ مانع وعائق يَعوقه عن إرادة القِسْط أو
العمل به، وأعظم عائق لذلك اتِّباع الهوى،
ولهذا نبَّه تعالى على إزالة هذا المانع بقوله:
{فلا تتَّبِعوا الهوى أن تعدِلوا}؛ أي: فلا تتَّبعوا شهوات أنفسكم
المعارضة للحقِّ؛ فإنكم إن اتَّبعتموها؛ عدلتُم عن الصواب ولم
توفَّقوا للعدل؛ فإنَّ الهوى إمَّا أن يُعْمِيَ بصيرة صاحبه حتى
يرى الحقَّ باطلاً والباطلَ حقًّا، وإما أن يعرفَ الحقَّ ويتركَه
لأجل هواه؛ فمن سلم من هوى نفسه؛ وفِّق للحق وهُدِيَ إلى الصراط
المستقيم. ولما بيَّن أنَّ الواجب القيام بالقِسط؛ نهى عن ما
يضادُّ ذلك، وهو لَيُّ اللسان عن الحقِّ في الشهادات وغيرها،
وتحريف النُّطق عن الصواب المقصود من كلِّ وجه أو من بعض الوجوه،
ويدخل في ذلك تحريف الشهادة وعدم تكميلها أو تأويلُ الشاهد على
أمرٍ آخر؛ فإنَّ هذا من اللَّيِّ؛ لأنَّه الانحراف عن الحقِّ.
{أو تعرِضوا}؛
أي:
تتركوا القِسْط المَنوط بكم كترك الشاهد لشهادته وترك الحاكم
لحكمه الذي يَجِبُ عليه القيام به.
{فإنَّ الله كان بما تعملون خبيراً}؛ أي: محيط بما فعلتم، يعلم أعمالَكم
خفيَّها وجليَّها، وفي هذا تهديدٌ شديدٌ للذي يلوي أو يعرض، ومن
باب أولى وأحرى الذي يحكم بالباطل أو يشهد بالزُّور؛ لأنه أعظم
جرماً؛ لأن الأوَّلَيْنِ تركا الحقَّ، وهذا ترك الحقَّ، وقام
بالباطل.
(135) Allah سبحانه وتعالى memerintahkan
hamba-hambaNya yang beriman agar mereka menjadi ﴾ قَوَّٰمِينَ
بِٱلۡقِسۡطِ شُهَدَآءَ لِلَّهِ
﴿ "orang yang benar-benar menegakkan keadilan, menjadi saksi
karena Allah," al-Qawwam
(penegak keadilan) adalah sebuah kata
yang menunjukkan makna lebih
(Sighah mubalaghah), artinya jadilah
kalian penegak keadilan dalam segala kondisi terhadap hak-hak
Allah dan hak-hak hamba-hambaNya. Adil terhadap hak-hak Allah
adalah tidak memakai nikmat-nikmatNya untuk bermaksiat
kepadaNya, akan tetapi se-harusnya dipergunakan dalam ketaatan
kepadaNya, sedang adil terhadap hak-hak manusia adalah
menunaikan segala hak-hak yang menjadi tanggung jawabmu
sebagaimana engkau meminta hak-hak dirimu. Maka Anda
(seyogyanya) menunaikan nafkah-nafkah
yang wajib dan hutang-hutang, dan bermuamalah terhadap manusia
dengan akhlak dan tata krama yang Anda sendiri ingin
diperlakukan dengannya, juga dengan penghargaan dan
sebagainya. Di antara bentuk-bentuk keadilan yang paling agung
adalah adil dalam menilai ucapan
(pandangan) dan orang-orang yang
memiliki pandangan tersebut, tidak menetapkan untuk salah satu
perkataan atau salah satu dari dua orang yang berselisih hanya
karena bernisbah kepadanya atau kecondongannya kepada salah
satunya, akan tetapi ia harus berlaku adil di antara keduanya,
dan di antara keadilan itu adalah menunaikan kesaksian yang
ada padamu dalam bentuk apa pun, hingga walaupun atas
orang-orang yang dicintai, bahkan atas diri sendiri, karena
itulah Allah berfirman,﴾
شُهَدَآءَ لِلَّهِ وَلَوۡ عَلَىٰٓ أَنفُسِكُمۡ أَوِ
ٱلۡوَٰلِدَيۡنِ وَٱلۡأَقۡرَبِينَۚ إِن يَكُنۡ غَنِيًّا أَوۡ
فَقِيرٗا فَٱللَّهُ أَوۡلَىٰ بِهِمَاۖ
﴿ "Menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri
atau ibu bapak dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun
miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya," maksudnya,
janganlah kalian memper-timbangkan seorang yang kaya karena
kekayaannya, dan seorang yang miskin dengan prasangka bahwa
hal itu adalah sebagai belas kasih baginya, akan tetapi
bersaksilah dengan benar atas siapa pun orangnya. Menegakkan
keadilan adalah di antara perkara yang paling agung dan paling
menunjukkan akan keberagamaan penegak ke-adilan tersebut dan
sikap hati-hatinya serta kedudukannya dalam Islam, maka
wajiblah atas orang yang mau menasihati dirinya dan
menghendaki keselamatan dirinya agar memperhatikan hal
terse-but dengan sebaik-baiknya, dan selalu menjadikannya di
hadapan matanya dan tujuan keinginannya, dan agar ia
menghilangkan dari jiwanya segala hal yang menghalangi dan
merintangi dirinya dari menegakkan keadilan atau mengamalkan
keadilan tersebut, dan rintangan yang paling terbesar dalam
hal itu adalah mengikuti hawa nafsu, karena itulah Allah
سبحانه وتعالى memperingatkan agar meng-hilangkan rintangan
tersebut dalam FirmanNya, ﴾
فَلَا تَتَّبِعُواْ ٱلۡهَوَىٰٓ أَن تَعۡدِلُواْۚ
﴿ "Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin
menyimpang dari kebenaran," yaitu janganlah kalian mengikuti
syahwat diri kalian yang bertentangan dengan kebe-naran,
karena bila kalian mengikutinya, niscaya kalian akan
menyimpang dari kebenaran dan kalian tidak diberi taufik
kepada keadilan, karena sesungguhnya hawa nafsu itu akan
membutakan mata hati orang tersebut hingga ia akan melihat
kebenaran itu se-bagai sebuah kebatilan dan kebatilan itu
sebagai sebuah kebenaran, atau ia mengetahui kebenaran lalu
meninggalkannya demi hawa nafsunya, maka barangsiapa yang
selamat dari hawa nafsunya, niscaya ia akan diberi taufik
kepada kebenaran dan akan diberi petunjuk kepada jalan yang
lurus. Dan tatkala Allah menjelaskan bahwa yang wajib adalah
menegakkan keadilan, Allah juga melarang dari perkara yang
bertentangan dengan hal tersebut, yaitu penyimpangan lisan
dari kebenaran dalam persaksian atau selainnya, dan pembelokan
kata dari kebenaran yang dimaksudkan dari segala sisinya atau
dari beberapa sisinya, dan termasuk dalam hal itu adalah
pembelokan kesaksian dan tidak menyempurnakannya atau
penakwilan seorang saksi atas suatu hal yang lain, karena
sesungguhnya ini adalah di antara bentuk penyimpangan, karena
menyimpang dari kebenaran, ﴾
أَوۡ تُعۡرِضُواْ
﴿ "atau enggan menjadi saksi," yaitu kalian me-ninggalkan
keadilan yang ditetapkan pada kalian seperti seorang saksi
yang meninggalkan kesaksiannya atau seorang hakim yang
meninggalkan pengadilannya yang wajib dilakukan olehnya.
﴾
فَإِنَّ ٱللَّهَ كَانَ بِمَا تَعۡمَلُونَ خَبِيرٗا ﴿ "Maka
sesungguhnya Allah Maha Menge-tahui segala apa yang kamu
kerjakan," yaitu meliputi apa yang kalian kerjakan, mengetahui
perbuatan-perbuatan kalian yang tersem-bunyi maupun yang nampak,
hal ini mengandung ancaman yang keras kepada orang yang
menyimpang dalam berbicara atau meninggalkan yang seharusnya
dikerjakan, dan yang lebih utama dan lebih patut lagi adalah
orang yang menetapkan hukum dengan kebatilan atau bersaksi
dengan saksi palsu, karena sesungguhnya hal tersebut adalah
kejahatan yang paling besar, karena dua orang yang pertama telah
meninggalkan kebenaran saja, sedang yang terakhir ini
meninggalkan kebenaran dan menegakkan kebatilan.
{يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا آمِنُوا بِاللَّهِ
وَرَسُولِهِ وَالْكِتَابِ الَّذِي نَزَّلَ عَلَى رَسُولِهِ
وَالْكِتَابِ الَّذِي أَنْزَلَ مِنْ قَبْلُ وَمَنْ يَكْفُرْ
بِاللَّهِ وَمَلَائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَالْيَوْمِ
الْآخِرِ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا بَعِيدًا
(136)}
.
"Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah
dan RasulNya dan kepada kitab yang Allah turunkan kepada
RasulNya serta kitab yang Allah turunkan sebelumnya. Barangsiapa
yang kafir kepada Allah, malaikat-malaikatNya, kitab-kitabNya,
rasul-rasulNya, dan Hari Kemudian, maka sung-guh orang itu telah
sesat sejauh-jauhnya."
(An-Nisa`: 136).
#
{136} اعلم أن الأمر إمّا أن
يوجَّه إلى من لم يدخل في الشيء ولم يتَّصف بشيء منه؛ فهذا يكون
أمراً له في الدُّخول فيه، وذلك كأمر من ليس بمؤمن
بالإيمان؛ كقوله تعالى:
{يا أيُّها الذين أوتوا الكتابَ آمِنوا بما نَزَّلْنا
مصدِّقاً لما معكم ... }
الآية، وإمّا أن يوجَّه إلى من دخل في الشيء؛ فهذا يكون أمره
ليصحِّح ما وُجِدَ منه ويحصِّل ما لم يوجد، ومنه ما ذكره الله في
هذه الآية من أمر المؤمنين بالإيمان؛ فإنَّ ذلك يقتضي أمرهم بما
يصحِّح إيمانهم من الإخلاص والصدق وتجنُّب المفسدات والتوبة من
جميع المنقصات، ويقتضي أيضاً الأمر بما لم يوجد من المؤمن من
علوم الإيمان وأعماله؛ فإنَّه كلَّما وصل إليه نصٌّ وفهم معناه
واعتقدَه؛ فإنَّ ذلك من الإيمان المأمور به، وكذلك سائر الأعمال
الظاهرة والباطنة، كلُّها من الإيمان؛ كما دلَّت على ذلك النصوص
الكثيرة وأجمع عليه سلف الأمة، ثم الاستمرار على ذلك والثَّبات
عليه إلى الممات؛ كما قال تعالى:
{يا أيُّها الذين آمنوا اتَّقوا الله حقَّ تُقاتِهِ ولا
تموتنَّ إلاَّ وأنتُم مسلمونَ}، وأمر هنا بالإيمان به وبرسله وبالقرآن وبالكتب المتقدِّمة؛
فهذا كلُّه من الإيمان الواجب الذي لا يكون العبد مؤمناً إلاَّ
به، إجمالاً فيما لم يصل إليه تفصيلُه، وتفصيلاً فيما عُلِمَ من
ذلك بالتفصيل؛ فمن آمن هذا الإيمان المأمور به؛ فقد اهتدى وأنجح.
ومن كفر
{بالله وملائكته وكتبه ورسله واليوم الآخر فقد ضلَّ ضلالاً
بعيداً}: وأيُّ ضلال أبعد من ضلال من تَرَكَ طريق الهدى المستقيم
وسَلَكَ الطريق الموصلةَ له إلى العذاب الأليم؟! واعلم أنَّ
الكفر بشيء من هذه الأمور المذكورة كالكُفر بجميعها؛ لتلازُمِها
وامتناع وجود الإيمان ببعضِها دون بعض.
(136) Ketahuilah bahwa perintah ini bisa
jadi diarahkan kepada orang yang belum masuk dalam sesuatu pun
atau belum berjulukan dengan suatu pun darinya, maka perintah
ini menjadi perintah untuknya agar masuk ke dalamnya, yang
demikian itu adalah seperti perintah kepada orang yang belum
beriman untuk beriman, seperti Firman Allah سبحانه وتعالى, ﴾
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ أُوتُواْ ٱلۡكِتَٰبَ ءَامِنُواْ بِمَا
نَزَّلۡنَا مُصَدِّقٗا لِّمَا مَعَكُم. . . .
﴿ "Hai orang-orang yang telah diberi al-Kitab, berimanlah
kamu ke-pada apa yang telah Kami turunkan
(al-Qur`an) yang membenarkan Kitab
yang ada pada kamu ..."
(An-Nisa`: 47), atau diarahkan kepada orang yang telah masuk ke dalam
sesuatu, maka perintah ini menjadi perintah untuknya agar
memperbaiki apa yang didapatkan darinya atau memperoleh apa
yang belum didapatkan, di antara hal itu adalah apa yang telah
disebutkan oleh Allah dalam ayat ini berupa perintah untuk
kaum Mukminin agar beriman, karena sesungguhnya hal itu
menunjukkan suatu perintah kepada mereka dengan perkara yang
memperbaiki ke-imanan mereka berupa keikhlasan, kejujuran,
menghindari keru-sakan dan bertaubat dari segala bentuk
kelalaian, juga menunjuk-kan perintah dengan perkara yang
belum ada dari seorang Mukmin berupa ilmu keimanan dan
perbuatan-perbuatannya, karena setiap kali suatu nash sampai
kepadanya lalu ia paham maksudnya dan meyakininya, maka hal
itu adalah keimanan yang diperintahkan kepadanya, demikian
juga seluruh perbuatan-perbuatan lahiriyah dan batiniyah,
seluruhnya dari keimanan, sebagaimana yang di-tunjukkan oleh
banyak nash-nash dan telah disepakati oleh para ulama salaf
umat ini, kemudian konsisten terhadap hal tersebut dan tegar
di atasnya hingga maut menjemput, seperti Firman Allah سبحانه
وتعالى, ﴾
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ ٱتَّقُواْ ٱللَّهَ حَقَّ
تُقَاتِهِۦ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنتُم مُّسۡلِمُونَ 102
﴿ "Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah
sebenar-benar takwa kepadaNya; dan janganlah sekali-kali kamu
mati melainkan dalam keadaan beragama Islam."
(Ali Imran: 102). Dalam an-Nisa` ayat
ke-136 ini, Allah memerintahkan untuk beriman kepadaNya,
kepada Rasul-rasulNya, kepada al-Qur`an dan kitab-kitab
sebelumnya. Semua itu adalah di antara keimanan yang wajib di
mana seorang hamba tidaklah dikatakan beriman kecuali
dengannya; beriman secara global, apabila tidak sampai
kepadanya rincian tentangnya, dan beriman secara rinci bila
hal bersangkutan diketahui secara rinci. Barangsiapa yang
beriman dengan keimanan yang diperintahkan tersebut,
sesungguhnya ia telah mendapat hidayah dan telah selamat.
Barangsiapa yang kafir ﴾
بِٱللَّهِ وَمَلَٰٓئِكَتِهِۦ وَكُتُبِهِۦ وَرُسُلِهِۦ وَٱلۡيَوۡمِ
ٱلۡأٓخِرِ فَقَدۡ ضَلَّ ضَلَٰلَۢا بَعِيدًا ﴿ "kepada Allah,
malaikat-malaikatNya, kitab-kitabNya, rasul-rasulNya, dan Hari
Kemudian, maka sungguh orang itu telah sesat sejauh-jauhnya,"
yaitu, kesesatan apa lagi yang paling jauh dari kesesatan orang
yang meninggalkan petunjuk yang lurus dan menempuh jalan yang
menyampaikannya kepada siksa yang pedih? Ketahui-lah bahwa kufur
kepada sesuatu dari perkara-perkara yang dise-butkan tersebut
adalah seperti kufur kepada seluruhnya, karena hal itu saling
berkaitan dan tidak mungkinnya keimanan kepada sebagian tanpa
kepada sebagian lainnya.
ثم قال:
{إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا ثُمَّ كَفَرُوا ثُمَّ آمَنُوا ثُمَّ
كَفَرُوا ثُمَّ ازْدَادُوا كُفْرًا لَمْ يَكُنِ اللَّهُ
لِيَغْفِرَ لَهُمْ وَلَا لِيَهْدِيَهُمْ سَبِيلًا
(137)}.
Kemudian Allah berfirman, "Sesungguhnya orang-orang yang beriman
kemudian kafir, kemudian beriman
(pula),
kemudian kafir lagi, kemudian bertam-bah kekafirannya, maka
sekali-kali Allah tidak akan memberi ampunan kepada mereka, dan
tidak
(pula) menunjuki mereka kepada
jalan yang lurus."
(An-Nisa`: 137).
#
{137} أي: من تكرَّر منه الكفر بعد
الإيمان؛ فاهتدى ثم ضلَّ، وأبصر ثم عمي، وآمن ثم كفر، واستمرَّ
على كفره وازداد منه؛ فإنه بعيد من التوفيق والهداية لأقوم
الطريق، وبعيدٌ من المغفرة لكونه أتى بأعظم مانع يمنعه من
حصولها؛ فإنَّ كفره يكون عقوبةً وطبعاً لا يزول؛
كما قال تعالى:
{فلما زاغوا أزاغ الله قلوبَهم}،
{ونقلِّب أفئِدَتَهم وأبصارَهم كما لم يؤمنوا به أوَّلَ
مرةٍ}. ودلَّت الآية أنَّهم إن لم يزدادوا كفراً بل رجعوا إلى
الإيمان، وتركوا ما هم عليه من الكفران؛ فإن الله يغفر لهم، ولو
تكرَّرت منهم الردَّة، وإذا كان هذا الحكم في الكفر؛ فغيرُهُ من
المعاصي التي [دونه] من باب أولى؛ أنَّ
العبد لو تكررت منه ثم عاد إلى التوبة؛ عاد الله له بالمغفرة.
(137) Maksudnya, barangsiapa yang
berulang kali terjadi kekufuran pada dirinya setelah keimanan;
di mana dia mendapat petunjuk masuk Islam kemudian tersesat,
melihat
(kebenaran) kemudian buta,
beriman kemudian kafir, dan berlanjut di atas kekufurannya
bahkan kekufurannya bertambah, maka sesungguh-nya ia telah jauh
dari taufik dan petunjuk kepada jalan yang lurus, juga jauh dari
ampunan karena ia telah melakukan perkara yang merupakan
penghalang terbesar yang merintanginya dalam memperoleh ampunan
tersebut, sesungguhnya kekufurannya itu menjadi hukuman untuknya
dan menjadi tabiat yang tidak akan lenyap darinya, sebagaimana
Allah سبحانه وتعالى berfirman, ﴾ فَلَمَّا زَاغُوٓاْ أَزَاغَ
ٱللَّهُ قُلُوبَهُمۡۚ
﴿ "Maka tatkala mereka berpaling
(dari kebenaran), Allah memaling-kan
hati mereka."
(Ash-Shaff: 5)
dan ﴾
وَنُقَلِّبُ أَفۡـِٔدَتَهُمۡ وَأَبۡصَٰرَهُمۡ كَمَا لَمۡ
يُؤۡمِنُواْ بِهِۦٓ أَوَّلَ مَرَّةٖ ﴿ "Dan
(begitu pula) Kami memalingkan hati dan
penglihatan me-reka seperti mereka belum pernah beriman
kepadanya
(al-Qur`an) pada
permulaannya."
(Al-An'am: 110).
Ayat ini menunjukkan bahwa bila kekufuran mereka tidak bertambah
akan tetapi mereka kembali kepada keimanan dan meninggalkan
keyakinan mereka berupa kekufuran tersebut, maka sesungguhnya
Allah mengampuni mereka, walaupun mereka telah berulang kali
keluar dari Islam, lalu bila ketetapan tersebut dibuat untuk
tindakan kekufuran, maka selain dari kekufuran seperti
kemaksiatan yang tidak menyebabkan kekufuran adalah lebih utama
dan lebih patut, bahwa seorang hamba bila berulang-ulang
melakukan kemaksiatan kemudian ia kembali kepada taubat, niscaya
Allah akan kembali juga mengampuninya.
{بَشِّرِ الْمُنَافِقِينَ بِأَنَّ لَهُمْ عَذَابًا أَلِيمًا
(138) الَّذِينَ يَتَّخِذُونَ
الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ
أَيَبْتَغُونَ عِنْدَهُمُ الْعِزَّةَ فَإِنَّ الْعِزَّةَ
لِلَّهِ جَمِيعًا (139)}
.
"Sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang munafik bahwa
mereka akan mendapat siksaan yang pedih.
(Yaitu) orang-orang yang mengambil
orang-orang kafir menjadi teman-teman penolong dengan
meninggalkan orang-orang Mukmin. Apakah mereka mencari kekuatan
di sisi orang kafir itu? Maka sesungguh-nya semua kekuatan itu
kepunyaan Allah."
(An-Nisa`: 138-139).
#
{138} البشارة تستعمل في الخير،
وتستعمل في الشر بقيدٍ؛ كما في هذه الآية.
يقول تعالى:
{بشِّر المنافقين}؛
أي:
الذين أظهروا الإسلام وأبطنوا الكفر بأقبح بشارةٍ وأسوئها، وهو
العذاب الأليم، وذلك بسبب محبَّتهم الكفار وموالاتهم ونصرتهم
وتركهم لموالاة المؤمنين؛ فأيُّ شيءٍ حملهم على ذلك؟! أيبتغون
عندهم العِزَّة؟! وهذا هو الواقع من أحوال المنافقين، ساء ظنُّهم
بالله، وضَعُفَ يقينُهم بنصر الله لعبادِهِ المؤمنين، ولحظوا بعض
الأسباب التي عند الكافرين، وقصر نظرُهم عما وراء ذلك، فاتَّخذوا
الكافرين أولياء يتعزَّزون بهم ويستنصِرون، والحال أنَّ العزَّة
لله جميعاً؛ فإنَّ نواصي العباد بيدِهِ ومشيئته نافذةٌ فيهم، وقد
تكفَّل بنصر دينِهِ وعبادِهِ المؤمنين، ولو تخلَّل ذلك بعض
الامتحان لعباده المؤمنين وإدالة العدوِّ عليهم إدالةً غير
مستمرة؛ فإن العاقبة والاستقرار للمؤمنين. وفي هذه الآية الترهيب
العظيم من موالاة الكافرين وترك موالاة المؤمنين، وأنَّ ذلك من
صفات المنافقين، وأنَّ الإيمان يقتضي محبَّة المؤمنين وموالاتهم
وبُغض الكافرين وعداوَتِهم.
(138-139) Al-Bisyarah
(kabar gembira) itu biasanya dipakai
pada perkara yang baik, dan terkadang dipakai dalam perkara yang
buruk dengan syarat, seperti dalam ayat ini, Allah berfirman, ﴾
بَشِّرِ ٱلۡمُنَٰفِقِينَ ﴿ "Kabarkanlah kepada orang-orang
munafik," yaitu orang-orang yang menampakkan Islam dan
menyembunyikan kekufuran dengan kabar yang paling jelek dan
paling buruk, yaitu azab yang pedih. Yang demikian itu karena
mereka mencintai orang-orang kafir dan menolong mereka, membela
mereka serta meninggalkan cinta dan kasih sayang kepada kaum
Mukminin, perkara apakah yang mendorong mereka melakukan hal
tersebut? Apakah mereka mengharapkan kemuliaan dari orang-orang
kafir itu? Seperti inilah kenyataan dari orang-orang munafik,
prasangka mereka buruk terhadap Allah, keyakinan mereka lemah
terhadap pertolongan Allah kepada kaum Mukminin, dan mereka
menyaksikan beberapa faktor pendorong pada kaum kafir namun
pandangan mereka pendek tentang akibat yang terjadi di balik
itu, hingga membuat mereka menjadikan kaum kafir sebagai
penolong yang mereka banggakan dan meminta pertolongan mereka.
Padahal kenyataan-nya adalah seluruh kemuliaan itu adalah milik
Allah, dan sesung-guhnya ubun-ubun para hamba ada di tangan
Allah dan kehen-dakNya pastilah terlaksana pada mereka. Dan
sesungguhnya Allah telah menjamin untuk membela agamaNya dan
hamba-hambaNya yang beriman, walaupun diselingi dengan beberapa
ujian dan cobaan bagi hamba-hambaNya yang beriman tersebut dan
musuh berkuasa atas mereka dengan penguasaan yang bersifat
sementara, karena sesungguhnya hasil akhir yang baik dan
kebahagian itu adalah milik kaum Mukminin. Ayat ini mengandung
ancaman yang besar atas tindakan menjadikan kaum kafir sebagai
penolong dan pembela, dan me-ninggalkan kaum Mukminin dalam
perkara tersebut, dan bahwa hal seperti itu adalah di antara
sifat-sifat kaum munafik, dan bahwa keimanan itu menuntut untuk
mencintai kaum Mukminin dan menjadikan mereka sebagai penolong
dan pembela, dan membenci kaum kafir dan memusuhi mereka.
{وَقَدْ نَزَّلَ عَلَيْكُمْ فِي الْكِتَابِ أَنْ إِذَا
سَمِعْتُمْ آيَاتِ اللَّهِ يُكْفَرُ بِهَا وَيُسْتَهْزَأُ
بِهَا فَلَا تَقْعُدُوا مَعَهُمْ حَتَّى يَخُوضُوا فِي حَدِيثٍ
غَيْرِهِ إِنَّكُمْ إِذًا مِثْلُهُمْ إِنَّ اللَّهَ جَامِعُ
الْمُنَافِقِينَ وَالْكَافِرِينَ فِي جَهَنَّمَ جَمِيعًا
(140) الَّذِينَ يَتَرَبَّصُونَ
بِكُمْ فَإِنْ كَانَ لَكُمْ فَتْحٌ مِنَ اللَّهِ قَالُوا
أَلَمْ نَكُنْ مَعَكُمْ وَإِنْ كَانَ لِلْكَافِرِينَ نَصِيبٌ
قَالُوا أَلَمْ نَسْتَحْوِذْ عَلَيْكُمْ وَنَمْنَعْكُمْ مِنَ
الْمُؤْمِنِينَ فَاللَّهُ يَحْكُمُ بَيْنَكُمْ يَوْمَ
الْقِيَامَةِ وَلَنْ يَجْعَلَ اللَّهُ لِلْكَافِرِينَ عَلَى
الْمُؤْمِنِينَ سَبِيلًا (141)}
.
"Dan sungguh Allah telah menurunkan kepadamu di dalam al-Qur`an
bahwa apabila kamu mendengar ayat-ayat Allah di-ingkari dan
diperolok-olokkan
(oleh orang-orang kafir), maka janganlah
kamu duduk beserta mereka, sehingga mereka mema-suki pembicaraan
yang lain. Karena sesungguhnya
(kalau kamu berbuat demikian), tentulah
kamu serupa dengan mereka. Sesung-guhnya Allah akan mengumpulkan
semua orang-orang munafik dan orang-orang kafir di dalam
Jahanam,
(yaitu) orang-orang yang
menunggu-nunggu
(peristiwa) yang akan
terjadi pada dirimu
(hai orang-orang Mukmin). Maka jika
terjadi kemenangan bagimu dari Allah, mereka berkata, 'Bukankah
kami
(turut berperang) be-serta kamu?'
Dan jika orang-orang kafir mendapat keberuntungan, mereka
berkata, 'Bukankah kami turut memenangkanmu, dan membela kamu
dari orang-orang Mukmin?' Maka Allah akan mem-beri keputusan di
antara kamu di Hari Kiamat dan Allah sekali-kali tidak akan
memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan
orang-orang yang beriman."
(An-Nisa`: 140-141).
#
{140} أي: وقد بيَّن الله لكم فيما
أنزل عليكم حكمه الشرعيَّ عند حضور مجالس الكفر والمعاصي،
{أن إذا سمعتُم آياتِ الله يُكْفَرُ بها ويستهزَأ بها}؛ أي: يُستهان بها، وذلك أن الواجب على
كل مكلَّف في آيات الله الإيمانُ بها وتعظيمُها وإجلالها
وتفخيمها، وهذا المقصود بإنزالها، وهو الذي خَلَقَ الله الخَلْق
لأجله؛ فضدُّ الإيمان الكفر بها، وضدُّ تعظيمها الاستهزاء بها
واحتقارها، ويدخل في ذلك مجادلة الكفار والمنافقين لإبطال آيات
الله ونصر كفرهم، وكذلك المبتدعون على اختلاف أنواعهم؛ فإن
احتجاجَهم على باطلهم يتضمَّن الاستهانة بآيات الله؛ لأنها لا
تدل إلاَّ على الحقِّ ولا تستلزمُ إلاَّ صدقاً، بل وكذلك يدخل
فيه حضور مجالس المعاصي والفسوق التي يُستهان فيها بأوامر الله
ونواهيه، وتقتحم حدودُه التي حدَّها لعباده. ومنتهى هذا النهي عن
القعود معهم
{حتى يخوضوا في حديثٍ غيره}؛
أي:
غير الكفر بآيات الله والاستهزاء بها.
{إنَّكم إذاً}؛
أي:
إن قعدتُم معهم في الحال المذكور
{مثلُهم}: لأنكم رضيتُم بكفرِهم
واستهزائِهِم، والراضي بالمعصية كالفاعل لها، والحاصل أنَّ مَن
حَضَرَ مجلساً يُعصى الله به؛ فإنه يتعيَّن عليه الإنكار عليهم
مع القدرة أو القيام مع عدمها.
{إنَّ الله جامع المنافقين والكافرين في جهنَّم جميعاً}؛ كما اجتمعوا على الكفر والموالاة، ولا ينفع المنافقين مجرَّد
كونِهم في الظاهر مع المؤمنين؛
كما قال تعالى:
{يوم يقولُ المنافقون والمنافقاتُ للَّذين آمنوا انظُرونا
نَقْتَبِسْ من نورِكم ... }
إلى آخر الآيات.
(140) Maksudnya, Allah سبحانه وتعالى
telah menjelaskan kepada kalian tentang apa yang turun kepada
kalian berupa hukum syariat saat hadir pada majelis-majelis
kekufuran dan kemaksiatan,﴾ أَنۡ إِذَا سَمِعۡتُمۡ ءَايَٰتِ
ٱللَّهِ يُكۡفَرُ بِهَا
﴿ "bahwa apabila kamu mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan
diperolok-olokkan
(oleh orang-orang kafir)" maksudnya,
direndah-kan, yang demikian itu adalah karena yang wajib atas
setiap orang yang mukallaf adalah beriman kepada ayat-ayat
Allah, meng-agungkan, memuliakan, dan menyeganinya. Dan itulah
maksud dari diturunkannya ayat-ayat tersebut, dan demi hal itu
juga Allah menciptakan para makhluk. Lawan dari beriman adalah
kufur kepadanya, dan lawan dari mengagungkannya adalah
mengolok-olok dan menghinanya, dan termasuk dalam hal itu,
berdebat dengan orang-orang kafir dan orang-orang munafik demi
mema-tahkan ayat-ayat Allah dan membela kekufuran mereka.
Demikian juga dengan ahli bid'ah dengan berbagai macam
kelompok mereka. Sesungguhnya berhujjah demi kebatilan mereka
mengandung makna pelecehan kepada ayat-ayat Allah, karena
ayat-ayat tersebut tidaklah menunjukkan kecuali kepada
kebenaran dan tidak ber-maksud kecuali kepada kebenaran,
bahkan termasuk juga dalam hal ini menghadiri majelis-majelis
kemaksiatan dan kefasikan di mana perintah-perintah Allah dan
larangan-laranganNya dilecehkan di dalamnya dan hukum-hukumNya
yang ditetapkan buat hamba-hambaNya dipermainkan. Puncak dari
hal ini adalah larangan du-duk-duduk bersama mereka, ﴾
حَتَّىٰ يَخُوضُواْ فِي حَدِيثٍ غَيۡرِهِۦٓ
﴿ "sehingga mereka memasuki pembicaraan yang lain," yaitu
selain dari (pembicaraan) kufur
terhadap ayat-ayat Allah dan menghinakannya. ﴾
إِنَّكُمۡ إِذٗا
﴿ "Karena sesungguhnya
(kalau kamu berbuat demikian)," yaitu,
apabila kalian duduk bersama mereka pada kondisi yang
disebutkan, ﴾
مِّثۡلُهُمۡۗ
﴿ "tentulah kamu serupa dengan mereka," karena kalian ridha
dengan kekufuran dan penghinaan mereka itu. Seorang yang ridha
terhadap kemaksiatan adalah seperti pelaku kemak-siatan itu
sendiri. Intinya adalah bahwa barangsiapa yang hadir pada
suatu majelis di mana dalam majelis tersebut Allah
didurha-kai, maka wajib 'ain untuk diingkari bila mampu atau
meninggal-kan tempat tersebut bila tidak mampu. ﴾
إِنَّ ٱللَّهَ جَامِعُ ٱلۡمُنَٰفِقِينَ وَٱلۡكَٰفِرِينَ فِي
جَهَنَّمَ جَمِيعًا
﴿ "Sesungguhnya Allah akan mengumpulkan semua orang-orang
munafik dan orang-orang kafir di dalam Jahanam," sebagaimana
mereka berkumpul dalam kekufuran dan loyalitas, dan tidaklah
bermanfaat bagi orang-orang munafik kondisi mereka bersama
kaum Mukminin secara lahiriyah, seperti Firman Allah سبحانه
وتعالى, ﴾
يَوۡمَ يَقُولُ ٱلۡمُنَٰفِقُونَ وَٱلۡمُنَٰفِقَٰتُ لِلَّذِينَ
ءَامَنُواْ ٱنظُرُونَا نَقۡتَبِسۡ مِن نُّورِكُمۡ ﴿ "Pada hari
ketika orang-orang munafik laki-laki dan perempuan berkata
kepada orang-orang yang beriman, 'Tunggulah kami supaya kami
dapat mengambil sebagian dari cahayamu'."
(Al-Hadid: 13).
#
{141} ثم ذكر تحقيق موالاة
المنافقين للكافرين ومعاداتهم للمؤمنين،
فقال:
{الذين يتربَّصون بكم}؛
أي:
ينتظِرون الحالة التي تصيرون عليها، وتنتهون إليها من خيرٍ أو
شرٍّ، قد أعدُّوا لكلِّ حالةٍ جواباً بحسب نفاقهم؛
{فإن كان لكم فتحٌ من الله قالوا ألم نكن معَكُم}؛ فيظهرون أنَّهم مع المؤمنين ظاهراً وباطناً؛ لِيَسْلَموا من
القَدْح والطَّعْنِ عليهم ولِيُشْرِكوهم في الغنيمة والفيء
ولينْتَصرُوا بهم.
{وإن كان للكافرين نصيبٌ}: ولم
يقلْ: فتحٌ؛ لأنه لا يحصل لهم فتحٌ يكون مبدأ لنصرتهم المستمرة،
بل غايةُ ما يكون أن يكون لهم نصيبٌ غير مستقرٍّ حكمة من الله؛
فإذا كان ذلك؛
{قالوا ألم نستَحوِذْ عليكم}؛
أي:
نستولي عليكم
{ونمنَعْكم من المؤمنين}؛
أي:
يتصنَّعون عندهم بكفِّ أيديهم عنهم مع القدرة، ومنعهم من
المؤمنين بجميع وجوه المنع من تفنيدهم وتزهيدهم في القتال
ومظاهرة الأعداء عليهم وغير ذلك مما هو معروفٌ منهم.
{فاللهُ يحكمُ بينكم يوم القيامة}:
فيجازي المؤمنين ظاهراً وباطناً بالجنة، ويعذِّب المنافقين
والمنافقات والمشركين والمشركات.
{ولَن يَجْعَلَ الله للكافرين على المؤمنين سبيلاً}؛ أي: تسلُّطاً واستيلاءً عليهم، بل لا
تزال طائفة من المؤمنين على الحق منصورة، لا يضرهم من خذلهم ولا
مَن خالفهم، ولا يزال الله يحدِثُ من أسباب النصر للمؤمنين ودفع
تسليط الكافرين ما هو مشهودٌ بالعيان، حتى أنَّ بعض المسلمين
الذين تحكمهم الطوائف الكافرة قد بقوا محترمين، لا يتعرَّضون
لأديانهم ولا يكونون مستصغَرين عندهم، بل لهم العزُّ التامُّ من
الله، فلله الحمد أولاً وآخراً وظاهراً وباطناً.
(141) Kemudian Allah menyebutkan
penegasan perwalian orang-orang munafik kepada orang-orang kafir
serta permusuhan mereka terhadap orang-orang Mukmin, maka
FirmanNya,﴾ ٱلَّذِينَ يَتَرَبَّصُونَ بِكُمۡ
﴿ "(Yaitu) orang-orang yang
menunggu-nunggu (peristiwa) yang akan
terjadi pada dirimu
(hai orang-orang Mukmin)," maksudnya,
mereka menunggu apa yang akan terjadi pada kalian, baik maupun
buruk, di mana mereka telah menyiapkan masing-masing jawaban
untuk kedua kemungkinan tersebut sesuai dengan kemunafikan
mereka. ﴾
فَإِن كَانَ لَكُمۡ فَتۡحٞ مِّنَ ٱللَّهِ قَالُوٓاْ أَلَمۡ نَكُن
مَّعَكُمۡ
﴿ "Maka jika terjadi kemenangan bagimu dari Allah, mereka
berkata, 'Bukankah kami
(turut berperang) beserta kamu?'" Lalu
mereka menampakkan
(diri dan sikap) bahwa mereka bersama
kaum Mukminin secara lahir maupun batin agar mereka selamat
dari celaan dan tuduhan, dan agar mereka diserta-kan dalam
bagian ghanimah atau fai' serta agar kaum Mukminin menolong
mereka. ﴾
وَإِن كَانَ لِلۡكَٰفِرِينَ نَصِيبٞ
﴿ "Dan jika orang-orang kafir mendapat kebe-runtungan," Allah
tidak berkata, "kemenangan," karena mereka tidaklah memperoleh
kemenangan yang merupakan tonggak dasar akan pembelaan
terhadap mereka yang berkelanjutan. Akan tetapi mereka
mendapatkan bagian yang sementara sebagai hikmah dari Allah,
maka bila demikian, ﴾
قَالُوٓاْ أَلَمۡ نَسۡتَحۡوِذۡ عَلَيۡكُمۡ
﴿ "mereka berkata, 'Bu-kankah kami turut memenangkanmu',
artinya, kami membuat kalian menguasai, ﴾
وَنَمۡنَعۡكُم مِّنَ ٱلۡمُؤۡمِنِينَۚ
﴿ "dan membela kamu dari orang-orang Mukmin?" Maksudnya,
mereka berpura-pura pada orang-orang kafir dengan membela
mereka, dan menolong mereka dari kaum Mukminin dengan segala
bentuk pertolongan yang menyelamatkan mereka dari penghancuran
dan pembunuhan dalam peperangan serta menampakkan permusuhan
atas kaum Mukminin dan seba-gainya dari perkara-perkara yang
telah diketahui dari mereka. ﴾
فَٱللَّهُ يَحۡكُمُ بَيۡنَكُمۡ يَوۡمَ ٱلۡقِيَٰمَةِۚ
﴿ "Maka Allah akan memberi keputusan di antara kamu di Hari
Kiamat," lalu Allah memberikan balasan kepada kaum Mukminin
secara lahir maupun batin dengan surga, dan menyiksa
orang-orang munafik laki-laki dan perempuan dan orang-orang
musyrik laki-laki dan perempuan. ﴾
وَلَن يَجۡعَلَ ٱللَّهُ لِلۡكَٰفِرِينَ عَلَى ٱلۡمُؤۡمِنِينَ
سَبِيلًا ﴿ "Dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan
kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang
beriman," yaitu, kekuasaan dan kontrol atas mereka. Bahkan akan
selalu ada sebuah kelompok dari kaum Mukminin yang di-tolong
atas kebenaran, tidaklah akan ada yang mampu memudha-ratkan
mereka dari orang-orang yang menghinakan mereka dan tidak pula
orang-orang yang bertentangan dengan mereka, dan Allah akan
terus mengadakan sebab-sebab kemenangan bagi kaum Mukminin dan
menolak kekuasaan kaum kafir, di mana semua itu disaksikan oleh
mata kepala. Hingga sebagian kaum Mukminin yang dikuasai oleh
kelompok kaum kafir tetap saja terhormat, me-reka tidak diganggu
karena agama mereka dan tidak juga mereka rendah walaupun berada
di tengah orang-orang kafir; mereka tetap memiliki kemuliaan
yang penuh dari Allah. Akhirnya segala pujian hanya milik Allah,
pertama dan terakhir, lahir dan batin.
{إِنَّ الْمُنَافِقِينَ يُخَادِعُونَ اللَّهَ وَهُوَ
خَادِعُهُمْ وَإِذَا قَامُوا إِلَى الصَّلَاةِ قَامُوا
كُسَالَى يُرَاءُونَ النَّاسَ وَلَا يَذْكُرُونَ اللَّهَ
إِلَّا قَلِيلًا (142) مُذَبْذَبِينَ
بَيْنَ ذَلِكَ لَا إِلَى هَؤُلَاءِ وَلَا إِلَى هَؤُلَاءِ
وَمَنْ يُضْلِلِ اللَّهُ فَلَنْ تَجِدَ لَهُ سَبِيلًا
(143)}
.
"Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah
akan membalas tipuan mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk
shalat, mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya
(dengan shalat) di hadapan manusia. Dan
tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali. Mereka
dalam keadaan ragu-ragu antara yang demikian
(iman atau kafir), tidak masuk kepada
golongan ini
(orang-orang beriman) dan
tidak
(pula) kepada golongan itu
(orang-orang kafir), maka kamu
sekali-kali tidak akan mendapat jalan
(untuk memberi petunjuk) baginya."
(An-Nisa`: 141-142).
#
{142} يخبر تعالى عن المنافقين بما
كانوا عليه من قبيح الصفات وشنائع السمات، وأن طريقَتَهم مخادعة
الله تعالى؛ أي: بما أظهروه من الإيمان،
وأبطنوه من الكفران؛ ظنُّوا أنه يروجُ على الله ولا يعلمه ولا
يُبديه لعباده، والحال أنَّ الله خادِعُهم؛ فمجرَّد وجود هذه
الحال منهم ومشيهم عليها خداعٌ لأنفسهم، وأيُّ خداع أعظمُ ممَّن
يسعى سعياً يعود عليه بالهوانِ والذُّلِّ والحرمانِ، ويدلُّ
بمجرَّده على نقص عقل صاحبه؛ حيث جمع بين المعصية ورآها حسنةً
وظنَّها من العقل والمكر؟! فلله ما يصنع الجهلُ والخِذلانُ بصاحبه! ومن خداعه لهم يوم
القيامة ما ذَكَرَهُ الله في قوله:
{يوم يقول المنافقون والمنافقات للذين آمنوا انظُرونا
نَقْتَبِسْ من نورِكُم قيلَ ارجِعوا وراءكم فالْتَمِسوا نوراً
فضُرِبَ بينَهم بسورٍ له بابٌ باطِنُهُ فيه الرحمةُ وظاهرهُ من
قِبَلِهِ العذابُ ينادونهم ألم نكن معكم ... }
إلى آخر الآيات. ومن صفاتِهم أنَّهم
{إذا قاموا إلى الصلاة} إن قاموا،
التي هي أكبر الطاعات العملية
{قاموا كسالى}: متثاقلين لها
متبَرِّمين من فعلها، والكسل لا يكون إلاَّ مِن فَقْدِ الرغبة من
قلوبهم؛ فلولا أنَّ قلوبهم فارغةٌ من الرغبة إلى الله وإلى ما
عنده عادمةٌ للإيمان؛ لم يصدر منهم الكسل.
{يراؤون الناس}؛
أي:
هذا الذي انطوت عليه سرائرُهُم، وهذا مصدرُ أعمالهم، مراءاة
الناس، يقصِدون رؤية الناس وتعظيمَهم، واحترامَهم، ولا يُخلصِون
لله؛ فلهذا
{لا يذكرونَ الله إلا قليلاً}؛
لامتلاء قلوبِهِم من الرِّياء؛ فإنَّ ذكر الله تعالى وملازمته لا
يكون إلاَّ من مؤمن ممتلئٍ قلبُه بمحبَّة الله وعظمته.
(142) Allah تعالى memberitakan tentang
orang-orang munafik dengan sifat-sifat buruk mereka dan
tanda-tanda yang jelek, dan bahwa jalan mereka adalah menipu
Allah سبحانه وتعالى, yaitu, mereka menam-pakkan keimanan dan
menyembunyikan kekufuran dengan tin-dakan. Mereka mengira bahwa
hal itu tidak dilihat oleh Allah dan tidak diketahui olehNya
serta tidak menampakkannya kepada hamba-hambaNya yang lain.
Padahal sebenarnya Allah-lah yang membalas tipuan mereka, karena
hanya dengan terjadinya sifat
(dan sikap) tersebut pada mereka dan
konsistensinya mereka terhadapnya, itu sebenarnya sebuah tipuan
terhadap diri mereka sendiri, dan tipu daya apalagi yang lebih
menyakitkan dari orang yang berusaha keras namun hanya
menghasilkan kehinaan dan kerendahan bagi dirinya sendiri, dan
tidak mendapatkan apa-apa. Dengan hal itu saja menunjukkan bahwa
pelakunya tidak berakal, di mana ia menyatukan antara
kemaksiatan yang ia pandang se-bagai suatu kebaikan dan mengira
bahwa hal itu merupakan hasil dari akal dan tipu dayanya, dan
hanya Allah yang mengetahui keburukan yang ditimbulkan oleh
kebodohan dan kehinaan atas pemiliknya, dan di antara pendustaan
Allah atas mereka pada Hari Kiamat adalah apa yang Allah
sebutkan dalam FirmanNya, ﴾ يَوۡمَ يَقُولُ ٱلۡمُنَٰفِقُونَ
وَٱلۡمُنَٰفِقَٰتُ لِلَّذِينَ ءَامَنُواْ ٱنظُرُونَا نَقۡتَبِسۡ
مِن نُّورِكُمۡ قِيلَ ٱرۡجِعُواْ وَرَآءَكُمۡ فَٱلۡتَمِسُواْ
نُورٗاۖ فَضُرِبَ بَيۡنَهُم بِسُورٖ لَّهُۥ بَابُۢ بَاطِنُهُۥ
فِيهِ ٱلرَّحۡمَةُ وَظَٰهِرُهُۥ مِن قِبَلِهِ ٱلۡعَذَابُ 13
يُنَادُونَهُمۡ أَلَمۡ نَكُن مَّعَكُمۡۖ قَالُواْ بَلَىٰ
وَلَٰكِنَّكُمۡ فَتَنتُمۡ أَنفُسَكُمۡ وَتَرَبَّصۡتُمۡ
وَٱرۡتَبۡتُمۡ وَغَرَّتۡكُمُ ٱلۡأَمَانِيُّ حَتَّىٰ جَآءَ أَمۡرُ
ٱللَّهِ وَغَرَّكُم بِٱللَّهِ ٱلۡغَرُورُ 14 فَٱلۡيَوۡمَ لَا
يُؤۡخَذُ مِنكُمۡ فِدۡيَةٞ وَلَا مِنَ ٱلَّذِينَ كَفَرُواْۚ
مَأۡوَىٰكُمُ ٱلنَّارُۖ هِيَ مَوۡلَىٰكُمۡۖ وَبِئۡسَ ٱلۡمَصِيرُ 15
﴿ "Pada hari ketika orang-orang munafik laki-laki dan
perempuan berkata kepada orang-orang yang beriman, 'Tunggulah
kami supaya kami dapat mengambil sebagian dari cahayamu.'
Dikatakan (kepada mereka), 'Kembalilah
kamu ke belakang dan carilah sendiri cahaya
(untukmu).' Lalu diadakan di antara
mereka dinding yang mempunyai pintu. Di sebelah dalamnya ada
rahmat dan di sebelah luarnya dari situ ada siksa. Orang-orang
munafik itu memanggil mereka
(orang-orang Mukmin) seraya berkata,
'Bukankah kami dahulu bersama-sama dengan kamu?' Mereka
menjawab, 'Benar, tetapi kamu mencelakakan dirimu sendiri dan
me-nunggu (kehancuran kami) dan kamu
ragu-ragu serta ditipu oleh angan-angan kosong sehingga
datanglah ketetapan Allah; dan kamu telah ditipu dengan
(keimanan kepada) Allah oleh
(setan) yang amat penipu.' Maka pada
hari ini tidak diterima tebusan darimu dan tidak pula dari
orang-orang kafir. Tempat kamu ialah neraka. Ialah tempat
berlindungmu, dan ia adalah sejahat-jahat tempat kembali."
(Al-Hadid: 13-15). Dan di antara sifat-sifat mereka adalah bahwa ﴾
وَإِذَا قَامُوٓاْ إِلَى ٱلصَّلَوٰةِ
﴿ "apabila mereka berdiri untuk shalat," bila mereka
melakukannya, yang merupakan perbuatan ketaatan yang paling
agung, ﴾
قَامُواْ كُسَالَىٰ
﴿ "mereka berdiri dengan malas," mereka merasa berat
melakukannya dan menggerutu dalam melakukannya. Rasa malas itu
tidaklah ada kecuali karena tidak adanya kehendak untuk
melakukannya dalam hati mereka, dan sekiranya bukan karena
hati mereka itu kosong dari keinginan kepada Allah dan kepada
apa yang ada di sisiNya serta tidak ada keimanan, pastilah
tidak akan ada rasa malas dari mereka. ﴾
يُرَآءُونَ ٱلنَّاسَ
﴿ "Mereka bermaksud riya
(dengan shalat) di hadapan manusia,"
yaitu, inilah yang menjadi harapan dalam hati kecil me-reka,
dan inilah sumber dari segala perbuatan mereka, yaitu agar
manusia melihat mereka. Mereka bermaksud agar manusia
me-mandang mereka hingga manusia menghormati dan membesarkan
mereka, namun mereka tidak ikhlas untuk Allah. Karena itulah,
﴾
ل َ ا يَذۡكُرُونَ ٱللَّهَ إِلَّا قَلِيلٗا ﴿ "tidaklah mereka
menyebut Allah kecuali sedikit sekali," karena hati mereka yang
telah dipenuhi oleh riya`, sesungguhnya dzikir kepada Allah
سبحانه وتعالى itu dan konsisten terhadapnya tidaklah akan
terjadi kecuali dari seorang hamba yang hatinya penuh dengan
kecintaan kepada Allah dan keagunganNya.
#
{143}
{مذبذبين بين ذلك لا إلى هؤلاء ولا إلى هؤلاء}؛ أي: متردِّدين بين فريق المؤمنين
وفريق الكافرين، فلا من المؤمنين ظاهراً وباطناً ولا من الكافرين
ظاهراً وباطناً، أعطوا باطِنَهم للكافرين وظاهِرَهم للمؤمنين،
وهذا أعظم ضلال يُقدَّر، ولهذا قال:
{ومن يُضْلِل الله فلن تجد له سبيلاً}؛ أي: لن تجد طريقاً لهدايته ولا
وسيلةً لترك غوايتِهِ؛ لأنَّه انغلق عنه بابُ الرحمة، وصار
بَدَله كل نقمةٍ؛ فهذه الأوصاف المذمومة تدلُّ بتنبيهها على أنَّ
المؤمنين متَّصفون بضدِّها من الصدق ظاهراً وباطناً والإخلاص،
وأنَّهم لا يُجْهَلُ ما عندهم، ونشاطهم في صلاتهم وعباداتهم
وكَثْرَةُ ذِكْرِهم لله تعالى، وأنَّهم قد هداهم الله ووفَّقهم
للصراط المستقيم، فليعرِض العاقل نفسَه على هذين الأمرين،
وليخترْ أيَّهما أولى به، والله المستعان.
(143) ﴾ مُّذَبۡذَبِينَ بَيۡنَ ذَٰلِكَ
لَآ إِلَىٰ هَٰٓؤُلَآءِ وَلَآ إِلَىٰ هَٰٓؤُلَآءِۚ
﴿ "Mereka dalam keadaan ragu-ragu antara yang demikian
(iman atau kafir); tidak masuk kepada
golongan ini (orang-orang beriman) dan
tidak (pula) kepada golongan itu
(orang-orang kafir)." Maksudnya,
mereka bimbang antara golongan orang-orang beriman dan
kelompok orang-orang kafir. Mereka tidak bersama kelompok
orang-orang beriman, lahir maupun batin dan tidak juga bersama
kelompok orang-orang kafir, lahir maupun batin. Mereka
memberikan batin kepada kelompok orang-orang kafir dan
memberikan lahir kepada kelompok orang-orang beriman. Ini
adalah kesesatan yang paling besar yang harus diper-hitungkan.
Karena itulah Allah berfirman, ﴾
وَمَن يُضۡلِلِ ٱللَّهُ فَلَن تَجِدَ لَهُۥ سَبِيلٗا ﴿
"Barangsiapa yang disesatkan Allah, maka kamu sekali-kali tidak
akan mendapat jalan
(untuk memberi petunjuk) baginya,"
maksudnya, kalian tidak akan mendapat jalan lain untuk memberi
petunjuk kepada-nya dan tidak ada sarana
(untuk menyadarkan) mereka untuk
meninggalkan kesesatannya. Karena sesungguhnya pintu rahmat
telah tertutup untuknya, dan semuanya berubah menjadi musibah.
Sifat-sifat yang tercela ini dengan peringatan darinya,
menunjuk-kan bahwa orang-orang beriman memiliki sifat yang
berlawanan dengan sifat-sifat di atas, yaitu kejujuran lahir
maupun batin, serta keikhlasan, dan bahwa mereka sangat
diketahui dengan apa yang ada pada mereka, semangat mereka dalam
shalat dan ibadah me-reka serta dzikir mereka yang banyak kepada
Allah سبحانه وتعالى. Dan bahwa mereka telah diberikan petunjuk
oleh Allah dan diberikan taufik-Nya kepada jalan yang lurus,
maka seorang yang berakal patut mengajukan dirinya di antara
kedua perkara tersebut, dan memilih yang paling terbaik untuknya
di antara kedua hal tersebut, dan hanya Allah tempat meminta
pertolongan.
{يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا
الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ
أَتُرِيدُونَ أَنْ تَجْعَلُوا لِلَّهِ عَلَيْكُمْ سُلْطَانًا
مُبِينًا (144)}
.
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menjadikan
orang-orang kafir sebagai wali
(pemimpin dan pelindung) dengan
meninggalkan orang-orang Mukmin. Inginkah kamu mengadakan alasan
yang nyata bagi Allah
(untuk menyiksamu)?"
(An-Nisa`: 144).
#
{144} لما ذكر أنَّ من صفات
المنافقين اتِّخاذ الكافرين أولياء من دون المؤمنين؛ نهى عبادَهُ
المؤمنين أن يتَّصفوا بهذه الحالة القبيحة، وأن يُشابهوا
المنافقين؛ فإنَّ ذلك موجب لأن
{تجعلوا لله عليكم سلطاناً مبيناً}؛ أي: حجة واضحةً على عقوبتكم؛ فإنه قد
أنذرنا وحذَّرنا منها، وأخبرنا بما فيها من المفاسد؛ فسلوكها بعد
هذا موجب للعقاب. و [في] هذه الآية دليل
على كمال عدل الله، وأنَّ الله لا يعذِّب أحداً قبل قيام الحجة
عليه. وفيها التحذير من المعاصي؛ فإنَّ فاعِلَها يجعل لله عليه
سلطاناً مبيناً.
(144) Tatkala Allah menyebutkan bahwa di
antara sifat-sifat orang-orang munafik itu adalah menjadikan
orang-orang kafir sebagai pemimpin dan penolong dengan
meninggalkan orang-orang beriman, Allah melarang hamba-hambaNya
yang beriman untuk menghiasi diri mereka dengan sifat yang jelek
tersebut, dan melarang mereka menyerupai orang-orang munafik.
Karena hal itu mengharuskan kalian ﴾ أَن تَجۡعَلُواْ لِلَّهِ
عَلَيۡكُمۡ سُلۡطَٰنٗا مُّبِينًا ﴿ "mengadakan alasan yang nyata
bagi Allah
(untuk menyiksamu)?" Artinya,
hujjah yang jelas untuk menghukum kalian. Karena Allah telah
meng-ingatkan kita dan telah mengancam kita dari hal tersebut,
dan telah memberitahukan tentang kemudharatannya, maka menempuh
jalan tersebut setelah itu semua mengharuskan adanya hukuman.
Dan
(pada) ayat yang mulia ini terdapat
dalil tentang kesempurna-an keadilan Allah, dan bahwa Allah
tidaklah menyiksa seseorang sebelum ditegakkan hujjah atas
dirinya. Juga menunjukkan ancaman dari kemaksiatan karena
pelakunya telah mengadakan alasan yang nyata untuk disiksa oleh
Allah.
{إِنَّ الْمُنَافِقِينَ فِي الدَّرْكِ الْأَسْفَلِ مِنَ
النَّارِ وَلَنْ تَجِدَ لَهُمْ نَصِيرًا
(145) إِلَّا الَّذِينَ تَابُوا
وَأَصْلَحُوا وَاعْتَصَمُوا بِاللَّهِ وَأَخْلَصُوا دِينَهُمْ
لِلَّهِ فَأُولَئِكَ مَعَ الْمُؤْمِنِينَ وَسَوْفَ يُؤْتِ
اللَّهُ الْمُؤْمِنِينَ أَجْرًا عَظِيمًا
(146) مَا يَفْعَلُ اللَّهُ
بِعَذَابِكُمْ إِنْ شَكَرْتُمْ وَآمَنْتُمْ وَكَانَ اللَّهُ
شَاكِرًا عَلِيمًا (147)}
.
"Sesungguhnya orang-orang munafik itu
(ditempatkan) pada tingkatan yang paling
bawah dari neraka. Dan kamu sekali-kali tidak akan mendapat
seorang penolong pun bagi mereka. Kecuali orang-orang yang
bertaubat dan mengadakan perbaikan dan ber-pegang teguh pada
(agama) Allah dan tulus ikhlas
(mengerjakan) agama mereka karena Allah.
Maka mereka itu bersama-sama orang yang beriman, dan kelak Allah
akan memberikan kepada orang-orang yang beriman pahala yang
besar. Mengapa Allah akan menyiksamu, jika kamu bersyukur dan
beriman? Dan Allah Maha Mensyukuri lagi Maha Mengetahui."
(An-Nisa`: 145-147).
#
{145} يخبرُ تعالى عن مآل
المنافقين أنَّهم في أسفل الدَّرَكات من العذاب وأشرِّ الحالات
من العقاب؛ فهم تحت سائر الكفار؛ لأنَّهم شاركوهم بالكفرِ بالله
ومعاداة رسله، وزادوا عليهم المكرَ والخديعةَ والتمكُّن من كثير
من أنواع العداوة للمؤمنين على وجه لا يُشْعَرُ به ولا يحسُّ،
ورتَّبوا على ذلك جريان أحكام الإسلام عليهم واستحقاق ما لا
يستحقُّونه؛ فبذلك ونحوه استحقُّوا أشدَّ العذاب، وليس لهم منقذ
من عذابه ولا ناصرٌ يدفع عنهم بعض عقابه.
(145) Allah سبحانه وتعالى memberitakan
tentang tempat kembali orang-orang munafik yaitu bahwa mereka
berada pada derajat yang paling rendah dari siksaan dan paling
buruk keadaan hukumannya, di bawah seluruh kaum kafir. Karena
mereka ini bersekutu dengan kaum kafir dalam kufur kepada Allah
dan memerangi RasulNya, namun orang-orang munafik itu melebihi
kaum kafir dalam kons-pirasi
(makar),
tipu muslihat, dan kemampuan untuk memper-gunakan berbagai macam
cara dalam memerangi kaum Muslimin dalam bentuk yang tidak
disadari dan tidak terlihat jelas. Dan akhirnya mereka akan
memperoleh semua kelebihan itu yaitu ber-lakunya hukum-hukum
Islam atas mereka dan berhaknya mereka mendapatkan apa yang
tidak didapatkan kaum kafir. Dengan itu mereka berhak
mendapatkan siksaan yang paling keras dan mereka tidak memiliki
tempat untuk menyelamatkan diri dari siksaanNya dan tidak pula
penolong yang membela mereka dari sebagian siksaanNya.
#
{146} وهذا عامٌّ لكل منافق؛ إلاَّ
مَن مَنَّ الله عليهم بالتوبة من السيئات.
{وأصلحوا}: له الظواهر والبواطن.
واعتصموا به والتجؤوا إليه في جلب منافعهم ودفع المضار عنهم،
{وأخلصوا دينهم}: الذي هو الإسلامُ
والإيمان والإحسان {لله}: فقصدوا
وجهَ الله بأعمالهم الظاهرة والباطنة، وسلِموا من الرياء
والنفاق؛ فمن اتَّصف بهذه الصفات
{فأولئك مع المؤمنين}؛
أي:
في الدُّنيا والبرزخ ويوم القيامة،
{وسوف يؤت الله المؤمنينَ أجراً عظيماً}: لا يعلمُ كُنْهَهُ إلا الله، مما لا عينٌ رأت ولا أذنٌ سمعت
ولا خطر على قلب بشر.
وتأمَّل كيف خصَّ الاعتصام والإخلاص بالذِّكر مع دخولهما في
قوله:
{وأصلحوا}؛ لأنَّ الاعتصام
والإخلاص من جملة الإصلاح؛ لشدَّة الحاجة إليهما، خصوصاً في هذا
المقام الحرج، الذي تمكَّن من القلوبِ النفاقُ، فلا يزيله إلاَّ
شدة الاعتصام بالله ودوام اللجأ والافتقار إليه في دفعه، وكون
الإخلاص منافٍ كل المنافاة للنفاق، فذكرهما لفضلِهما وتوقُّف
الأعمال الظاهرة والباطنة عليهما ولشدَّة الحاجة في هذا المقام
إليهما. وتأمَّل كيف لما ذكر أنَّ هؤلاء مع المؤمنين؛
لم يقل:
وسوف يؤتيهم أجراً عظيماً، مع أن السياق فيهم،
بل قال:
{وسوف يؤتي الله المؤمنين أجراً عظيماً}؛ لأنَّ هذه القاعدة الشريفة لم يزل الله يبدئ فيها ويعيد إذا
كان السياق في بعض الجزئيات، وأراد أن يترتب عليه ثواباً أو
عقاباً، وكان ذلك مشتركاً بينه وبين الجنس الداخل فيه؛ رتَّب
الثواب في مقابلة الحكم العام الذي تندرج تحته تلك القضية
وغيرها، ولئلاَّ يُتَوَهَّم اختصاصُ الحكم بالأمرِ الجزئيِّ؛
فهذا من أسرار القرآن البديعة؛ فالتائبُ من المنافقين مع
المؤمنين وله ثوابُهم.
(146) Ini umum bagi setiap orang munafik
kecuali bagi orang-orang yang diberikan oleh Allah karunia atas
mereka dengan penerimaan taubat dari kesalahan dan dosa, ﴾
وَأَصۡلَحُواْ
﴿ "dan meng-adakan perbaikan" karena Allah, lahir maupun
batin, berpegang teguh denganNya, bersandar kepadaNya demi
memperoleh manfaat untuk mereka dan menolak mudharat menimpa
mereka, ﴾
وَأَخۡلَصُواْ دِينَهُمۡ
﴿ "dan tulus ikhlas
(mengerjakan) agama mereka," yaitu
Islam, iman, dan ihsan ﴾
لِلَّهِ
﴿ "karena Allah." Mereka mengharapkan Wajah Allah dengan
amal-amal mereka, yang lahir maupun yang batin, terlepas dari
riya' dan kemunafikan. Barangsiapa yang memiliki sifat-sifat
tersebut, ﴾
فَأُوْلَٰٓئِكَ مَعَ ٱلۡمُؤۡمِنِينَۖ
﴿ "maka mereka itu bersama-sama orang yang beriman," yaitu,
di dunia, di alam barzakh, dan pada Hari Kiamat. ﴾
وَسَوۡفَ يُؤۡتِ ٱللَّهُ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ أَجۡرًا عَظِيمٗا
﴿ "Dan kelak Allah akan memberikan kepada orang-orang yang
beriman pahala yang besar," yang tidak ada yang mengetahui
besarnya (seperti apa) kecuali Allah,
yaitu balasan baik yang tidak pernah dilihat oleh mata, tidak
pernah didengar oleh telinga, dan tidak pernah terbetik pada
sanubari seorang manusia pun. Perhatikanlah bagaimana Allah
mengkhususkan kata "ber-pegang teguh" dan "ikhlas" dengan
menyebutkan secara tersendiri, padahal kedua hal itu termasuk
dalam FirmanNya, ﴾
وَأَصۡلَحُواْ
﴿ "Dan mengadakan perbaikan," karena berpegang teguh dan
ikhlas itu bagian dari perbaikan, dan keduanya sangat
dibutuhkan sekali, khususnya pada kondisi yang sangat sulit
seperti itu, di mana hati kemungkinan telah dikuasai oleh
kemunafikan. Maka tidaklah akan menghilangkannya kecuali
dengan berpegang teguh kepada Allah dan konsisten dalam
bersandar padaNya serta konsisten dalam berharap kepadaNya
demi menolak kemunafikan tersebut, dan keikhlasan itu
benar-benar dapat menghilangkan kemunafikan. Allah menyebutkan
kedua hal itu karena keutamaan keduanya dan ketergantungan
perbuatan lahir maupun batin kepada keduanya dan karena
kebutuhan yang sangat kepada kedua hal itu pada kondisi
seperti ini. Perhatikanlah tatkala Allah menyebutkan bahwa
mereka bersama kaum Mukminin. Allah tidak mengatakan bahwa Dia
akan memberikan pahala yang besar kepada mereka, padahal
konteks ayat ini adalah untuk mereka, namun Allah berfirman,
﴾
وَسَوۡفَ يُؤۡتِ ٱللَّهُ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ أَجۡرًا عَظِيمٗا ﴿ "Dan
kelak Allah akan memberikan kepada orang-orang yang beriman
pahala yang besar," karena kaidah yang mulia ini akan selalu
Allah tampakkan padanya dan selalu meng-ulangi bila konteksnya
pada beberapa bagian-bagian kecil, lalu Allah menghendaki akibat
pahala maupun siksa darinya, dan hal itu menjadi suatu yang
diterima bersama antara ia dengan jenis yang termasuk di
dalamnya. Allah menyiapkan pahala sebagai balasan dari suatu
ketetapan yang umum yang meliputi masalah tersebut atau masalah
lainnya, agar tidak diperkirakan adanya pengkhususan hukum
dengan perintah yang parsial. Ini adalah di antara
rahasia-rahasia al-Qur`an yang indah; maka orang yang ber-taubat
dari orang-orang munafik akan bersama kaum Mukminin dan
mendapatkan pahala seperti pahala mereka.
#
{147} ثم أخبر تعالى عن كمال غِناه
وسَعَةِ حلمه ورحمته وإحسانه، فقال:
{ما يفعلُ الله بعذابِكُم إن شَكَرْتُم وآمنتم}: والحالُ أنَّ الله شاكرٌ عليمٌ، يعطي المتحمِّلين لأجلِهِ
الأثقال، الدَّائبين في الأعمال، جزيل الثواب وواسعَ الإحسان،
ومن تَرَكَ شيئاً لله؛ أعطاه الله خيراً منه، ومع هذا يعلم
ظاهِرَكم وباطِنَكم وأعمالكم وما تصدُرُ عنه من إخلاص وصدقٍ
وضدِّ ذلك، وهو يريد منكم التوبة والإنابة والرجوع إليه؛ فإذا
أنبتُم إليه؛ فأيُّ شيءٍ يفعل بعذابكم؛ فإنَّه لا يتشفَّى
بعذابكم ولا ينتفع بعقابِكم، بل العاصي لا يضرُّ إلاَّ نفسه؛ كما
أنَّ عمل المطيع لنفسِهِ، والشكر هو خضوعُ القلب، واعترافُه
بنعمة الله، وثناءِ اللسان على المشكور، وعمل الجوارح بطاعتِهِ،
وأن لا يستعينَ بنعمه على معاصيه.
(147) Kemudian Allah سبحانه وتعالى
mengabarkan tentang kesempur-naan kekayaanNya dan luasnya kasih
sayangNya, rahmatNya dan kebaikanNya dalam FirmanNya, ﴾ مَّا
يَفۡعَلُ ٱللَّهُ بِعَذَابِكُمۡ إِن شَكَرۡتُمۡ وَءَامَنتُمۡۚ ﴿
"Mengapa Allah akan menyiksamu, jika kamu bersyukur dan
beriman?" Dan kenyataannya bahwa Allah memang Maha Mensyukuri
lagi Maha Mengetahui. Dia memberi pahala yang banyak dan
kebaikan yang luas kepada orang-orang yang bersabar menanggung
beban berat karenaNya dan orang-orang yang tekun beramal.
Barang-siapa yang meninggalkan sesuatu karena Allah, niscaya
Allah akan memberikan hal yang terbaik darinya. Di samping itu
Allah Maha Mengetahui lahiriyah kalian, batin kalian dan
perbuatan-perbuatan kalian serta apa yang nampak darinya berupa
keikhlasan, kejujur-an, atau hal yang berlawanan dengan itu. Dan
Allah menghendaki agar kalian bertaubat, berserah diri, dan
kembali kepadaNya. Bila kalian berserah diri kepadaNya, lalu
bagaimana mungkin Allah akan menyiksa kalian? Karena
sesungguhnya Allah tidaklah mengambil balas dengan menyiksa
kalian dan tidak mengambil manfaat dengan menghukum kalian. Akan
tetapi seseorang yang bermaksiat tidaklah melakukan kemudharatan
kecuali untuk dirinya sendiri, sebagaimana perbuatan seorang
yang taat adalah untuk dirinya sendiri, sedang syukur itu adalah
ketundukan hati, pengakuannya akan karunia Allah, pujian lisan
atas Dzat yang disyukuri, perbuatan anggota tubuh dengan
ketaatan kepadaNya, dan tidak mempergunakan kenikmatan dariNya
untuk bermaksiat kepadaNya.
{لَا يُحِبُّ اللَّهُ الْجَهْرَ بِالسُّوءِ مِنَ الْقَوْلِ
إِلَّا مَنْ ظُلِمَ وَكَانَ اللَّهُ سَمِيعًا عَلِيمًا
(148) إِنْ تُبْدُوا خَيْرًا أَوْ
تُخْفُوهُ أَوْ تَعْفُوا عَنْ سُوءٍ فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ
عَفُوًّا قَدِيرًا (149)}
.
"Allah tidak menyukai ucapan buruk,
(yang diucapkan) de-ngan terus terang
kecuali oleh orang yang dianiaya. Allah adalah Maha Mendengar
lagi Maha Mengetahui. Jika kamu menampak-kan suatu kebaikan atau
menyembunyikan atau memaafkan suatu kesalahan
(orang lain), maka sesungguhnya Allah
Maha Pemaaf lagi Mahakuasa."
(An-Nisa`: 148-149).
#
{148} يخبر تعالى أنه لا يحبُّ
الجهر بالسوء من القول؛ أي: يبغض ذلك
ويمقُتُه ويعاقبُ عليه، ويشمل ذلك جميع الأقوال السيئة التي تسوء
وتحزن؛ كالشتم والقذف والسَّبِّ ونحو ذلك؛ فإن ذلك كلَّه من
المنهيِّ عنه الذي يبغضُه الله، ويدلُّ مفهومها أنه يحبُّ الحسن
من القول؛ كالذِّكر والكلام الطيب الليِّن.
وقوله:
{إلَّا من ظُلم}؛
أي:
فإنه يجوز له أن يَدْعُوَ على من ظَلَمَهُ ويشتكي منه ويجهر
بالسُّوء لمن جَهَرَ له به من غير أن يكذِبَ عليه ولا يزيدُ على
مظلمتِهِ ولا يتعدَّى بشتمه غير ظالمه، ومع ذلك؛ فعفوُهُ وعدم
مقابلته أولى؛ كما قال تعالى:
{فمن عفا وأصْلَحَ فأجرُهُ على الله}، {وكان الله سميعاً عليماً}.
ولما كانت الآية قد اشتملت على الكلام السيئ والحسن والمباح؛
أخبر تعالى أنه سميع، فيسمع أقوالكم؛ فاحذروا أن تتكلَّموا بما
يغضب ربَّكم فيعاقبكم [على ذلك]، وفيه
أيضاً ترغيب على القول الحسن. عليمٌ بنيَّاتكم ومصدر أقوالكم.
(148) Allah تعالى mengabarkan bahwa Dia
tidak menyukai perkataan buruk yang diucapkan dengan
terang-terangan, artinya, Allah membencinya, melaknatnya, dan
menyiapkan hukuman atasnya. Termasuk di dalamnya adalah seluruh
perkataan yang buruk yang menjelekkan dan menyedihkan, seperti
celaan, tuduhan, umpatan, dan semacamnya. Semua itu adalah di
antara hal-hal yang dilarang yang sangat dibenci oleh Allah.
Pemahaman terbalik dari ayat ini adalah bahwa Allah menyu-kai
perkataan yang baik, seperti dzikir dan perkataan yang baik lagi
lembut. Dan FirmanNya, ﴾ إِلَّا مَن ظُلِمَۚ
﴿ "Kecuali oleh orang yang dianiaya," maksudnya, ia boleh
mendoakan keburukan atas orang yang menzhaliminya, ia
mengadukan kezhalimannya, dan terang-terangan menyampaikan
perkataan jelek kepada orang yang me-lantangkan perkataan
jelek kepadanya tanpa ia berdusta atasnya, dan tidak pula
melebihi dari kezhaliman yang dirasakannya, dan tidak pula
melebihi celaannya itu kepada selain orang yang telah
menzhaliminya. Namun demikian, tindakannya untuk memaafkan dan
tidak membalasnya adalah lebih utama sebagaimana dalam
FirmanNya, ﴾
فَمَنۡ عَفَا وَأَصۡلَحَ فَأَجۡرُهُۥ عَلَى ٱللَّهِۚ
﴿ "Maka barangsiapa memaafkan dan berbuat baik, maka
pahalanya atas (tanggungan) Allah."
(Asy-Syura: 40). ﴾
وَكَانَ ٱللَّهُ سَمِيعًا عَلِيمًا ﴿ "Dan Allah Maha Mendengar
lagi Maha Menge-tahui." Tatkala ayat ini mencakup perkataan yang
buruk, baik, dan mubah, lalu Allah mengabarkan bahwa Dia Maha
Mendengar; yang mendengar perkataan-perkataan kalian, maka
berhati-hatilah kalian untuk berbicara dengan sesuatu yang akan
membuat Allah murka lalu menghukum kalian
(karenanya). Ayat ini juga menun-jukkan
anjuran untuk berkata yang baik, dan Allah Maha Menge-tahui akan
niat-niat kalian dan sumber dari perkataan-perkataan kalian.
#
{149} ثم قال تعالى:
{إن تُبْدوا خيراً أو تُخْفوه}:
وهذا يشمل كلَّ خير قوليٍّ وفعليٍّ ظاهر وباطن من واجب ومستحب،
{أو تعفوا عن سوءٍ}؛
أي:
عمَّن ساءكم في أبدانكم وأموالِكم وأعراضِكم فتسمَحوا عنه؛ فإنَّ
الجزاء من جنس العمل؛ فمن عفا لله؛ عفا الله عنه. ومن أحسن؛ أحسن
الله إليه؛ فلهذا قال:
{فإنَّ الله كان عفوًّا قديراً}؛ أي: يعفو عن زَلاَّت عباده وذنوبهم
العظيمة، فيسدِلُ عليهم سِتْرَه، ثم يعاملهم بعفوِهِ التامِّ
الصادر عن قدرته. وفي هذه الآية إرشادٌ إلى التفقه في معاني
أسماء الله وصفاته، وأنَّ الخلق والأمر صادرٌ عنها، وهي مقتضية
له ولهذا يعلل الأحكام بالأسماء الحسنى كما في هذه الآية، لما
ذكر عمل الخير والعفو عن المسيء، رتَّب على ذلك بأن أحالنا على
معرفة أسمائِهِ، وأنَّ ذلك يُغنينا عن ذِكْرِ ثوابها الخاص.
(149) Kemudian Allah سبحانه وتعالى
berfirman, ﴾ إِن تُبۡدُواْ خَيۡرًا أَوۡ تُخۡفُوهُ
﴿ "Jika kamu menampakkan suatu kebaikan atau
menyembunyikannya," ini mencakup segala kebaikan, perkataan,
maupun perbuatan, lahir maupun batin dan berupa wajib maupun
sunnah, ﴾
أَوۡ تَعۡفُواْ عَن سُوٓءٖ
﴿ "atau memaafkan suatu kesalahan
(orang lain)," maksudnya, dari
se-orang yang telah berbuat buruk pada tubuh, harta, dan
kehormatan kalian, maka maafkanlah kesalahannya tersebut.
Karena balasan itu sesuai dengan perbuatan. Barangsiapa yang
memaafkan karena Allah, niscaya Allah akan memaafkannya, dan
barangsiapa yang berbuat baik, niscaya Allah akan berbuat baik
kepadanya. Karena itulah Allah berfirman, ﴾
فَإِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَفُوّٗا قَدِيرًا ﴿ "Maka sesungguhnya
Allah Maha Pemaaf lagi Mahakuasa," maksudnya, Allah memaafkan
segala ketergelinciran hamba-hambaNya dan dosa-dosa mereka yang
besar. Allah menutup kekurangan mereka kemudian memper-lakukan
mereka dengan maaf yang penuh yang bersumber dari kekuatanNya.
Ayat ini mengandung arahan untuk mendalami makna nama-nama Allah
dan sifat-sifatNya, dan bahwa penciptaan dan perintahNya itu
berawal dari padanya, dan ia adalah tuntutannya, karena itulah
ketetapan hukum-hukum tersebut dikaitkan dengan nama-nama Allah
yang baik sebagaimana yang terjadi pada ayat ini. Tatkala Allah
menyebutkan perbuatan baik dan memaafkan orang yang bersalah,
Allah merangkaikan
(FirmanNya) dengan
mengarahkan kita untuk mengetahui nama-namaNya, dan bahwa hal
itu akan mencukupi kita dari penyebutan pahalanya yang khusus.
{إِنَّ الَّذِينَ يَكْفُرُونَ بِاللَّهِ وَرُسُلِهِ
وَيُرِيدُونَ أَنْ يُفَرِّقُوا بَيْنَ اللَّهِ وَرُسُلِهِ
وَيَقُولُونَ نُؤْمِنُ بِبَعْضٍ وَنَكْفُرُ بِبَعْضٍ
وَيُرِيدُونَ أَنْ يَتَّخِذُوا بَيْنَ ذَلِكَ سَبِيلًا
(150) أُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ
حَقًّا وَأَعْتَدْنَا لِلْكَافِرِينَ عَذَابًا مُهِينًا
(151) وَالَّذِينَ آمَنُوا بِاللَّهِ
وَرُسُلِهِ وَلَمْ يُفَرِّقُوا بَيْنَ أَحَدٍ مِنْهُمْ
أُولَئِكَ سَوْفَ يُؤْتِيهِمْ أُجُورَهُمْ وَكَانَ اللَّهُ
غَفُورًا رَحِيمًا (152)}
.
"Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada Allah dan
rasul-rasulNya, dan bermaksud memperbedakan antara
(keimanan kepada) Allah dan
rasul-rasulNya, dengan mengatakan, 'Kami beriman kepada yang
sebagian dan kami kafir terhadap sebagian
(yang lain)', serta bermaksud
(dengan perkataan itu) mengambil jalan
(tengah) di antara yang demikian
(iman atau kafir), mereka-lah
orang-orang yang kafir sebenar-benarnya. Kami telah menye-diakan
untuk orang-orang yang kafir itu siksaan yang menghina-kan.
Orang-orang yang beriman kepada Allah dan para rasulNya dan
tidak membeda-bedakan seorang pun di antara mereka, kelak Allah
akan memberikan kepada mereka pahalanya. Dan Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang."
(An-Nisa`: 150-152).
#
{150} هنا قِسْمان قد وَضَحا لكلِّ
أحد: مؤمن بالله وبرسله كلِّهم وكتبه، وكافرٌ بذلك كلِّه.
وبقي قسم ثالثٌ:
وهو الذي يزعم أنه يؤمن ببعض الرسل دون بعض، وأنَّ هذا سبيلٌ
ينجيه من عذاب الله، إن هذا إلاَّ مجرَّد أماني؛ فإنَّ هؤلاء
يريدون التفريق بين الله وبين رسله؛ فإنَّ من تولَّى الله حقيقة؛
تولَّى جميع رسله؛ لأن ذلك من تمام تولِّيه، ومن عادى أحداً من
رسله؛ فقد عادى الله وعادى جميع رسله؛
كما قال تعالى:
{مَن كان عَدُوًّا لله ... }
الآيات، وكذلك من كفر برسول؛ فقد كفر بجميع الرسل، بل بالرسول
الذي يزعم أنه به مؤمن.
(150) Di sini ada dua bagian yang telah
Allah jelaskan masing-
masing dari keduanya:
Pertama, seorang yang beriman kepada Allah, kepada seluruh
rasulNya dan kitab-kitabNya, dan kedua, seorang yang kafir
kepada itu semua. Maka tersisa orang yang ketiga yaitu orang
yang mengaku bahwa ia beriman kepada sebagian rasul dan tidak
kepada sebagian lainnya, dan bahwa hal ini adalah jalan yang
akan menyelamatkannya dari siksaan Allah. Sesungguhnya hal itu
tidak lain hanyalah angan-angan belaka, sesungguhnya orang-orang
itu menghendaki pemisahan antara Allah dan rasul-rasulNya.
Sesungguhnya barangsiapa yang berwali kepada Allah secara
sungguh-sungguh, niscaya ia akan berwali juga kepada seluruh
rasul-rasulNya, karena hal itu merupakan kesempurnaan perwalian,
dan barangsiapa yang memusuhi salah satu dari rasul-rasulNya,
sesungguhnya ia telah memusuhi Allah dan memusuhi seluruh
rasul-rasulNya, sebagaimana Allah سبحانه وتعالى ber-firman, ﴾
مَن كَانَ عَدُوّٗا لِّلَّهِ وَمَلَٰٓئِكَتِهِۦ وَرُسُلِهِۦ
وَجِبۡرِيلَ وَمِيكَىٰلَ فَإِنَّ ٱللَّهَ عَدُوّٞ لِّلۡكَٰفِرِينَ
98 ﴿ "Barangsiapa yang menjadi musuh Allah,
malaikat-malaikatNya, rasul-rasulNya, Jibril dan Mikail, maka
sesungguhnya Allah adalah musuh orang-orang kafir."
(Al-Baqarah: 98). Demikian juga halnya orang yang kafir terhadap seorang rasul
sesungguhnya ia telah kafir kepada seluruh rasul, bahkan kepada
rasul yang ia mengaku bahwa ia beriman kepadanya.
#
{151 ـ 152} ولهذا قال:
{أولئك هم الكافرون حقًّا}، وذلك
لئلاَّ يُتَوهَّم أنَّ مرتَبَتَهم متوسطةٌ بين الإيمان والكفر.
ووجه كونهم كافرين حتَّى بما زَعَموا الإيمان به؛ أنَّ كلَّ دليل
دلَّهم على الإيمان بمن آمنوا به موجودٌ هو أو مثله أو ما فوقه
للنبيِّ الذي كفروا به، وكلَّ شبهةٍ يزعُمون أنهم يقدحون بها في
النبيِّ الذي كفروا به موجودٌ مثلها أو أعظم منها فيمن آمنوا به،
فلم يبق بعد ذلك إلا التشهِّي والهوى ومجرَّد الدَّعوى التي يمكن
كلُّ أحدٍ أنْ يقابلَها بمثلها. ولما ذكر أن هؤلاء هم الكافرون
حَقًّا؛ ذكر عقاباً شاملاً لهم ولكل كافر،
فقال:
{وأعْتَدْنا للكافرين عذاباً مُهيناً}؛ كما تكبَّروا عن الإيمان بالله؛ أهانَهم بالعذاب الأليم
المُخْزي.
{والذين آمنوا بالله ورسلِهِ}:
وهذا يتضمَّن الإيمان بكلِّ ما أخبر الله به عن نفسه وبكلِّ ما
جاءت به الرسلُ من الأخبار والأحكام. ولم يفرِّقوا بين أحدٍ من
رسله، بل آمنوا بهم كلِّهم؛ فهذا الإيمان الحقيقيُّ واليقين
المبنيُّ على البرهان.
{أولئك سوف يؤتيهم أجورَهم}؛
أي:
جزاءَ إيمانِهِم وما ترتَّب عليه من عمل صالح وقول حسن وخُلُق
جميل؛ كلٌّ على حَسَبِ حاله، ولعلَّ هذا هو السرُّ في إضافة
الأجور إليهم.
{وكان الله غفوراً رحيماً}: يغِفرُ
السيِّئات، ويتقبَّل الحسنات.
(151-152) Karena itulah Allah berfirman,
﴾ أُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡكَٰفِرُونَ حَقّٗاۚ
﴿ "Merekalah orang-orang yang kafir sebenar-benarnya," yang
demikian itu agar tidak ada asumsi yang salah bahwa kedudukan
mereka adalah pertengahan antara iman dan kufur. Alasan mereka
disebut sebagai kafir hingga terhadap nabi yang mereka klaim
bahwa me-reka beriman kepadanya, bahwa setiap dalil yang
menunjukkan kepada mereka untuk beriman kepada orang yang
mereka imani, dalil itu sendiri atau yang sepertinya atau yang
lebih tinggi dari-nya adalah ada pada nabi yang mereka kafir
kepadanya. Setiap syubhat yang mereka tuduhkan kepada Nabi ﷺ
yang mereka kafir kepadanya, syubhat tersebut atau bahkan yang
lebih besar darinya ada pada rasul yang mereka imani. Maka
selain itu tidak ada lagi yang tersisa kecuali keinginan
syahwat, nafsu dan sekedar penga-kuan yang mungkin saja setiap
orang mampu menolaknya dengan dalih yang sama sepertinya. Dan
tatkala Allah menyebutkan bahwa mereka adalah orang-orang
kafir dengan sebenar-benarnya, lalu Allah menyebutkan hukuman
yang menyeluruh untuk mereka dan untuk setiap orang yang kafir
seraya berfirman, ﴾
وَأَعۡتَدۡنَا لِلۡكَٰفِرِينَ عَذَابٗا مُّهِينٗا
﴿ "Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir itu
siksaan yang menghina-kan." Sebagaimana mereka telah berlaku
sombong dari beriman kepada Allah, maka Allah menghinakan
mereka dengan siksaan yang menyakitkan lagi menghinakan,
﴾
وَٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ بِٱللَّهِ وَرُسُلِهِۦ
﴿ "Dan orang-orang yang beriman kepada Allah dan para
rasulNya." Ini mencakup keimanan kepada seluruh kabar yang
diberitakan oleh Allah tentang DiriNya dan kepada seluruh
perkara yang datang dari para rasul berupa berita-berita dan
hukum-hukum, dan mereka tidak membeda-bedakan antara satu
rasul pun, akan tetapi mereka beriman kepada mereka
seluruhnya. Inilah keimanan yang hakiki dan keyakinan yang
didasari oleh keterangan yang kuat. ﴾
أُوْلَٰٓئِكَ سَوۡفَ يُؤۡتِيهِمۡ أُجُورَهُمۡۚ
﴿ "Kelak Allah akan memberikan kepada mereka pahalanya,"
yaitu, balasan bagi keimanan mereka dan apa pun yang
dihasilkan karenanya berupa amalan-amalan shalih, perkataan
yang baik, dan akhlak yang terpuji. Sesuai dengan kondisinya.
Dan sepertinya inilah rahasia dari penyandaran kata pahala
kepada mereka. ﴾
وَكَانَ ٱللَّهُ غَفُورٗا رَّحِيمٗا ﴿ "Dan Allah Maha Pengam-pun
lagi Maha Penyayang." Allah mengampuni kesalahan-kesalahan dan
menerima segala kebaikan.
{يَسْأَلُكَ أَهْلُ الْكِتَابِ أَنْ تُنَزِّلَ عَلَيْهِمْ
كِتَابًا مِنَ السَّمَاءِ فَقَدْ سَأَلُوا مُوسَى أَكْبَرَ
مِنْ ذَلِكَ فَقَالُوا أَرِنَا اللَّهَ جَهْرَةً
فَأَخَذَتْهُمُ الصَّاعِقَةُ بِظُلْمِهِمْ ثُمَّ اتَّخَذُوا
الْعِجْلَ مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَتْهُمُ الْبَيِّنَاتُ
فَعَفَوْنَا عَنْ ذَلِكَ وَآتَيْنَا مُوسَى سُلْطَانًا
مُبِينًا (153) وَرَفَعْنَا
فَوْقَهُمُ الطُّورَ بِمِيثَاقِهِمْ وَقُلْنَا لَهُمُ
ادْخُلُوا الْبَابَ سُجَّدًا وَقُلْنَا لَهُمْ لَا تَعْدُوا
فِي السَّبْتِ وَأَخَذْنَا مِنْهُمْ مِيثَاقًا غَلِيظًا
(154) فَبِمَا نَقْضِهِمْ
مِيثَاقَهُمْ وَكُفْرِهِمْ بِآيَاتِ اللَّهِ وَقَتْلِهِمُ
الْأَنْبِيَاءَ بِغَيْرِ حَقٍّ وَقَوْلِهِمْ قُلُوبُنَا غُلْفٌ
بَلْ طَبَعَ اللَّهُ عَلَيْهَا بِكُفْرِهِمْ فَلَا يُؤْمِنُونَ
إِلَّا قَلِيلًا (155) وَبِكُفْرِهِمْ
وَقَوْلِهِمْ عَلَى مَرْيَمَ بُهْتَانًا عَظِيمًا
(156) وَقَوْلِهِمْ إِنَّا قَتَلْنَا
الْمَسِيحَ عِيسَى ابْنَ مَرْيَمَ رَسُولَ اللَّهِ وَمَا
قَتَلُوهُ وَمَا صَلَبُوهُ وَلَكِنْ شُبِّهَ لَهُمْ وَإِنَّ
الَّذِينَ اخْتَلَفُوا فِيهِ لَفِي شَكٍّ مِنْهُ مَا لَهُمْ
بِهِ مِنْ عِلْمٍ إِلَّا اتِّبَاعَ الظَّنِّ وَمَا قَتَلُوهُ
يَقِينًا (157) بَلْ رَفَعَهُ اللَّهُ
إِلَيْهِ وَكَانَ اللَّهُ عَزِيزًا حَكِيمًا
(158) وَإِنْ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ
إِلَّا لَيُؤْمِنَنَّ بِهِ قَبْلَ مَوْتِهِ وَيَوْمَ
الْقِيَامَةِ يَكُونُ عَلَيْهِمْ شَهِيدًا
(159) فَبِظُلْمٍ مِنَ الَّذِينَ
هَادُوا حَرَّمْنَا عَلَيْهِمْ طَيِّبَاتٍ أُحِلَّتْ لَهُمْ
وَبِصَدِّهِمْ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ كَثِيرًا
(160) وَأَخْذِهِمُ الرِّبَا وَقَدْ
نُهُوا عَنْهُ وَأَكْلِهِمْ أَمْوَالَ النَّاسِ بِالْبَاطِلِ
وَأَعْتَدْنَا لِلْكَافِرِينَ مِنْهُمْ عَذَابًا أَلِيمًا
(161)}
.
"Ahli Kitab meminta kepadamu agar kamu menurunkan ke-pada mereka
sebuah Kitab dari langit. Maka sesungguhnya mereka telah meminta
kepada Musa yang lebih besar dari itu. Mereka berkata,
'Perlihatkanlah Allah kepada kami dengan nyata.' Maka mereka
disambar petir karena kezhaliman mereka, dan mereka menyembah
anak sapi, sesudah datang kepada mereka bukti-bukti yang nyata,
lalu Kami maafkan
(mereka) dari yang
demikian. Dan telah Kami berikan kepada Musa keterangan yang
nyata. Dan telah Kami angkat ke atas
(kepala) mereka bukit Thursina untuk
(menerima) perjanjian
(yang telah Kami ambil dari) mereka. Dan
Kami perintahkan kepada mereka, 'Masukilah pintu gerbang itu
sambil bersujud,' dan Kami perintahkan
(pula) kepada mereka, 'Janganlah kamu
melanggar peraturan mengenai hari Sabtu', dan Kami telah
mengambil dari mereka perjanjian yang kokoh. Maka
(Kami lakukan terhadap mereka beberapa tindakan), disebabkan mereka melanggar perjanjian itu, dan karena
kekafiran mereka terhadap keterangan-keterangan Allah dan mereka
membunuh nabi-nabi tanpa
(alasan) yang
benar dan mengatakan, 'Hati kami tertutup.' Bahkan, sebenarnya
Allah telah mengunci mati hati mereka karena kekafirannya,
karena itu mereka tidak beriman kecuali sebagian kecil dari
mereka. Dan karena kekafiran mereka
(terhadap Isa) dan tuduhan mereka
terhadap Maryam dengan kedustaan besar
(zina), dan karena ucapan mereka,
'Sesungguhnya kami telah membunuh al-Masih, Isa putra Maryam,
Rasul Allah,' padahal mereka tidak membunuhnya dan tidak
(pula) menyalib-nya, tetapi
(yang mereka bunuh ialah) orang yang
diserupakan dengan Isa bagi mereka. Sesungguhnya orang-orang
yang berselisih paham tentang
(pembunuhan) Isa, benar-benar dalam
keragu-raguan tentang yang dibunuh itu. Mereka tidak mempunyai
keya-kinan tentang siapa yang dibunuh itu, kecuali mengikuti
persang-kaan belaka, mereka tidak
(pula) yakin bahwa yang mereka bunuh itu
adalah Isa. Tetapi
(yang sebenarnya),
Allah telah mengangkat Isa kepadaNya. Dan Allah Mahaperkasa lagi
Mahabijaksana. Tidak ada seorang pun dari Ahli Kitab, kecuali
akan beriman kepa-danya
(Isa) sebelum
kematiannya. Dan di Hari Kiamat nanti Isa itu akan menjadi saksi
atas mereka. Maka disebabkan kezhaliman orang-orang Yahudi, Kami
haramkan atas mereka
(memakan ma-kanan) yang baik-baik
(yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka,
dan karena mereka banyak menghalangi
(manusia) dari jalan Allah, dan
disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka
telah dilarang darinya, dan karena mereka memakan harta benda
orang lain dengan jalan yang batil. Kami telah menyedia-kan
untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang
pedih."
(An-Nisa`: 153-161).
#
{153 ـ 158} هذا السؤال الصادر من
أهل الكتاب للرسول محمدٍ - صلى الله عليه وسلم - على وجه العناد
والاقتراح وجَعْلِهم هذا السؤال يتوقَّف عليه تصديقُهم أو
تكذيبُهم، وهو أنَّهم سألوه أن ينزِلَ عليهم القرآن جملةً واحدةً
كما نزلتِ التوراة والإنجيل، وهذا غاية الظُّلم منهم
[والجهل]؛ فإن الرسول بشرٌ عبدٌ مدبَّرٌ
ليس في يده من الأمر شيءٌ، بل الأمر كلُّه لله، وهو الذي يرسل
وينزل ما يشاء على عباده؛
كما قال تعالى عن الرسول لما ذَكَرَ الآيات التي فيها اقتراح
المشركين على محمد:
{قُلْ سبحان ربِّي هل كنتُ إلا بشراً رسولاً}؛ وكذلك جعلهم الفارق بين الحقِّ والباطل مجرَّد إنزال الكتاب
جملةً أو مفرقاً مجرَّد دعوى لا دليل عليها، ولا مناسبة بل ولا
شُبهة؛ فمن أين يوجد في نبوَّة أحد من الأنبياء أنَّ الرسول الذي
يأتيكم بكتابٍ نزل مفرَّقاً؛ فلا تؤمنوا به ولا تصدِّقوه؟! بل
نزول هذا القرآن مفرَّقاً بحسب الأحوال مما يَدُلُّ على عظمتِهِ
واعتناء الله بمن أُنْزِل عليه؛
كما قال تعالى:
{وقال الذين كفروا لولا نُزِّلَ عليه القرآن جملةً واحدةً
كذلك لِنُثَبِّتَ به فؤادك ورتَّلْناه ترتيلاً. ولا يأتونَكَ
بَمَثل إلاَّ جئناك بالحقِّ وأحسنَ تفسيراً}. فلمَّا ذكر اعتراضهم الفاسد؛ أخبر أنه ليس بغريب من أمرهم، بل
سبق لهم من المقدِّمات القبيحة ما هو أعظم مما سلكوا مع الرسول
الذي يزعمون أنهم آمنوا به؛ من سؤالهم له رؤية الله عياناً،
واتِّخاذهم العجلَ إلهاً يعبُدونه من بعدما رأوا من الآيات
بأبصارهم ما لم يَرَه غيرهم، ومن امتناعهم من قبول أحكام كتابهم،
وهو التوراة حتى رفع الطُّور من فوق رؤوسهم، وهُدِّدوا أنهم إن
لم يؤمنوا أسقط عليهم فقبلوا ذلك على وجه الإغماض والإيمان
الشبيه بالإيمان الضروريِّ، ومن امتناعهم من دخول أبواب القرية
التي أمروا بدخولها سجَّداً مستغفرين فخالفوا القول والفعل، ومن
اعتداء من اعتدى منهم في السبت فعاقبهم الله تلك العقوبة
الشنيعة، وبأخذ الميثاق الغليظ عليهم فنبذوه وراء ظهورِهم وكفروا
بآيات الله وقتلوا رسلَه بغير حقٍّ،
ومن قولهم:
إنَّهم قتلوا المسيح عيسى وصلبوه، والحالُ أنَّهم ما قتلوه وما
صلبوه بل شُبِّه لهم غيره. فقتلوا غيره وصَلَبوه، وادِّعائهم
أنَّ قلوبهم غلفٌ لا تفقه ما تقول لهم ولا تفهمه، وبصدِّهم الناس
عن سبيل الله فصدُّوهم عن الحقِّ، ودعَوْهم إلى ما هم عليه من
الضلال والغيِّ، وبأخذِهم السُّحت والرِّبا مع نهي الله لهم عنه
والتشديد فيه؛ فالذين فعلوا هذه الأفاعيل لا يُستنكر عليهم أن
يسألوا الرسول محمداً أن ينزِّل عليهم كتاباً من السماء. وهذه
الطريقة من أحسن الطُّرق لمحاجَّة الخصم المبطل، وهو أنَّه إذا
صدر منه من الاعتراض الباطل ما جعله شبهةً له ولغيره في ردِّ
الحق أن يبيَّن من حاله الخبيثة وأفعاله الشنيعة ما هو من أقبح
ما صدر منه؛ ليعلم كلُّ أحدٍ أنَّ هذا الاعتراض من ذلك الوادي
الخسيس، وأنَّ له مقدماتٍ يجعل هذا معها. وكذلك كل اعتراض
يعترضون به على نبوَّة محمدٍ - صلى الله عليه وسلم - يمكنُ أن
يقابَلَ بمثلِهِ أو ما هو أقوى منه في نبوَّة من يدَّعون إيمانهم
به؛ ليكتفي بذلك شرّهم وينقمع باطلهم، وكل حجَّة سلكوها في
تقريرهم لنبوَّة من آمنوا به؛ فإنها ونظيرها وما هو أقوى منها
دالَّة ومقرِّرة لنبوَّة محمد - صلى الله عليه وسلم -. ولما كان
المراد من تعديد ما عدَّد الله من قبائحهم هذه المقابلة؛ لم
يبسطْها في هذا الموضع، بل أشار إليها وأحال على مواضعها، وقد
بسطها في غير هذا الموضع في المحلِّ اللائق ببسطها.
(153-158) Pertanyaan ini, yang bersumber
dari Ahli Kitab yang dialamatkan kepada Rasulullah ﷺ adalah
bentuk kedurha-kaan dan usulan, dan tindakan mereka menjadikan
pertanyaan ini sebagai patokan hingga mereka percaya atau
mendustakan, pertanyaan itu adalah bahwa mereka meminta kepada
beliau agar seluruh al-Qur`an diturunkan secara langsung sekali
turun saja sebagaimana Taurat dan Injil diturunkan. Ini adalah
tindakan kezhaliman yang sangat jauh dari mereka
(dan juga kebodohan), karena
sesungguhnya Rasul itu adalah seorang manusia dan se-orang hamba
yang diatur, beliau tidak memiliki kuasa dalam hal itu sama
sekali, akan tetapi perkara itu adalah milik Allah saja,
Allah-lah yang mengutus dan menurunkan apa yang dikehendaki atas
hamba-hambaNya, seperti Firman Allah سبحانه وتعالى tentang Rasul
tatkala menyebutkan ayat-ayat yang menerangkan usulan
orang-orang musyrik terhadap Muhammad ﷺ, ﴾ قُلۡ سُبۡحَانَ رَبِّي
هَلۡ كُنتُ إِلَّا بَشَرٗا رَّسُولٗا 93
﴿ "Katakanlah, 'Mahasuci Tuhanku, bukankah aku ini hanya
seorang manusia yang menjadi rasul?'"
(Al-Isra`: 93). Demikian juga tindakan mereka menjadikan pembeda antara
kebenaran dan kebatilan dengan hanya sebatas turunnya al-Kitab
secara keseluruhan atau terpisah-pisah, hal itu adalah sebuah
tuduhan yang tidak berdasarkan dalil sama sekali, tidak sesuai
bahkan tidak ada syubhat. Lalu darimana datangnya dalil pada
kenabian seorang nabi di antara nabi-nabi bahwa seorang rasul
yang datang kepada kalian dengan membawa kitab yang turun
secara terpisah-pisah, sehingga kalian tidak beriman kepadanya
dan tidak mempercayainya? Akan tetapi turunnya al-Qur`an
secara berangsur-angsur sesuai dengan kondisi, adalah
menunjukkan akan keagungan Allah dan perhatianNya kepada orang
yang kitab tersebut diturunkan kepadanya, sebagaimana Allah
سبحانه وتعالى berfirman, ﴾
وَقَالَ ٱلَّذِينَ كَفَرُواْ لَوۡلَا نُزِّلَ عَلَيۡهِ
ٱلۡقُرۡءَانُ جُمۡلَةٗ وَٰحِدَةٗۚ كَذَٰلِكَ لِنُثَبِّتَ بِهِۦ
فُؤَادَكَۖ وَرَتَّلۡنَٰهُ تَرۡتِيلٗا 32 وَلَا يَأۡتُونَكَ
بِمَثَلٍ إِلَّا جِئۡنَٰكَ بِٱلۡحَقِّ وَأَحۡسَنَ تَفۡسِيرًا 33 ﴿
"Berkatalah orang-orang yang kafir, 'Mengapa al-Qur`an itu tidak
diturunkan kepadanya sekali turun saja?' Demikianlah supaya Kami
perkuat hatimu dengannya dan Kami membacanya secara tartil
(teratur dan benar). Tidaklah
orang-orang kafir itu datang kepadamu
(membawa) sesuatu yang ganjil, melainkan
Kami datangkan kepadamu suatu yang benar dan yang paling baik
penjelasannya."
(Al-Furqan: 32-33). Ketika Allah menyebutkan keberatan mereka yang batil, Allah
mengabarkan bahwa perbuatan mereka yang seperti itu bukanlah
suatu yang aneh bahkan telah ada sikap-sikap sebelumnya dari
mereka yang jelek yang lebih buruk yang mereka tempuh bersama
Rasul yang mereka klaim bahwa mereka beriman kepadanya, yaitu
permohonan mereka kepada beliau agar dapat melihat Allah secara
nyata, tindakan mereka menjadikan patung anak sapi sebagai tuhan
yang mereka sembah, setelah mereka menyaksikan bukti-bukti nyata
kekuasaan Allah dengan mata kepala mereka yang tidak pernah
disaksikan oleh orang selain mereka, dan penolakan mereka untuk
menerima hukum-hukum dari kitab mereka yaitu Taurat, hingga
Allah mengangkat bukit Thur di atas kepala-kepala mereka, dan
mereka diancam bahwasanya bila mereka tidak ber-iman, niscaya
Allah akan menjatuhkan bukit itu kepada mereka. Lalu mereka
menerima hal itu dengan mata tertunduk dan ke-imanan
(palsu) yang menyerupai keimanan yang
asasi. Dan juga berupa penolakan mereka untuk memasuki
pintu-pintu negeri di mana mereka diperintahkan untuk
memasukinya sebagai orang-orang yang bersujud dan memohon ampun,
tetapi mereka menya-lahi perintah dan perbuatan
(yang diwajibkan). Juga tindakan
melampaui batas dari orang-orang di antara mereka terhadap hari
Sabtu, hingga akhirnya Allah menghukum mereka dengan hukum-an
yang keji tersebut, dan diambilnya perjanjian yang kuat atas
mereka namun mereka melemparnya di belakang punggung me-reka dan
mereka kufur kepada ayat-ayat Allah, mereka membunuh rasul-rasul
Allah tanpa haq. Dan di antara perkataan mereka adalah;
sesungguhnya mereka membunuh al-Masih Isa عليه السلام dan
menyalibnya, padahal kenyataannya mereka tidaklah membunuh
al-Masih dan tidak pula menyalibnya, akan tetapi orang lain
diserupakan dengannya hingga mereka membunuh orang lain tersebut
dan menyalibnya. Dan pengakuan mereka bahwa hati mereka
tertutup, tidak mema-hami apa yang dikatakan dan tidak mengerti.
Mereka juga meng-halangi manusia dari jalan Allah hingga mereka
menghalangi ma-nusia dari kebenaran, mengajak manusia kepada apa
yang mereka yakini berupa kesesatan dan penyimpangan, dan mereka
juga mengambil riba dan barang yang dilarang, padahal Allah
telah melarang mereka darinya dan telah menegaskannya. Maka
orang-orang yang melakukan perbuatan-perbuatan seperti itu
tidaklah aneh bila keluar dari mereka permintaan kepada Rasul
Muhammad ﷺ untuk menurunkan kitab
(berbentuk buku) kepada mereka dari
langit. Jalan ini adalah sebaik-baik jalan dalam berdebat dengan
lawan yang batil, yaitu bahwa bila terjadi sanggahan yang batil
yang membuatnya menjadi syubhat baginya dan bagi orang lain
dalam menolak kebenaran, agar ia menjelaskan kondisinya yang
licik dan perbuatan-perbuatannya yang keji yang merupakan
perkara yang paling jelek darinya. Agar setiap orang mengetahui
bahwa sanggahan tersebut berasal dari lembah yang berbahaya, dan
bahwasanya sebelum itu telah ada hal-hal lain yang ia jadikan
sanggahan. Demikian juga setiap sanggahan yang mereka utarakan
atas kenabian Muhammad ﷺ, mungkin dapat dilawan dengan yang sama
dengannya atau dengan yang lebih kuat darinya pada kena-bian
orang yang mereka akui beriman kepadanya, agar kejahatan mereka
selesai dengan hal tersebut dan kebatilan mereka terputus. Dan
setiap hujjah yang mereka tempuh untuk menetapkan kena-bian
orang yang mereka imani, dan yang serupa dengannya atau yang
lebih kuat darinya adalah menunjukkan dan menetapkan kenabian
Muhammad ﷺ. Dan tatkala maksud dari penyebutan
kejelekan-kejelekan mereka oleh Allah itu adalah bantahan, Allah
tidak meluaskan penjelasan pada bagian ini, akan tetapi Allah
mengisyaratkan ten-tangnya dan mengindikasikan tempat-tempatnya
(dalam al-Qur`an), dan sesungguhnya
Allah telah meluaskan penjelasannya pada tempat lain yang sesuai
untuk diperluas.
#
{159} وقوله:
{وإن من أهل الكتاب إلا ليؤمنن به قبل موته}: يحتمل أن الضمير هنا في قوله قبل موته يعودُ إلى أهل الكتاب،
فيكون على هذا كلُّ كتابي يحضُرُه الموت ويعاين الأمر حقيقة؛
فإنه يؤمن بعيسى عليه السلام، ولكنه إيمان لا ينفع؛ إيمان
اضطرار، فيكون مضمون هذا التهديد لهم والوعيد أن لا يستمرُّوا
على هذه الحال التي سيندمون عليها قبل مماتهم؛ فكيف يكون حالهم
يوم حشرهم وقيامهم؟! ويحتمل أن الضمير في قوله:
{قبل موته}: راجعٌ إلى عيسى عليه
السلام، فيكون المعنى: وما من أحدٍ من
أهل الكتاب إلا ليؤمننَّ بالمسيح عليه السلام قبل موت المسيح،
وذلك يكون عند اقتراب السَّاعة وظهور علاماتها الكبار؛ فإنها
تكاثرت الأحاديث الصحيحة في نزوله عليه السلام في آخر هذه الأمة؛
يقتُلُ الدجَّال، ويضعُ الجِزْية، ويؤمنُ به أهل الكتاب مع
المؤمنين {ويوم القيامة}: يكون
عيسى عليهم شهيداً يشهد عليهم بأعمالهم وهل هي موافقةٌ لشرع الله
أم لا؟ وحينئذٍ لا يشهد إلاَّ ببطلان كلِّ ما هم عليه مما هو
مخالف لشريعة القرآن، ولما دعاهم إليه محمدٌ - صلى الله عليه
وسلم - عَلِمْنا بذلك لعِلْمنا بكمال عدالة المسيح عليه السلام
وصدقِهِ، وأنَّه لا يشهدُ إلاَّ بالحقِّ، إلاَّ أنَّ ما جاء به
محمدٌ - صلى الله عليه وسلم - هو الحقُّ وما عداه فهو ضلالٌ
وباطلٌ.
(159) Dan FirmanNya, ﴾ وَإِن مِّنۡ
أَهۡلِ ٱلۡكِتَٰبِ إِلَّا لَيُؤۡمِنَنَّ بِهِۦ قَبۡلَ مَوۡتِهِۦۖ
﴿ "Tidak ada seorang pun dari Ahli Kitab, kecuali akan
beriman kepadanya (Isa) sebelum
kematiannya." Kemungkinan kata ganti di sini pada Firman-Nya
"sebelum kematiannya," kembali kepada Ahli Kitab. Maka atas
dasar asumsi ini, setiap orang dari Ahli Kitab yang akan
meninggal dan mengetahui perkara dengan benar, sesungguhnya ia
beriman kepada Isa عليه السلام, akan tetapi keimanan itu sudah
tidak berguna lagi, dan merupakan keimanan yang terpaksa.
Karena itu kandungan dari ancaman dan peringatan ini adalah
agar mereka tidak terus-terusan dalam kondisi seperti itu di
mana mereka akan menyesali-nya sebelum kematian mereka, lalu
bagaimanakah kondisi mereka di hari mereka dibangkitkan dan
dikumpulkan? Kata ganti dalam FirmanNya, ﴾
قَبۡلَ مَوۡتِهِۦۖ
﴿ "Sebelum kematiannya" itu juga mungkin kembali kepada Isa
عليه السلام, maka maknanya adalah, dan tidaklah seorang pun
dari Ahli Kitab kecuali pasti akan beriman kepada al-Masih
عليه السلام sebelum kematian al-Masih, yang demikian itu akan
terjadi pada saat Hari Kiamat sudah dekat kelak dan
pe-nampakan tanda-tanda besarnya. Karena terdapat banyak
hadits-hadits shahih[43] tentang akan
turunnya Isa عليه السلام pada akhir umat ini, beliau akan
membunuh Dajjal, menghapuskan jizyah, Ahli Kitab akan beriman
kepadanya bersama kaum Mukminin. ﴾
وَيَوۡمَ ٱلۡقِيَٰمَةِ ﴿ "Dan pada Hari Kiamat" Isa عليه السلام
akan menjadi saksi atas mereka de-ngan perbuatan-perbuatan
mereka, apakah sesuai dengan syariat Allah atau tidak? Saat itu
tidaklah ia akan bersaksi kecuali tentang kebatilan setiap hal
yang mereka yakini yang bertentangan dengan syariat al-Qur`an,
dan tatkala Muhammad ﷺ menyeru mereka kepadanya, kita menjadi
tahu dari hal itu atas dasar pengetahuan kita tentang
kesempurnaan keadilan Isa عليه السلام dan kebenarannya, dan
bahwasanya ia tidaklah akan bersaksi kecuali dengan kebe-naran,
hanya saja apa yang dibawa oleh Nabi Muhammad ﷺ itulah yang
benar dan apa yang selain dari itu adalah sesat dan batil.
#
{160 ـ 161} ثم أخبر تعالى أنه
حرَّم على أهل الكتاب كثيراً من الطيِّبات التي كانت حلالاً
عليهم، وهذا تحريم عقوبة، بسبب ظلمهم واعتدائهم وصدِّهم الناس عن
سبيل الله ومنعهم إيَّاهم من الهدى وبأخذهم الرِّبا وقد نُهوا
عنه، فمنعوا المحتاجين ممَّن يبايعونه عن العدل، فعاقبهم الله من
جنس فعلهم، فمنعهم من كثير من الطيِّبات التي كانوا بصدد حلِّها
لكونها طيبة. وأما التحريم الذي على هذه الأمة؛ فإنه تحريم
تنزيهٍ لهم عن الخبائث التي تضرُّهم في دينهم ودنياهم.
(160-161) Kemudian Allah سبحانه وتعالى
mengabarkan bahwa Dia mengharamkan banyak perkara bagi Ahli
Kitab dari hal-hal yang baik yang dahulunya halal buat mereka.
Ini merupakan pengha-raman sebagai hukuman, disebabkan oleh
kezhaliman mereka, tindakan mereka yang melampaui batas,
tindakan mereka merin-tangi manusia dari jalan Allah, tindakan
mereka merintangi manusia dari petunjuk, tindakan mereka
mengambil riba, padahal mereka telah dilarang darinya, lalu
mereka menolak orang-orang yang membutuhkan di antara
orang-orang yang berbai'at kepadanya dari keadilan. Maka Allah
menghukum mereka sesuai dengan jenis perbuatan mereka. Allah
melarang mereka dari banyak hal yang baik yang mana mereka
seharusnya menikmati kehalalannya karena semua itu memang baik.
Sedangkan pengharaman yang ditetapkan atas umat ini, adalah
pengharaman penyucian bagi mereka dari hal-hal yang jelek yang
memudharatkan mereka dalam agama dan dunia mereka.
{لَكِنِ الرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ مِنْهُمْ
وَالْمُؤْمِنُونَ يُؤْمِنُونَ بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ وَمَا
أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ وَالْمُقِيمِينَ الصَّلَاةَ
وَالْمُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَالْمُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ
وَالْيَوْمِ الْآخِرِ أُولَئِكَ سَنُؤْتِيهِمْ أَجْرًا
عَظِيمًا (162)}
.
"Tetapi orang-orang yang mendalam ilmunya di antara me-reka dan
orang-orang Mukmin, mereka beriman kepada apa yang telah
diturunkan kepadamu
(al-Qur`an), dan apa
yang telah di-turunkan sebelummu dan orang-orang yang mendirikan
shalat, menunaikan zakat, dan yang beriman kepada Allah dan Hari
Kemudian. Orang-orang itulah yang akan Kami berikan kepada
mereka pahala yang besar."
(An-Nisa`: 162).
#
{162} لما ذَكَرَ معايب أهل
الكتاب؛ ذَكَرَ الممدوحين منهم، فقال:
{لكِن الراسخون في العلم}؛
أي:
الذين ثَبَتَ العلم في قلوبهم ورَسَخَ الإيقان في أفئدتهم، فأثمر
لهم الإيمان التامَّ العامَّ،
{بما أُنزِلَ إليك وما أُنزِلَ من قبلك}: وأثمر لهم الأعمال الصالحة من إقامة الصَّلاة وإيتاء الزَّكاة
اللَّذين هما أفضل الأعمال، وقد اشتملتا على الإخلاص للمعبود
والإحسان إلى العبيد، وآمنوا باليوم الآخر، فخافوا الوعيد
ورَجَوا الوعد،
{أولئك سنؤتيهم أجراً عظيماً}؛
لأنَّهم جمعوا بين العلم والإيمان والعمل الصالح والإيمان بالكتب
والرسل السابقة واللاحقة.
(162) Setelah Allah membongkar aib-aib
Ahli Kitab, lalu Allah menyebutkan orang-orang yang terpuji di
antara mereka, seraya berfirman, ﴾ لَّٰكِنِ ٱلرَّٰسِخُونَ فِي
ٱلۡعِلۡمِ
﴿ "Tetapi orang-orang yang men-dalam ilmunya," yaitu
orang-orang yang ilmunya tertanam dalam hati mereka dan
keyakinan tertancap dalam sanubari mereka hingga membuahkan
keimanan yang sempurna secara umum bagi mereka ﴾
بِمَآ أُنزِلَ إِلَيۡكَ وَمَآ أُنزِلَ مِن قَبۡلِكَۚ
﴿ "kepada apa yang telah diturunkan kepadamu
(al-Qur`an), dan apa yang telah
diturunkan sebelummu." Dan membuahkan bagi mereka amal-amal
shalih berupa penegakan shalat, penunaian zakat yang merupakan
dua perkara yang paling utama, yang meliputi keikhlasan kepada
Dzat yang disembah dan berbuat baik kepada makhluk. Mereka
beriman kepada Hari Akhir hingga mereka takut akan ancaman dan
mengharapkan janji. ﴾
أُوْلَٰٓئِكَ سَنُؤۡتِيهِمۡ أَجۡرًا عَظِيمًا ﴿ "Orang-orang
itulah yang akan Kami berikan kepada mereka pahala yang besar,"
karena mereka telah menggabung-kan antara ilmu, iman, dan amal
shalih, serta beriman kepada kitab-kitab, rasul-rasul yang
terdahulu dan yang akan datang.
{إِنَّا أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ كَمَا أَوْحَيْنَا إِلَى نُوحٍ
وَالنَّبِيِّينَ مِنْ بَعْدِهِ وَأَوْحَيْنَا إِلَى
إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ وَإِسْحَاقَ وَيَعْقُوبَ
وَالْأَسْبَاطِ وَعِيسَى وَأَيُّوبَ وَيُونُسَ وَهَارُونَ
وَسُلَيْمَانَ وَآتَيْنَا دَاوُودَ زَبُورًا
(163) وَرُسُلًا قَدْ قَصَصْنَاهُمْ
عَلَيْكَ مِنْ قَبْلُ وَرُسُلًا لَمْ نَقْصُصْهُمْ عَلَيْكَ
وَكَلَّمَ اللَّهُ مُوسَى تَكْلِيمًا
(164) رُسُلًا مُبَشِّرِينَ
وَمُنْذِرِينَ لِئَلَّا يَكُونَ لِلنَّاسِ عَلَى اللَّهِ
حُجَّةٌ بَعْدَ الرُّسُلِ وَكَانَ اللَّهُ عَزِيزًا حَكِيمًا
(165)}
.
"Sesungguhnya Kami telah memberikan wahyu kepadamu sebagaimana
Kami telah memberikan wahyu kepada Nuh dan nabi-nabi yang
setelahnya, dan Kami telah memberikan wahyu
(pula) kepada Ibrahim, Isma'il, Ishaq,
Ya'qub dan anak cucunya, Isa, Ayyub, Yunus, Harun dan Sulaiman.
Dan Kami berikan Zabur kepada Dawud. Dan
(Kami telah mengutus) rasul-rasul yang
sungguh telah Kami kisahkan tentang mereka kepadamu dahulu, dan
rasul-rasul yang tidak Kami kisahkan tentang mereka kepa-damu.
Dan Allah telah berbicara kepada Musa dengan langsung.
(Mereka Kami utus) selaku rasul-rasul
pembawa berita gembira dan pemberi peringatan agar supaya tidak
ada alasan bagi manu-sia membantah Allah sesudah diutusnya
rasul-rasul itu. Dan Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana."
(An-Nisa`: 163-165).
#
{163} يخبر تعالى أنَّه أوحى إلى
عبده ورسوله من الشرع العظيم والأخبار الصادقة ما أوحى إلى هؤلاء
الأنبياء عليهم الصلاة والسلام،
وفي هذا عدة فوائد:
منها: أنَّ محمداً - صلى الله عليه وسلم - ليس ببدع من الرسل، بل
أرسل الله قبله من المرسلين العدد الكثير والجمَّ الغفير؛
فاستغراب رسالته لا وجه له إلاَّ الجهل أو العناد.
ومنها:
أنَّه أوحى إليه كما أوحى إليهم من الأصول والعدل الذي اتَّفقوا
عليه، وأنَّ بعضهم يصدِّق بعضاً، ويوافق بعضهم بعضاً.
ومنها:
أنَّه من جنس هؤلاء الرسل؛ فليعتبِرْه المعتبر بإخوانه المرسلين؛
فدعوتُه دعوتُهم، وأخلاقُهم متَّفقة، ومصدَرُهم واحدٌ، وغايتُهم
واحدةٌ، فلم يقرنْه بالمجهولين ولا بالكذَّابين ولا بالملوك
الظَّالمين. ومنها: أنَّ في ذِكْرِ
هؤلاء الرسل وتعدادهم من التنويه بهم والثناء الصادق عليهم وشرح
أحوالهم مما يزداد به المؤمنُ إيماناً بهم ومحبَّة لهم واقتداءً
بهديهم واستناناً بسنَّتهم ومعرفةً بحقوقِهم،
ويكون ذلك مصداقاً لقوله:
{سلامٌ على نوح في العالمين}
{سلامٌ على إبراهيم}
{سلامٌ على موسى وهارون}
{سلامٌ على إلياسينَ. إنَّا كذلك نَجْزي المحسنينَ}؛ فكل محسن له من الثَّناء الحسن بين الأنام بحسبِ إحسانِهِ،
والرسلُ خصوصاً هؤلاء المسمَّون في المرتبة العلياء من الإحسان.
ولمّا ذكر اشتراكهم بوحيه؛ ذَكَرَ تخصيص بعضِهم، فذَكَرَ أنَّه
آتى داود الزَّبور، وهو الكتاب المعروف المزبور، الذي خَصَّ الله
به داود عليه السلام لفضلِهِ وشرفِهِ، وأنَّه كلَّم موسى
تكليماً؛ أي: مشافهةً منه إليه لا
بواسطة، حتى اشتهر بهذا عند العالمين،
فيقال:
موسى كليم الرحمن.
(163) Allah سبحانه وتعالى memberitakan
bahwa Dia telah mewahyukan kepada hamba dan RasulNya Muhammad ﷺ,
syariat yang agung dan berita-berita yang benar yang tidak Dia
wahyukan kepada nabi-nabi tersebut.
Ini menunjukkan beberapa faidah:
+ Bahwasanya Muhammad ﷺ bukanlah rasul yang pertama, akan tetapi
Allah telah mengutus sebelumnya rasul-rasul yang banyak jumlah
dan bilangannya. Maka merasa aneh dan heran kepada kerasulan
beliau sama sekali tidak memiliki sandaran, kecuali hanya
kebodohan dan keingkaran. + Bahwa Allah telah mewahyukan
kepadanya sama seperti me-wahyukan kepada rasul-rasul tersebut
berupa pokok-pokok dasar dan keadilan yang mereka sepakati, dan
bahwa sebagian dari mereka membenarkan sebagian yang lain, dan
sebagian lain sesuai dengan sebagian yang lain. + Bahwa Muhammad
itu adalah sama dengan rasul-rasul terda-hulu, agar orang
menganggapnya sebagai salah seorang dari saudara-saudaranya dari
para Rasul, dakwahnya adalah dak-wah mereka, akhlak mereka sama,
sumber mereka satu, tujuan mereka satu, dan mereka tidak
ditemani oleh orang-orang yang bodoh, pendusta dan tidak juga
raja-raja yang zhalim. + Bahwa dalam penyebutan rasul-rasul
tersebut dan pengung-kapan mereka menunjukkan pujian terhadap
mereka, sanjungan yang jujur buat mereka, penjelasan akan
kondisi mereka, yang akan membuat kaum Mukminin bertambah
imannya kepada mereka, kecintaan kepada mereka, mengikuti
petunjuk mereka, mencontoh sunnah mereka dan mengetahui hak-hak
mereka, dan hal itu sebagai suatu landasan dari Firman Allah, ﴾
سَلَٰمٌ عَلَىٰ نُوحٖ فِي ٱلۡعَٰلَمِينَ 79
﴿ "Kesejahteraan dilimpahkan atas Nuh di seluruh alam."
(Ash-Shaffat: 79)
dan, ﴾
سَلَٰمٌ عَلَىٰٓ إِبۡرَٰهِيمَ 109
﴿ "Kesejahteraan dilimpahkan atas Ibrahim."
(Ash-Shaffat: 109). Kemudian, ﴾
سَلَٰمٌ عَلَىٰ مُوسَىٰ وَهَٰرُونَ 120
﴿ "Kesejahteraan dilimpahkan atas Musa dan Harun."
(Ash-Shaffat: 120)
juga, ﴾
سَلَٰمٌ عَلَىٰٓ إِلۡ يَاسِينَ 130 إِنَّا كَذَٰلِكَ نَجۡزِي
ٱلۡمُحۡسِنِينَ 131 ﴿ "Kesejahteraan dilimpahkan atas Ilyas.
Sesungguhnya demikian-lah Kami memberi balasan kepada
orang-orang yang berbuat baik."
(Ash-Shaffat: 130-131). Setiap pelaku kebaikan mendapatkan pujian yang baik di antara
makhluk sesuai dengan kebaikannya, dan para rasul khusus-nya
mereka-mereka itu ditempatkan pada tingkatan-tingkatan tertinggi
dari kebaikan. Dan setelah Allah menyebutkan tentang kebersamaan
mereka dalam
(menerima dan menyampaikan) wahyuNya,
Allah menye-butkan pengkhususan sebagian dari mereka, maka Allah
menye-butkan bahwa Allah memberikan Zabur kepada Dawud عليه
السلام, yaitu sebuah kitab yang dikenal dengan al-Mazbur, di
mana Allah mengistimewakan Dawud عليه السلام dengannya
disebabkan oleh ke-utamaan dan kemuliaannya, dan bahwa Allah
berbicara dengan Musa عليه السلام
(secara langsung), artinya secara lisan
darinya kepada Musa عليه السلام tanpa ada perantara hingga
beliau terkenal dengan hal tersebut di seluruh alam, hingga
dikatakan bahwa Musa عليه السلام ada-lah Kalimurrahman.
#
{164} وذكر أن الرُّسل منهم من
قصَّه الله على رسوله، ومنهم من لم يَقْصُصْه عليه، وهذا يدلُّ
على كثرتِهِم.
(164) Dan Allah menyebutkan bahwa di
antara rasul-rasul itu ada di antara mereka yang Allah ceritakan
kepada RasulNya Muhammad ﷺ, dan ada di antara mereka yang tidak
diceritakan kepadanya. Ini menunjukkan bahwa jumlah mereka
begitu banyak.
#
{165} وأنَّ الله أرسلهم مبشِّرين
لمن أطاع الله واتَّبعهم بالسعادة الدُّنيويَّة والأخرويَّة،
ومنذرين مَن عصى الله وخالفهم بشقاوة الدَّارين؛
{لئلاَّ يكونَ للناس على الله حجَّةٌ بعد الرسل}، فيقولوا ما جاءنا من بشيرٍ ولا نذيرٍ،
قل:
قد جاءكم بشير ونذيرٌ، فلم يبق للخلق على الله حجة؛ لإرساله
الرسل تترى؛ يبيِّنون لهم أمر دينهم ومراضي ربهم ومساخِطَه وطرقَ
الجنة وطرق النار؛ فمن كَفَرَ منهم بعد ذلك، فلا يلومنَّ إلا
نفسه، وهذا من كمال عزَّته تعالى وحكمتِهِ؛ أن أرسل إليهم الرسل
وأنزل عليهم الكتب، وذلك أيضاً من فضله وإحسانه؛ حيث كان الناس
مضطرِّين إلى الأنبياء أعظم ضرورةٍ تقدَّر، فأزال هذا الاضطرار؛
فله الحمد والشكر، ونسأله كما ابتدأ علينا نعمته بإرسالهم أن
يتمَّها بالتوفيق لسلوك طريقهم؛ إنَّه جوادٌ كريمٌ.
(165) Dan bahwa Allah mengutus mereka
sebagai pemberi kabar gembira kepada orang yang taat kepada
Allah dan mengikuti mereka, dengan kebahagiaan dunia dan
akhirat, dan sebagai pem-beri peringatan kepada orang yang
bermaksiat kepada Allah dan menyalahi mereka, dengan
kesengsaraan dunia dan akhirat. ﴾ لِئَلَّا يَكُونَ لِلنَّاسِ
عَلَى ٱللَّهِ حُجَّةُۢ بَعۡدَ ٱلرُّسُلِۚ ﴿ "Agar supaya tidak
ada alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya
rasul-rasul itu," hingga mereka berkata, tidak ada seorang
pemberi berita gembira dan pemberi peringatan yang datang kepada
kami.
Katakanlah: Sesungguhnya telah
datang kepada kalian se-orang pemberi kabar gembira dan pemberi
peringatan, hingga tidak ada lagi hujjah
(alasan) bagi makhluk atas Allah, karena
Allah telah mengutus sekalian rasul-rasul, yang menjelaskan
kepada mereka perkara agama mereka, perkara-perkara yang
diridhai Tuhan mereka dan hal-hal yang dimurkai olehNya, jalan
ke surga dan jalan ke neraka, barangsiapa yang kafir di antara
mereka setelah itu, maka janganlah ia mencela kecuali dirinya
sendiri. Ini merupakan kesempurnaan keagungan Allah سبحانه
وتعالى dan hikmahNya, yaitu Dia mengutus rasul-rasul kepada
mereka dan menurunkan kitab-kitab kepada mereka, dan hal itu
juga di antara karunia dan kebaikanNya. Di mana manusia sangat
butuh kepada para nabi dengan kebutuhan yang besar sekali yang
tidak dapat dibayang-kan. Allah memenuhi kebutuhan itu, maka
bagiNya segala puji dan syukur, dan kita memohon kepadaNya
sebagaimana Allah telah memberikan karuniaNya dengan mengutus
para nabi kepada kita agar Dia menyempurnakannya dengan taufik
dalam menem-puh jalan mereka. Sesungguhnya Allah Maha Memberi
lagi Maha-mulia.
{لَكِنِ اللَّهُ يَشْهَدُ بِمَا أَنْزَلَ إِلَيْكَ أَنْزَلَهُ
بِعِلْمِهِ وَالْمَلَائِكَةُ يَشْهَدُونَ وَكَفَى بِاللَّهِ
شَهِيدًا (166)}
.
"
(Mereka tidak mau mengakui yang diturunkan kepadamu
itu), tetapi Allah mengakui al-Qur`an yang diturunkanNya kepa-damu.
Allah menurunkannya dengan ilmuNya; dan malaikat-malaikat pun
menjadi saksi
(pula). Cukuplah Allah
yang menga-kuinya."
(An-Nisa`: 166).
#
{166} لما ذُكِر أن الله أوحى إلى
رسوله محمدٍ - صلى الله عليه وسلم - كما أوحى إلى إخوانِهِ من
المرسَلين؛ أخبر هنا بشهادتِهِ تعالى على رسالته وصحَّة ما جاء
به. وأنه {أنزله بعلمه}: يُحتمل أن
يكون المرادُ: أنْزَلَهُ مشتملاً على علمه؛
أي:
فيه من العلوم الإلهية والأحكام الشرعيَّة والأخبار الغيبيَّة ما
هو من علم الله تعالى الذي علَّم به عباده،
ويُحتمل أن يكون المرادُ:
أنْزَلَهُ صادراً عن علمه، ويكون في ذلك إشارةٌ وتنبيهٌ على وجه
شهادتِهِ، وأنَّ المعنى إذا كان تعالى أنزل هذا القرآن المشتمل
على الأوامر والنواهي، وهو يعلم ذلك، ويعلم حالة الذي أنزله
عليه، وأنه دعا الناس إليه؛ فمن أجابه وصدَّقه؛ كان وليه، ومن
كذَّبه وعاداه؛ كان عدوه، واستباح ماله ودمه، والله تعالى
يمكِّنه ويوالي نصره ويجيب دعواته ويخذُل أعداءه وينصر أولياءه؛
فهل توجد شهادةٌ أعظم من هذه الشهادة وأكبر؟! ولا يمكن القدح في
هذه الشهادة إلاَّ بعد القدح بعلم الله وقدرتِهِ وحكمتِهِ.
وإخباره تعالى بشهادة الملائكة على ما أنزل على رسوله؛ لكمال
إيمانهم ولجلالة هذا المشهود عليه؛ فإن الأمور العظيمة لا يستشهد
عليها إلاَّ الخواصُّ؛
كما قال تعالى في الشهادة على التوحيد:
{شَهِدَ الله أنَّه لا إله إلاَّ هو والملائكةُ وأولو العلم
قائماً بالقِسْطِ لا إله إلاَّ هو العزيزُ الحكيم}، {وكفى بالله شهيداً}.
(166) Tatkala disebutkan bahwa Allah
menurunkan wahyu kepada RasulNya Muhammad ﷺ sebagaimana Allah
juga menu-runkan wahyuNya kepada saudara-saudaranya para rasul
sebe-lumnya, kemudian Allah mengabarkan tentang kesaksianNya
سبحانه وتعالى atas kerasulan Muhammad dan kebenaran dakwah yang
dibawa olehnya, dan bahwasanya Dia
(Allah) ﴾ أَنزَلَهُۥ بِعِلۡمِهِۦۖ
﴿ "menurunkannya dengan ilmuNya," indikasi maknanya adalah,
Allah menurunkannya dengan memuat ilmuNya. Artinya, al-Qur`an
itu mengandung ilmu-ilmu dari Allah, hukum-hukum syariat dan
berita-berita ghaib yang merupakan di antara ilmu Allah سبحانه
وتعالى yang diajarkannya kepada hamba-hambaNya. Kemungkinan
lain maksud ayat ini adalah, Allah menurunkannya dengan
bersumber dari ilmuNya. Maka atas dasar ini, ayat tersebut
menjadi isyarat dan perhatian kepada kesaksian Allah, dan
bahwa maknanya adalah, Allah سبحانه وتعالى menurunkan
al-Qur`an ini yang mengandung perintah dan la-rangan, sedang
Allah mengetahui itu semua, mengetahui kondisi orang yang
diturunkan kepadanya, dan mengetahui bahwa ia akan menyeru
manusia dengannya, maka barangsiapa yang menerima dan
mempercayainya, niscaya ia menjadi walinya dan barangsiapa
yang mendustai dan memusuhinya, maka ia adalah musuhnya, dan
ia telah menghalalkan darah dan hartanya. Allah سبحانه وتعالى
menguatkannya, menjamin pembelaannya, meme-nuhi
permohonan-permohonannya, menghinakan musuh-musuh-nya dan
menolong wali-walinya. Maka apakah ada kesaksian yang lebih
agung dan lebih besar dari kesaksian ini? Tidaklah mungkin
bisa mencela kesaksian tersebut kecuali dengan mencela ilmu
Allah, kuasaNya dan HikmahNya. Sedang pemberitaan Allah سبحانه
وتعالى tentang kesaksian malaikat atas apa yang diturunkan
kepada RasulNya, disebabkan oleh kesempurnaan iman mereka dan
kemuliaan per-kara yang disaksikan tersebut, dan sesungguhnya
perkara yang agung itu tidaklah disaksikan kecuali oleh
orang-orang yang khusus, sebagaimana Allah سبحانه وتعالى
berfirman tentang kesaksian atas tauhid, ﴾
شَهِدَ ٱللَّهُ أَنَّهُۥ لَآ إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ
وَٱلۡمَلَٰٓئِكَةُ وَأُوْلُواْ ٱلۡعِلۡمِ قَآئِمَۢا بِٱلۡقِسۡطِۚ
لَآ إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ ٱلۡعَزِيزُ ٱلۡحَكِيمُ 18
﴿ "Allah menyatakan bahwasanya tidak ada tuhan melainkan Dia
(yang berhak disembah), Yang
menegakkan keadilan. Para Malaikat dan orang-orang yang
berilmu
(juga menyatakan yang demikian itu).
Tidak ada tuhan melainkan Dia
(yang berhak disembah), Yang
Mahaperkasa lagi Mahabijaksana."
(Ali Imran: 18) dan ﴾
وَكَفَىٰ بِٱللَّهِ شَهِيدٗا 28 ﴿ "Dan cukuplah Allah sebagai
saksi."
(Al-Fath: 28).
{إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا وَصَدُّوا عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ
قَدْ ضَلُّوا ضَلَالًا بَعِيدًا
(167) إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا
وَظَلَمُوا لَمْ يَكُنِ اللَّهُ لِيَغْفِرَ لَهُمْ وَلَا
لِيَهْدِيَهُمْ طَرِيقًا (168) إِلَّا
طَرِيقَ جَهَنَّمَ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا وَكَانَ ذَلِكَ
عَلَى اللَّهِ يَسِيرًا (169)}
.
"Sesungguhnya orang-orang yang kafir dan menghalang-halangi
(manusia) dari jalan Allah, benar-benar
telah sesat sejauh-jauhnya. Sesungguhnya orang-orang yang kafir
dan melakukan kezhaliman, Allah sekali-kali tidak akan
mengampuni
(dosa) mereka dan tidak
(pula) akan menunjukkan jalan kepada
mereka, kecuali jalan ke Neraka Jahanam; mereka kekal di
dalamnya se-lama-lamanya. Dan yang demikian itu adalah mudah
bagi Allah."
(An-Nisa`: 167-169).
#
{167} لما أخبر عن رسالة الرُّسل
صلوات الله وسلامه عليهم، وأخبر برسالة خاتمهم محمدٍ، وشَهِدَ
بها وشَهِدَتْ ملائكته؛ لَزِمَ من ذلك ثبوت الأمر المقرَّر
والمشهود به، فوجب تصديقُهم والإيمان بهم واتِّباعهم، ثم توعَّد
من كفر بهم، فقال:
{إنَّ الذين كفروا وصَدُّوا عن سبيل الله}؛ أي: جمعوا بين الكفر بأنفسهم وصدِّهم
الناس عن سبيل الله، وهؤلاء [هم] أئمة
الكفر ودُعاة الضَّلال،
{قد ضَلُّوا ضلالاً بعيداً}، وأي
ضلال أعظم من ضلال من ضَلَّ بنفسه وأضلَّ غيره؛ فباء بالإثمين
ورجع بالخسارتين وفاتته الهدايتان؟!
(167) Ketika Allah telah mengabarkan
tentang dakwah para rasul , dan mengabarkan tentang dakwah
penutup mereka, Muhammad ﷺ, lalu Allah dan para malaikat juga
bersaksi atasnya, maka itu mengharuskan kokohnya perkara yang
telah ditetapkan dan disaksikan. Karena itu wajiblah mereka
diyakini, diimani, dan diikuti. Kemudian Allah mengancam orang
yang kufur kepada mereka
(para Rasul) seraya berfirman, ﴾ إِنَّ
ٱلَّذِينَ كَفَرُواْ وَصَدُّواْ عَن سَبِيلِ ٱللَّهِ
﴿ "Sesungguhnya orang-orang yang kafir dan menghalang-halangi
(manu-sia) dari jalan Allah,"
maksudnya, mereka menggabungkan pada diri mereka antara kufur
dengan merintangi manusia dari jalan Allah, mereka itu adalah
para pemimpin kekufuran dan penyeru-penyeru kesesatan, ﴾
قَدۡ ضَلُّواْ ضَلَٰلَۢا بَعِيدًا ﴿ "mereka benar-benar telah
sesat sejauh-jauhnya." Kesesatan apalagi yang lebih besar dari
kesesatan dirinya dan menyesatkan orang lain, lalu ia kembali
dengan dua dosa, pulang dengan dua kerugian dan lenyap darinya
dua petunjuk.
#
{168 ـ 169} ولهذا قال:
{إنَّ الذين كفروا وظلموا}: وهذا
الظلم هو زيادة على كفرهم، وإلاَّ؛ فالكفر عند إطلاق الظُّلم
يدخل فيه، والمراد بالظلم هنا: أعمال
الكفر والاستغراق فيه؛ فهؤلاء بعيدون من المغفرة والهداية للصراط
المستقيم، ولهذا قال:
{لم يكنِ الله ليغفرَ لهم ولا ليهدِيَهم طريقاً إلَّا طريقَ
جهنَّم}، وإنَّما تعذَّرت المغفرة لهم والهداية لأنَّهم استمرُّوا في
طُغيانهم وازدادوا في كفرِهم فطُبِعَ على قلوبهم وانسدَّت عليهم
طرقُ الهداية بما كسبوا وما ربُّك بظلاَّم للعبيد.
{وكان ذلك على الله يسيراً}؛
أي:
لا يُبالي الله بهم ولا يعبأ؛ لأنَّهم لا يَصْلُحون للخير، ولا
يَليق بهم إلاَّ الحالة التي اختاروها لأنفسهم.
(168-169) Karena itulah Allah berfirman,
﴾ إِنَّ ٱلَّذِينَ كَفَرُواْ وَظَلَمُواْ
﴿ "Sesungguhnya orang-orang yang kafir dan melakukan
kezhaliman." Kezhaliman ini merupakan tambahan atas kekufuran
mereka, ka-rena apabila kata kezhaliman dipakai secara mutlak,
maka kufur itu termasuk di dalamnya, dan yang dimaksud dengan
kezhaliman di sini adalah perbuatan-perbuatan kufur dan
pendalamannya. Mereka itu jauh dari ampunan dan petunjuk
kepada jalan yang lurus, karena itulah Allah berfirman,﴾
لَمۡ يَكُنِ ٱللَّهُ لِيَغۡفِرَ لَهُمۡ وَلَا لِيَهۡدِيَهُمۡ
طَرِيقًا 168 إِلَّا طَرِيقَ جَهَنَّمَ
﴿ "Allah sekali-kali tidak akan mengampuni
(dosa) mereka dan tidak
(pula) akan menunjukkan jalan kepada
mereka, kecuali jalan ke Neraka Jahanam." Ampunan dan petunjuk
tidak diberikan kepada mereka, karena mereka selalu dalam
kesesatan mereka, dan keku-furan mereka selalu bertambah,
hingga hati mereka tertutup dan jalan-jalan petunjuk terputus
karena apa yang telah mereka kerja-kan, dan tidaklah Tuhan
kalian itu bertindak aniaya terhadap siapa pun dari hambaNya.
﴾
وَكَانَ ذَٰلِكَ عَلَى ٱللَّهِ يَسِيرٗا ﴿ "Dan yang demikian itu
adalah mudah bagi Allah," yaitu, Allah tidak akan mempedulikan
mereka dan tidak merasa berat, karena mereka tidaklah patut
mendapat kebaikan dan tidak sesuai bagi mereka kecuali kondisi
yang telah mereka pilih untuk diri mereka sendiri.
{يَاأَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءَكُمُ الرَّسُولُ بِالْحَقِّ
مِنْ رَبِّكُمْ فَآمِنُوا خَيْرًا لَكُمْ وَإِنْ تَكْفُرُوا
فَإِنَّ لِلَّهِ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَكَانَ
اللَّهُ عَلِيمًا حَكِيمًا
(170)}
.
"Wahai manusia, sungguh telah datang Rasul
(Muhammad) itu kepadamu dengan
(membawa) kebenaran dari Tuhanmu, maka
berimanlah kamu, itulah yang lebih baik bagimu. Dan jika kamu
kafir,
(maka kekafiran itu tidak merugikan Allah sedikit pun)
karena sesungguhnya apa yang di langit dan di bumi itu adalah
kepunyaan Allah. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Mahabijak-sana."
(An-Nisa`: 170).
#
{170} يأمر تعالى جميعَ الناس أن
يؤمِنوا بعبدِهِ ورسوله محمَّدٍ - صلى الله عليه وسلم -، وذكر
السبب الموجب للإيمان به والفائدة من الإيمان به. والمضرَّة من
عدم الإيمان به. فالسَّبب الموجب هو إخباره بأنَّه جاءهم
بالحقِّ؛ أي: فمجيئُهُ نفسُه حقٌّ وما
جاء به من الشرع حقٌّ؛ فإنَّ العاقل يعرِفُ أن بقاء الخلق في
جهلهم يعمهون وفي كفرِهم يتردَّدون والرسالة قد انقطعت عنهم غيرُ
لائق بحكمةِ الله ورحمته؛ فمن حكمتِهِ ورحمته العظيمة نفس إرسال
الرسول إليهم ليعرِّفهم الهدى من الضلال والغي من الرشد؛ فمجرَّد
النظر في رسالتِهِ دليلٌ قاطعٌ على صحَّة نبوَّته، وكذلك النظر
إلى ما جاء به من الشرع العظيم والصِّراط المستقيم؛ فإنَّ فيه من
الإخبار بالغيوب الماضية والمستقبلة والخبر عن الله وعن اليوم
الآخرِ ما لا يعرفه إلاَّ بالوحي والرسالة وما فيه من الأمر
بكلِّ خير وصلاح ورشدٍ وعدل وإحسان وصدق وبرٍّ وصلةٍ وحسن خُلق،
ومن النهي عن الشرِّ والفساد والبغي والظُّلم وسوء الخُلُق
والكذب والعقوق، مما يقطع به أنَّه من عند الله، وكلَّما ازداد
به العبد بصيرةً؛ ازداد إيمانُه ويقينُه؛ فهذا السبب الداعي
للإيمان. وأما الفائدة في الإيمان؛ فأخبر أنه خيرٌ
{لكم}، والخير ضدُّ الشرِّ؛
فالإيمان خير للمؤمنين في أبدانهم وقلوبهم وأرواحهم ودُنياهم
وأخراهم، وذلك لما يترتَّب عليه من المصالح والفوائد؛ فكلُّ ثواب
عاجل وآجل فمن ثمرات الإيمان؛ فالنصر والهدى والعلم والعمل
الصالح والسرور والأفراح والجنَّة وما اشتملت عليه من النعيم
كلُّ ذلك سبب عن الإيمان؛ كما أن الشقاء الدُّنيويَّ والأخرويَّ
من عدم الإيمان أو نقصه. وأما مضرَّة عدم الإيمان به - صلى الله
عليه وسلم -؛ فيُعْرَفُ بضدِّ ما يترتَّب على الإيمان به وأن
العبد لا يضرُّ إلاَّ نفسه، والله تعالى غنيٌّ عنه لا تضرُّه
معصية العاصين، ولهذا قال:
{فإنَّ لله ما في السموات والأرضِ}؛ أي: الجميع خَلْقُه وملكُه وتحت
تدبيره وتصريفه.
{وكان الله عليماً}: بكلِّ شيءٍ
{حكيماً}: في خلقِهِ وأمره؛ فهو
العليم بمن يستحقُّ الهداية والغواية، الحكيم في وضع الهداية
والغواية موضعهما.
(170) Allah سبحانه وتعالى memerintahkan
seluruh manusia agar ber-iman kepada hamba dan RasulNya,
Muhammad ﷺ, dan Allah me-nyebutkan sebab diharuskannya beriman
kepadanya dan manfaat dari beriman kepadanya, serta kemudharatan
yang akan didapatkan dengan tidak beriman kepadanya. Adapun
sebab yang mengharuskan untuk beriman kepada-nya adalah, kabar
Allah bahwa ia datang kepada mereka dengan membawa kebenaran.
Artinya, kedatangannya itu sendiri adalah suatu kebenaran dan
apa yang dibawanya berupa syariat adalah kebenaran. Seorang yang
berakal akan mengetahui bahwa tetapnya orang dalam kejahilan
mereka sebenarnya mereka bingung dalam kekufuran mereka dan
terus didera kebimbangan. Dan risalah telah terputus dari mereka
dan tidak sesuai dengan hikmah Allah dan rahmatNya. Di antara
hikmah dan rahmatNya yang agung adalah meng-utus Rasul kepada
kaum mereka sendiri agar mengajarkan kepada mereka petunjuk dari
kesesatan, dan penyimpangan dari jalan yang lurus. Maka dengan
hanya memandang pada kerasulannya merupakan sebuah dalil yang
kuat akan kebenaran kenabiannya. Demikian juga memperhatikan apa
yang dibawa olehnya berupa syariat yang agung dan jalan yang
lurus. Di sana terdapat berita-berita tentang hal-hal ghaib yang
telah lampau dan yang akan da-tang, dan kabar tentang Allah dan
Hari Akhir yang tidak mungkin diketahui kecuali dengan wahyu
maupun kerasulan. Juga terdapat perintah kepada segala kebaikan,
keshalihan, kematangan, keadilan, berbuat baik, kejujuran,
berbakti, silaturahim, dan akhlak yang terpuji. Dan juga berupa
larangan dari kejahatan, kerusakan, kezha-liman, melampaui
batas, akhlak yang jelek, berdusta, dan durhaka, yang secara
pasti dan sangat meyakinkan bahwa datangnya dari Allah سبحانه
وتعالى. Dan setiap kali ilmu seorang hamba bertambah karenanya,
akan bertambah pula keimanan dan keyakinannya. Maka inilah sebab
yang mendorong kepada keimanan. Adapun manfaat keimanan, Allah
telah mengabarkan bahwa hal itu lebih baik ﴾ لَّكُمۡۚ
﴿ "bagi kalian." Baik adalah lawan dari buruk. Maka iman
lebih baik bagi kaum Mukminin pada tubuh, hati, jiwa mereka,
dunia, dan akhirat mereka. Yang demikian itu karena pengaruh
yang diakibatkan olehnya, berupa kemaslahatan maupun manfaat.
Setiap balasan yang segera atau tertunda, adalah buah dari
keimanan. Kemenangan, petunjuk, ilmu, amal shalih,
kebaha-giaan, kesenangan, dan surga dan apa yang terkandung di
dalam-nya berupa kenikmatan, semua itu adalah sebab dari Iman,
seba-gaimana kesengsaraan duniawi dan ukhrawi adalah karena
tidak adanya keimanan atau kurangnya Iman. Sedangkan mudharat
karena tidak beriman kepada beliau ﷺ, akan diketahui dari
perkara yang berlawanan dengan akibat dari beriman kepadanya,
dan bahwa seorang hamba itu tidaklah memudharatkan kecuali
dirinya sendiri. Allah سبحانه وتعالى tidak membutuh-kan
dirinya, karena kemaksiatan seorang pelaku maksiat tidaklah
akan memudharatkanNya. Karena itulah Allah berfirman,﴾
فَإِنَّ لِلَّهِ مَا فِي ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضِۚ
﴿ "Karena sesungguhnya apa yang di langit dan di bumi itu
adalah kepunyaan Allah." Maksudnya, seluruhnya adalah
ciptaan-Nya, kerajaanNya, dan di bawah pengaturan dan
pengelolaanNya. ﴾
وَكَانَ ٱللَّهُ عَلِيمًا
﴿ "Dan Allah Maha Mengetahui" akan segala sesuatu, ﴾
حَكِيمٗا ﴿ "lagi Mahabijaksana" dalam penciptaan dan
perintahNya. Dia-lah Yang Maha Mengetahui orang yang berhak
mendapatkan petunjuk dan kesesatan, Mahabijaksana dalam
memberikan petun-juk dan kesesatan pada tempatnya masing-masing.
{يَاأَهْلَ الْكِتَابِ لَا تَغْلُوا فِي دِينِكُمْ وَلَا
تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ إِلَّا الْحَقَّ إِنَّمَا الْمَسِيحُ
عِيسَى ابْنُ مَرْيَمَ رَسُولُ اللَّهِ وَكَلِمَتُهُ
أَلْقَاهَا إِلَى مَرْيَمَ وَرُوحٌ مِنْهُ فَآمِنُوا بِاللَّهِ
وَرُسُلِهِ وَلَا تَقُولُوا ثَلَاثَةٌ انْتَهُوا خَيْرًا
لَكُمْ إِنَّمَا اللَّهُ إِلَهٌ وَاحِدٌ سُبْحَانَهُ أَنْ
يَكُونَ لَهُ وَلَدٌ لَهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي
الْأَرْضِ وَكَفَى بِاللَّهِ وَكِيلًا
(171)}
.
"Wahai Ahli Kitab, janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu,
dan janganlah kamu mengatakan terhadap Allah ke-cuali yang
benar. Sesungguhnya al-Masih, Isa putra Maryam itu, adalah
utusan Allah dan
(yang diciptakan dengan) kalimatNya yang
disampaikanNya kepada Maryam, dan
(dengan tiupan) ruh dariNya. Maka
berimanlah kamu kepada Allah dan rasul-rasulNya dan janganlah
kamu mengatakan, '
(Tuhan itu) tiga',
berhentilah
(dari ucapan itu).
(Itu) lebih baik bagimu. Sesungguhnya
Allah Tuhan Yang Maha Esa, Mahasuci Allah dari mempunyai anak,
segala yang di langit dan di bumi adalah kepunyaanNya. Cukuplah
Allah menjadi Pemelihara."
(An-Nisa`: 171).
#
{171} ينهى تعالى أهل الكتاب عن
الغلوِّ في الدِّين، وهو مجاوزة الحدِّ والقدر المشروع إلى ما
ليس بمشروع، وذلك كقول النصارى في غلوُّهم بعيسى عليه السلام
ورفعِهِ عن مقام النبوَّة والرِّسالة إلى مقام الرُّبوبيَّة الذي
لا يليقُ بغير الله؛ فكما أن التَّقصير والتفريطَ من المنهيَّات؛
فالغلوُّ كذلك، ولهذا قال:
{ولا تقولوا على اللهِ إلَّا الحقَّ}، وهذا الكلام يتضمَّن ثلاثة أشياء:
أمرين منهيّ عنهما، وهما قول الكذب على الله والقول بلا علم في
أسمائه وصفاته وأفعاله وشرعه ورسله.
والثالث:
مأمورٌ [به]، وهو قول الحقِّ في هذه
الأمور. ولما كانت هذه قاعدةً عامَّةً كليَّةً، وكان السياق في
شأن عيسى عليه السلام نصَّ على قول الحقِّ فيه المخالف لطريقة
اليهوديَّة والنصرانيَّة، فقال:
{إنَّما المسيح عيسى بن مريم رسولُ الله}؛ أي: غاية المسيح عليه السلام ومنتهى
ما يصل إليه من مراتب الكمال أعلى حالة تكون للمخلوقين، وهي درجة
الرسالة، التي هي أعلى الدَّرجات وأجلّ المثوبات، وأنه
{كَلِمَتُهُ ألقاها إلى مريم}؛ أي: كلمة تكلَّم الله بها، فكان بها
عيسى، ولم يكن تلك الكلمة، وإنما كان بها، وهذا من باب إضافة
التشريف والتكريم، وكذلك قولُه:
{وروحٌ منه}؛
أي:
من الأرواح التي خلقها وكمَّلها بالصِّفات الفاضلة والأخلاق
الكاملة، أرسل الله رُوحه جبريلَ عليه السلام، فنفَخَ في فرج
مريم عليها السلام، فحملت بإذن الله بعيسى عليه السلام، فلمَّا
بيَّن حقيقة عيسى عليه السلام؛ أمر أهل الكتاب بالإيمان به
وبرسله، ونهاهم أن يجعلوا الله ثالث ثلاثةٍ؛ أحدهم عيسى والثاني
مريم؛ فهذه مقالة النصارى قبَّحهم الله، فأمرهم أن ينتهوا، وأخبر
أن ذلك خيرٌ لهم؛ لأنه الذي يتعيَّن أنه سبيل النجاة وما سواه
فهو طرق الهلاك. ثم نزَّه نفسه عن الشريك والولد،
فقال:
{إنَّما الله إلهٌ واحدٌ}؛
أي:
هو المنفردُ بالألوهيَّة الذي لا تنبغي العبادة إلاَّ له.
{سبحانَه}؛
أي:
تنزَّه وتقدَّس،
{أن يكونَ له ولدٌ}: لأنَّ
{له ما في السموات وما في الأرض}؛
فالكلُّ مملوكون له مفتقِرون إليه؛ فمحالٌ أن يكون له شريكٌ منهم
أو ولدٌ. ولما أخبر أنه المالك للعالم العلويِّ والسفليِّ أخبر
أنه قائمٌ بمصالحهم الدنيويَّة والأخرويَّة، وحافظها
[ومجازيهم] عليها تعالى:
(171) Allah سبحانه وتعالى melarang Ahli
Kitab dari sikap berlebih-lebihan
(ghuluw) dalam beragama, yaitu melampaui
batas dan ketentuan yang disyariatkan kepada perkara yang tidak
disyariat-kan. Yang demikian itu adalah seperti perkataan kaum
Nasrani yang melampaui batas terhadap Isa عليه السلام dan
penempatan mereka terhadapnya melebihi dari kedudukan kenabian
dan kerasulan kepada kedudukan ketuhanan yang tidak patut
diberikan selain kepada Allah. Maka sebagaimana perkara
asal-asalan dan lalai itu adalah perkara yang dilarang, maka
melampaui batas juga dilarang. Karena itulah Allah berfirman, ﴾
وَلَا تَقُولُواْ عَلَى ٱللَّهِ إِلَّا ٱلۡحَقَّۚ
﴿ "Dan janganlah kamu mengatakan terhadap Allah kecuali yang
benar." Firman ini mengandung tiga perkara:
Dua perkara di antaranya adalah dilarang, yaitu perkataan
dusta terhadap Allah dan perkataan tanpa didasari dengan ilmu
mengenai nama-namaNya, sifat-sifatNya, perbuatan-perbuatanNya,
syariatNya, dan rasul-rasulNya, dan perkara ketiga adalah yang
diperintahkan (kepadanya) yaitu
per-kataan yang benar dalam semua masalah tadi. Dan manakala
hal ini adalah sebuah kaidah yang global
(umum), dan konteks ayat ini adalah
tentang Isa عليه السلام, Allah mene-gaskan perkataan yang
benar dalam hal itu yang bertentangan dengan klaim
(keyakinan) orang-orang Yahudi dan
orang-orang Nasrani, seraya berfirman, ﴾
إِنَّمَا ٱلۡمَسِيحُ عِيسَى ٱبۡنُ مَرۡيَمَ رَسُولُ ٱللَّهِ
﴿ "Sesung-guhnya al-Masih, Isa putra Maryam itu, adalah
utusan Allah." Mak-sudnya,
(sebagai Rasul Allah) itulah kedudukan
paling tinggi dan predikat paling besar dari al-Masih عليه
السلام dari derajat kesempurnaan yang didapatkan oleh makhluk,
yaitu derajat kerasulan, yang me-rupakan tingkatan yang paling
tinggi dan posisi yang paling mulia. Dan bahwa ia adalah
﴾
وَكَلِمَتُهُۥٓ أَلۡقَىٰهَآ إِلَىٰ مَرۡيَمَ
﴿ "(yang diciptakan dengan)
kalimatNya yang disampaikanNya kepada Maryam," maksudnya,
sebuah kata yang diucapkan oleh Allah, lalu jadilah Isa عليه
السلام dengannya. Dan Isa bukanlah kata tersebut, namun Isa
عليه السلام dijadikan dengannya. Ini adalah bentuk idhafah
(kata majemuk) bernuansa pemuliaan dan
penghormatan. Demikian juga FirmanNya, ﴾
وَرُوحٞ مِّنۡهُۖ
﴿ "Dan (dengan tiupan) ruh dariNya,"
yaitu, di antara ruh-ruh yang diciptakan olehNya,
disempurnakan dengan sifat-sifat yang luhur, dan akhlak-akhlak
yang sempurna. Allah mengutus RuhNya, Jibril عليه السلام, lalu
meniup-kan ke dalam rahim Maryam عليها السلام hingga dia
mengandung Isa dengan izin Allah. Dan ketika Allah menjelaskan
hakikat dari pen-ciptaan Isa عليه السلام, Allah memerintahkan
Ahli Kitab untuk beriman kepadaNya dan kepada Rasul-rasulNya,
dan Allah melarang me-reka menjadikanNya ketiga dari yang
tiga; salah satunya adalah Isa عليه السلام dan kedua adalah
Maryam[44] عليها السلام. Ini adalah
pernyataan kaum Nasrani, semoga Allah menjelekkan mereka. Dan
Allah memerin-tahkan mereka agar meninggalkan hal tersebut dan
mengabarkan bahwa hal itu adalah lebih baik bagi mereka.
Karena yang jelas, itu adalah menuju kepada keselamatan dan
selain dari itu adalah jalan kehancuran. Kemudian Allah
menyucikan DiriNya dari sekutu dan anak seraya berfirman,
﴾
إِنَّمَا ٱللَّهُ إِلَٰهٞ وَٰحِدٞۖ
﴿ "Sesungguhnya Allah Tuhan Yang Maha Esa," yaitu, Dia
sendirian dalam ketuhanan yang tidak sepa-tutnya ibadah itu
dilakukan kecuali untuk DiriNya semata. ﴾
سُبۡحَٰنَهُۥٓ
﴿ "Mahasuci Allah" yaitu bersih
(dari kekurangan) dan suci ﴾
أَن يَكُونَ لَهُۥ وَلَدٞۘ
﴿ "dari mempunyai anak." Karena sesungguhnya,﴾
لَّهُۥ مَا فِي ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَمَا فِي ٱلۡأَرۡضِۗ ﴿ "segala yang
di langit dan di bumi adalah kepunyaanNya." Seluruhnya adalah
milik Allah yang butuh kepadaNya, maka sangat mustahil sekali
Allah mempunyai sekutu di antara mereka atau anak. Dan tatkala
Allah memberitakan bahwa Dia adalah Raja bagi alam langit dan
bumi lalu Allah mengabarkan bahwa Dia mengurus kemaslahatan buat
mereka, dunia maupun akhirat, dan Allah سبحانه وتعالى
memeliharanya
(dan memberikan balasan kepada mereka)
atasnya.
{لَنْ يَسْتَنْكِفَ الْمَسِيحُ أَنْ يَكُونَ عَبْدًا لِلَّهِ
وَلَا الْمَلَائِكَةُ الْمُقَرَّبُونَ وَمَنْ يَسْتَنْكِفْ
عَنْ عِبَادَتِهِ وَيَسْتَكْبِرْ فَسَيَحْشُرُهُمْ إِلَيْهِ
جَمِيعًا (172) فَأَمَّا الَّذِينَ
آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ فَيُوَفِّيهِمْ أُجُورَهُمْ
وَيَزِيدُهُمْ مِنْ فَضْلِهِ وَأَمَّا الَّذِينَ اسْتَنْكَفُوا
وَاسْتَكْبَرُوا فَيُعَذِّبُهُمْ عَذَابًا أَلِيمًا وَلَا
يَجِدُونَ لَهُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ وَلِيًّا وَلَا نَصِيرًا
(173)}
.
"Al-Masih sekali-kali tidak enggan menjadi hamba bagi Allah, dan
tidak
(pula enggan) malaikat-malaikat
yang terdekat
(kepada Allah).
Barangsiapa yang enggan menyembahNya dan menyombongkan diri,
nanti Allah akan mengumpulkan mereka semua kepadaNya. Adapun
orang-orang yang beriman dan berbuat amal shalih, maka Allah
akan menyempurnakan pahala mereka dan menambah untuk mereka
sebagian dari karuniaNya. Adapun orang-orang yang enggan dan
menyombongkan diri, maka Allah akan menyiksa mereka dengan
siksaan yang pedih, dan mereka tidak akan memperoleh bagi diri
mereka, pelindung dan penolong selain dari pada Allah."
(An-Nisa`: 172-173).
#
{172} لما ذكر تعالى غلوَّ النصارى
في عيسى عليه السلام، وذَكَرَ أنَّه عبده ورسوله؛ ذَكَرَ هنا أنه
لا يستنكِف عن عبادتِهِ ربَّه ؛ أي: لا
يمتنع عنها رغبةً عنها، لا هو
{ولا الملائكة المقربون}، فنزَّههم
عن الاستنكاف، وتنزيههم عن الاستكبار من باب أولى، ونفي الشيء
فيه إثباتُ ضدِّه؛ أي: فعيسى والملائكة
المقربون قد رغبوا في عبادِة ربِّهم وأحبُّوها وسَعَوْا فيها بما
يَليق بأحوالهم، فأوجب لهم ذلك الشرف العظيم والفوز العظيم، فلم
يستنكِفوا أن يكونوا عبيداً لربوبيَّته ولا لإلهيَّته، بل
يَرَوْنَ افتقارهم لذلك فوق كلِّ افتقار. ولا يُظَنُّ أنَّ رفع
عيسى أو غيره من الخلق فوق مرتبته التي أنزله الله فيها وترفُّعه
عن العبادة كمالاً، بل هو النقص بعينه، وهو محلُّ الذَّمِّ
والعقاب، ولهذا قال:
{ومن يَسْتَنكِفْ عن عبادتِهِ ويَسْتَكْبِرْ فسيحشُرهم إليه
جميعاً}؛ أي: فسيحشر الخلق كلَّهم إليه
المستنكِفين والمستكبِرين وعباده المؤمنين، فيحكم بينهم بحكمه
العدل وجزائه الفصل.
(172) Ketika Allah menyebutkan tentang
perbuatan me-lampaui batas kaum Nasrani terhadap Isa عليه
السلام, Allah menyebutkan juga bahwa Isa itu adalah hamba dan
RasulNya, lalu Allah menye-butkan dalam ayat ini bahwa Isa
tidaklah enggan beribadah kepada Tuhannya, artinya ia tidak
menolak beribadah karena membenci-nya, tidak dirinya ﴾ وَلَا
ٱلۡمَلَٰٓئِكَةُ ٱلۡمُقَرَّبُونَۚ
﴿ "dan tidak
(pula enggan) malai-kat-malaikat yang
terdekat (kepada Allah)." Allah
menyucikan mereka dari sikap keengganan, dan membersihkan
mereka dari kesom-bongan adalah lebih pasti. Meniadakan suatu
hal padanya adalah penetapan akan hal yang berlawanan
dengannya. Artinya, sesung-guhnya Isa dan para malaikat yang
dekat kepada Allah menyukai beribadah kepada Tuhan mereka,
bahkan mencintai ibadah itu dan mereka berusaha
melaksanakannya dengan sebaik-baiknya menurut kondisi mereka
masing-masing. Maka Allah mewajibkan kemuliaan yang besar dan
kemenangan yang agung itu untuk mereka, mereka tidaklah enggan
menjadi hamba untuk rububiyah dan uluhiyahNya, bahkan mereka
memandang bahwa hal itu sangat mereka butuhkan dengan
kebutuhan yang luar biasa. Dan janganlah diperkirakan bahwa
mengangkat Isa عليه السلام atau selainnya dari makhluk lebih
tinggi dari derajatnya yang seharus-nya yang diberikan oleh
Allah untuknya dan ditinggikan dari statusnya sebagai hamba
adalah suatu kesempurnaan, akan tetapi itu justru kekurangan
yang sebenarnya, dan itu akan menjadi sasaran celaan dan
hukuman. Karena itulah Allah berfirman,﴾
وَمَن يَسۡتَنكِفۡ عَنۡ عِبَادَتِهِۦ وَيَسۡتَكۡبِرۡ
فَسَيَحۡشُرُهُمۡ إِلَيۡهِ جَمِيعٗا ﴿ "Barangsiapa yang enggan
dari menyembahNya dan menyombongkan diri, nanti Allah akan
me-ngumpulkan mereka semua kepadaNya." Artinya, Allah
mengumpul-kan seluruh makhluk kepadaNya, orang-orang yang enggan
dan sombong dan juga hamba-hambaNya yang beriman, lalu Allah
menegakkan pengadilan antara mereka semua dengan ketetapan-Nya
yang adil dan balasanNya yang patut.
#
{173} ثم فصَّل حكمهَ فيهم،
فقال:
{فأمَّا الذين آمنوا وعملوا الصالحات}؛ أي: جمعوا بين الإيمان المأمور به
وعمل الصالحات من واجبات ومستحبَّات من حقوق الله وحقوق عباده،
{فيوفِّيهم أجورَهم}؛
أي:
الأجور التي رتَّبها على الأعمال كل بحسب إيمانه وعمله،
{ويزيدُهم من فضله}: من الثَّواب
الذي لم تَنَلْهُ أعمالُهم ولم تَصِلْ إليه أفعالُهم ولم يخطُرْ
على قلوبِهِم، ودَخَلَ في ذلك كلُّ ما في الجنَّة من المآكل
والمشارب والمناكح والمناظر والسُّرور ونعيم القلب والرُّوح
ونعيم البدن، بل يدخل في ذلك كلُّ خير دينيٍّ ودنيويٍّ رُتِّب
على الإيمان والعمل الصالح.
{وأمّا الذين اسْتَنكَفوا واسْتَكْبَروا}؛ أي: عن عبادة الله تعالى،
{فيعذِّبُهم عذاباً أليماً}، وهو
سخط الله وغضبه والنار الموقَدة التي تطَّلع على الأفئدة،
{ولا يَجِدون لهم مِن دون الله وليًّا ولا نصيراً}؛ أي: لا يجدون أحداً من الخلق
يتولاَّهم فيحصِّل لهم المطلوبَ، ولا من ينصُرُهم فيدفعُ عنهم
المرهوبَ، بل قد تَخَلَّى عنهم أرحم الراحمين وتَرَكَهم في
عذابِهم خالدين، وما حكم به تعالى؛ فلا رادَّ لحكمِهِ ولا
مغيِّرَ لقضائِهِ.
(173) Kemudian Allah merinci
ketetapanNya atas diri me-reka, seraya berfirman, ﴾ فَأَمَّا
ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ وَعَمِلُواْ ٱلصَّٰلِحَٰتِ
﴿ "Adapun orang-orang yang beriman dan berbuat amal shalih,"
yaitu, mereka yang menggabungkan antara keimanan yang
diperintahkan kepadanya dengan amal shalih berupa kewajiban
dan sunnah dari hak-hak Allah dan hak-hak hamba-hambaNya,
﴾
فَيُوَفِّيهِمۡ أُجُورَهُمۡ
﴿ "maka Allah akan menyempurnakan pahala mereka," yaitu,
balasan yang dihasilkan dari perbuatan, setiap orang sesuai
dengan keimanan dan amalan-nya. ﴾
وَيَزِيدُهُم مِّن فَضۡلِهِۦۖ
﴿ "Dan menambah untuk mereka sebagian dari karuniaNya," dari
balasan pahala yang belum diperoleh oleh per-buatan-perbuatan
mereka dan belum dicapai oleh amalan-amalan mereka, dan belum
terbesit juga dalam hati mereka. Termasuk dalam hal itu adalah
seluruh kenikmatan yang ada di surga berupa makanan, minuman,
buah-buahan, pemandangan, kebahagiaan, hati, jiwa dan tubuh,
bahkan termasuk dalam hal itu setiap kebaikan agama dan dunia
yang disiapkan karena iman dan amal shalih. ﴾
وَأَمَّا ٱلَّذِينَ ٱسۡتَنكَفُواْ وَٱسۡتَكۡبَرُواْ
﴿ "Adapun orang-orang yang enggan dan menyombongkan diri,"
yaitu, dari beribadah kepada Allah سبحانه وتعالى, ﴾
فَيُعَذِّبُهُمۡ عَذَابًا أَلِيمٗا
﴿ "maka Allah akan menyiksa mereka dengan siksaan yang
pedih," yaitu kemurkaan Allah dan kemarahanNya, dan api neraka
yang menyala-nyala yang membakar hingga ke hati, ﴾
وَلَا يَجِدُونَ لَهُم مِّن دُونِ ٱللَّهِ وَلِيّٗا وَلَا نَصِيرٗا
﴿ "dan mereka tidak akan memperoleh bagi diri mereka, pelindung
dan penolong selain dari pada Allah," maksud-nya, mereka tidak
akan mendapatkan seorang pun dari makhluk yang melindungi mereka
hingga mereka memperoleh apa yang diinginkan, dan tidak pula ada
yang membela mereka hingga menghindarkan mereka dari azab yang
ditakutkan. Akan tetapi Dzat Yang Maha Penyayang akan berlepas
diri dari mereka dan membiarkan mereka dalam siksaNya untuk
selama-lamanya, dan pastilah Allah menetapkan hukumNya hingga
tidak ada yang mampu menolak ketetapanNya dan tidak ada yang
mampu meru-bah keputusanNya.
{يَاأَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءَكُمْ بُرْهَانٌ مِنْ
رَبِّكُمْ وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكُمْ نُورًا مُبِينًا
(174) فَأَمَّا الَّذِينَ آمَنُوا
بِاللَّهِ وَاعْتَصَمُوا بِهِ فَسَيُدْخِلُهُمْ فِي رَحْمَةٍ
مِنْهُ وَفَضْلٍ وَيَهْدِيهِمْ إِلَيْهِ صِرَاطًا مُسْتَقِيمًا
(175)}
.
"Hai manusia, sungguh telah datang kepadamu bukti kebe-naran
dari Tuhanmu,
(Muhammad dengan mukjizatnya) dan telah
Kami turunkan kepadamu cahaya yang terang benderang
(al-Qur`an). Adapun orang-orang yang
beriman kepada Allah dan berpegang teguh kepada
(agama)Nya, niscaya Allah akan
mema-sukkan mereka ke dalam rahmat yang besar dariNya
(surga) dan limpahan karuniaNya. Dan
menunjuki mereka kepada jalan yang lurus
(untuk sampai) kepadaNya."
(An-Nisa`: 174-175).
#
{174} يمتنُّ تعالى على سائر الناس
بما أوصل إليهم من البراهين القاطعة والأنوار السَّاطعة، ويقيمُ
عليهم الحجَّة، ويوضِّح لهم المحجَّة،
فقال:
{يا أيُّها الناس قد جاءكم برهانٌ من ربِّكم}؛ أي: حججٌ قاطعةٌ على الحقِّ تبيِّنه
وتوضِّحه وتبيِّن ضدَّه، وهذا يشمل الأدلَّة العقليَّة
والنقليَّة، والآيات الأفقيَّة والنفسيَّة،
{سَنُريهم آياتِنا في الآفاق وفي أنْفُسِهِم حتَّى يتبيَّنَ
لهم أنه الحقُّ}، وفي قوله:
{مِن ربِّكم}: ما يدلُّ على شرف
هذا البرهان وعظمتِهِ؛ حيث كان من ربِّكم الذي ربَّاكم التربية
الدينيَّة والدنيويَّة؛ فمن تربيته لكم التي يُحمد عليها، ويُشكر
أن أوصل إليكم البيِّنات ليهدِيَكم بها إلى الصِّراط المستقيم
والوصول إلى جنَّات النعيم. وأنزل
{إليكم نُوراً مبيناً}، وهو هذا
القرآن العظيم، الذي قد اشتمل على علوم الأوَّلين والآخِرين
والأخبار الصَّادقة النافعة والأمر بكلِّ عدل وإحسانٍ وخيرٍ
والنهي عن كلِّ ظلم وشرٍّ؛ فالناسُ في ظلمةٍ إنْ لم يستَضيئوا
بأنوارِهِ، وفي شقاءٍ عظيم إن لم يقتَبِسوا من خيرِهِ.
(174) Allah سبحانه وتعالى telah
memberikan karunia kepada seluruh manusia dengan apa yang telah
mengantarkan kepada mereka berupa keterangan dan bukti yang
nyata serta cahaya yang terang, dan menegakkan hujjah atas
mereka, dan menjelaskan kepada me-reka syariatNya. Allah
berfirman, ﴾ يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ قَدۡ جَآءَكُم بُرۡهَٰنٞ مِّن
رَّبِّكُمۡ
﴿ "Hai manusia, sungguh telah datang kepadamu bukti kebenaran
dari Tuhan-mu," yaitu, hujjah-hujjah yang pasti di atas
kebenaran, yang men-jelaskannya, menerangkannya, dan
menjelaskan yang berlawanan dengannya. Ini mencakup seluruh
dalil-dalil logika maupun riwa-yat, dan ayat-ayat
(tanda-tanda kekuasaan Allah) berupa
semesta maupun di dalam diri manusia. ﴾
سَنُرِيهِمۡ ءَايَٰتِنَا فِي ٱلۡأٓفَاقِ وَفِيٓ أَنفُسِهِمۡ
حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَهُمۡ أَنَّهُ ٱلۡحَقُّۗ
﴿ "Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda
(kekuasaan) Kami di segala wilayah
bumi dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka
bahwa al-Qur`an itu adalah benar."
(Fushshilat: 53). Dan dalam FirmanNya,
﴾
مِّن رَّبِّكُمۡ
﴿ "Dari Tuhanmu," terdapat apa yang menunjukkan kepada
kemuliaan bukti ini dan keagungannya, yang berasal dari Tuhan
kalian yang telah mendidik kalian dengan pendidikan agama
maupun dunia, dan di antara didikanNya ter-hadap kalian yang
patut untuk dipuji dan disyukuri adalah me-nyampaikan
keterangan-keterangan kepada kalian agar Allah memberi
petunjuk kepada kalian dengannya kepada jalan yang lurus dan
sampai kepada surga yang penuh kenikmatan. Dan Allah
menurunkan ﴾
إِلَيۡكُمۡ نُورٗا مُّبِينٗا ﴿ "kepadamu cahaya yang terang
benderang," yaitu, al-Qur`an yang agung ini; yang mencakup ilmu
orang-orang terdahulu dan orang-orang yang akan datang,
berita-berita yang benar dan bermanfaat, perintah kepada setiap
keadilan, kebaikan, dan kebaktian, larangan dari setiap
kezhaliman dan kejahatan. Manusia akan berada dalam kegelapan
bila mereka tidak meneranginya dengan cahaya-cahaya al-Qur`an,
dan berada dalam kesengsaraan bila tidak mendapatkan
kebaikannya.
#
{175} ولكن انقسم الناسُ بحسب
الإيمان بالقرآن والانتفاع به قسمين:
{فأمَّا الذين آمنوا بالله}؛
أي:
اعترفوا بوجودِهِ واتِّصافه بكلِّ وصفٍ كامل وتنزيهه من كلِّ نقص
وعيبٍ، {واعتَصَموا به}؛
أي:
لجؤوا إلى الله واعتمدوا عليه وتبرَّؤوا من حَوْلِهم وقوَّتهم
واستعانوا بربِّهم،
{فسيُدْخِلُهم في رحمةٍ منه وفضل}؛ أي: فسيتغمَّدهم بالرحمة الخاصَّة
فيوفِّقهم للخيرات ويجزِلُ لهم المثوبات ويدفعُ عنهم البليَّات
والمكروهات.
{ويهديهم إليه صراطاً مستقيماً}؛ أي: يوفِّقهم للعلم والعمل؛ معرفة
الحقِّ والعمل به؛ أي: ومن لم يؤمن
بالله، ويعتَصِمْ به، ويتمسَّك بكتابِهِ؛ منعهم من رحمتِهِ،
وحرمهم من فضلِهِ، وخلَّى بينهم وبين أنفسِهِم، فلم يَهْتَدوا،
بل ضلُّوا ضلالاً مبيناً؛ عقوبةً لهم على تركِهِم الإيمان،
فحصلتْ لهم الخيبةُ والحرمانُ. نسأله تعالى العفو والعافية
والمعافاة.
(175) Akan tetapi manusia terbagi
menjadi dua bagian me-nurut keimanan kepada al-
Qur`an dan mengambil manfaat darinya:
﴾ فَأَمَّا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ بِٱللَّهِ
﴿ "Adapun orang-orang yang beriman kepada Allah" yaitu
mengakui keberadaanNya, menyifatiNya dengan segala sifat
kesempurnaan, menyucikanNya dari segala kekurangan dan aib,
﴾
وَٱعۡتَصَمُواْ بِهِۦ
﴿ "dan berpegang teguh kepada
(agama)Nya" yaitu mereka bersandar dan
berpegang teguh kepada Allah serta ber-lepas diri dari daya
dan kekuatan mereka dan hanya memohon pertolongan kepada Tuhan
mereka, ﴾
فَسَيُدۡخِلُهُمۡ فِي رَحۡمَةٖ مِّنۡهُ وَفَضۡلٖ
﴿ "niscaya Allah akan memasukkan mereka ke dalam rahmat yang
besar dariNya (surga) dan limpahan
karuniaNya." Maksudnya, Allah akan meling-kupi mereka dengan
rahmatNya yang khusus dan membimbing mereka kepada kebaikan,
memenuhi mereka dengan ganjaran dan menghindarkan mereka dari
cobaan dan musibah,﴾
وَيَهۡدِيهِمۡ إِلَيۡهِ صِرَٰطٗا مُّسۡتَقِيمٗا ﴿ "dan menunjuki
mereka kepada jalan yang lurus
(untuk sampai) kepadaNya," maksudnya,
membimbing mereka kepada ilmu dan amal, mengetahui kebenaran dan
mengamalkannya. Artinya, dan barangsiapa yang tidak beriman
kepada Allah, tidak berpegang teguh kepadaNya, dan tidak
mengamalkan kitabNya, niscaya Allah akan menolak mereka dari
rahmatNya, menahan mereka dari limpahan karuniaNya membiarkan
mereka dengan diri mereka sendiri, karena mereka tidak mendapat
petunjuk, akan tetapi mereka tersesat dengan kesesatan yang
nyata, sebagai hukuman buat mereka karena meninggalkan keimanan,
hingga mereka memperoleh kesia-sian dan kerugian. Kita memohon
kepada Allah سبحانه وتعالى ampunan dan keselamatan serta
kesehatan.
{يَسْتَفْتُونَكَ قُلِ اللَّهُ يُفْتِيكُمْ فِي الْكَلَالَةِ
إِنِ امْرُؤٌ هَلَكَ لَيْسَ لَهُ وَلَدٌ وَلَهُ أُخْتٌ فَلَهَا
نِصْفُ مَا تَرَكَ وَهُوَ يَرِثُهَا إِنْ لَمْ يَكُنْ لَهَا
وَلَدٌ فَإِنْ كَانَتَا اثْنَتَيْنِ فَلَهُمَا الثُّلُثَانِ
مِمَّا تَرَكَ وَإِنْ كَانُوا إِخْوَةً رِجَالًا وَنِسَاءً
فَلِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ يُبَيِّنُ اللَّهُ
لَكُمْ أَنْ تَضِلُّوا وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
(176)}
.
"Mereka meminta fatwa kepadamu
(tentang kalalah). Kata-kanlah, 'Allah
memberi fatwa kepadamu tentang kalalah
(yaitu); jika seorang meninggal dunia,
dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan,
maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang
ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mempusakai
(seluruh harta saudara perempuan), jika
ia tidak mempunyai anak; tetapi jika saudara perempuan itu dua
orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang
ditinggalkan oleh yang meninggal. Dan jika mereka
(ahli waris itu terdiri dari)
saudara-saudara laki dan perempuan, maka bagian seorang saudara
laki-laki sebanyak bagian dua orang saudara perempuan. Allah
menerangkan
(hukum ini) kepadamu, supaya
kamu tidak sesat. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu'."
(An-Nisa`: 176).
#
{176} أخبر تعالى أنَّ الناس
استفتوا رسوله - صلى الله عليه وسلم - ؛
أي:
في الكلالة؛ بدليل قوله:
{قل الله يُفتيكم في الكلالة}، وهي
الميت يموتُ وليس له ولد صُلْبٍ ولا ولد ابنٍ ولا أب ولا
جَدٌّ، ولهذا قال:
{إن امرؤ هلك ليس له ولد}،
أي:
لا ذكر ولا أنثى، لا ولد صُلْبٍ ولا ولد ابنٍ، وكذلك ليس له
والدٌ؛ بدليل أنَّه ورَّثَ فيه الإخوة، والأخوات بالإجماع لا
يرثون مع الوالد؛ فإذا هَلَكَ وليس له ولدٌ ولا والدٌ.
{وله أختٌ}؛
أي:
شقيقةٌ أو لأبٍ لا لأمٍّ؛ فإنه قد تقدَّم حكمُها.
{فلها نصفُ ما ترك}؛
أي:
نصف متروكات أخيها من نقودٍ وعقارٍ وأثاثٍ وغير ذلك، وذلك من بعد
الدَّين والوصيَّة؛ كما تقدم.
{وهو}؛
أي:
أخوها الشقيق أو الذي للأب،
{يَرِثُها إن لم يكن لها ولد}، ولم
يُقَدِّر له إرثاً لأنه عاصبٌ فيأخذ مالها كلَّه إن لم يكن صاحبُ
فرض ولا عاصب يشارِكه أو ما أبقت الفروض.
{فإن كانتا}؛
أي:
الأختان، {اثنتين}؛
أي:
فما فوق
{فلهما الثُّلثانِ مما تَرَكَ، وإن كانوا إخوةً رجالاً
ونساءً}؛ أي: اجتمع الذُّكور من الإخوة لغير
أمٍّ مع الإناث،
{فللذَّكر مثلُ حظِّ الأنثيين}:
فيسقُط فرض الإناث ويُعَصِّبُهنَّ إخوتُهن.
{يبيِّنُ الله لكم أن تَضِلُّوا}؛ أي: يبيِّن لكم أحكامه التي
تحتاجونها ويوضِّحها ويشرحُها لكم فضلاً منه وإحساناً لكي تهتدوا
ببيانه [وتعملوا] بأحكامه، ولئلاَّ
تضِلوا عن الصِّراط المستقيم بسبب جهلكم وعدم علمِكم.
{والله بكلِّ شيءٍ عليمٌ}؛
أي:
عالم بالغيب والشهادةِ والأمور الماضية والمستقبلَةَ، ويعلم
حاجَتَكم إلى بيانِهِ وتعليمِهِ، فيعلِّمكم من علمِهِ الذي
ينفعُكم على الدَّوام في جميع الأزمنة والأمكنة. آخر تفسير سورة
النساء. فلله الحمد والشكر.
(176) Allah سبحانه وتعالى mengabarkan
bahwa orang-orang meminta ketetapan hukum
(fatwa) kepada Rasulullah ﷺ,
[45]
dalam perkara kalalah, atas dasar Firman Allah, ﴾ قُلِ ٱللَّهُ
يُفۡتِيكُمۡ فِي ٱلۡكَلَٰلَةِۚ
﴿ "Katakan-lah, 'Allah memberi fatwa kepadamu tentang
kalalah," yaitu, seorang mayit yang meninggal namun tidak
memiliki anak kandung, tidak pula cucu dari anak laki-laki,
tidak pula ayah dan tidak pula kakek. Untuk itulah Allah
berfirman, ﴾
إِنِ ٱمۡرُؤٌاْ هَلَكَ لَيۡسَ لَهُۥ وَلَدٞ
﴿ "Jika seorang me-ninggal dunia, dan ia tidak mempunyai
anak," yaitu, tidak laki-laki tidak juga perempuan, tidak anak
kandung dan tidak pula cucu dari anak laki-laki, demikian juga
ia tidak memiliki ayah dengan dalil bahwa ia diwarisi oleh
saudara laki-laki maupun saudara perempuan, berdasarkan ijma'
ulama, di mana mereka tidak men-dapat warisan dengan adanya
ayah. Dan bila seseorang meninggal dan tidak memiliki anak dan
tidak pula ayah, ﴾
وَلَهُۥٓ أُخۡتٞ
﴿ "dan mem-punyai saudara perempuan," yaitu yang sekandung
atau satu ayah atau satu ibu, sesungguhnya hukumnya telah
berlalu. ﴾
فَلَهَا نِصۡفُ مَا تَرَكَۚ
﴿ "Maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari
harta yang ditinggalkannya," maksudnya, setengah dari harta
peninggalan saudara laki-lakinya berupa uang cash, rumah,
perabot, dan sebagainya. Yang demikian itu adalah setelah
menunaikan hutang dan wasiat, sebagaimana yang telah berlalu.
﴾
وَهُوَ
﴿ "Dan saudaranya yang laki-laki" yaitu saudaranya yang
laki-laki sekandung atau yang seayah, ﴾
يَرِثُهَآ إِن لَّمۡ يَكُن لَّهَا وَلَدٞۚ
﴿ "mempusakai
(seluruh harta saudara perempuan),
jika ia tidak mempunyai anak," tetapi tidak ditentukan
untuknya suatu ketentuan, karena dia adalah ashib
(mewarisi sisa) dan ia mewarisi harta
tersebut keseluruhannya apabila tidak ada pemilik hak yang
tertentu, atau 'Ashabah lainnya yang bersekutu dengannya, atau
apa yang tersisa dari hak-hak yang telah tertentu. ﴾
فَإِن كَانَتَا
﴿ "Tetapi jika saudara perempuan itu," yaitu dua orang
saudara perempuan ﴾
ٱثۡنَتَيۡنِ
﴿ "dua orang" atau lebih,﴾ فَلَهُمَا
ٱلثُّلُثَانِ مِمَّا تَرَكَۚ وَإِن كَانُوٓاْ إِخۡوَةٗ رِّجَالٗا
وَنِسَآءٗ
﴿ "maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang
ditinggalkan oleh yang meninggal. Dan jika mereka
(ahli waris itu terdiri dari)
saudara-saudara laki dan perempuan," berkumpulnya saudara
laki-laki kan-dung atau seayah bersama saudara perempuan,
﴾
فَلِلذَّكَرِ مِثۡلُ حَظِّ ٱلۡأُنثَيَيۡنِۗ
﴿ "maka bagian seorang saudara laki-laki sebanyak bagian dua
orang saudara perempuan," maka gugurlah hak tertentu milik
saudara perempuan karena dijadikan 'Ashabah oleh saudara
mereka yang laki-laki. ﴾
يُبَيِّنُ ٱللَّهُ لَكُمۡ أَن تَضِلُّواْۗ
﴿ "Allah menerangkan
(hukum ini) kepadamu, supaya kamu
tidak sesat," maksudnya, Allah menjelaskan hukum-hukumNya yang
kalian butuhkan, Dia menerangkan dan menjelas-kannya untuk
kalian sebagai limpahan karunia dan kebaikan dari-Nya agar
kalian mendapat petunjuk karena penjelasan tersebut
(dan kalian ketahui) hukum-hukumNya,
dan agar kalian tidak tersesat dari jalan yang lurus
disebabkan karena kebodohan dan ketidaktahuan kalian. ﴾
وَٱللَّهُ بِكُلِّ شَيۡءٍ عَلِيمُۢ ﴿ "Dan Allah Maha Mengetahui
segala sesuatu," maksudnya, mengetahui yang ghaib, yang nampak,
perkara-per-kara yang lampau dan yang akan datang, mengetahui
kebutuhan-kebutuhan kalian yang perlu dijelaskan dan diajarkan,
lalu Dia mengajarkan ilmuNya kepada kalian yang akan berguna
bagi kalian seterusnya pada setiap waktu dan setiap tempat.
Akhir dari tafsir surat an-Nisa`. Segala puji dan syukur bagi
Allah.